Showing posts with label Dictator Pope. Show all posts
Showing posts with label Dictator Pope. Show all posts

Wednesday, September 11, 2019

PAUS DIKTATOR - 6







Anda dapat membodohi semua orang dalam beberapa waktu,
atau membodohi beberapa orang sepanjang waktu,
tetapi Anda tidak dapat membodohi semua orang sepanjang waktu.

ABRAHAM LINCOLN


  

PAUS DIKTATOR

Marcantonio Colonna





6. KREMLIN SANTA MARTA

Hukuman Dan Hadiah

Mengomentari pada awal 2017 tentang rezim yang dijalankan paus Francis di Vatikan, salah satu jurnalis Katolik Inggris paling terkenal, Damian Thompson, telah menulis: “Tidak sulit untuk mendeteksi adanya citarasa Amerika Latin terhadap setiap pembuatan kesepakatan dan penyelesaian skor yang telah nampak semakin mencolok selama setahun terakhir." Kenyataannya aspek itu telah menunjukkan dirinya di tanahnya sendiri sejak pada tahap awal. Sebelum pemilihannya, Kardinal Bergoglio telah berkonflik dengan kelompok agama, Institute of the Incarnate Word, yang didirikan di Argentina tiga puluh tahun sebelumnya, dan telah terbukti sangat sukses, berhasil menarik banyak panggilan. Namun ia ditentang oleh elemen-elemen dalam hirarki nasional yang merasa tertantang oleh gerakan karakter konservatif, tetapi Benediktus XVI telah menolaknya, menolak kasus uskup Argentina pada tahun 2009. Dalam beberapa hari setelah pemilihannya, Paus Francis membuka kembali dan segera mengirim pendiri dari Institut itu, Pastor Buela, ke pengasingan di Spanyol.

Dua anggota hierarki Gereja Argentina juga merasakan angin baru yang bertiup. Pada 2014 Mgr. José Luis Mollaghan diberhentikan sebagai Uskup Agung Rosario dengan alasan bahwa dia berselisih dengan klerusnya, dan pada tahun berikutnya Mgr. Oscar Sarlinga dicopot sebagai uskup Zárate yang diduga karena kesulitan ekonomi di keuskupannya. Kesamaan yang mereka miliki adalah bahwa pada tahun 2011, ketika ulang tahun ketujuh puluh Kardinal Bergoglio mendekat, mereka telah menulis surat kepada Roma yang mendesak agar usulan pensiun bagi Francis segera diterima.

Sosok lain yang menerima ‘seruan’ singkat adalah seorang kelahiran Argentina, Rogelio Livieres, Uskup Ciudad del Este di Paraguay. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, dia telah mendirikan seminari yang memperoleh kesuksesan besar, menarik banyak siswa dari seluruh Amerika Selatan, termasuk beberapa dari seminari Bergoglio sendiri di Buenos Aires. Selama masa Livieres menjabat, keuskupannya menunjukkan peningkatan spektakuler dalam setiap aspek kegiatan keagamaan; jumlah imam diosesan saja meningkat dari 14 menjadi 83. Memang benar bahwa Livieres melakukan kesalahan serius: dia mempromosikan seorang imam asing, tertipu oleh apa yang oleh atasan sebelumnya digambarkan sebagai "kepribadiannya yang brilian dan karismatik", dan mengabaikan fakta bahwa pria itu telah dituduh dalam karier seminaris sebelumnya, karena menganiaya para seminaris secara sexual. Tetapi pada kenyataannya kesalahan penilaian ini bukanlah sebuah tuduhan yang dibuat oleh paus Francis terhadap Uskup Livieres; apa yang dia duga adalah bahwa Livieres bersengketa dengan sisa hierarki Paraguay - bagaimana dia tidak bersengketa, mengingat apa yang dilakukan mereka itu (hierarki)? Pada bulan September 2014 Uskup Livieres diberhentikan; seminarinya bubar dan karyanya yang luar biasa di Amerika Selatan hancur.

Merenungkan tindakan-tindakan ini, orang mungkin mengakui bahwa beberapa paus - yang sangat langka - telah naik takhta dengan ketidaksabaran terhadap masalah-masalah gerejawi tertentu yang mereka hadapi dalam masa pemerintahan mereka dan mereka menanganinya dengan singkat. Tetapi seorang ahli minutia kepausan harus memeras otaknya untuk menemukan apa pun yang cukup cocok dengan kasus-kasus yang diuraikan di atas: perombakan kurial yang diperintahkan oleh Paul VI (1963 - 78), dorongan anti-Modernis dari Pius X (1903-14 )? Mereka hampir tidak cocok dengan pola pembalasan pribadi yang sama. Faktanya adalah bahwa tidak ada paus di zaman modern yang naik takhta dalam hubungan buruk dengan begitu banyak orang seperti yang dilakukan Jorge Bergoglio; dan para pendahulunya pada dasarnya cukup berpikiran bijak untuk menghindari tindakan yang mungkin tampak seperti balas dendam yang tidak layak.

Yang sama-sama harum dari pekerjaan Peronis untuk anak laki-laki adalah hadiah yang diberikan kepada dua orang yang telah dipekerjakan Cardinal Bergoglio sebagai agennya di Roma ketika dia berada di Buenos Aires. Mgr. Guillermo Karcher bermandikan martabatnya sebagai cerimoniere kepausan, dan untuk sesaat ‘membuang berat badannya’ di Vatikan, tetapi sekarang tampaknya dia telah kehilangan dukungan paus Francis yang selalu berubah-ubah sikapnya. Monsignor Fabián Pedacchio pada awalnya ditunjuk sebagai sekretaris kepausan informal, dan sudah tahu akan kesulitannya dalam mempengaruhi pemegang resmi posisi itu (Mgr. Xuereb, dari Malta) sebelum dia menggantikannya secara resmi dalam jabatan pada tahun 2014.


Rezim Baru Casa Santa Marta

Ketika Paus Fransiskus terpilih, tidak ada tindakannya yang lebih dipuji, yang menunjukkan semangatnya yang segar dan demokratis, selain keputusannya untuk menghindari apartemen kepausan lama di Istana Apostolik dan pindah ke tempat tinggal di Casa Santa Marta, rumah tamu yang dirawat dengan baik, rumah bagi para kardinal yang berkunjung, tempat dia tinggal sejak saat itu. Implikasi lain dari pilihan ini agak terlewatkan oleh publik, misalnya fakta bahwa untuk merubah Casa Santa Marta untuk tujuan barunya, dikatakan menelan biaya dua juta euro - sementara apartemen kepausan lama, tentu saja, masih harus dipertahankan. Namun ada baiknya menilai lebih banyak aspek psikologis dari langkah tersebut. Omar Bello mencatat bahwa Paus Francis memandang apartemen tua itu, dengan kamar-kamarnya yang megah, tempat para paus makan makanan mereka secara tradisional dalam kesunyian, dan segera menyadari bahwa itu mengisolasi paus dari Kuria. Di Santa Marta, paus Francis memiliki para kardinal yang dekat dengannya, dan dia makan di ruang makan umum. Seorang jurnalis telah menunjukkan bahwa ini berfungsi sebagai "metode kontrol, untuk mendapat informasi saat makan siang, tentang kejadian di berbagai kamp di Vatikan." Cengkeraman erat yang dilakukan Kardinal Bergoglio pada kuria archiepiscopal di Buenos Aires, dengan demikian, dipindahkan ke posisi barunya di Vatikan.

Bab 3 telah sedikit menggambarkan rezim yang dikendalikan paus Francis dari posisinya saat ini: ini adalah salah satu harapan reformasi yang telah hancur dan telah digantikan oleh ketidakamanan yang kacau. The udienza di tabella, yang memastikan para pemimpin dicasteri untuk melakukan audiensi dua kali sebulan, telah dihapuskan, dan akses pada kehadiran kepausan diserahkan kepada kemauan paus Francis secara sepihak. Para uskup yang bekerja di Vatikan akan memberi tahu Anda bahwa pertemuan-pertemuan akrab dan penuh persaudaraan sebelumnya, yang biasa digunakan para paus untuk menemui para pembantunya, saat ini telah menghilang; beberapa dari mereka hampir tidak pernah berbicara dengan Francis sejak dia terpilih. Tidak ada yang bisa lebih “kolegial” daripada cara pahlawan lobi St. Gallen ini memperlakukan bawahannya. Kontrol Sekretariat Negara atas Kuria lainnya menjadi lebih absolut daripada sebelumnya. Dan setiap orang, mulai dari kardinal hingga monsignori, sengaja dibuat dalam keadaan gugup secara permanen oleh ucapan-ucapan yang mengomel, oleh kritikan secara terbuka dan kasar, oleh pemecatan serta pembongkaran dan perusakan rahasia yang merupakan ciri khas rezim baru sekarang.

Kardinal Pietro Parolin, yang ditunjuk sebagai Sekretaris Negara pada Oktober 2013, pada mulanya adalah favorit kurial, dan dimanjakan oleh Francis dalam tekadnya untuk melestarikan dan bahkan memperpanjang hak prerogatif jabatannya. Tapi itu bukan gaya Francis untuk membuat siapa pun merasa aman. Untuk beberapa waktu sekarang Paus telah menggunakan Sostituto Parolin, Uskup Agung Angelo Becciu, sebagai alat yang lebih siap, karena dia memiliki lebih banyak keuntungan dari tuannya. Becciu adalah orang yang melakukan pekerjaan-pekerjaan kotor Paus, demi kepentingan paus, dan dia melakukannya secara efisien. Dialah yang menelepon PricewaterhouseCoopers pada 2015 untuk memberi tahu mereka bahwa audit Vatikan tidak boleh menyentuh Sekretariat Negara; dia adalah orang yang dikedepankan untuk menghadapi para Ksatria Malta dalam pengambilalihan secara kasar dari Francis atas Ordo itu; dan dia adalah tokoh kunci dalam pemberhentian kejam terhadap Auditor General pada Juni 2017. Dikenal secara luas di Vatikan bahwa Becciu sekarang memiliki kekuatan lebih nyata daripada Parolin, dan dia mungkin akan segera melangkah menggantikannya. Secara keseluruhan, apa yang kita miliki di sini adalah rezim yang murni politis, dan tidak bersifat spritual sama sekali, seperti yang terlihat di bawah Bertone dan Sodano.

Dalam rezim ini, para uskup yang menikmati dukngan paus adalah para penjilat, seperti Cardinal Coccopalmerio, yang menggunakan pengaruhnya untuk melindungi pastor Inzoli, anak buahnya, atas pelecehan anak, dan yang menjadi sekretarisnya adalah Mgr. Luigi Capozzi, sampai saatnya dia digerebek dan ditangkap polisi di sebuah pesta narkoba dan homosex di apartment Coccopalmerio. Atau seorang pedagang kendaraan yang tidak direformasi seperti Cardinal Calcagno, yang masa lalunya yang suram sebagai uskup Savona tidak mendiskualifikasi dia untuk bertanggung jawab atas kekayaan Gereja; atau Kardinal Baldisseri, manipulator terampil dari seruan "belas kasihan" dalam acara Sinode tentang Keluarga.

Di sisi lain, para kardinal yang merasakan ‘cuaca beku’ adalah mereka yang dipercayai oleh Paus Benediktus: Kardinal Burke, Müller dan Sarah, yang kepadanya seseorang dapat menambahkan Cardinal Ouellet, yang kini telah dikesampingkan karena dia memperlihatkan dirinya terlalu bersikap independent. Tanpa melihat ideologi, mereka ini adalah orang-orang yang tulus dalam kata dan perbuatan, dan tak ada kata yang terucap yang merendahkan karakter moral mereka. Orang-orang di sekitar paus Francis biasanya digambarkan oleh komentator sebagai "pembaharu", dan orang-orang yang dipinggirkan sebagai "anti-reformasi." Ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana kita menilai reformasi ini yang mempekerjakan orang-orang  yang licik serta mengusir orang-orang yang terbuka dan tulus?


Jubah Imam Dan Belati Di Curia

Seorang wartawan Inggris, Damian Thompson, mengutip seorang imam yang bekerja di Kuria, dan yang memulai tugasnya sebagai pendukung kuat paus Francis, dengan kata-kata berikut: “Bergoglio membagi Gereja menjadi orang-orang yang berada bersamanya dan orang-orang yang menentangnya - dan jika dia berpendapat bahwa Anda berada di kemah terakhir (yang menentangnya) maka dia akan mengejar Anda.” Ini adalah pengalaman tiga orang imam di Kongregasi untuk Ajaran Iman. Pada musim panas 2016 mereka dipanggil untuk menghadap Paus secara pribadi, dituduh membuat pernyataan yang tidak menyenangkan tentang dia, dan memecat Kardinal Müller yang berusaha untuk membela mereka, dan dalam sebuah audiensi yang diikuti Kardinal Müller, setelah beberapa bulan berusaha, dia memprotes Francis: "Orang-orang ini adalah orang yang terbaik dalam dicastery saya ... apa yang mereka lakukan?" demikian tanya Müller. Tetapi paus menolak protesnya dan menutup audiensi itu dengan kata-kata: "Saya adalah paus, saya tidak perlu memberikan alasan untuk setiap keputusan saya. Saya telah memutuskan bahwa mereka harus pergi dan mereka harus pergi."

Kardinal Müller sendiri, sebagai pengawas ex officio dari sikap ortodoksi Katolik, menerima beban kebencian dari paus karena penentangannya terhadap perubahan terhadap ajaran Gereja tentang pernikahan. Setelah beberapa kali menerima tindakan penghinaan selama empat tahun, di mana Cardinal Müller secara efektif digantikan dengan Kardinal Schönborn sebagai otoritas doktrinal resmi, kemudian Kardinal Müller diminta untuk pensiun pada Juli 2017, pada akhir masa jabatan lima tahunnya. Kegagalan untuk memperbarui jabatannya adalah kontras dengan praktik yang normal, karena dia ‘dipaksa’ pensiun pada usia 69 (sementara itu Kardinal Coccopalmiero, misalnya, terus menikmati perlindungan paus hingga umur 79 tahun). Juga patut dicatat bahwa pengganti Coccopalmiero di Kongregasi, Uskup Agung Ladaria, telah pernah dituduh melindungi seorang imam yang melakukan pencabulan terhadap anak laki-laki.

Yang lebih drastis lagi, dalam beberapa hal, adalah perlakukan yang diberikan kepada Kardinal Robert Sarah, Prefek Kongregasi untuk Ibadah Ilahi. Paus Francis mengangkatnya pada jabatan itu pada November 2014 dan menginstruksikan dia pada saat itu untuk melanjutkan kebijaksanaan garis liturgi yang dibuat oleh Paus Benediktus XVI. Kejatuhannya terjadi ketika dia menyatakan pandangannya tentang cara modern dalam mempersembahkan Misa. Pada bulan Juli 2016 Kardinal Sarah, berbicara kepada sebuah konferensi di London, mendesak pemulihan praktik tradisional perayaan misa ad orientem, yaitu dengan imam menghadap ke aras timur liturgis (imam menghadap tabernakel).

Bertentangan dengan apa yang biasa dilakukan, tidak ada perintah yang pernah diberikan bahwa imam harus mengadakan Misa menghadap kepada umat; itu adalah praktik yang diperkenalkan pada tahun sembilan belas enam puluhan, ketika diyakini bahwa itu adalah cara yang digunakan oleh Gereja awali, sebuah gagasan yang sekarang dianggap salah. Hal ini telah dikemukakan oleh Kardinal Ratzinger sejak tahun 1993, ketika dia menjadi Prefek Kongregasi untuk Iman, dan dia sangat akrab dengan tulisan-tulisan liturgi pada umumnya. Mengajari Gereja tentang keaslian liturgi seharusnya menjadi salah satu fungsi Kongregasi untuk Ibadah Ilahi; tetapi kata-kata Kardinal Sarah diterima dengan protes dari mereka yang menganggap bahwa praktik yang sudah dijalankan selama lima puluh tahun terakhir tidak perlu dipertanyakan lagi.

Apa yang terjadi selanjutnya adalah, pertama, contoh terjadinya tindakan ‘penusukan dari belakang’ yang telah menjadi hal yang biasa di Kuria saat ini. Surat-surat protes masuk ke Roma ketika Kardinal Sarah sedang pergi dari Roma untuk musim panas. Tanpa memberi Kard. Sarah kesempatan untuk berurusan dengan surat-surat itu, Sekretaris Kongregasi, Uskup Agung Arthur Roche, membawa surat-surat itu kepada paus Francis, yang tidak dikenal karena keahliannya dalam masalah-masalah liturgi, dan dia bertindak dari pengetahuan hanya satu sisi dari pertanyaan itu, sisi orang yang bodoh. Reaksinya mungkin adalah yang terdekat dengan pembersihan Stalinis yang bisa kita lihat di Vatikan.

