‘Paus Fransis adalah ‘Yudas baru’ dia karena mengkhianati ajaran Kristus
“Francis sedang memainkan peran Yudas dengan mengorbankan kebenaran tradisional yang diterima Gereja dari Yesus,” demikian tulis Pastor Jesusmary Missigbètò.
By Father Jesusmary Missigbètò
Wed Mar 27, 2024 - 11:58 am EDT
(LifeSiteNews) — Berikut ini adalah surat terbuka dari Pastor Jesusmary Missigbètò. Tulisan-tulisannya sebelumnya dapat dilihat di sini.
SURAT TERBUKA ‘MARIA SUPPLICANS’
Mengenai fakta tentang paus Francis; kesalahan moral dan doktrinnya.
Bagian 5; 24 Maret 2024; hari Minggu sebelum Paskah
Umat Katolik yang setia di seluruh dunia,
Saat ini Gereja memasuki momen khusus dari Pekan Suci. Pada akhir masa ini, kemenangan Kristus yang bangkit atas kematian, kemenangan Terang atas kegelapan, dan kemenangan Kebenaran atas kesalahan dan kebohongan, akan terjadi. Namun sebelum itu, ada baiknya kita menganggap Pekan Suci sebagai minggu pengkhianatan, karena minggu ini menunjukkan bagaimana Yudas, salah satu dari dua belas Rasul, mengkhianati dan menjual Yesus, Gurunya. Sungguh menyedihkan untuk menulis baris-baris berikut ini karena ia menarik kesejajaran antara tindakan Yudas Iskariot dalam hubungannya dengan Yesus dan tindakan paus Francis dalam hubungannya dengan Kebenaran (Yesus). Sayangnya, fakta-fakta tersebut bersifat objektif dan menyedihkan serta menunjukkan bagaimana Francis memainkan peran Yudas dengan mengorbankan kebenaran tradisional yang diterima Gereja dari Yesus, dan bagaimana Francis juga memainkan peran Martin Luther dan iblis.
1. Paus Francis adalah seorang Yudas baru
Pada tanggal 29 Agustus 2008, Bunda Maria dari Anguera berkata: “Dia yang menjadi Petrus akan menjadi Yudas. Dia akan membuka pintu bagi para musuh hingga menyebabkan pria dan wanita beriman menderita.” (3.046). Disini Bunda Maria jelas berbicara tentang seorang Paus yang akan mengkhianati Gereja dengan memilih dan mengangkat orang-orang yang bertentangan dengan ajaran tradisionalnya. Selain itu, Paus ini akan menganiaya umat Gereja yang ingin melestarikan iman Kristen tradisional. Tidak bisakah kita melihat hal ini, pada hari-hari ini, di dalam berbagai tindakan Francis? Dalam statuta baru Akademi Kepausan untuk Kehidupan, yang diterbitkannya pada tanggal 18 Oktober 2016, dia menghapus kalimat di dalamnya yang menyatakan bahwa para anggota berkomitmen untuk mempertahankan kehidupan sesuai dengan ajaran Gereja. Setelah memecat orang-orang yang dianggap “tradisionalis” dari Akademi Kepausan untuk Kehidupan (2017) dan Institut Studi Pernikahan dan Keluarga Kepausan Yohanes Paulus II (2019), dia menunjuk dan mengangkat orang-orang yang jelas-jelas menolak ajaran Gereja sejati [1]: Uskup Agung Vincenzo Paglia (homoseksualitas, euthanasia, fertilisasi in vitro); Maurizio Chiodi (homoseksualitas, kontrasepsi, fertilisasi in vitro); Philippe Bordeyne, Marie-Jo Thiel (homoseksualitas, kontrasepsi); Alain Thomasset (homoseksualitas); Nigel Biggar, Roberto Dell’Oro, Fishel Fernando Szlajen, Avraham Steinberg, Mariana Mazzucato (aborsi); Gilfredo Marengo, Miguel Yáñez (kontrasepsi); Katarina Le Blanc (fertilisasi in vitro); dll.