Pada bulan Oktober, hampir semua anggota Kongregasi untuk Ibadat Ilahi, yang banyak di antaranya telah ditunjuk oleh Benediktus XVI dan mengikuti garis kebijaksanaan liturginya diperintahkan keluar dalam sebah pemecatan massal yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan 27 anggota baru ditunjuk untuk menggantikan tempat mereka, sehingga meninggalkan Kardinal Sarah sepenuhnya terisolasi. Dia terpaksa membatalkan kehadirannya di sebuah konferensi liturgi di mana dia akan berbicara tentang “Makna Motu Proprio Summorum Pontificum untuk pembaruan liturgi di Gereja Latin.”

Tindakan terhadap Kardinal Sarah ini merupakan pola dari paus Francis yang memberikan satu set jaminan kepada pejabat yang ditunjuknya, sebelum tampil dengan sebah wajah yang jujur; dan juga tentang penyerangannya terhadap orang-orang yang dia anggap sebagai musuh, bukan dengan memberhentikan mereka, tetapi dengan melemahkan mereka dan membuat mereka menjadi tidak berdaya. Sedangkan untuk Uskup Agung Roche, ganjarannya atas intervensinya adalah bahwa dia sekarang menjadi orang yang berkuasa di Kongregasi untuk Ibadah Ilahi.

Kata semboyan dari Mafia St. Gallen adalah liberalisasi Gereja, dan dengan kandidat mereka yang berkuasa sekarang, kita bisa melihat apa artinya ini. Sikap ‘horor yang saleh’ pada siapa pun yang menunjukkan perbedaan pendapat dari garis kebijaksanaan kepausan, adalah sikap ortodoksi yang berkuasa. Ketika keempat kardinal Brandmüller, Burke, Caffarra dan Meisner menandatangani surat yang meminta klarifikasi tentang ambiguitas di dalam Amoris Laetitia, Dekan Rota Suci, Uskup Agung Vito Pinto, membuat pernyataan: “Apa yang telah dilakukan para kardinal ini adalah skandal yang sangat serius yang dapat menyebabkan Bapa Suci merampas topi kardinal mereka…. Orang tidak boleh meragukan tindakan Roh Kudus.” Sementara itu, Kardinal Blase Cupich dari Chicago (yang menerima topi merah kardinal pada bulan Oktober 2016, sebagai perbandingan terhadap beberapa uskup Amerika lainnya yang lebih layak untuk menerima topi merah daripada dia) menyatakan bahwa para kardinal dubia itu “membutuhkan pertobatan.”

Dalam bidang yang berbeda, Uskup Agung Rino Fisichella, Presiden Dewan Evangelisasi Baru, membuka Tahun Pengampunan dengan menyarankan bahwa mereka yang mengkritik paus Francis harus menanggung ekskomunikasi, seperti yang ditetapkan oleh hukum agama bagi mereka yang memberikan kekerasan fisik kepada paus, dengan alasan bahwa “kata-kata adalah  juga sebagai batu dan karang.” Itulah cara bekerja di dalam Gerejanya paus Francis, dan pelajaran ini hendaknya dimengerti dengan baik.


Pemikiran Polisi-Liberalisme

Mengikuti garis kepausan yang patuh tidak terbatas pada beberapa tindakan di Kuria, telah menjadi kebijakan di pos-pos Gereja yang jauh. Seseorang dapat mengingat nasib beberapa dari 45 penandatangan surat yang dialamatkan kepada para kardinal dan patriark, pada 29 Juni 2016, yang meminta mereka untuk mengajukan petisi kepada paus Francis untuk mengoreksi daftar proposisi yang dipertanyakan, yang disiratkan oleh nasihat Amoris Laetitia. Salah satu penandatangan itu dengan segera diberhentikan dari posisinya sebagai direktur urusan akademik di universitas kepausan, setelah mendapat tekanan dari uskup agungnya. Yang lain adalah seorang Dominika, dilarang oleh pemimpin agamanya untuk berbicara di depan umum tentang anjuran Amoris Laetitia; contoh yang ketiga, diperintahkan untuk mencabut tanda tangannya, dan seorang kardinal menekan orang yang keempat untuk menarik namanya dari daftar penandatangan.

Dapat ditunjukkan bahwa dubia kardinal dan surat yang baru saja disebutkan itu, berbentuk permintaan klarifikasi, bukan penentangan; keduanya mungkin disamakan dengan penolakan terbuka terhadap keputusan kepausan yang telah dibuat tanpa balasan oleh para teolog "progresif" di zaman modern ini, misalnya soal penahbisan wanita. Tetapi di bawah paus Francis, meminta penjelasan saja sudah merupakan pelanggaran. Seseorang dapat menyadari hukumannya sendiri dalam Evangelii Gaudium (2013) dari para penulis yang “mendiskreditkan mereka yang mengajukan pertanyaan, terus-menerus menunjukkan kesalahan orang lain dan terobsesi dengan penampilan.” Ada orang yang memiliki bakat untuk mengkritik kesalahan mereka sendiri.

Seperti yang dilaporkan Sandro Magister pada November 2016, pada awal tahun akademik ini, klub penggemar mengirim email kepada staf pengajar ‘Institut Kepausan John Paul II untuk Studi tentang Pernikahan dan Keluarga’ dengan ketentuan sebagai berikut:

“Seperti yang telah terjadi di lembaga pastoral, akademis dan budaya Katolik lainnya, Observatorium kami untuk Implementasi Reformasi Gereja Paus Francis - sebuah inisiatif umat awam Katolik dalam mendukung kepausan Paus Francis - telah dimulai pada tahun akademik saat ini, melakukan pemantauan atas isi publikasi fakultas dan ajaran-ajaran yang disampaikan di Institut Kepausan John Paul II Kepausan untuk Pernikahan dan Keluarga untuk memperjelas adaptasi atau kemungkinan ketidaksepakatan mengenai ucapan yang dibuat oleh Paus Francis pada kesempatan pembukaan tahun akademik baru dari Institut Anda (Sala Clementina, 28 Oktober 2016), di mana Anda dipanggil 'untuk mendukung pembukaan kecerdasan iman yang diperlukan untuk melayani perhatian pastoral dari penerus Peter.'

“Secara khusus, isi dari karya-karya yang diterbitkan, dan kelas-kelas yang diberikan akan dipertimbangkan sehubungan dengan apa yang diungkapkan dalam nasihat apostolik 'Amoris laetitia', sesuai dengan citra Gereja yaitu, bukan dari pemikiran Gereja dalam citra dan keserupaan dengan manusia, yang 'mengarahkan penelitian dan pengajaran tidak lagi ke arah 'cita-cita pernikahan yang terlalu abstrak, yang hampir dibangun secara artifisial, jauh dari situasi konkret dalam masyarakat dan dari kemungkinan keluarga yang efektif sebagaimana adanya' (pidato paus Francis, disebutkan sebelumnya, 28 Oktober 2016).

“Untuk tujuan ini, kami akan menggunakan bacaan analitis dan kritis dari berbagai studi yang diterbitkan oleh fakultas, pidato-pidato kelulusan dan tesis doktor yang disetujui oleh Institut, silabus kelas, bibliografi mereka, serta wawancara dengan siswa yang dibuat setelah kelas-kelas yang diikuti, di lapangan di depan Universitas Lateran.

“Yakinlah bahwa kami sedang melakukan tugas yang bermanfaat untuk meningkatkan layanan yang Anda lakukan dengan dedikasi kepada Gereja dan kepada Bapa Suci, dan kami akan terus memberi Anda informasi terkini tentang hasil penelitian pengamatan kami.”

Arti penting dari "penelitian observasional" ini adalah, tentu saja, bahwa Institut John Paul II adalah badan akademis yang dibentuk untuk melestarikan pengajaran Paus tentang keluarga, di mana paus yang berkuasa saat ini tidak merasakan antusiasme sama sekali.

Seperti yang ditunjukkan oleh Sandro Magister, ada preseden bagi sekelompok orang fanatik kepausan di dunia Katolik: itu adalah Sodalitium Pianum yang dibentuk pada masa pemerintahan Pius X (1903-14) untuk menegakkan kecaman paus terhadap Modernisme. Hal itu dilakukan dengan memantau ceramah para profesor seminari dan melaporkan kepada pihak berwenang ucapan-ucapan yang tampaknya tidak mendukung ortodoksi, dan sejak itu telah dicerca oleh kaum liberal sebagai contoh pemerintahan intelektual teror yang diperkenalkan oleh Pius X. Secara umum, orang mungkin menganggap hal itu memalukan, bahwa zaman kita seharusnya menghasilkan gema dari apa yang sampai sekarang dianggap sebagai kepausan paling ketat di zaman modern; tetapi ironisnya melangkah lebih jauh. Tidak diragukan lagi bahwa sebuah rezim yang menuntut ortodoksi yang ketat harus didukung, betapapun disayangkan, oleh langkah-langkah yang disukai negara-polisi; tetapi "Observatory" dari Big Brother modern ini bermunculan pada masa pemerintahan paus Francis yang liberal dan progresif, yang dipilih oleh pikiran terbuka Mafia St. Gallen guna menyapu bersih otoriterisme Benediktus XVI dan Yohanes Paulus II.


Kediktatoran Belas Kasih

Para jurnalis yang meliput segala urusan Roma menjadi semakin sadar bahwa "di bawah Paus Francis ini, Vatikan secara sistematis membungkam, menghilangkan, dan merubah segala kritik terhadap pandangan Paus", dan berita-berita mengerikan telah mengalir keluar tentang cara-cara yang digunakan oleh penguasa. Gianluigi Nuzzi melaporkan bahwa pada Maret 2015 ditemukan banyak gangguan di mobil-mobil, kantor-kantor dan rumah-rumah pribadi klerus Vatikan, dan dalam keanehan yang tidak dapat dijelaskan, Gendarmeria (dinas keamanan internal Vatikan) tidak juga dipanggil untuk menyelidiki hal itu. Klerus dan orang awam yang bekerja di Kuria menemukan tanda-tanda aneh dalam panggilan telepon mereka, di mana, setelah panggilan terputus, mereka mendengar audio saat-saat terakhir dari percakapan mereka diputar ulang kepada mereka - sebuah tanda yang dikenal dari ketukan telepon. Mereka yang berada di Kuria menerima begitu saja kenyataan bahwa panggilan telepon dan email mereka sedang dimata-matai secara sistematis.

Mengenai paus Francis sendiri, Damian Thompson melaporkan bahwa ledakan emosinya, kekasarannya terhadap bawahan dan bahasanya yang vulgar menjadi terkenal di seluruh Vatikan. Thompson mengutip sebuah sumber yang layak dipercaya: “Francis tidak harus mencalonkan diri untuk dipilih kembali oleh Konklaf. Percayalah pada saya, dan beruntung baginya, karena setelah kesengsaraan banyak orang dan omong kosong beberapa tahun terakhir ini, dia akan dieliminasi dalam pemungutan suara pertama.” Ini adalah kebenaran yang sedikit orang saja di Kuria yang meragukannya; mereka menjadi melek oleh fakta bahwa pemilihan "The Great Reformer" pada tahun 2013 memiliki efek yang  menempatkan mereka di bawah kediktatoran Argentina gaya lama, dengan semua metodenya. Pada bulan-bulan pertama, terinspirasi oleh kejenakaan hubungan masyarakat Francis, nama panggilan untuk guru mereka di kalangan klerus Vatikan adalah "Toto the Clown." Mereka sekarang menyadari bahwa mereka telah mengabaikan jati diri Bergoglio, dan nama panggilannya saat ini adalah "Ming", meniru nama kaisar kejam dalam komik Flash Gordon. Seorang kardinal mengatakan, “Di Vatikan, semua orang merasa takut pada paus Francis; tidak ada yang menghormatinya, dari Kardinal Parolin hingga ke jajaran bawah."

Ketakutan adalah warna dominan di dalam Kuria di bawah pemerintahan Francis, bersama dengan adanya rasa saling curiga. Bukan hanya para informan penjilat yang melaporkan segala pembicaraan yang tidak terkontrol - seperti yang dialami oleh tiga orang bawahan Kardinal Müller. Dalam sebuah organisasi di mana para koruptor moral dibiarkan berada di tempat, dan bahkan dipromosikan oleh paus Francis, maka pemerasan halus adalah merupakan perintah sehari-hari. Seorang pastor curia mengatakan, “Mereka melaporkan bukan apa yang Anda ketahui, tetapi siapa saja yang Anda kenal. Di Vatikan, pepatah ‘apa yang kau tahu tentang siapa yang kau kenal,’ adalah tidak berlaku dan dianggap tidak benar.”

Keadaan seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya di Kuria Roma, tetapi kita dapat membaca tulisan Austen Ivereigh mengenai biografi paus Francis soal usaha untuk menemukan waktu dan tempat dengan sebuah ‘cincin yang biasa.’ Hal ini menggambarkan rezim Perón di masa muda Bergoglio, dimana dia menceritakan bagaimana setelah tahun 1952 “Perón menjadi bersikap defensif dan paranoid, turun kepada kegilaan otoriter yang biasanya menimpa pemerintah populis-nasionalis di Amerika Latin ... pejabat negara dituntut menjadi anggota partai, pertikaian dibingkai sebagai perbedaan pendapat, dan lawan ... didefinisikan sebagai musuh rakyat." Penulis sendiri belum memperhatikan korelasinya, tetapi beberapa elemen dapat ditemukan bahkan dalam narasinya. Ketika Austen Ivereigh memelototi kepausan Francis, dia menyajikan sketsa "reformasi" Vatikannya yang dapat disebut sebagai sebuah ‘mahakarya pelintiran,’ terutama di tengah tanda-tanda propaganda yang muncul melalui pertanyaan ‘seberapa otokratis dan tidak populernya metode paus,’ dimana tanda-tanda itu  adalah:

“Francis telah pindah kepada lingkaran terdekat di sekelilingnya, dalam hal apa yang biasanya ditangani oleh lembaga-lembaga Vatikan, dan menghindari saluran-saluran lama yang sampai menimbulkan kemarahan yang besar. Popularitas Francis yang luar biasa di luar perbatasan Gereja sangat kontras dengan pandangannya di Vatikan, di mana ada banyak sekali omelan ....
Ini adalah paradoks Bergoglio: paus kolegial, yang dekat dengan rakyat, menggunakan otoritas kedaulatannya dengan cara-cara yang tampaknya bisa dibujuk orang. Dia adalah pemerintahan yang sangat personalistis, yang mem-bypass sistem, tergantung pada hubungan dekat, bekerja melalui orang, bukan berdasarkan dokumen, dan mempertahankan kontrol yang ketat ... Dalam banyak hal, Francis adalah paus yang paling tersentralisasi sejak Pius IX.”

Pius IX (1846-78) dan masa-masa Negara Kepausan memang layak diingat oleh sebuah fenomena yang tidak pernah terlihat selama beberapa generasi. Pada 4 Februari 2017, orang-orang Roma bangun untuk menemukan kota mereka terpampang dengan gambar-gambar yang mengejek Paus. Poster-poster ini menggambarkan Francis dalam salah satu suasana hatinya yang kurang riang, dan di bawahnya ada tulisan:

"Hei, Frankie, Anda telah merusak Kongregasi, menggeser para pastor, memenggal Ordo Malta dan para Fransiskan Yang Tak Bernoda, mengabaikan para Kardinal ... lalu di mana belas kasih yang Anda gembar-gemborkan itu?"

Ringkasan, yang tersusun dalam dialek Romanesco (Roman Cockney), secara sadar mengingatkan kita akan pasquinades (patung zaman dulu yang menggambarkan seorang tokoh yang sering menyusahkan rakyat) yang dulu sering muncul pada zaman the Temporal Power; dan seseorang harus kembali ke masa itu untuk menemukan kasus belakangan ini yang berisi sindiran politik terhadap seorang paus yang berkuasa yang diperlihatkan secara publik di Roma. Ini adalah salah satu bukti dan fakta bahwa popularitas Francis, dengan mengasumsikan dia memakai gaya wajah cemberut, telah merosot di Italia dan sekitarnya. Tanda lain adalah angka-angka yang semakin merosot dari peserta audiensi kepausan di Lapangan Santo Petrus, yang diadakan kurang lebih setiap minggu dan yang digunakan untuk menarik puluhan ribu umat beriman. Statistik resmi untuk rata-rata kehadiran di acara-acara ini sejak Francis menjadi Paus diberikan sebagai berikut:

Tahun 2013: 51,617 orang
Tahun 2014: 27,883 orang
Tahun 2015: 14,818 orang


Untuk tahun 2016 tidak ada angka yang tersedia, tetapi jumlahnya diperkirakan di bawah 10.000 orang, kurang dari seperlima dari pengunjung pada empat tahun lalu, dan pada zaman Benediktus XVI. Bagi mereka yang melihat pita yang menyusut di dalam barisan tiang Santo Petrus, pesannya cukup jelas: Paus Rakyat sedang ditinggalkan oleh rakyatnya. Kehadiran misa juga telah merosot tajam di Italia, dan tampaknya di seluruh dunia. Kepausan Francis, yang diharapkan untuk menghidupkan kembali Gereja, setelah empat tahun dalam keadaan merana, membuktikan kegagalan yang tak terhindarkan.


Paus Politik

Tampaknya paus Francis sendiri telah mulai menyadari ‘tempat berbahaya’ di mana filsafatnya "menciptakan kekacauan" membawa dirinya. Dia dilaporkan telah berkomentar sebelum Natal 2016: “Bukan tidak mungkin saya akan turun dalam sejarah sebagai orang yang memecah belah Gereja Katolik.” Pikiran itu tidak luput dari pengaruh orang-orang di sekitarnya, dan pada Maret 2017 surat kabar Inggris The Times menerbitkan sebuah artikel di bawah judul “Para kardinal ‘anti-reformasi’ menghendaki Paus berhenti.” Artikel itu mengutip laporan beberapa hari sebelumnya, yang ditulis oleh Antonio Socci: “Sebagian besar kardinal yang memilihnya kini merasa sangat khawatir, dan kuria ... yang mengatur pemilihannya dan telah menemaninya selama ini, tanpa pernah memisahkan diri darinya, sedang memanen kekacauan moral dan berusaha untuk membujuknya agar pensiun." Para kardinal “anti reformasi” ini (perhatikan ortodoksi media yang mendefinisikan orang-orang yang meragukan Francis) dikatakan berjumlah sekitar selusin, dan apa yang mendorong mereka adalah ketakutan akan perpecahan yang diciptakan oleh paus Francis. Ini juga merupakan pertanda bahwa pada bulan-bulan akhir 2016 sebuah studi teologis tentang kemungkinan menggulingkan seorang paus dilaporkan menciptakan kekhawatiran di Vatikan. Jika itu membuahkan hasil, itu mungkin satu-satunya cara di mana kepausan Francis terbukti benar-benar inovatif: Senjata makan tuan.

Mereka yang terkejut mendengar Francis digambarkan sebagai seorang diktator, tidak akan mempertanyakan fakta bahwa dia adalah paus yang berpikiran politis untuk naik takhta selama berabad-abad. Ini bukanlah pencemaran nama baik dari pihak musuh-musuhnya, tetapi ini diusulkan oleh seorang pengagum yang tidak memenuhi syarat, seperti penulis Austen Ivereigh. Kita perlu memahami bahwa kunci dari gaya ceroboh Francis - ketidakpedulian terhadap reformasi, tindakan tiranik, demam untuk mencari citra populer - adalah bahwa perhatian utamanya bukan pada pemerintahan Gereja. Ivereigh telah melacak secara rinci ambisi Francis untuk menjadikan dirinya pemimpin dunia dalam bidang politik; dia berangkat dengan visi bombastis tentang "dekadensi" atau kemerosotan moral peradaban Barat yang akan dieksploitasi oleh Bergoglio dengan gaya Amerika Latin untuk menegaskan kembali kehebatan dirinya, dan mimpinya adalah untuk menggalang benua menuju "la patria grande" (tanah air besar) untuk menantang dominasi imperialis Amerika Serikat. Tujuan ini berada dibalik pengangkatan Kardinal Parolin sebagai Sekretaris Negara Vatikan, yang telah berpengalaman menjadi nuncio kepausan yang sangat dipuji untuk Meksiko dan Venezuela, dan dia akan bekerja untuk mengikat segala benua bersama-sama di bawah perlindungan Takhta Suci. Hasil aktualnya telah dianalisis oleh seorang jurnalis Italia:

"Citra Francis, yang memiliki peluang untuk menjadikan dirinya sebagai 'pemimpin moral benua', tanpa payung Barack Obama akan dengan cepat memasuki krisis, meskipun ada upaya luar biasa dari Sekretaris Negara Parolin: di Kuba, dengan Trump, diplomasi Vatikan tersandung;
di Kolombia referendum perdamaian gagal dengan sangat buruk karena umat Protestan negara itu menyabotnya; di Venezuela semua pendukung politik sepakat bahwa upaya perdamaian Vatikan telah memperburuk, bukannya memperbaiki situasi; dan akhirnya di Brazil, setelah keberhasilan hari kaum muda sedunia, Rio de Janeiro memiliki walikota yang adalah uskup Protestan, anti-Katolik dan yang paling penting: dia sering mengkritik Konferensi Episkopal.”

Sebagaimana ditunjukkan oleh analisis ini, pemilihan Donald Trump telah menghancurkan segala asumsi yang menjadi dasar strategi Francis. Dengan semua retorika macho Amerika Latin, rencana bergantung pada kehadiran seorang presiden liberal di Gedung Putih yang bersedia merendahkan diri (atau dirinya sendiri) untuk membela klaim Amerika Latin. Semua itu runtuh di hadapan seorang presiden yang jawabannya terhadap pembuat masalah di luar Rio Grande, adalah untuk membangun tembok pembatas terhadap mereka. Itulah sebabnya pada tahun 2016 paus Francis mempertaruhkan semua harapannya pada kepresidenan Clinton. Orang-orang di sekitarnya, dimulai dengan Kardinal Parolin (yang lebih baik memberi nasihat tentang urusan Amerika?) memberi tahu dia bahwa Donald Trump tidak punya harapan untuk menang, dan atas perintah Francis, APSA membiayai kampanye kepresidenan Hilary Clinton (Sekarang dikatakan bahwa uang yang digunakan untuk itu berasal dari Peter's Pence, yaitu sumbangan umat beriman yang diberikan untuk tujuan amal). Francis juga turun tangan dalam kampanye Hilary Clinton dengan kata-kata yang secara implisit menuduh Trump bukan seorang Kristen. Ketika melihat musuh menang meski ada berbagai upaya untuk mencegahnya, maka Francis marah kepada para penasihatnya. Ini mungkin salah satu alasan mengapa Kardinal Parolin kehilangan dukungan: dia membuktikan dirinya bisa keliru di Amerika Serikat, dan dia gagal mengirimkan barang di Amerika Latin.

Adegan global di mana Francis menggambarkan kemenangannya, telah berubah. Dengan pemulihan hubungan antara Amerika Serikat dan Rusia, dan dengan Inggris meninggalkan Uni Eropa, Merkel dan Macron dibiarkan berkerumun bersama, berusaha melindungi karut marut tatanan dunia liberal, yang tampaknya telah disajikan dan siap untuk makan sedikit lebih banyak daripada setahun yang lalu. Tentang tatanan dunia itu, Francis menjadikan dirinya sendiri sebagai imam agung; kemana dia pergi selanjutnya?

Konsekuensi politik dari kegagalan itu bisa beragam. Gedung Putih memiliki kartu truf yang kuat untuk dimainkan melawan Vatikan, dan orang mungkin terkejut bahwa sejauh ini mereka menahan diri untuk tidak memainkannya. Diketahui bahwa CIA terus memantau Konklaf 2013, dan ingatan bahwa pemerintah Amerika akan menggunakan pengetahuannya yang amat banyak, dikatakan telah menyebabkan ‘malam-malam tanpa tidur’ di Curia. Kesempatan untuk melakukan intervensi membutuhkan sedikit temuan. Dengan kegagalan Tahta Suci untuk mereformasi struktur keuangan yang penuh aroma kriminal, yang bukti-buktinya terus meningkat setiap hari, orang dapat dengan mudah melihat bahwa komunitas internasional, yang dipimpin oleh Amerika, akan memutuskan untuk mengumumkan bahwa cukuplah sudah apa yang diperbuat oleh Francis. Pemecatan secara brutal pada Juni 2017 atas Libero Milone, Auditor General Vatikan, yang bukannya tidak memiliki banyak teman di Amerika, mungkin membuktikan akan adanya provokasi terakhir.

Alasan mendasar dari kesulitan ini adalah bahwa Francis telah bertindak melampaui batas kemampuannya. Dia adalah seorang politikus yang pandai - yang terpandai untuk menduduki takhta kepausan selama berabad-abad, mampu dengan baik mengendalikan lingkaran-lingkaran di sekitar gereja yang tidak menaruh curiga kepadanya, seperti misalnya Cardinals Burke, Sarah dan Müller - tetapi sebagai negarawan dunia, dia telah keluar dari pertandingan, tidak masuk hitungan. Jadi, dia sebagai penguasa Gereja Katolik, membutuhkan bakat lebih tinggi daripada seorang bos partai Peronis. Fakta ini mulai diakui oleh mereka yang mempelajari perjalanan kepausannya. Jurnalis yang baru saja dikutip, telah menulis:

“Setelah mengendarai kampanye Pers yang menjadi idola Paus Argentina, orang-orang menyadari bahwa, pada dasarnya, pekerjaan Ratzinger sangat diremehkan. Dalam sebuah Vatikan yang terpecah-belah oleh perselisihan, Paus Jerman (Ratzinger) membawa IOR ke dalam Daftar Putih, memberlakukan toleransi nol terhadap pencabulan anak dan melakukan penelitian mendalam tentang area kritis Gereja modern dalam menghadapi tantangan di masa depan. Dengan demikian, Francis tiba dengan keuntungan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang mungkin bahkan tidak disadarinya, dikelilingi oleh klik biasa-biasa saja yang mengaburkan visinya dan yang tidak menunjukkan kepadanya titik-titik bahaya yang beresiko tinggi, dengan dimensi-dimensi yang semakin besar, serta menjauhkannya (Francis) dari pendahulunya sendiri.

Aspek yang lebih doktrinal dianalisis pada tahun 2016 oleh seorang ahli Vatikan, Giuseppe Nardi: “Tiga setengah tahun setelah dimulainya masa kepausannya, paus Francis telah mencapai batasnya. Kesan yang diberikan melalui gerak-gerik dan kata-katanya, tentang niat tersembunyi untuk mengubah doktrin Gereja, pada suatu saat harus mengambil bentuk tertentu atau Gereja harus runtuh .... Francis menemukan dirinya terpojok melalui atmosfer yang dia sendiri bertanggung jawab untuk menciptakan. Ini bukan lagi tentang ucapan spontan tentang ini atau itu, yang tetap diimprovisasi olehnya dan tidak mengikat. Pekerjaan penggembalaan dan keterampilan kepemimpinannya, yang menuntut rasa tanggung jawab dan karakter yang patut dicontoh, sedang mencapai batasnya. Inilah yang bisa membuat Francis gagal."

Komentar-komentar semacam ini menunjuk pada kesalahan amat besar yang dibuat oleh Konklaf 2013 dalam memilih kardinal "dari ujung bumi" untuk menjadi kepala Gereja Katolik. Dengan memilih orang luar yang kurang dikenal, mereka memilih seorang pria yang terbukti tidak layak, oleh karakternya dan oleh prioritas yang ditunjukkannya, untuk memegang jabatannya. Bagi banyak umat Katolik, gagasan ini sulit diterima. Dalam ingatan (sejarah) yang hidup, kita tidak pernah menemukan kasus di mana kesalahan penilaian dalam pemilihan paus telah terjadi. Beberapa paus modern adalah orang-orang hebat, yang lain memadai; selama berabad-abad tidak ada seorang pun, seperti yang harus dikatakan secara kasar dan jujur tentang Francis, yang jelas-jelas di bawah jabatannya. Bagaimana hal itu bisa terjadi?

Kita harus ingat bahwa Jorge Bergoglio adalah orang yang dibesarkan dalam lingkup budaya politik yang menjijikkan, dan dia dilatih dalam tatanan agama yang tradisi kepatuhannya dan keterlibatan politik dan sosialnya terganggu dan terdistorsi oleh pergolakan tahun 1960-an. Hal ini berarti bahwa dia kurang terbentuk dalam disiplin budaya yang berakar panjang, yang membuat para pendahulunya memenuhi standar tertentu untuk menjadi paus. Gereja tidak pernah menjadi orang asing bagi klerus, bahkan mereka yang berkarakter tinggi, yang membiarkan panggilan religius mereka terlalu berbau politis, dan Bergoglio tidak pernah menunjukkan kemurnian dedikasinya yang akan melindungi dirinya dari kesalahan semacam itu. Sebelum pemilihannya, dia tidak membedakan dirinya dengan tulisan atau khotbah spiritual atau doktrinal yang diketahui dari banyak paus. Minimnya minat pada doktrin dan liturgi sudah biasa dilakukannya, dan bahkan beberapa kebiasaan doanya mengundang komentar yang menggemparkan. Lucrecia Rego de Planas berkomentar bahwa ketika merayakan Misa, paus Francis tidak pernah mau berlutut ke arah tabernakel atau Hosti yang telah dikonsekrasikannya, sebagai aturan wajib dalam liturgi yang telah ditentukan, dan dia dikenal karena kelalaian itu jauh sebelum usia tua membuatnya secara fisik bisa dimaklumi. Apa yang bisa diharapkan oleh umat Katolik dari seorang Paus yang mengabaikan tanda-tanda hormat kepada Sakramen Mahakudus, yang selama ini telah dilakukan oleh semua imam dan umat beriman melalui aturan dan tradisi?

Kita dapat menghubungkan cacat-cacat ini dengan nada rendah dari magisterium ‘kerendahan hati’ yang dibuat oleh paus Francis sebagai ciri khasnya, dalam konferensi pers, dalam sebuah penerbangan internasional, dan alternatif improvisasi lainnya untuk cathedra Petrine. Aldo Maria Valli telah menunjukkan "kedangkalan’ Francis ini sebagai nada dominan, dan konformismenya sebagai kebiasaan intelektual." Orang mungkin mengatakan hal yang sama tentang penghinaan kasar yang sering dilontarkan paus Francis terhadap orang-orang yang dia tegur, dimana sikap seperti itu merupakan sebuah fenomena yang meluas sampai kepada dokumen-dokumen resminya. Sebuah ensiklik seperti Evangelii Gaudium (2013) penuh dengan frasa seperti "elitisme narsis dan otoriter", atau "Promethean Neo-Pelagianisme yang mementingkan diri sendiri." Yesus Kristus mengecam "nabi-nabi palsu, yang datang kepadamu dengan pakaian domba, tetapi di dalam hati mereka adalah serigala yang ganas"; tetapi kita harus menunggu sampai kepausan Francis untuk diperingatkan, dalam hal pengajaran kepausan, tentang bahayanya berbagi tempat duduk dengan seorang Promethean Neo-Pelagian. Rupanya, ini adalah bahasa penginjilan baru yang segar, yang diilhami oleh kebutuhan pastoral orang miskin.

Semua ini, untuk waktu yang lama, telah luput dari pandangan media yang dangkal, yang berada di luar kedalamannya dalam hal teologi dan jatuh ke dalam gerakan publisitas dengan kenaifan kekanak-kanakkan. Di Italia ada sejumlah jurnalis, diantaranya adalah Sandro Magister, yang telah melaporkan secara kritis tentang urusan Vatikan selama beberapa tahun ini, tetapi di dunia berbahasa Inggris keheningan itu telah cukup memekakkan telinga. Hanya segelintir situs web Katolik konservatif, termasuk National Catholic Register dan LifeSiteNews, yang menghasilkan, dengan alasan doktrinal, jenis pelaporan yang tajam yang diabaikan oleh media arus utama. Italia juga telah menghasilkan dua buku kritis, Non Soc Francesco (2014) karya Antonio Socci dan 266 karya Aldo Maria Valli (2016). Di Amerika tanda-tanda mulai muncul dari pecahnya peringkat, setidaknya di dunia penerbitan: George Neumayr's The Political Pope (2017) yang menyajikan kasus konservatif terhadap Francis, dan sebuah buku karya Philip Lawler yang saat ini sedang diterbitkan, berdasarkan pada tajamnya pelaporannya sebagai jurnalis Vatikan.

Dalam beberapa bulan terakhir tanda-tanda telah meningkat bahwa "Anda tidak dapat membodohi semua orang sepanjang waktu". Konsensus media yang menyebut Francis sebagai seorang reformator hebat menunjukkan celah serius pada 2 Juli 2017, ketika harian Romawi Il Tempo menghabiskan halaman depan dan halaman 2 dan 3 untuk serangkaian artikel yang menilai pencapaian Francis dan menemukan apa yang mereka inginkan.

Artikel utama berada di bawah judul, “Crollo di fedeli, temi etici, gay, immigrati e Isis-Islam. Quanti errori. Ora le epurazioni. Cala la popolarità di Francesco.”

Kepergian Libero Milone, Kardinal Müller, dan Kardinal Pell secara cepat dari Vatikan tidak dapat dikatakan gagal untuk menyampaikan beberapa keadaan kritis, dan upaya untuk menjelaskan soal paus Francis yang menumpahkan tindakan dan ucapannya yang salah, pasti akan menyerah sebelum penyelidikan lebih lanjut. Rumor bahwa dana Peter's Pence (uang hasil kolekte umat beriman di seluruh dunia) digunakan untuk mendanai kampanye kepresidenan Hilary Clinton semakin banyak terdengar, dan semua itu menunjukkan jalan menuju kepada skandal besar.