Di sisi lain, Francis juga telah menunjuk dan mengangkat berbagai uskup dan kardinal sesat (Kardinal Jean-Claude Hollerich, S.J.; Kardinal Robert McElroy; Kardinal Víctor Manuel Fernández; Uskup John Stowe; dll.) dan Francis berpuas diri dengan orang-orang lain (Kardinal Francesco Coccopalmerio, beberapa uskup Jerman, dll.) yang telah melakukan kesalahan dan pelanggaran serius. Dengan demikian dia menolak kanon 276§1 [2], 351§1 [3] dan 378§1 [4], yang menekankan pentingnya memilih dan mengangkat orang-orang yang bisa menjadi teladan dalam kebajikan manusiawi dan supernatural, yaitu teladan kekudusan, kesalehan, semangat apostolik, dan kesetiaan terhadap doktrin Kristen.
Pada kenyataannya, kebiasaan gerejawi ini bukanlah sebuah keinginan kepausan, melainkan menaati keinginan yang jelas dari Yesus Kristus, Pendiri Gereja, yang menginginkan harta karun rahmat yang dipercayakan-Nya kepada Gereja-Nya, dalam Sakramen-sakramen, untuk dikelola oleh para pelayan kudus, atau setidak-tidaknya para pelayan yang berkeinginan untuk menjadi suci dan berusaha untuk memperoleh kesucian [5]. Yesus Kristus, dengan mengenang keinginan ini dan menyampaikannya kepada St. Catherine dari Siena, yang kemudian menulisnya kepada nuncio apostolik Gérard du Puy, kerabat Paus Gregorius XI: “Ketika tiba saatnya untuk memilih pastor dan kardinal… doakan dia sejauh mungkin untuk berhenti saja pada kebajikan dan nama baik dan suci seseorang… kebajikan adalah satu-satunya hal yang membuat manusia mulia dan berkenan kepada Tuhan” [6].
2. Paus Francis adalah seorang ‘Martin Luther baru’
Pertama-tama, kita harus memperhatikan fakta yang mengejutkan: simpati besar paus Francis terhadap Martin Luther (1483-1546). Luar biasa tapi nyata: dalam dua kesempatan, paus Francis dengan gembira menerima dan menghormati patung Martin Luther di Vatikan (13 Oktober 2016 dan 25 Oktober 2021). Mengapa ini mengejutkan? Karena Luther secara resmi diakui sebagai bidaah oleh Gereja [7] dan dia meninggal tanpa pertobatan. Apakah normal bagi seorang Paus untuk menghormati seseorang yang secara terbuka dan tegas menentang ajaran Gereja dan orang tersebut tidak mau mengubah sikapnya sampai saat kematiannya? Jika kita mengingat pepatah bahwa “burung yang berbulu sama akan berkumpul bersama”, maka kita akan memahami situasinya dengan lebih baik. Memang benar, kedekatan Francis dengan Luther tidak hanya sekedar simpati tetapi juga fakta, karena Francis mengikuti jalan yang sama seperti Luther dengan cara menentang ajaran-ajaran Gereja. Perbedaan antara Francis dan Luther adalah bahwa kontradiksi Francis tidak kentara dan tidak diperhatikan oleh banyak orang Kristen yang beriman. Kenyataannya, hal ini tersembunyi di balik khotbah belas kasihan yang secara diam-diam mengesampingkan perlunya pertobatan dengan menggunakan paham relativisme dan etika situasi. Seperti Martin Luther yang sesat itu, Francis menciptakan banyak perpecahan dalam Gereja: perpecahan internal (di dalam hati umat Kristiani yang secara internal memisahkan diri dari ajaran tradisional Gereja Katolik) dan perpecahan eksternal (melalui umat Kristiani yang meninggalkan Gereja Katolik ketika mereka melihat kesalahan moral dan doktrin yang diajarkan Francis kepada para pastor Gereja. Oleh karena itu, peningkatan kesalahan merupakan penyebab utama dari perpecahan, karena kesalahan memecah belah sementara kebenaran mempersatukan.
Seperti Martin Luther yang sesat, Francis menciptakan banyak sekali perpecahan di dalam Gereja Katolik.