Paus Francis masih memiliki satu keuntungan luar biasa. Media liberal telah banyak berinvestasi dalam dirinya dengan menyebutnya sebagai sebagai ‘idola revolusioner’ - orang yang oleh The Wall Street Journal, pada Desember 2016, digambarkan oleh sebagai "pemimpin kiri global" - dan mereka tidak siap untuk melepaskan mitos itu. Dengan kepergian Obama dan Hillary Clinton dipermalukan, maka Francis menjadi lebih penting bagi mereka daripada sebelumnya. Bagi orang yang bukan Kristen, kekhawatiran yang digerakkan Francis melalui upayanya untuk meliberalisasi ajaran moral Gereja tentang tindakan seksual, tidaklah relevan bagi mereka. Memang, apa yang disukai kaum sekularis dalam diri Francis, yaitu gayanya sebagai pemecah tradisi dan mengabaikan masalah mistik serta otoritas Gereja. Namun kepercayaan bahwa media liberal dapat memaksakan pandangan mereka tentang dunia, telah memudar belakangan ini. Hillary Clinton yang mengandalkan mereka, dan gagal; kita mungkin melihat paus Francis juga berjalan dengan cara yang sama.


Paus Berikutnya

Kita kembali melihat kesalahan besar yang belum pernah terjadi sebelumnya yang dilakukan oleh para kardinal pada 2013 dalam memilih sosok seperti Jorge Bergoglio. Seperti telah dikomentari sebelumnya, umat Katolik terbiasa dengan pemilihan paus yang patut dipuji, atau setidaknya: memadai, dan mereka akan merasa sulit untuk percaya (bahkan meski dengan adanya bukti sekelompok kardinal yang licik untuk menjelaskannya) bahwa kesalahan yang benar-benar tidak suci dapat dilakukan di Vatikan atau di sebuah konklaf. Namun di dunia ini tidak ada prosedur pemilihan yang kebal terhadap kesalahan, betapapun jarangnya terjadi kejadian semacam itu. Kita harus kembali ke beberapa abad yang lalu untuk menemukan paus yang telah menjadi bencana pribadi, tetapi itu telah terjadi, seperti yang diperkirakan orang.

Mungkin paus terakhir dengan pendekatan duniawi dan politis seperti Francis adalah paus Urbanus VIII (1623-44). Dia melibatkan kepausan dalam konflik dengan kerajaan-kerajaan tetangga, yang menyerbu Negara-negara Kepausan dalam perang yang menghancurkan, sehingga pada saat kematian Urbanus, Tahta Suci bangkrut dan keluarganya diusir dari Roma. Kerusakan yang lebih panjang yang dilakukan Urbanus terhadap Gereja adalah kecamannya terhadap Galileo, bukan karena dia menganggap bahwa teori astronomi heliosentrisitas adalah bidaah (pandangan keliru yang selalu diambil dari kejadian itu) tetapi memang dia mau membalas dendam pribadi atas penghinaan terhadap Paus yang telah dirajut oleh Galileo ke dalam bukunya tentang hal itu. Di sini kita memiliki ilustrasi tentang fakta bahwa cacat pribadi seorang paus dapat berdampak pada bidang doktrinal Gereja.

Mungkin kasus semacam itu yang lebih dekat adalah penguasa seperti Paul IV (1555-59), seorang yang bersemangat untuk meluaskan kemiskinan religius, yang kemudian terpilih menjadi paus pada usia tujuh puluhan. Obsesi politiknya membawanya untuk berperang melawan Kaisar Charles V, juara utama perjuangan Katolik dalam perang melawan Protestan yang berkecamuk pada waktu itu, dan dia bertengkar, lagi-lagi karena alasan politik, dengan Mary Tudor dan Kardinal Pole, yang terlibat dalam tugas sulit memulihkan agama Katolik di Inggris. Masa pemerintahannya berakhir dengan skandal politik dan kerusuhan rakyat terhadap ketidakpopulerannya yang kejam. Atau seseorang dapat mempertimbangkan Urbanus VI (1378-89), yang terpilih sebagai orang luar sepenuhnya, dan segera menunjukkan bahwa dia tidak memiliki keseimbangan mental untuk memegang jabatannya. Para kardinal memintanya untuk turun tahta, dan dalam surat penolakannya paus menyatakan bahwa dirinya digulingkan dan kemudian para kardinal memilih seorang antipaus, yang kemudian menyulut Skisma Barat selama empat puluh tahun. Urbanus merespons dengan menciptakan 29 orang kardinal untuk menggantikan para kardinal yang telah meninggalkannya, tetapi dia juga segera bertengkar dengan para kardinal baru ini dan mengeksekusi lima dari mereka karena dituduh berkomplot melawannya, sementara beberapa yang lain pergi ke pihak lawan.

Kasus-kasus seperti ini menggambarkan bahayanya sebuah meriam yang sepenuhnya tidak dijaga di atas Bahtera St. Petrus, dan hal itu juga menunjukkan kesulitan dalam menggulingkan seorang paus. Peristiwa penggulingan semacam itu mungkin masih direnungkan oleh para kardinal yang saat ini berusaha membuat Francis turun. Apakah hal itu terjadi, atau apakah kita menunggu cara Tuhan yang lebih umum untuk membuat kekosongan di dalam Tahta Apostolik, namun pertanyaan besarnya adalah apa yang akan terjadi dalam pemilihan paus berikutnya, dan masih tidak ada kepastian bahwa kesalahan yang sama tidak akan dilakukan lagi. Marilah kita perhatikan bahwa para kardinal yang dikatakan bergerak melawan paus Francis saat ini, adalah setan kurial yang, pada 2013, memutuskan untuk memberi bobot pada Bergoglio, dan dengan demikian memastikan pemilihannya. Kali ini, kandidat yang mereka ajukan adalah Kardinal Parolin. Jadi: dari tim yang membawa paus Bergoglio kepada Anda, sekarang sambutlah paus Parolin. Seseorang yang dengan tulus berharap bahwa Sacred College telah belajar dengan pelajaran yang lebih baik.

Kita dapat merenungkan bahwa bahkan para kardinal yang telah diangkat oleh paus Francis selama masa kepausannya - dilaporkan sedang dalam upaya yang disengaja untuk mengemas Konklaf berikutnya – dan mereka tidak serta-merta berbagi pandangan dengan Francis tentang Gereja sebagai instrumen politik. Marilah kita meminta kepada mereka, dan berdoa kepada Tuhan, agar mereka dapat menolak visi bencana yang telah membawa Gereja ke dalam kebingungan dan kembali ke model spiritual, tentang apa yang seharusnya dilakukan seorang paus.

Marilah kita berdoa semoga para peserta dalam Konklaf berikutnya nanti, memastikan bahwa tidak ada klik yang mencoba mengubah pemilihan paus menjadi agenda mereka sendiri; kedua, bahwa mereka tahu benar siapa yang mereka pilih. Biarkan dia menjadi orang yang bereputasi mapan di Gereja, dan yang terutama dikenal sebagai abdi Allah dan bukan politisi; seorang pria yang prioritasnya adalah harta spiritual, ke arah mana dia dipanggil untuk menjaganya; seorang pria yang mengajarkan doktrin secara terbuka dan tidak dalam kesepakatan melalui ‘pintu belakang’ yang serba ambigu; seorang pria yang akan menjadi reformator yang tulus dan tidak akan bersekutu dengan kebusukan dalam upaya untuk mengendalikan Gereja. Bagi para kardinal, adalah tugas mereka untuk melakukan hal yang benar dalam hati nurani mereka dan meninggalkan sisanya di tangan Tuhan. Dan marilah kita berdoa agar keanehan alam yang secara tidak sengaja, muncul di Tahta Petrus, mungkin peristiwa seperti itu akan lama untuk terjadi sebelum malapetaka seperti itu berkunjung lagi di Gereja Katolik.

Monday, September 9, 2019

PAUS DIKTATOR - 5



5. BELAS KASIH! BELAS KASIH!

“Gereja adalah sebuah kisah cinta. Jika kita tidak memahami ini, maka kita tidak bisa mengerti apa itu Gereja.”
  Paus Francis, meditasi pagi hari di kapel Casa Santa Marta, 24 April 2013


5.1. PENGHANCURAN ATAS LEMBAGA KEAGAMAAN ‘FRANCISCAN OF THE IMMACULATE’

Ketika Jorge Mario Bergoglio melangkah keluar dari loggia Basilika Santo Petrus dan menjadi paus pertama yang memakai nama Francis, tampaknya dia sangat cocok sebagai paus reformasi yang diinginkan oleh publik. Dengan menggunakan nama itu, dia memilih untuk memberi penghormatan kepada santo yang agung dari abad pertengahan dan menjadi peniru St. Fransiskus dari Assisi, yang sekarang paling dekat dikaitkan dengan "kemiskinan suci," sebagai tema utama dari kepausan yang baru. Beberapa bagian dari biografinya telah menjadikan Santo Fransiskus menjadi seorang pecinta damai, yang bahkan mencintai binatang, sebagai pria sejati pembela iman yang gigih, yang mengajarkan kepatuhan kepada Tuhan melalui Gereja-Nya. Jauh dari kebencian pada evangelisasi aktif - yang dengan terang-terangan mengajak orang-orang non-Katolik untuk bertobat - St. Francis melakukan perjalanan ke Mesir untuk menghadap sultan dan memberitakan nama Kristus dengan risiko kemartiran atas dirinya. Pada saat yang sama, surat-suratnya membuktikan desakannya untuk menghormati Allah dalam liturgi dengan segala perabot altar yang berharga dan indah.

Spiritualitas “Fransiskan” yang otentik ditemukan kembali dan diwujudkan kembali pada zaman kita saat ini dengan berdirinya lembaga keagamaan baru, para biarawan Fransiskan, the Franciscan Friars of the Immaculate, pada tahun 1970 di Frigento, Italia. Pastor-pastor Stefano Maria Manelli dan Gabriel Maria Pellettieri, adalah Fransiskan Konventual yang ingin kembali ke pada bentuk kehidupan keagamaan yang lebih ketat. Manelli dianggap sebagai pelopor dalam kehidupan spiritual, setelah menulis "Traccia Mariana" sebuah rencana Maria bagi kehidupan para Fransiskan yang menguraikan kharisma, doa, dan pengabdian kepada Perawan Maria. Hal itu dapat dilihat sebagai inti dari spiritualitas unik lembaga itu.

Pengabdian istimewa kepada Maria yang dilakukan oleh lembaga yang baru ini berakar pada spiritualitas St. Maximilian Kolbe, Franciscan Polandia yang meninggal di Auschwitz. Pada tahun 1990, institut tersebut diangkat kepada status “institut dengan hak keuskupan” oleh Uskup Agung Benevento. Sementara sebagian besar Gereja jatuh ke dalam krisis panggilan yang serius, tetapi panggilan di FFI (Franciscan Friars of the Immaculate) justru berlimpah dan segera kebutuhan akan kaum religius perempuan menjadi nyata. Pada tahun 1993 uskup Monte Cassino mendirikan Suster-Suster Fransiskan Immaculata, sebuah lembaga religius wanita yang hidup menurut Regula Bullata dan Traccia.

Pada tahun 1998, Paus Yohanes Paulus II menjadikan Fransiskan Friars of the Immaculate sebagai “institut kehidupan religius dengan hak kepausan,” dan memperluas pengakuan ini kepada cabang suster-suster di tahun yang sama. Lembaga ini terus bertumbuh, menyebar ke seluruh dunia, ke Argentina, Austria, Benin, Brasil, Kamerun, Prancis, Italia, Portugal, Nigeria, Filipina, dan Amerika Serikat. Misi lembaga itu khususnya melayani di negara-negara miskin di mana sulit untuk menemukan ordo-ordo lain yang bisa melakukan pekerjaan misionaris. Dengan pembaruan ini, Pastor Manelli mengikuti cita-cita yang ditetapkan oleh dekrit Vatikan II, Perfectae Caritatis, tentang pembaruan kehidupan beragama yang menyerukan untuk "kembali kepada sumber-sumbernya," yang merupakan karisma asli dari para pendiri mereka.

Dari sejarah dan semangat mereka, para Fransiskan Immaculata nampak seperti yang diperjuangkan oleh Santo Fransiskus, dan segala sesuatu yang diinginkan paus Francis dari lembaga keagamaan: kemiskinan yang ketat, kehidupan doa yang intens, dan komitmen misioner. Kemiskinan secara khusus dijalani oleh para biarawan secara harfiah: komunitas mereka hidup hanya dari sumbangan, menunggu Providence menemukan orang yang bersedia menyediakannya. Seseorang mungkin bisa menyebutnya sebagai sebuah contoh kasus dari desakan Paus Francis tentang kemiskinan dan menolong orang miskin.

Namun hanya beberapa bulan setelah kemunculan paus Francis di loggia Santo Petrus, sejarah para biarawan Fransiskan Immaculata akan berubah menjadi semakin buruk. Ini adalah sebuah kisah tentang apa yang hanya bisa digambarkan sebagai penganiayaan kepausan terhadap ordo-ordo religius yang sedang berkembang yang akan diingat sebagai salah satu yang paling aneh di era modern.


Satu Kesalahan Fatal: Kasih Kepada Tradisi Liturgi

Pada tahun-tahun terakhir kepausan Benediktus XVI, para biarawan Immaculata mulai menggunakan tata cara Misa pra-Vatikan II. Bahkan setelah keluarnya Motu Proprio Benedict, Summorum Pontificum pada 2007, penggunaan liturgi dengan cara yang lebih kuno telah banyak ditentang oleh para uskup, terutama di Italia. Minat dalam penggunaan cara kuno itu telah mencatat pertumbuhan yang stabil, dan minat yang semakin besar pada bentuk liturgi tradisional yang ada pada para calon muda Franciscan Friars of the Immaculate (FFI) inilah yang telah mengundang kemarahan Vatikan. Ketika perintah untuk memilih penggunaan Ritus Lama dilakukan, maka mereka segera menjadi kelompok terbesar kedua di Gereja yang melaksanakannya, dengan lebih dari 200 imam, 360 bruder dan 400 suster. Sinyal dari komunitas yang semakin populer ini kepada Gereja yang lebih luas, dengan meninggalkan liturgi bentuk biasa, ternyata tidak dapat diterima oleh orang-orang yang berdedikasi kepada paradigma Katolik yang baru.

FFI mulai menggunakan ritus lama secara teratur setelah publikasi Summorum Pontificum. Pada rapat umum 2008, mereka mengambil keputusan untuk mengadopsi Bentuk Misa Luar Biasa di seluruh ordo, sambil terus merayakan Bentuk Biasa dalam komunitas dan paroki yang dipercayakan kepada mereka; upaya untuk menjalankan "dua-ritus" ini menjadi bencana besar. Cara ini membawa konsekuensi politik atas mereka, karena mereka segera dicap sebagai kaum "tradisionalis," namun pastor Manelli menegaskan untuk terus merayakan bentuk Misa Biasa ketika dia mengunjungi paroki-paroki ordo. Dia dengan susah payah menjelaskan bahwa para biarawannya tidak menolak hasil KV II dalam keputusan liturgi mereka. Pada bulan Mei 2012, rapat umum Suster-Suster Fransiskan Immaculata, serta cabang kontemplatifnya, juga menyatakan sebuah acuan untuk penggunaan Ritus Lama dalam kapel-kapel mereka.

Hingga akhir 2011 keputusan ini menerima sedikit perhatian dari Roma. Dalam sebuah surat yang ditulis oleh pastor Manelli dan para penasihatnya tertanggal 21 November 2011, Sekretaris Jenderal para Friar mengirim beberapa norma indikatif untuk penggunaan bentuk Luar Biasa pada semua kapel religiusnya, dengan beberapa komunitas memberikan prioritas pada ritual lama dan yang lain mempertahankan Ordo Biasa. Bentuk ini disetujui oleh Komisi Kepausan Ecclesia Dei dalam surat 14 April 2012.


Dekrit Dan Dimulainya Penganiayaan Terbuka

Hal ini berubah ketika Kardinal Brasil, João Braz de Aviz, diangkat menjadi kepala Kongregasi untuk Religius pada Januari 2011: tahun berikutnya dia memerintahkan penyelidikan atas semua urusan ordo FFI. Pada 11 Juli 2013, Kongregasi mengeluarkan dekrit yang menuntut agar setiap pastor FFI berhenti menggunakan Ritus Misa Lama. "Jika ada kesempatan, penggunaan bentuk luar biasa (Vetus Ordo) harus secara eksplisit disahkan oleh otoritas yang berkompeten, bagi setiap religius dan / atau komunitas yang mengajukan permintaan." Kongregasi untuk Religius ini kemudian membubarkan Dewan Umum Ordo. dan menunjuk seorang Komisaris Kerasulan, pastor Fidenzio Volpi, kapusin, adalah pemimpin efektif semua komunitas kongregasi dan yang semua biayanya diperintahkan untuk dibayar oleh ordo FFI. Juga diketahui secara luas bahwa ada "tuduhan" misterius terhadap ordo FFI dan pendirinya, Pastor Manelli, tetapi baik Volpi dan Vatikan menolak untuk mengklarifikasi tuduhan ini, sementara desas-desus telah meluas di internet. Itu termasuk kisah-kisah menyeramkan tentang "sumpah rahasia" yang tidak ditentukan secara jelas, yang diperintahkan untuk diucapkan oleh semua anggota ordo. Kisah-kisah mengerikan ini kemudian bocor ke pers tabloid, dimana ada "mantan para suster" yang tak mau disebut nama mereka, yang mengklaim bahwa para suster di dalam FFI diperintahkan untuk menulis sumpah mereka dengan darah dan "menyiksa" diri mereka sendiri selama waktu yang sama dengan yang diperlukan untuk mendaraskan doa "lima Bapa Kami, lima Ave Maria dan lima Salve Regina."

Namun, perlahan-lahan, kenyataan menjadi jelas ketika informasi disaring oleh sumber-sumber yang lebih kredibel, dan kemudian dikuatkan oleh para pejabat. Diketahui bahwa ada sekelompok lima atau enam "pembangkang" dalam ordo tersebut yang telah mengadu kepada Kardinal Braz de Aviz, terutama yang menentang penggunaan Ritus Lama dan secara tersamar menggunaan cara baru, dimana mereka akan segera diumumkan telah melakukan pelanggaran ringan, namun tak pernah muncul pengumuman itu.

Di antara para pembangkang dalam lingkup FFI ini adalah Pastor Alfonso Maria Bruno, yang terkenal dengan karya media yang membuatnya populer di Italia. Pastor Bruno dengan cepat ditunjuk sebagai juru bicara ordo di Italia, dan mengatakan kepada Catholic News Agency bahwa masalah tata cara Misa hanyalah "puncak gunung es," meskipun dia menolak menyebutkan secara spesifik. FFI sekarang secara luas dicurigai memiliki semacam perilaku yang tidak pantas, sebuah sindiran "ciuman maut" yang memberi peringatan atas skandal pelecehan seksual para imam. Nama besar lain dalam kisah ini adalah seorang Amerika, Pastor Angelo M. Geiger. Dia juga memiliki media sosial yang berjangkauan luas dan menjadi penjaga pintu internet yang efektif dari ordo, yang menyaring informasi melalui akun dan situs web YouTube dan Facebook milik ordo. Pastor Alfonso Maria Bruno bertindak lebih jauh dengan menuduh para suster kontemplatif kongregasi itu kemungkinan telah jatuh ke dalam “bid'ah dan ketidaktaatan.” Karena tidak ada jurnalis yang diizinkan mengakses siapa pun di dalamnya, kecuali dua orang ini, maka tidak mungkin bagi pihak luar untuk memverifikasi klaim semacam itu.

Dengan semuanya ini, para pastor dan suster Immaculata merasa perlu untuk merilis catatan "resmi" pada 3 Agustus 2013, yang menjelaskan bahwa tuduhan itu tidak benar. Pastor Manelli “bukan hanya tidak pernah menerapkan penggunaan Vetus Ordo pada semua komunitas FFI - apalagi penggunaannya secara eksklusif, tetapi dia bahkan tidak ingin cara Misa itu digunakan secara eksklusif, dan dia secara pribadi telah memberikan contoh, dengan merayakan Misa di berbagai tempat dengan berbagai cara menurut yang Ordo satu dan Ordo yang lain.” Namun, respons ini tidak banyak berpengaruh; dekrit Vatikan tetap dilaksanakan, dan jauh melebihi tiga tahun berikutnya.


Apakah Paus Tahu?

Lebih penting daripada masalah bentuk Misa - bahkan dengan implikasi politiknya yang lebih besar - adalah perselingkuhan sebagai indikasi metode-metode dari Paus yang baru ini. Cara paus Francis dalam menangani surat para pembangkang itu sejak awal dilihat sebagai terobosan radikal dari cara pemerintahan Benedict XVI. Hukum Gereja mencakup prinsip-prinsip pembuktian dan proses hukum, tetapi tidak adanya pembenaran normal baik untuk kunjungan awal tahun 2012 atau penunjukan Komisaris berikutnya, telah menunjukkan apa yang sebenarnya dilakukan paus. Tidak ada satupun pelanggaran spesifik yang disebutkan dalam dekrit atau kapan pun setelahnya. Alasan untuk tindakan kanonik yang dilakukan paus tampaknya tidak memadai sama sekali, bahkan terlalu sepele.

Penandatangan kedua dari dekrit itu, Uskup Agung José Rodríguez Carballo, adalah tokoh yang sangat penting. Seorang jusnalis spesialis Vatikan, Sandro Magister, menulis: “Rodríguez Carballo… menikmati kepercayaan penuh dari paus. Pengangkatannya sebagai orang kedua dari kepala kongregasi didukung oleh Francis sendiri di awal masa kepausannya.” Penunjukan Rodríguez Carballo bagi Kongregasi untuk Agama sebenarnya adalah penunjukan besar pertama dari Paus pada April 2013, kurang dari sebulan setelah Konklaf. Tetapi Rodríguez Carballo sudah memiliki reputasi terkenal, setelah sebelumnya dia terlibat dalam skandal keuangan besar selama sepuluh tahun sebagai General Minister dari Ordo Fransiskan, sebelum pengangkatannya ke Vatikan. Skandal itu telah menempatkan stabilitas keuangan ordo Fransiskan ke dalam bahaya besar, seperti yang diungkapkan Pastor Michael Perry, pengganti Carballo, dalam sepucuk surat kepada saudara-saudaranya sesama religius. Apa yang disebut oleh media sebagai "maxi-fraud" telah menghantam keras ordo Franciscans: penipuan dan penggelapan puluhan juta Euro membuatnya jatuh secara finansial. Di bawah pemerintahan Rodríguez Carballo, ordo tersebut telah menginvestasikan uang di perusahaan-perusahaan lepas pantai di Swiss yang pada gilirannya uang itu digunakan dalam perdagangan senjata, perdagangan narkoba, dan pencucian uang.

Tampaknya dia mengizinkan terjadinya salah urus pengelolaan dana di Italia oleh orang-orang dari luar ordo, yang memperkaya diri sendiri dengan bantuan dari anggota ordo. Pastor Michael Perry menulis dalam suratnya bahwa ordo itu “mendapati dirinya berada dalam kubur, dan saya menggarisbawahi kata 'kubur ini, yang berupa kesulitan keuangan, dengan beban hutang yang signifikan,” dan dia menambahkan, "Sistem pengawasan keuangan dan kontrol atas pengelolaan harta warisan Ordo terlalu lemah atau dikompromikan, sehingga membatasi efektivitasnya untuk menjamin manajemen yang transparan dan bertanggung jawab." Para biarawan banyak terlibat dalam "sejumlah kegiatan keuangan yang layak dipertanyakan" dan Pastor Perry harus memanggil pengacara dan otoritas sipil untuk menyelidiki skandal itu.

Tanpa menunggu laporan lengkap dari otoritas Swiss tentang kasus para Fransiskan, Paus Francis justru mempromosikan orang kepercayaannya dari ordo itu ke posisi yang lebih berpengaruh dan berpangkat lebih tinggi dalam hierarki Gereja.


"Pemerintahan Teror" dari pastor Fidenzio Volpi

Reaksi pastor Manelli terhadap dekrit bulan Juli telah dianggap sebagai teladan. Meskipun berada di ‘garis api’ dan kemudian dia dipersalahkan karena salah mengatur lembaga dan kejahatan yang lebih buruk lagi, tetapi pendiri ordo memuji seluruh lembaga itu karena menaati Bapa Suci dan menyatakan kepercayaannya bahwa kepatuhan ini akan menghasilkan "rahmat yang lebih besar." Harapannya mungkin adalah bahwa paus baru ini akan mendorong evaluasi obyektif dari situasi lembaga dan membawa keadilan dalam situasi di mana segelintir biarawan memberontak terhadap mayoritas lembaga mereka.

Terungkap bahwa Pastor Volpi - yang menyatakan bahwa "pekerjaannya" telah "secara khusus diperintahkan oleh Vikaris Kristus" - telah diperintahkan untuk mengatasi "perbedaan pendapat" dalam jajaran ordo, membangun persatuan dan mengawasi aliran keuangan ordo. Akibatnya: ini adalah pengambilalihan penuh atas lembaga itu - para imam, biarawan, suster, dan para tersier. Pemerintahan Pastor Volpi memang kejam: pemerintahan umum digulingkan dan pendirinya, Pastor Manelli, ditempatkan di bawah tahanan rumah secara de facto, diperintahkan untuk tetap berada di pengasingan di selatan Italia, di mana dia tetap berada disana sampai hari ini, tanpa kemungkinan berkomunikasi dengan dunia luar, termasuk keluarganya, atau para biarawan lainnya. Para biarawan yang mengajukan petisi kepada Vatikan karena alasan mereka sendiri, dihukum atau diancam akan diusir. Sebuah petisi ditulis untuk menentang pelarangan misa bentuk Luar Biasa oleh empat cendekiawan awam, tetapi diabaikan.

Pada Desember 2013, banyak umat Katolik mengedarkan sebuah petisi yang meminta pemindahan Pastor Volpi. “Dalam waktu lima bulan, pastor Volpi telah menghancurkan lembaga itu, memprovokasi kekacauan dan penderitaan di dalam, skandal di antara umat beriman, kritik dari pers, kegelisahan dan kebingungan di dunia gerejawi.” Namun surat petisi ini juga diabaikan.

Pada 8 Desember 2013, Pastor Volpi menanggapi dengan cara menjatuhkan serangkaian sanksi lain, termasuk penutupan seminari ordo, dalam sepucuk surat yang ditujukan kepada semua anggota. Di dalamnya dia menyesalkan adanya “ketidaktaatan dan rintangan yang menghalangi pekerjaan saya, serta sikap curiga dan kritik terhadap bunda kudus Gereja - bahkan sampai pada fitnah dengan menuduh saya pribadi telah melakukan 'penghancuran karisma'."

Surat ini menjadi tuduhan “resmi” pertama atas pelanggaran yang dilakukan pastor Manelli yang katanya, telah “mengalihkan kendali” aset lembaga kepada anggota umat awam, “orang-orang yang dikenal sebagai anak-anak rohani atau kerabat Pendiri, Fr. Stefano M. Manelli, dan juga kepada orang tua dari berbagai suster anggota lembaga,” untuk menyelamatkan mereka dari pengaruh Komisaris. Pastor Volpi juga mengecam para religius yang mengajukan petisi untuk mendirikan sebuah lembaga baru yang berfokus pada Ritus Lama. Dia juga memerintahkan organisasi umat tersier untuk diskors sampai pemberitahuan lebih lanjut.

Dengan studi para seminaris terganggu dan program studi swasta institut itu ditangguhkan, para siswa teologi dipindahkan ke Roma untuk melanjutkan pendidikan mereka. Para mahasiswa filsafat dikirim ke perguruan tinggi keuskupan Benevento. Penahbisan diakon dan imamat ditangguhkan selama satu tahun. Semua kandidat bagi Ordo-ordo Suci diminta untuk secara resmi menyatakan penerimaan mereka atas Bentuk Misa Biasa  dan "dokumen-dokumen KV II" dalam tindakan yang disebut sebagai "sumpah" kepatuhan. Para calon seminaris yang tidak mau patuh segera diberhentikan dari institut. Lebih jauh lagi, setiap religius harus mengungkapkan dalam bentuk tertulis kesediaannya untuk melanjutkan sebagai seorang biarawan Fransiskan Immaculata dalam format yang telah direvisi oleh institut. Umat awam yang tergabung dalam misi the Immaculate Mediatrix di Italia secara resmi ditangguhkan, serta Ordo Ketiga dari biarawan Fransiskan Immaculata dan semua kegiatan penerbitan – yang merupakan sebuah karya utama dari ordo - dihentikan.

Pastor Volpi mempromosikan salah satu dari lima pembangkang, Pastor Bruno, kepada Sekretaris Jenderal (sejak itu dia telah dipindahkan). Di bawah Pastor Manelli, Bruno bertanggung jawab atas hubungan masyarakat termasuk jaringan media sosial. Posisinya dalam kaitannya dengan media sangat berguna begitu Komisi memulai tugasnya; dia adalah orang pertama yang mengumumkan keputusan Vatikan untuk memiliki seorang Komisaris dan dia memberi tahu para wartawan secara sepihak, tanpa bersedia menerima pertanyaan. Beberapa orang menyebutnya sebagai ‘kepala biarawan’ yang berusaha untuk mendorong lembaga Fransiskan Immaculata ke arah liberal.

Selama “pemerintahan teror” dari pastor Volpi, banyak biarawan meninggalkan struktur resmi Institut. Meskipun informasi terperinci tentang status ordo saat ini masih sulit diperoleh, tetapi beberapa pihak memperkirakan bahwa lebih dari dua pertiga anggota lembaga mencoba mencari solusi lain; banyak yang meminta pendirian kembali lembaga tersebut. Sekelompok kecil biarawan meminta untuk meninggalkan institut itu, untuk mencari perlindungan di Filipina. Enam biarawan mendekati Uskup Agung Ramon Cabrera Argüelles dari Lipa untuk memikirkan kemungkinan mendirikan kembali institut itu dengan karisma asli mereka di dalam keuskupannya. Hal ini diketahui oleh pastor Volpi dan pastor Bruno dihukum dengan skorsing sebagai seorang religius dan menolak memberi kesempatan pada Bruno untuk membela diri. Penangguhan divinis adalah tindakan hukuman yang biasanya dikenakan hanya untuk pelanggaran berat, dan orang yang dituduh masih memiliki hak kanonik untuk membela diri.

Seluruh prosedur ini bertentangan dengan hukum kanon, namun tidak pernah ditangani dan tidak pernah direvisi. Biasanya permintaan untuk meninggalkan suatu kongregasi, ordo, atau lembaga religius, adalah sudah umum dan dikabulkan pada ribuan orang pemohon, dengan berbagai alasan. Tetapi dalam kasus para biarawan Immaculata, semua anggota secara kolektif dihalangi untuk meninggalkan lembaga, dan mereka dipaksa untuk hidup dalam suasana penindasan, suatu tindakan tanpa landasan hukum kanonik. Dalam semua ini, pastor Volpi tidak pernah mengklarifikasi kesalahan apa yang dilakukan oleh si tertuduh.

Sementara itu tuduhan Volpi terhadap pastor Manelli yang melarikan diri dengan membawa properti ordo, dibatalkan oleh pengadilan sekuler. Volpi telah mengajukan gugatan atas dugaan penipuan, pemalsuan dokumen, dan penggelapan, dan pastor Manelli menjawab semua tuduhan ini sebagai tindakan fitnah terhadap dirinya, dimana hal itu merupakan pencemaran nama baik. Pengadilan memerintahkan pastor Volpi untuk mengembalikan aset lembaga, mendendanya 20.000 Euro dan memerintahkannya untuk mengeluarkan permintaan maaf secara publik. Pada Juli 2015, Pengadilan Avellino memutuskan bahwa tidak ada kesalahan dalam bentuk apa pun yang dilakukan oleh pastor Manelli atau siapa pun yang berhubungan dengan FFI dan memerintahkan pembebasan properti milik Mission of the Immaculate Mediatrix (MIM) dan Ordo Ketiga dari Biarawan Fransiskan Immaculata (TOFI) yang telah dimiliki oleh Volpi. Nilai aset mencapai sekitar 30 juta Euro.

Uskup Agung Ramon Cabrera Argüelles dari Lipa di Filipina, yang menerima enam biarawan yang melarikan diri dari rezim Komisioner Volpi, menawari mereka dengan sebuah ijin untuk menyelenggarakan Misa - dalam wilayah keuskupan agungnya. Reaksi Pastor Volpi cepat datang: dia menghadiri Konferensi Waligereja Italia musim gugur 2014 dan mendesak para uskup untuk tidak menerima para imam yang ingin meninggalkan institut yang teraniaya itu, bahkan menuduh para biarawan itu berkomplot untuk "menggulingkan" paus. Sementara itu, Uskup Agung Cabrera Argüelles mengajukan pengunduran dirinya tiga tahun lebih awal dari usia pensiunnya yang wajib, dan itu diterima oleh paus Francis pada Februari 2017. Sementara pengunduran diri itu mungkin tidak ada hubungannya dengan peristiwa-peristiwa yang mengenai para biarawan Immaculata, tetapi kemungkinan ini tidak dapat dihilangkan.