Ada dua sikap paus Francis yang memperkuat perpecahan ini: ketegarannya melakukan kesalahan dan ketidakadilannya terhadap umat “tradisionalis.” Kedua sikap ini memungkinkan kesalahan moral dan doktrin paus Francis menyebar dalam jangka waktu yang singkat dan mematahkan perlawanan dari mereka yang menentang kesalahannya. Oleh karena itu, ini adalah sebuah kediktatoran, kecuali namanya saja yang nampaknya suci. Luther bersikap keras kepala dalam kesalahannya, begitu pula Francis. Fakta bahwa sejak tahun 2016 Francis menolak untuk memperbaiki kesalahan-kesalahannya dan kenyataan bahwa kesalahan-kesalahan ini justru diajarkan di seminari-seminari di seluruh dunia, ini adalah sama sekali tidak baik bagi Gereja, karena umat Kristiani yang telah tertipu untuk menerima kesalahan-kesalahan ini, mereka akan lebih bersedia untuk menerima dan mengasimilasi kesalahan-kesalahan tersebut. secara mendalam dan akan merasa lebih sulit untuk memisahkan diri dari semua kesalahan itu. Semua kesalahan dan kesesatan ini akan membentuk pemikiran dan tindakan mereka dan lambat laun akan menjauhkan mereka dari pemenuhan sempurna atas kehendak Allah dan kemudian menjauhkan mereka dari Gereja. Oleh karena itu, dampaknya dalam jangka pendek, menengah, dan panjang tentu saja negatif.
Mari kita ambil contoh: Amoris laetitia. Pada tanggal 19 Maret 2016, paus Francis berbicara tentang orang yang “menikah lagi” setelah bercerai, dengan kalimat berikut: “dalam situasi seperti itu, banyak orang, yang mengetahui dan menerima kemungkinan untuk hidup 'sebagai saudara dan saudari' yang ditawarkan Gereja kepada mereka, dan hal ini menunjukkan bahwa jika ekspresi keintiman tertentu masih kurang atau bahkan tidak ada (misalnya hubungan sex), 'seringkali kesetiaan terancam dan kebaikan anak-anak menjadi terganggu.” [8]. Apa yang kita miliki di sini tidak lain adalah seorang Paus yang memaafkan dosa perzinahan dan percabulan atas dasar “kesetiaan” dan “kebaikan anak-anak”? Ini adalah etika situasional, karena Francis mengusulkan untuk membenarkan dosa dengan cara sewenang-wenang menempatkan unsur-unsur sekunder di atas kebaikan yang lebih tinggi yaitu keutamaan kesucian, yang merupakan obyek dari Perintah Keenam dan Kesembilan yang diberikan oleh Tuhan.
Luther tidak menyukai tradisi, begitu pula Francis. Oleh karena itu, Paus asal Argentina ini melakukan ketidakadilan terhadap kaum “tradisionalis”. Dalam bidang liturgi, ketidakadilan ini ditandai dengan keinginan Francis untuk meniadakan Misa tradisional demi mendukung Misa modern, melalui motu propio Traditionis custodes (16 Juli 2021). Mengapa ini merupakan ketidakadilan? Alasannya sederhana: Tidak ada Rasul yang menerima Misa modern dari Yesus persis seperti yang dirayakan saat ini. Faktanya, Kedua Belas Rasul menerima dari Yesus inti utama yang didasari oleh doa konsekrasi Syukur Agung, yang dengannya roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Yesus, bersama dengan persiapan yang didasari oleh mendengarkan dan menjelaskan Sabda. Tuhan. Tersebar di seluruh Kekaisaran Romawi, para Rasul ini menciptakan beragam tradisi liturgi Timur dan Barat yang indah dan megah. Jika di Timur beberapa tradisi liturgi hidup berdampingan secara damai, hal ini juga mungkin terjadi di Barat. Perdamaian liturgi yang luar biasa antara ritus pra-Vatikan II dan ritus pasca-Vatikan II inilah yang diupayakan oleh Paus Benediktus XVI dengan motu propio Summorum Pontificum (7 Juli 2007).
Dalam bidang moral dan doktrin, ketidakadilan paus Francis berdampak pada mereka yang secara terbuka menentang inovasinya (seperti misalnya Kardinal Raymond Leo Burke; Uskup Joseph Strickland; Pastor Tullio Rotondo; John Rist; Josef Seifert; tiga pertapa Skotlandia: Stephen de Kerdrel, Colette Roberts, dan Damon Kelly; dll.). Namun pada saat yang sama, paus Francis mengakui impunitas terhadap mereka yang secara terbuka bertentangan dengan ajaran tradisional Gereja (Kardinal Walter Kasper; Kardinal Coccopalmerio; Kardinal Christoph Schönborn; Kardinal Peter Turkson; Pastor James Martin, S.J.; dll.). Misalnya, pada bulan Juni 2017, menurut beberapa sumber terpercaya, polisi menangkap Coccopalmerio secara terang-terangan karena dia ikut serta dalam pesta homoseks (dengan penggunaan narkoba) yang diselenggarakan di flat-nya di Vatikan. Namun Kardinal ini tetap menjadi sahabat erat paus Francis dan tidak menerima sanksi apa pun. Namun, pada tanggal 20 November 2023, menurut beberapa sumber terpercaya, paus Francis berkata: “Kardinal Burke adalah musuh saya, jadi saya mengambil flat dan gajinya.” Permusuhan ini berasal dari fakta bahwa Kardinal Burke dalam banyak kesempatan secara terbuka mengkritik kesalahan moral dan doktrin paus Francis.