Pada tanggal 4 April 2016, Kongregasi untuk Agama memutuskan, dengan catatan Ex audientia, bahwa para uskup harus berkonsultasi dengan Vatikan sebelum mendirikan sebuah lembaga atas nama keuskupan. Ini adalah satu-satunya respons formal terhadap perselingkuhan Paus, dan ini merupakan langkah birokratisasi yang rumit, jauh dari pendekatan “akar rumput” kepada yayasan-yayasan. Banyak pengamat berkomentar bahwa tindakan ini hanya memiliki satu tujuan: keuskupan di Filipina, yang telah berusaha untuk memungkinkan pendirian Friar of the Immaculate.


Suster-Suster Immaculata

Setahun setelah pengambilalihan para biarawan Immaculata, Vatikan mengalihkan perhatiannya kepada para suster. Kardinal Braz de Aviz memerintahkan kunjungan yang akan dipimpin oleh Suster Fernanda Barbiero dari Institut Suster-suster St. Dorothy, yang dikenal karena kecenderungan paham feminisnya yang moderat dalam ordo ‘modern.’ Suster Barbiero diberi kuasa yang menyamai komisioner para biarawan. Tetapi ada satu perbedaan penting: sementara kunjungan kepada para biarawan disulut oleh sekelompok kecil pembangkang, tetapi kunjungan kepada para suster Immaculata justru mereka berdiri bersatu menentang kunjungan itu, juga tidak ada keluhan yang dikirim ke Vatikan.

Antara Mei dan Juli 2014 Suster Barbiero menyerukan tambahan dua Pengunjung Kerasulan untuk cabang kontemplatif dari Institut, suster-suster dari the Poor Clare, Damiana Tiberio dan Cristiana Mondonico, yang dilaporkan bersikap menghina secara umum terhadap Ritus Lama. Para Pengunjung memberi tahu para biarawati Immaculata bahwa mereka terlalu banyak berdoa dan melakukan terlalu banyak silih! Juga bahwa mereka “terlalu bersikap tertutup” dan membutuhkan program pendidikan ulang sesuai dengan kriteria KV II.

Para Suster Immaculate mengajukan banding ke Pengadilan Segnatura Apostolik - yang masih dipimpin oleh Kardinal Raymond Burke yang telah berusaha membela para biarawan - terhadap perluasan kekuatan para Pengunjung mereka. Segnatura menyetujui bahwa para Pengunjung telah melampaui kompetensinya seperti yang dijelaskan dalam hukum kanon. Empat bulan kemudian Kardinal Burke diberhentikan oleh Paus Francis dari jabatannya sebagai kepala Segnatura.


Apa Arti Semua Ini?

Pada 7 Juni 2015, langkah-langkah ekstrem ini terhenti: Pastor Fidenzio Volpi kena serangan stroke. Dia dirawat di rumah sakit dan tetapi mninggal pada jam 11:00 hari itu juga. Komisaris baru yang dipilih untuk memimpin Institut adalah Pastor Sabino Ardito, seorang penasihat hukum, yang menjalankan tugas yang sama, tetapi dengan pendekatan yang lebih moderat. Saat tulisan ini dibuat, status lengkapnya - termasuk jumlah orang yang tersisa dalam odro itu tidak diketahui. Berita terbaru adalah bahwa setidaknya ada lima belas dari rumah FFI telah ditutup, 60 orang bruder telah secara resmi meminta untuk dibebaskan dari sumpah mereka - tidak diketahui berapa banyak yang telah keluar - dan setidaknya beberapa rumah para suster juga dilaporkan telah melepaskan semangat hidup bakti religius mereka karena krisis yang terus terjadi. Komisaris baru sedang bersiap untuk menulis ulang aturan-aturan dalam ordo untuk menghapuskan konsekrasi istimewa kepada Bunda Maria, sebuah tindakan konsekrasi yang telah disetujui oleh Paus Yohanes Paulus II. Juga diusulkan oleh komisaris yang baru, untuk mengubah kaul kemiskinan absolut sehingga Ordo dapat memiliki harta kekayaan di masa depan; tujuan dari aturan ini adalah untuk memungkinkan Vatikan mengendalikan Ordo melalui propertinya.

Berbagai surat dan tindakan pastor Volpi telah memberikan klarifikasi pada satu hal: "Intervensi ke dalam Franciscans of Immaculate disulut oleh meningkatnya keterikatan mereka pada sikap teologis terhadap ajaran Katolik Tradisional, bukan sekedar pada Misa Latin Tradisional saja.” Sementara banyak sekali umat Katolik yang berusaha meminimalkan partisipasi dan persetujuan perselingkuhan oleh paus Francis, kelanjutan pembubaran ordo setelah kematian pastor Volpi, terutama setelah begitu banyak intervensi oleh umat beriman yang meminta kepada paus, dapat membuat beberapa orang menjadi ragu.

Jurnalis spesialis Vatikan, Sandro Magister, menulis tentang "keheranan" dunia Katolik pada serangan Vatikan terhadap ordo itu, dengan mengatakan "Fransiskan Immaculate adalah salah satu komunitas keagamaan paling berkembang yang lahir di dalam Gereja Katolik dalam beberapa dekade terakhir." Tetapi perlu dicatat bahwa religius yang ditunjuk untuk mengawasi pengambilalihan ordo itu sendiri adalah anggota-anggota dari kongregasi-kongregasi yang sedang berada dalam kemunduran yang drastis, termasuk Kapusin pastor Volpi dan Salesian pastor Ardito. Sementara Franciscans of Immaculate tumbuh secara eksponensial hanya dalam waktu sedikit lebih dari empat puluh tahun, tetapi Franciscan Friars Minor mengalami anjloknya jumlah panggilan, dari 27.009 anggota pada 1965 menjadi 15.794 pada 2005 - turun 41%. Patut ditanyakan apakah kesuksesan itu, pada kenyataannya, berasal dari pendekatan FFI yang lebih tradisional? yang kemudian memancing kemarahan kaum "progresif" yang telah melakukan percobaannya sendiri selama 50 tahun dan tampaknya gagal.

Spekulasi ini diulangi pada bulan September 2016 oleh seorang ahli Vatikan, Giuseppe Nardi, yang menulis, “Komisaris dan kepala kongregasi religius mengkonfirmasi para pengamat yang telah mencurigai sejak awal: Alasannya adalah sistem pengelolaan dari Ordo seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Sebuah ordo dengan ritus baru, yang telah berpindah ke ritus tradisional, telah menarik banyak panggilan kaum muda dan membangkitkan perhatian yang semakin besar dari ordo-ordo ritus baru lainnya, yang mulai tertarik pada 'kisah sukses' ini, yang jelas sudah tidak ada lagi.” Penghancuran terhadap FFI telah menjadi pesan berharga yang diterima dengan baik oleh ordo-ordo lain, yang telah berhati-hati untuk tetap bersikap menundukkan kepala.

Dalam semua kejadian ini, sikap paus Francis secara khas tetaplah tidak jelas. Dia memalingkan telinganya ke telinga banyak petisi dan permohonan dari para biarawan dan umat beriman, yang duduk sebagai penonton Olimpiade dari pemain-pemain yang saling bertentangan di Vatikan (José Rodríguez Carballo dan Kardinal Braz de Aviz), yang berada dalam posisi berkuasa tetapi dengan latar belakang yang patut dipertanyakan. Tidak ada kasus kanonik formal yang pernah dilakukan terhadap pastor Manelli, sementara itu tuduhan informal tetap tidak ditemukan dan tidak ada pengadilan gerejawi atau sekuler yang menghukum Manelli karena perilaku yang tidak layak. Tetapi bahkan hasil temuan kesalahan pada Komisarisnya sendiri oleh pengadilan sekuler, tetap tidak bisa membangkitkan tanggapan dari pihak paus.

Masih ada banyak pertanyaan, tetapi mungkin yang paling mendesak adalah yang pertama: apa motif sebenarnya dari serangan terhadap biarawan Fransiskan dan para suster Immaculata? Jika itu bukan pertanyaan di bidang liturgi, mengapa masalah liturgi ini yang pertama kali dibatasi pada mereka? Mengapa tidak ada alasan lain yang pernah diutarakan? Mengapa tidak dikatakan bahwa dekrit yang dikeluarkan oleh Kardinal Braz de Aviz bertentangan dengan Summorum Pontificum, sebuah dekrit kepausan?

Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi semakin jelas ketika perselingkuhan para pastor Fransiskan Immaculata dibandingkan dengan Legiun Kristus. Bekas lembaga ini didirikan oleh Manelli yang suci itu, dimana semua tuduhan terhadap dirinya telah dibatalkan oleh pengadilan sekuler; yang terakhir ini disampaikan oleh pecandu narkoba dan pelaku kejahatan sexual, Marcus Maciel, yang biasa melakukan hubungan seks bebas, yang mengabdikan waktunya di antara para simpanannya untuk mengumpulkan banyak sumbangan dari orang-orang kaya. Sedikitnya anggota menunjukkan, lebih dari pada Legioner, adanya aliansi Gereja dengan kapitalisme yang dengannya paus Francis telah melancarkan kecaman berulang-ulang. Sebaliknya, kaum Fransiskan Immaculata adalah bagaikan bayi di dunia politik gerejawi. Mereka mengikuti teladan St. Francis sepenuh-penuhnya, dalam kemiskinan mereka yang sejati, dalam ketulusan mereka untuk meninggalkan hal-hal duniawi, dan dalam pengabdian mereka pada panggilan spiritual. Di sinilah (Fransiskan Immaculata) terdapat "Gereja orang miskin" seperti yang disebut-sebut paus Francis pada awal masa pemerintahannya.

Dalam kasus Legiun Kristus, tuduhan terhadap pendiri dan penjelasan tentang langkah-langkah yang harus diambil, disampaikan kepada publik sejak awal. Kardinal Velasio de Paolis berperilaku seperti seorang ayah yang baik hati terhadap para Legiun, meskipun karisma mereka sangat berbeda dari dia.

Ketika Kardinal Joseph Ratzinger terpilih menjadi Paus pada 2005, dia secara pribadi membuat keputusan untuk menyelidiki kasus tuduhan terhadap Marcial Maciel, pendiri Legiun Kristus. Tingkah laku tak bermoral yang didukung dengan bukti di pengadilan sekuler dan gerejawi dituduhkan, dan hal ini perlu ditangani oleh Bergoglio. Benediktus XVI tidak menghukum Kongregasi itu (Legiun Kristus) secara keseluruhan, tetapi dengan hati-hati dan cermat berusaha untuk menyaring apa pengaruh-pengaruh buruk dari  pendirinya, dan kebaikan apa yang masih dapat dipertahankan. Itu adalah garis kebijakan yang diikuti oleh Kardinal de Paolis. Investigasi itu panjang dan sulit, tetapi dihentikan begitu saja pada awal 2014.

Ketika Jorge Bergoglio terpilih menjadi Paus pada tahun 2013, dia menyetujui investigasi Friars of the Immaculate. Tidak ada tuduhan resmi terhadap pendirinya, pastor Stefano Manelli, dan tidak ada bukti yang disodorkan. Sebuah kampanye muncul di media untuk memfitnah Pastor Manelli, yang dihukum dengan tahanan rumah dan tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Pada saat yang sama, ordonya dikelola secara tirani oleh seorang pastor Kapusin yang menjadikan ordo itu terpuruk ke tanah dan memulai dari awal lagi, untuk menghancurkan elemen penting dari kharisma dan kebaikan dalam institut itu, yang berarti menghancurkan ritual Misa lama.

Memperhatikan perbedaan dalam hal penanganan ini, orang dapat melihat perbedaan dalam kapasitas duniawi dari kedua lembaga tersebut. Legiun Kristus mencirikan diri mereka dan yayasan mereka melalui hubungan dekat mereka dengan para donatur kaya dan lembaga-lembaga-lembaga keuangan, dan sumbangan-sumbangan besar yang mereka berikan kepada Vatikan adalah alasan mengapa tuduhan terhadap pendiri mereka diblokir dan dihentikan untuk waktu yang lama. Fakta-fakta telah berbicara jelas, dan kita bisa melihat siapa di antara anak-anak Gereja ini yang telah menerima belas kasih dan siapa yang telah menerima penghancuran parah yang jarang dijatuhkan kepada ordo lain mana pun.


5.2. CAMPUR TANGAN PADA ORDO MALTA

Perpecahan Secara Nasional Di Antara Para Ksatria Malta

"Ordo Malta" adalah nama yang diberikan saat ini kepada ordo Abad Pertengahan dari Ksatria Hospitaller. Selama lima abad Ordo memerintah berturut-turut di pulau Rhodes dan Malta, dan itulah sebabnya nama yang terakhir diberikan kepadanya secara umum. Meskipun Ordo sekarang beroperasi dari Roma, setelah menyerahkan Malta kepada Napoleon pada 1798, kedaulatan yang diperolehnya selalu (oleh sebuah anomali yang penuh rasa ingin tahu tetapi diterima sepenuhnya) terus diakui dalam hukum internasional: Jajaran Grand Master sebagai pangeran berdaulat, para duta besarnya yang terpilih untuk lebih dari seratus negara, memiliki kedudukan yang sama dengan negara-negara bagian lainnya, dan markas besar Ordo di Roma menikmati status ekstrateritorial. Para ksatria saat ini mengabdikan diri pada tradisi hospitaller mereka dan menjalankan badan-badan amal di seluruh dunia. Inti dari Ordo adalah sejumlah kecil ksatria yang menjalani selibat dengan mengambil sumpah religius, seperti yang mereka lakukan ketika mereka membentuk pasukan tempur elite dalam Perang Salib, tetapi sebagian besar terdiri dari Ksatria dan Dames kehormatan, yang diorganisir di dalam Asosiasi Nasional. Dulu Ordo itu pernah mewakili puncak eksklusivitas aristokrat, tetapi karakter itu telah lama luntur; dan komposisinya berkisar dari aristokrat yang ketat, seperti yang masih terlihat dalam beberapa asosiasi Eropa, hingga kepada negara-negara di mana ia tidak memiliki karakter kebangsawanan sama sekali.

Konflik yang menyebabkan Paus Francis memaksa pengunduran diri Grand Master pada bulan Januari 2017 berasal dari persaingan nasional yang telah memuncak dengan pemilihan Dewan Pemerintahan Ordo sebelumnya. Di satu sisi ada Asosiasi Jerman, yang sejauh ini menjadi terkaya dari kelompok nasional Ordo, karena menerima subsidi besar dari pemerintah Jerman; ia juga sangat efisien, dan menjalankan sejumlah lembaga amal, yang meliputi Malteser International. Tetapi Asosiasi Jerman ini berselisih dengan Grand Master, seorang Inggris, pastor Matthew Festing, yang jabatannya adalah berupa penunjukan seumur hidup. Melalui manajemen pemilihan yang buruk oleh para pendukung Grand Master, dan efisiensi yang sesuai di sisi lain, maka pemilihan 2014 telah menempatkan Jerman dalam posisi yang sangat kuat dalam pemerintahan Ordo: tiga dari sepuluh anggota Dewan berasal dari negara itu (Baron Boeselager, Pangeran Esterhazy dan Pangeran Henckel von Donnersmarck), sementara dua lainnya, keduanya juga bangsawan, adalah calon hasil lobi kelompok Jerman. Di sisi lain ada empat anggota dewan yang merupakan pendukung Grand Master, dengan sepersepuluh yang mungkin disebut sebagai pemilih mengambang. Lima dari jumlah Dewan, selain Grand Master, adalah orang-orang yang mengaku ksatria.

Grand Master Festing adalah seorang Inggris linglung yang, setelah dipanggil ke Italia melalui pemilihannya pada 2008, tidak membuat banyak kemajuan dalam hal bahasa, dan bahkan sangat kurang dalam menguasai lika-liku lingkaran Italia dan Vatikan. Meskipun dia berasal dari keluarga militer terkemuka, pastor Matthew bukanlah aristokrat, dan mungkin caranya yang sederhana itulah yang memberi kontribusi terhadap permusuhan yang ditunjukkan kepadanya oleh beberapa orang dari kelompok Jerman. Pastor Matthew juga seorang tradisionalis yang ‘keluar-masuk,’ dalam hal doktrinal dan liturgi, seperti juga dua atau tiga pendukungnya di Dewan, dan hal ini dengan sendirinya terjadi karena kurangnya pemahaman antara kedua belah pihak mengenai pandangan religius mereka. Tidak semua anggota dewan yang terakhir adalah ksatria yang diakui, tetapi mereka semua, berbeda dengan lima bangsawan di pihak Jerman, adalah orang-orang kelas menengah yang telah menjalani panggilan religius berabad-abad dari Ordo sebagai inspirasi mereka. Inilah aspek yang ingin dipromosikan oleh Grand Master, dan dalam sembilan tahun menjabat, dia mengambil langkah-langkah untuk memperkuat kehidupan spiritual Ordo. Dia mengeluarkan peraturan yang menetapkan kewajiban religius yang lebih ketat bagi anggotanya, mendirikan Institut Spiritualitas, yang kemudian menerbitkan Jurnal Spiritualitas dengan cicilan tahunan, dan memulai kursus formasi untuk para ksatria dan kapelan (chaplain), yang masa depannya (seseorang harus mengatakan) terlihat goyah di bawah manajemen baru. Ketika pastor Matthew Festing mengambil alih sebagai Grand Master, hanya ada sekitar tiga puluh orang yang mengaku sebagai ksatria, tetapi dia sangat mendukung kelompok itu, meningkatkannya menjadi sekitar enam puluh anggota dari berbagai negara. Sungguh mengejutkan bahwa, meski terus mendesak, tidak satu pun dari orang-orang ini berasal dari Jerman. Dapat ditambahkan bahwa orang-orang yang mengaku sebagai para ksatria dewasa ini kebanyakan tidaklah mulia perbuatannya, dan itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa Asosiasi Jerman yang sangat aristokratik itu memandang mereka dengan penuh curiga.


Sebuah Skandal Di Dalam Karya-Karya Amal

Selama bertahun-tahun sebelum 2017 muncul laporan bahwa badan amal yang dijalankan oleh Asosiasi Jerman, termasuk Malteser International, secara diam-diam mendistribusikan kondom sebagai bagian dari pekerjaan mereka di Asia, Afrika, dan di tempat-tempat lain. Hal ini berada di bawah tanggung jawab Baron Albrecht von Boeselager sebagai Grand Hospitaller, jabatan yang dipegangnya hingga 2014, dan Grand Master Festing memerintahkan penyelidikan atas hal itu, yang dimaksudkan untuk mendorong pembentukan komite etik di bawah kepemimpinan Cardinal Eijk; ini adalah bagian lain dari karya pastor Matthew yang sekarang terhenti. Laporan tersebut disampaikan pada tahun 2016, dan dari akunnya tentang kegiatan pembagian kondom, jelas bahwa Boeselager memiliki alasan untuk mempertanggungjawabkan, bahkan mungkin dialah yang memerintahkan pembagian itu, karena dia tidak mau mengungkapkannya. Namun, sementara itu, Boeselager telah terpilih menjadi pejabat Kanselir Besar, yang merupakan perdana menteri Ordo. Grand Master menginginkan tindakan disipliner terhadapnya atas tindakannya sebagai Grand Hospitaller, dan dia didukung dalam hal ini oleh Cardinal Burke, yang adalah Patronus dari Ordo.

Pada November 2016, Kardinal Burke mengadakan audiensi dengan Paus Francis di mana dia menjelaskan tentang skandal distribusi kondom dan meminta izin untuk bertindak menentangnya. Sebuah surat dari Paus 1 Desember tampaknya memberikan wewenang itu. Mengenai masalah kondom, tertulis: “Perhatian khusus hendaknya dilakukan dalam metode dan sarana yang bertentangan dengan hukum moral agar tidak digunakan dan didistribusikan dalam kegiatan amal serta berbagai upaya bantuan. Jika di masa lalu beberapa masalah telah muncul di bidang ini, saya berharap hal itu bisa diselesaikan sepenuhnya. Saya terus terang tidak senang jika, pada kenyataannya, beberapa Pejabat senior - seperti yang Anda sendiri telah katakan kepada saya - sementara mengetahui praktik-praktik ini, terutama mengenai distribusi alat kontrasepsi dalam bentuk apa pun, sampai sekarang mereka tidak melakukan intervensi apa pun untuk mengakhiri hal itu.”

Hal ini sepertinya adalah sinyal untuk terus bergerak maju. Ada juga bagian-bagian dari surat itu yang mencerminkan pengalaman-pengalaman masa lalu paus Francis dengan Ordo di Argentina, sebuah latar belakang yang perlu dijelaskan. Kisah tersebut menyangkut hubungan Bergoglio dengan politisi Argentina, Esteban Caselli, yang adalah seorang Ksatria Malta dan duta besar Ordo; yang terkait dengannya adalah Uskup Héctor Aguer, seorang kapelan kehormatan Ordo. Kembali pada tahun 1997, ketika muncul pertanyaan tentang penerus Kardinal Quarracino, Aguer mendapat peringkat sejajar dengan Bergoglio sebagai salah satu uskup pembantu di Buenos Aires, dan Caselli menggunakan relasinya dengan Vatikan untuk mencoba membuatnya dipromosikan ke keuskupan agung sebagai pilihan untuk Bergoglio.  Ketika yang terakhir diangkat sebagai gantinya, Caselli berusaha melakukan isyarat rekonsiliasi dengan mengatur agar pemerintah mengiriminya tiket kelas satu ke Roma ketika dia pergi ke sana untuk menerima pallium, tetapi Bergoglio mengembalikannya dalam keadaan hancur. Manuver-manuver tahun 1997 tidak memiliki corak ideologis tertentu (Aguer tampaknya merupakan kandidat yang lebih terawat dan lebih baik, meskipun tidak tampak lebih konservatif), tetapi selama lima belas tahun berikutnya, ketika Bergoglio bergerak dengan jelas ke arah kiri, Caselli dan Aguer muncul sebagai tokoh-tokoh terkemuka dalam oposisi konservatif terhadapnya. Konflik terulang kembali pada tahun 2010, ketika hubungan buruk Bergoglio dengan pemerintah Kirchner mencapai titik tertentu hingga sekelompok uskup dan umat awam berusaha menggantikannya sebagai Uskup Agung Buenos Aires. Uskup Aguer belum tentu merupakan alternatif yang dapat dibayangkan pada kesempatan ini, tetapi Caselli, dengan pengaruh Vatikannya, sekali lagi menjadi aktor awam terkemuka.

Peristiwa-peristiwa di tanah kelahirannya ini telah memberi Paus Francis pengalaman yang tidak biasa dari Ordo Malta. Ordo itu adalah organisasi yang terdesentralisasi, dan kebijakannya (jika orang dapat menyebutnya demikian) adalah membentuk sebuah Asosiasi di suatu negara dan membiarkannya berjalan dengan caranya sendiri. Hasilnya adalah bahwa di sebagian besar Amerika Latin, ia biasanya menampilkan karakter plutokratis, dengan sedikit perhatian pada karya amal di mana ia bersinar di tempat lain; dengan kata lain kegiatan itu mewakili semacam sayap kanan, Katolik kapitalistik, yang melawan retorika Bergoglio yang biasa diarahkan. Bergoglio juga mengetahui fitur lain, skandal di pondok Masonik Italia P2, yang mencapai klimaksnya pada 1990-an setelah pemimpin pondok ditemukan terbunuh oleh musuh Mafia, sedangkan orang nomor dua, bankir Umberto Ortolani, dipenjara karena kebangkrutan oleh skandal penipuan; selain Italia, Argentina adalah negara di mana pondok Masonik Italia P2 paling banyak menyebarkan tentakelnya. Ortolani kebetulan adalah seorang Ksatria Malta (tentu saja dia menyembunyikan keanggotaan Masoniknya), dan menjadi duta besar Ordo di Amerika Latin. Kekeliruan-kekeliruan masa lalu ini membantu menjelaskan beberapa pernyataan dalam surat paus Francis kepada Kardinal Burke yang tidak memiliki relevansi dengan masalah yang telah diangkat bersamanya. Paus menyinggung "manifestasi dari roh duniawi yang bertentangan dengan iman Katolik" dan memperingatkan terhadap "afiliasi dan asosiasi, gerakan dan organisasi" – yaitu Freemasonry, yang selalu menjadi lebah di topi Bergoglio. Referensi-referensi ini harus dipintal oleh beberapa jurnalis menjadi sebuah cerita utuh yang, dalam intervensi di Ordo Malta, paus Francis kenyataannya cenderung menentang Katolisitas "duniawi" yang diwakili oleh Grand Master, berbeda dengan Boeselager dan partainya. Seperti yang digambarkan oleh uraian di atas, tidak ada yang berada jauh dari kebenaran.

Dipersenjatai dengan surat Paus, Kardinal Burke muncul di markas besar Ordo di Roma dan mengumumkan bahwa sudah waktunya untuk mengambil tindakan atas skandal kondom. Gagasan awalnya adalah untuk menerapkan proses disipliner terhadap Boeselager, yang akan memberikan penangguhan atas jabatannya sementara tuduhan itu diselidiki; tetapi ini membutuhkan mayoritas dua pertiga dalam Dewan Ordo, yang ternyata diblokir oleh kelompok Jerman. Karena itu, Grand Master memilih, dengan menggunakan kekuatannya sebagai pemimpin agama, untuk menuntut pengunduran diri Boeselager di bawah janji yang telah diambilnya sebagai Ksatria Ketaatan (kelas khusus Ordo, yang memenuhi syarat seorang ksatria yang belum diakui, untuk memegang jabatan yang lebih tinggi). Atas penolakan Boeselager, pada 8 Desember 2016 Grand Master memecatnya, secara teknis karena alasan melanggar janji kepatuhan. Tidak ada klaim yang dibuat (seperti yang diduga beberapa orang kemudian) bahwa Paus secara eksplisit memerintahkan pemecatan Boeselager, tetapi suratnya tampaknya merupakan jaminan bahwa dukungan kepausan ada di sana untuk tindakan Grand Master.


Ikuti Uangnya

Namun, dalam perselisihan ini, yang merupakan masalah moral dan disipliner, ada urusan lain yang menjelaskan intervensi luar biasa yang sekarang dilakukan oleh Vatikan. Ini menyangkut dana perwalian besar yang telah didirikan bertahun-tahun sebelumnya oleh seorang donatur Prancis, dengan maksud bahwa sebagian dari donasi itu akan diperuntukkan bagi Ordo Malta, setelah kematiannya nanti. Pada 2013 dana tersebut dikelola oleh wali amanat di Jenewa yang terkenal karena menangani berbagai perwalian di negara bebas pajak dan sejenisnya; dia telah menarik perhatian jurnalistik pada kesempatan lain ketika transaksi keuangan rahasia diungkapkan, misalnya pada saat mencuatnya kasus Panama Papers. Nama-nama pemilik dana Swiss dan wali amanat sangat terkenal dan telah diterbitkan, tetapi mereka tidak disebutkan di sini karena ancaman tindakan hukum yang akan segera dibuat untuk menjaga anonimitasnya. Namun dapat dinyatakan bahwa pada tahun 2013, di bawah Kanselir Besar sebelumnya, Ordo memulai gugatan terhadap wali atas manajemen kepercayaannya, dan penerima manfaat potensial lainnya yang terkait dalam kasus ini, termasuk Ordo Hospitaller St. John of God. Mereka mengajukan keluhan kepada jaksa penuntut umum, yang merespons hal itu dengan membekukan aset-asetnya.

Namun, pada 2014, ketika Boeselager menjadi Kanselir Besar, dia memprakarsai sebuah kebijakan baru, dan sejumlah tokoh lain terlibat dalam kasus ini. Mereka termasuk dua orang bankir yang merupakan Knights of Malta dan bekerja aktif di Swiss. Yang terhubung dengan mereka adalah nuncio kepausan di Jenewa, Uskup Agung Silvano Tomasi; dia adalah Presiden sebuah yayasan, Caritas in Veritate, yang memiliki salah satu dari dua bankir sebagai Bendahara. Uskup Agung Silvano Tomasi secara mengejutkan menikmati hubungan persahabatan dengan wali amanat yang berkuasa, yang terbiasa memulai tulisan surelnya (email) dengan “Caro Silvano.” Tiga tokoh yang disebutkan dalam hubungan dekat dengan Grand Chancellor Boeselager, dan mereka mendukung kebijakan baru yang ia anjurkan: untuk menghentikan gugatan terhadap wali amanat dan mencapai kesepakatan di mana dia akan melepaskan sebagian dana yang disepakati. Sejauh mana Takhta Suci mendapat keuntungan, adalah masalah yang masih harus disengketakan. Uskup Agung Tomasi mengharapkan uang dari dana piutang. Diperkirakan bahwa Boeselager sedang diandalkan untuk memastikan bahwa Vatikan mendapatkan keuntungan dari uang yang diterima Ordo Malta, dan sebenarnya telah dituduhan bahwa Vatikan sedang menunggu untuk membatalkan status kedaulatan Ordo Malta dan memegang kunci semua aset kekayaannya.

Namun, proposal untuk mencapai kesepakatan dengan wali amanat itu muncul menentang oposisi Grand Master Festing, yang ingin gugatan itu berjalan di jalurnya. Hal ini memiliki hambatan tersembunyi (walaupun dia tidak menyadarinya) bahwa wali amanat itu mengancam untuk mengungkapkan semua komunikasi yang dia miliki dengan Boeselager dan rekan-rekannya, jika dia diinterogasi oleh pihak penegak hukum, sebuah nasib yang hanya bisa dihindari oleh Bergoglio jika ada kompromi tercapai. Sebagai sentuhan terakhir, batas waktu penuntutan pidana adalah akhir Januari 2017.


Campur Tangan Vatikan

Ini berarti bahwa pemecatan Boeselager pada 8 Desember 2016 memicu krisis nyata, dan itu tidak ada hubungannya dengan distribusi kondom. Tanpa dia sebagai Kanselir Agung, tidak ada harapan untuk menghentikan gugatan pada bulan Januari; berbagai pihak tidak akan mendapatkan uang yang mereka harapkan, dan sejumlah komunikasi pribadi yang memalukan akan menjadi sorotan publik. Untungnya (dari sudut pandangnya) Boeselager berada dalam posisi yang baik untuk mengendalikan keadaan. Ketika peristiwa itu terjadi, saudara lelakinya, George, baru saja diangkat ke Komisi Kardinal untuk Pengawasan dari Institut Agama, penunjukan ini diumumkan pada 15 Desember; dengan kata lain, dia telah menjadi salah satu gubernur Bank Vatikan. Albrecht Boeselager sendiri terkenal luas sebagai pencuri bersama dengan Kardinal Parolin, Sekretaris Negara. Pada kenyataannya, pada bulan April 2017, seorang Ksatria Malta dari Jerman, mengungkapkan bahwa kedua orang itu telah bekerja bersama secara sistematis selama dua tahun terakhir untuk melemahkan posisi Kardinal Burke dalam Ordo Malta. Uskup Agung Tomasi, tentu saja, memiliki hotline kepada Sekretaris Negara. Dalam beberapa hari, aparat Vatikan bertindak untuk membatalkan pemecatan yang tidak tepat itu. Kardinal Parolin menulis kepada Grand Master sebuah surat panas yang menyatakan bahwa niat Paus harus dipahami dalam konteks dialog, dan bahwa dia tidak pernah bermaksud pemberhentian siapa pun (pernyataan ini sangatlah ironis, karena bertentangan dengan apa yang terjadi kemudian). Tetapi Grand Master dan Cardinal Burke, yang menafsirkan sikap Paus dalam suratnya 1 Desember, tidak melihat alasan untuk menyerah. Langkah-langkah yang lebih kuat akan diperlukan di pihak Kardinal Parolin, dan mereka mengambil bentuk tindakan yang sangat terbuka. Pada 22 Desember Parolin mengumumkan penunjukan sebuah komisi (sebuah ‘kelompok’) untuk mempelajari pemecatan Kanselir Besar. Terdiri dari Uskup Agung Tomasi sebagai presiden, dua bankir yang telah terlibat dalam bisnis dana Swiss, Ksatria Belgia dari Malta yang sudah tua, yang merupakan partisan tanpa syarat dari kelompok Boeselager, dan seorang Jesuit kurial yang memenuhi syarat untuk jabatannya, untuk menilai dari berbagaipernyataannya selama investigasi, mungkin hal ini merupakan ketidakpedulian terhadap moralitas penggunaan kondom.