3. Paus Francis adalah iblis baru
Tidak ada keraguan bahwa kalimat sebelumnya mengejutkan, tetapi kita harus mengesampingkan emosi dan menganalisis kesalahan Francis secara ilmiah untuk memahami bahwa kalimat ini benar adanya. Sebelum analisa ini, marilah kita menyimak dua pesan Bunda Maria dari Anguera yang tentunya akan sangat membantu bagi mereka yang belum mengetahuinya: “Umat manusia akan terkejut dengan penampilan seseorang yang kelihatannya baik, dan dia akan merayu banyak orang dengan berbagai penipuannya, karena perbuatannya berasal dari iblis. Banyak orang akan melihat dalam dirinya: dia adalah seorang penyelamat dan dia akan berhasil mengumpulkan banyak orang di sekelilingnya” (2.822, 10 April 2007); “Berdoalah bagi Gereja. Banyak orang yang telah dikuduskan (para religius) akan dicemarkan. Mereka akan mengingkari dogma-dogma dan berpaling dari kebenaran. Akan muncul seseorang yang kelihatannya penuh kebajikan, padahal sesungguhnya dia adalah utusan setan. Dia akan menipu banyak orang dengan berbagai ajarannya, namun dia akan menemukan penghalang besar di dalam kekuatan dan kesetiaan orang-orang yang berdevosi kepadaku dan orang-orang pilihanku.” (3.202, 18 Agustus 2009).
Untuk lebih memahami mengapa beberapa analis menerapkan kedua pesan ini kepada paus Francis, maka kita perlu membaca pesan-pesan lain yang disampaikan minggu lalu di bagian keempat surat terbuka ini, karena semua pesan tersebut merupakan satu kesatuan. Mungkinkah setan sendiri, “si pembohong dan bapa segala kebohongan” [9], yang mengilhami Francis untuk melakukan kesalahan moral dan doktrin yang menyerang keluarga dan pernikahan? Hal ini bukan tidak mungkin, karena kita mengingat kata-kata Suster Lucia dari Fatima kepada Kardinal Carlo Caffarra: “…pertempuran terakhir antara Tuhan dan kerajaan Setan adalah perebutan keluarga dan pernikahan” [10]. Jika hal di atas hanyalah hipotesis, maka yang berikut ini sudah pasti: Francis saat ini sedang memainkan peran iblis dengan kesalahannya yang menyerang pernikahan, keluarga, dan Sakramen-sakramen. Memang benar, seperti yang dikatakan St. Katarina dari Siena, “…iblis berupaya menjauhkan kita dari kebenaran.” [11]. Inilah yang dia lakukan terhadap Adam dan Hawa di Eden: menjauhkan mereka dari pemenuhan kehendak Tuhan. Hal serupa juga dilakukan paus Francis saat ini terhadap umat Kristiani sejak tahun 2016, dengan mempromosikan berbagai kesalahan moral dan doktrinnya.