Poin pertama yang dibuat atas tindakan ini adalah berupa suatu yurisdiksi. Pada tahun 1952, ketika perselisihan muncul antara Ordo Malta dengan Tahta Suci, Paus Pius XII secara pribadi menunjuk komisi khusus lima kardinal untuk mengatasinya, karena jika kurang dari itu tidak akan mempan menghadapi karakter kedaulatan Ordo; namun di sini diusulkan, atas wewenang Sekretaris Negara, untuk meminta lima orang yang tidak berstatus penting, untuk menilai tindakan-tindakan Grand Master of the Order dan kardinal, atas saran siapa dia bertindak. Kesalahan kedua adalah konflik kepentingan yang mencolok dari setidaknya tiga komisaris yang disebutkan; memang mengherankan bahwa Kardinal Parolin dengan ceroboh mengarahkan perhatian dengan cara ini ke titik konflik yang sebenarnya, sebuah tautan yang segera diambil oleh Pers: jika tidak ada yang lain, hal itu menunjukkan apa yang dia pikir menjadi masalah sebenarnya. Dan anomali ketiga adalah ketidaksesuaian antara tujuan yang diakui komisi - untuk menyelidiki pemecatan Kanselir Besar - dan apa yang terus dilakukan. Pada tanggal 7 Januari 2017 Uskup Agung Tomasi mengedarkan surat kepada para anggota Ordo, yang kebanyakan dari mereka tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang status pemberhentian, mengundang mereka untuk menyerahkan informasi apa pun yang mereka suka. Apa yang dia lakukan adalah meluncurkan semacam tindakan ‘menyapu kotoran’ terhadap Grand Master Festing dimana atas dasar hal itu maka pemecatannya bisa dipaksakan. Komisi melakukan pekerjaannya dengan tergesa-gesa dan tidak sopan. Hal ini dilakkan untuk menghasilkan, jauh sebelum batas waktu yang ditentukan pada akhir Januari, sebuah laporan jahat yang memfitnah, yang secara eksklusif merupakan karya musuh-musuh dari Grand Master.

Di bawah serangan gencar ini, respons Grand Magistry tidak efektif sejak awal. Setelah memberhentikan Boeselager, pastor Matthew Festing pergi ke Inggris untuk menikmati liburan Natal. Sendiri di rumah, dia mengeluarkan serangkaian pernyataan agresif yang menimbulkan kesan buruk saat dipublikasikan di Pers. Sementara itu di Roma, jabatan Kanselir Besar telah dipindahkan kepada ksatria senior yang ada, pastor John Critien, yang sampai saat itu menjadi kurator koleksi seni Ordo. Dia adalah orang yang ramah, tanpa pengalaman diplomasi atau pun hukum. Menanggapi serangan-serangan terhadap Grand Master dia mengeluarkan, tanpa proses pengeditan yang tepat, pembelaan yang ditulis oleh pengacara resmi Ordo, yang diterbitkan dalam bentuk yang tidak jelas dan tidak layak. Ketika komisi Kardinal Parolin diangkat, Grand Master menanggapi pada tanggal 23 Desember dengan sepucuk surat kepada Paus, ditulis dengan penuh hormat, menunjukkan mengapa komisi itu "tidak dapat diterima" - sebuah kata yang dipilih sebagai bukti keteguhan hati. Pers bisa hidup dengan adanya "konflik tajam" yang muncul antara Ordo Malta dan Paus; namun harus disadari bahwa pastor Matthew Festing tidak memiliki gagasan seperti itu di kepalanya. Dia membayangkan bahwa dia mendapat dukungan Paus dalam tindakan untuk menghukum distribusi kondom, dan bahwa dia hanya menolak intervensi yang dibuat Kardinal Parolin karena alasannya sendiri. Sama tidak beralasannya adalah gagasan tentang bentrokan mendasar antara sikap moral garis keras di pihak Grand Master dan Cardinal Burke, dan kebijakan yang lebih "bermurah hati" yang ditempuh oleh Paus Francis. Suratnya tanggal 1 Desember, mengecam "alat kontrasepsi apa pun" sebagai tindakan yang "bertentangan dengan hukum moral" tampaknya cukup jelas - kecuali paus telah berubah pikiran sejak saat itu.

Selama tujuh minggu sampai Paus Fransiskus memaksakan pengunduran diri pastor Matthew, Ordo itu membela haknya untuk menjalankan pemerintahannya dengan caranya sendiri, dan beberapa pihak menuduhnya sombong karena telah menegaskan kedaulatannya terhadap Tahta Suci; tetapi tindakan ini seperti mengutuk kesombongan seseorang yang membela haknya atas rumahnya sendiri, tepat sebelum pemerintah memutuskan untuk menyitanya. Orang secara alami akan menegaskan hak-hak yang telah dihormati di masa lalu. Seperti yang disebutkan sebelumnya, sudah ada konflik sebelumnya pada tahun 1950-an, yang muncul dari ambisi seorang kardinal yang kuat untuk menjadikan dirinya sendiri ditunjuk sebagai Grand Master. Pada 19 Februari 1953, keputusan Tahta Suci sendiri memutuskan bahwa Ordo Malta, sebagai ordo religius, tunduk pada yurisdiksi Kongregasi untuk Agama, dan pada saat yang sama ia mengakui kedaulatan Ordo sebagai entitas politik. Tidak ada saran bahwa Sekretariat Negara memiliki yurisdiksi atas Ordo – hal ini cukup logis, karena ini adalah departemen Vatikan yang bertanggung jawab atas hubungannya dengan pemerintah lain, termasuk Ordo Malta. Faktanya, jika kita melihat apa yang terjadi pada waktu itu, Sekretariat Negara Vatikan tidak berusaha untuk campur tangan dalam perselisihan, tetapi ia bertindak dengan benar, hanya dengan mempertahankan hubungan diplomatik yang biasa dengan Ordo Malta.

Namun, pada 2016 - 2017, keputusan yang diberikan pada 1953 diabaikan oleh Kardinal Parolin. Pemecatan Kanselir Agung adalah masalah pemerintahan politik Ordo, dan bahkan jika belum, sebenarnya tidak ada upaya untuk merujuk kasus itu kepada Kongregasi Agama di Vatikan, sebagai badan yang kompeten; Kardinal Parolin sebagai Sekretaris Negara Vatikan, mengklaim otoritas atas Ordo sebagai hal yang mutlak, seolah-olah itu adalah sebuah dewan paroki. Perbedaan antara kedua kasus itu adalah bahwa pada tahun 1950 Paus Pius XII menghormati hukum, dan perselisihan itu kemudian berakhir dengan kemenangan bagi Ordo (kardinal tidak pernah menjadi Grand Master Ordo). Dikatakan bahwa kekalahan ini selalu menjadi ganjalan di Vatikan, yang menganggap bahwa konflik itu sebagai pertempuran pertama dalam perang yang belum terselesaikan.

Pengabaian Kardinal Parolin terhadap hukum dengan cepat disaingi oleh paus Francis sendiri. Pada 23 Januari dia memanggil pastor Matthew Festing untuk datang ke Vatikan, tanpa memberi tahu siapa pun dan tidak boleh mengajak siapa pun bersamanya. Dalam audiensi mereka pada sore berikutnya, paus Francis menuntut pengunduran diri pastor Matthew segera, sementara Baron Boeselager akan diangkat kembali sebagai Kanselir Agung. Karena itu, dalam intervensi kepausan yang mencengangkan ini, orang yang dicurigai mencela ajaran moral Gereja itu justru diberi ganjaran, dan atasan yang telah mencoba mendisiplinkannya, kehilangan jabatannya.


Apa Yang Ada Dibalik Ini?

Orang tidak perlu menunjukkan betapa tidak proporsionalnya pemecatan Grand Master dalam kasus ini: bahkan jika pastor Matthew bertindak keliru dalam memberhentikan Boeselager, apakah pengunduran dirinya merupakan hukuman yang tepat? Tetapi kenyataannya tindakan itu memiliki penjelasan yang mudah, dan bahkan tidak masuk akal. Pastor Matthew Festing memiliki nilai-nilai latar belakang militer Inggrisnya, dan dia marah karena Boeselager menolak untuk mengundurkan diri ketika diminta. Seorang gentleman, menurutnya, jika melakukan hal yang tidak layak dalam kasus seperti itu, dia akan mundur meski tanpa diminta oleh orang lain. Dalam minggu-minggu sebelum 24 Januari, dia mengatakan secara terbuka di istana magistral: "Jika Paus meminta saya untuk mengundurkan diri, saya akan melakukannya." Dia mengatakan ini bukan karena dia punya pendapat bahwa tindakan itu terjadi - karena pada saat itu dia membayangkan bahwa dia bertindak dengan dukungan Paus – bukan sebagai tindakan pribadi. Tapi, seperti semua yang dikatakan di Palazzo Malta, ucapannya cepat dikenal di Vatikan; Paus diberitahu, dan dia segera melihat adanya sebuah kemenangan yang mudah. Karena itu paus Francis meminta pengunduran diri pastor Matthew pada 24 Januari karena paus sudah tahu sebelumnya bahwa dia akan mendapatkan kemenangannya.

Kita juga harus mempertimbangkan segala akrobat dari kemenangan ini: balas dendam atas peristiwa tahun 1950-an, ketika Vatikan telah dipermalukan dalam perselisihannya; balas dendam atas oposisi yang dialami Bergoglio sendiri dari anggota Ordo Malta di Argentina; balas dendam bahkan untuk Perang Falklands (perang antara Argentina melawan Inggris, 1982, yang akhirnya dimenangkan oleh Inggris), ketika ada seorang diktator Argentina telah dikalahkan oleh seorang pemimpin Inggris. Siapakah yang bisa menolak tindakan ‘pembalasan’ ini? Orang mungkin melihat hal itu sebagai wujud kemenangan seorang paus populis atas ordo aristokrat, tetapi yang tidak diketahui orang banyak adalah bahwa disitulah trik dari paus Francis bermain dan terlaksana dengan aman. Jika kita melihat ke dalamnya, efek sebenarnya dari intervensi paus ini adalah mendukung kudeta aristokrat dalam Ordo Malta. Ini dapat ditunjukkan hanya dengan melafalkan nama-nama anggota Dewan Ordo Jerman: Baron Albrecht von Boeselager, Pangeran Janos Esterhazy dan Pangeran Winfried Henckel von Donnersmarck, didukung oleh Presiden Asosiasi Jerman, Pangeran Erich Lobkowicz, dan saudaranya Johannes, yang memimpin oposisi ketika Boeselager diberhentikan. Merekalah yang sekarang berada di atas pelana (sebagai pemenang), sementara pihak lain dalam Ordo - anggota non-bangsawan dari Dewan yang mendukung Grand Master - telah pergi ke tempat persembunyian. Ini adalah sebuah gambaran yang persis berlawanan dengan penolakan paus terhadap beberapa keistimewaan pada kelompok tertentu, seperti yang dipikirkan oleh beberapa wartawan.

Tetapi aspek yang paling signifikan dari tindakan paus ini adalah bahwa tindakan itu merongrong Kardinal Burke, terhadap siapa paus Francis telah memobilisasi tuduhan subversi terselubung, sejak dubia muncul pada Desember sebelumnya. Peranan Burke sebagai Kardinal Patronus (pelindung) dari Ordo Malta ditangguhkan, sementara Uskup Agung Becciu ditunjuk sebagai Delegasi khusus untuk mengelola Ordo Malta menggantikan Grand Master, dengan mengabaikan total status kedaulatan Ordo. Makna dari pergolakan itu bahkan lebih jelas: dengan satu pukulan saja, kepergian pastor Matthew Festing telah memindahkan sekutu Kardinal Burke yang paling berpandangan sama di Ordo Malta, dan menempatkan Burke di bawah kendali Boeselager, musuh yang dideklarasikannya, yang telah memprotes dengan sengit, menentang pengangkatannya sebagai Patronus pada tahun 2014.


Sebuah Ordo Yang Dipenggal Kepalanya

Intervensi paus Francis dilakukan dengan metode-metode yang sudah biasa dilakukannya. Pengunduran diri Grand Master masih mensyaratkan, di bawah konstitusi Ordo, untuk disetujui oleh Dewan; pada tanggal 25 Januari, sehari setelah pengunduran diri pastor Matthew, Kanselir Besar menerima panggilan telepon dari Uskup Agung Becciu, atas nama paus, memperingatkannya terhadap setiap putusan terakhir yang dijatuhkannya. Pada hari yang sama, seorang uskup kurial, yang tidak memiliki kaitan dengan Ordo Malta, tetapi cenderung bersikap baik terhadap Ordo, datang untuk memberikan nasihat pribadi. Dia mengatakan kepada para ksatria Ordo: "Anda perlu menyadari bahwa paus Francis adalah seorang diktator yang kejam dan pendendam, dan jika Anda membuat upaya perlawanan sekecil apa pun, dia akan menghancurkan Ordo."

Dengan memperhatikan nasihat dan peringatan ini, pada tanggal 28 Januari, Dewan Ordo, dengan Grand Master yang masih ada, memilih untuk menyerah: Pengunduran diri pastor Matthew diterima, kemudian pastor John Critien mengundurkan diri sebagai Kanselir Agung, dan Baron Boeselager menggantikan posisinya, dan muncul di hadapan sidang dewan segera setelah Grand Master meninggalkannya. Dalam beberapa hari setelah perubahan jabatan dilakukan, Boeselager menghentikan gugatan pengurus Ordo di Jenewa, tepat pada waktunya. Ordo telah menerima 30 juta euro dari tindakan itu, dan Uskup Agung Tomasi dilaporkan telah dibayar 100.000 franc Swiss untuk yayasannya sendiri. Sedangkan untuk masalah pembagian kondom, penolakan tanggung jawab Boeselager telah diterima tanpa pemeriksaan lebih lanjut, dan dia adalah orang yang secara efektif mengendalikan Ordo sejak saat itu.

Sejak itu, tekanan Vatikan terhadap Ordo terus berkurang. Dalam percakapannya dengan Paus pada 24 Januari, Grand Master Festing telah setuju untuk mengundurkan diri dengan pengertian bahwa pemilihan umum yang normal akan diadakan untuk memilih penggantinya, tetapi dia bertanya kepada Paus, "Bagaimana jika mereka memilih saya kembali?" Paus Francis mengatakan bahwa hal itu akan diterima. Jawaban paus ini dilaporkan oleh pastor Matthew kepada ksatria yang mengikutinya di mobil yang kembali dari Vatikan, dan jawaban itu diketahui oleh semua orang di istana magistral pada malam yang sama.

Dalam acara tersebut, pemilihan pada akhir April diadakan di bawah intervensi Vatikan, termasuk upaya untuk mencegah pastor Matthew mengambil bagian di dalamnya, seperti halnya haknya sebagai Bailiff Grand Cross of the Order; dengan hal ini semakin diperjelas bahwa pemilihan pastor Matthew kembali, tidak akan ditoleransi oleh Bergoglio. Hasilnya adalah pemilihan non-entitas untuk memimpin Ordo, bukan sebagai Grand Master, tetapi sebagai Letnan sementara, selama dua belas bulan, sebagai kedok terbaik atas kontrol berkelanjutan dari Boeselager (yang tidak diakui, tidak memenuhi syarat). Hasil ini diperoleh di tengah keprihatinan yang meluas di lingkungan Ordo atas banyaknya masalah yang telah terungkap: latar belakang keuangan yang kabur di tengah krisis, intervensi sewenang-wenang dari Vatikan, ketidakadilan terhadap pastor Matthew Festing, penghentian penyidikan atas skandal pembagian kondom, dan sekularisasi Ordo, yang kemungkinan akan dituntut sebagai syarat oleh "reformasi" yang dibicarakan oleh Boeselager dan kelompok Jerman.

Intervensi paus Francis dalam Ordo Malta termasuk dalam pola yang akrab dari metodenya: mengenai Kardinal Burke, sebuah percakapan awal di mana paus memberi kesan seolah dia mendukung, dan kemudian diikuti dengan pengkhianatan komprehensif, yang ditujukan untuk mempermalukan lawan (Burke); tentang Grand Master, sebuah panggilan pribadi untuk datang sendirian menemui paus, tidak boleh memberitahu aau mengajak siapa pun, dan permintaan kejutan paus kepada Grand Master untuk mengundurkan diri. Terkait dengan ini, adalah sikap angkuh paus Francis terhadap ajaran moral Gereja, namun memberi penghargaan yang sangat besar dan praktis terhadap uang dan kekuasaan, dimana paus duduk dengan gelisah dengan membawa sebuah ide tentang "Gereja kaum miskin" dan kutukan "keduniawian spiritual."

Namun demikian, tidak seperti Friars of the Immaculate (FFI), Ordo Malta tidak menderita secara pribadi karena pukulan terhadap pemerintahnya. Yang menderita adalah supremasi hukum. Dalam beberapa hari setelah pemberhentian Grand Master, sejumlah kritik muncul, terutama dari para pengacara, terhadap apa yang telah dilakukan paus Francis. Ditunjukkan oleh para pengkritik bahwa, jika Takhta Suci dapat menguasai dengan kasar atas kedaulatan Ordo Malta, namun tidak ada yang bisa menghentikan pemerintah Italia mengirim polisi untuk menyelidiki keuangan Kota Vatikan. Ada sedikit keraguan bahwa pertimbangan ini akan menghentikan paus Francis dan Kardinal Parolin untuk berbaris di sana dan kemudian dan mengambil alih Ordo tanpa syarat, seperti yang dinyatakan oleh deklarasi awal mereka. Itu adalah ciri khas dari sebuah episode di mana pertimbangan kekuasaan dan kontrol keuangan menjadi berkuasa, sedangkan moralitas tidak diperhatikan.