Bukankah bertentangan dengan Tuhan [12] jika mengatakan kepada umat Kristiani bahwa “komitmen untuk hidup berpantang [kesucian]” adalah sebuah “pilihan” (5 September 2016), dan dengan demikian mengurangi kekuatan Perintah Keenam dan Kesembilan? Bukankah kejam jika bertentangan dengan Tuhan [13] dengan mengatakan kepada umat Kristiani bahwa seorang wanita subur yang melakukan hubungan seksual dapat dan boleh menjalani histerektomi (pengangkatan rahim) ketika kondisi rahim tidak menimbulkan bahaya saat ini atau di masa depan bagi kesehatannya dan ketika ahli medis menyatakan bahwa semua anaknya akan meninggal sebelum lahir (10 Desember 2018), sehingga mempromosikan tindakan anti-natalis pertama yang dilakukan Gereja Katolik? Bukankah jahat jika melawan dengan Tuhan [14] dengan mengatakan kepada umat Kristiani bahwa “seseorang tidak dilahirkan sebagai orang suci, tetapi ia menjadi orang suci, dan ini juga berlaku” bagi “Bunda Maria” (21 Desember 2018), sehingga Francis menolak kesucian asli sejak sebelum dilahirkan (Yang Dikandung Tanpa Noda) dari Perawan Maria yang Terberkati? Bukankah jahat jika menentang Tuhan [15] dengan mengatakan kepada semua orang bahwa “pluralisme dan keragaman agama… adalah kehendak Tuhan yang bijaksana” (4 Februari 2019), sehingga menghubungkan kehendak positif Tuhan dengan adanya agama-agama yang melakukan kejahatan atau dosa seperti penyembahan berhala, pengorbanan manusia, dan prostitusi? Bukankah kejam jika menentang Tuhan [16] dengan mengatakan kepada umat manusia bahwa “yang harus kita lakukan adalah hukum hidup berdampingan secara sipil” bagi relasi homoseks (21 Oktober 2020), sehingga bertentangan dengan St. Yohanes Paulus II dan Paus Benediktus XVI yang mengajarkan bahwa semua orang Kristen harus menunjukkan “penentangan pribadi mereka yang mutlak” terhadap hukum semacam ini, jika tidak, mereka melakukan tindakan yang “sangat tidak bermoral” [17]? Bukankah kejam jika menentang Tuhan [18] dengan mengatakan kepada umat Kristiani bahwa semua politisi Katolik yang pro-aborsi di depan umum dapat menerima Ekaristi Kudus tanpa perlu menolak komitmen mereka terhadap aborsi (15 September 2021), sehingga bertentangan dengan Tradisi Kristen dan Kitab Hukum Kanonik, yang dengan jelas melarang praktik semacam itu? [19] Bukankah kejam jika menentang Tuhan [20] dengan cara meminta pastor melakukan “pemberkatan bagi pasangan dalam situasi tidak teratur dan bagi pasangan sesama jenis” (18 Desember 2023), sehingga mencemarkan pemberkatan Kristiani dengan menyebut Nama Kudus Tuhan atas “pasangan” yang dasarnya adalah perzinahan, percabulan, atau sodomi dan homosex?
Akhirnya, penolakan paus Francis yang keras kepala untuk melakukan perbaikan telah mengharuskan kita untuk mengingat kata-kata para kudus berikut ini:
Santo Agustinus dari Hippo: “…berdosa adalah hal yang manusiawi, namun tetap berada dalam dosa dan kesalahan karena permusuhan, adalah hal yang jahat.”
St Bede Venerabilis: “…berdosa adalah hal yang manusiawi, tetapi tekun melakukannya adalah sebuah kejahatan.”
Santo Petrus Damianus: “…berdosa adalah jelas merupakan hal yang manusiawi, tetapi membela dosa adalah benar-benar jahat.”
St. Bernard dari Clairvaux: “…bertekun dalam kejahatan bukanlah hal yang manusiawi, melainkan jahat.”
St Catherine dari Siena: “…berdosa adalah hal yang manusiawi, tetapi bertekun di dalam dosa adalah hal yang jahat.”
Kini tidak diragukan lagi bahwa, dari berbagai pernyataan berani yang dibuat oleh orang-orang kudus di atas, memang benar adanya: Paus Francis saat ini memainkan peran yang sama seperti Yudas, Martin Luther, dan iblis. Minggu depan kita akan melihat, di bagian terakhir surat Prapaskah yang panjang ini, alasan mengapa Francis mungkin adalah anggota dari kelompok Freemason gerejawi atau dia dipengaruhi oleh orang-orang gerejawi yang menjadi anggota Freemason.
Saudara Anda dari Afrika, pastor Janvier Gbénou
Pen name: Fr. Jesusmary Missigbètò; fatherjmm@gmail.com
Facebook, YouTube, Twitter, Truth, Threads, Instagram, TikTok, SoundCloud: @fatherjesusmary
-------------------------------------
Silakan membaca artikel lainnya di sini:
Tanda-Tanda Sebelum Peringatan Besar