Anda dapat membodohi semua orang
dalam beberapa waktu,
atau membodohi beberapa orang
sepanjang waktu,
tetapi Anda tidak dapat membodohi
semua orang sepanjang waktu.
ABRAHAM LINCOLN
PAUS DIKTATOR
Marcantonio
Colonna
6. KREMLIN SANTA
MARTA
Hukuman Dan Hadiah
Mengomentari pada awal 2017 tentang rezim yang
dijalankan paus Francis di Vatikan, salah satu jurnalis Katolik Inggris paling
terkenal, Damian Thompson, telah menulis: “Tidak sulit untuk mendeteksi adanya
citarasa Amerika Latin terhadap setiap pembuatan kesepakatan dan penyelesaian
skor yang telah nampak semakin mencolok selama setahun terakhir." Kenyataannya
aspek itu telah menunjukkan dirinya di tanahnya sendiri sejak pada tahap awal.
Sebelum pemilihannya, Kardinal Bergoglio telah berkonflik dengan kelompok
agama, Institute of the Incarnate Word,
yang didirikan di Argentina tiga puluh tahun sebelumnya, dan telah terbukti
sangat sukses, berhasil menarik banyak panggilan. Namun ia ditentang oleh
elemen-elemen dalam hirarki nasional yang merasa tertantang oleh gerakan
karakter konservatif, tetapi Benediktus XVI telah menolaknya, menolak kasus
uskup Argentina pada tahun 2009. Dalam beberapa hari setelah pemilihannya, Paus
Francis membuka kembali dan segera mengirim pendiri dari Institut itu, Pastor
Buela, ke pengasingan di Spanyol.
Dua anggota hierarki Gereja Argentina juga merasakan
angin baru yang bertiup. Pada 2014 Mgr. José Luis Mollaghan diberhentikan
sebagai Uskup Agung Rosario dengan alasan bahwa dia berselisih dengan klerusnya,
dan pada tahun berikutnya Mgr. Oscar Sarlinga dicopot sebagai uskup Zárate yang
diduga karena kesulitan ekonomi di keuskupannya. Kesamaan yang mereka miliki
adalah bahwa pada tahun 2011, ketika ulang tahun ketujuh puluh Kardinal
Bergoglio mendekat, mereka telah menulis surat kepada Roma yang mendesak agar usulan
pensiun bagi Francis segera diterima.
Sosok lain yang menerima ‘seruan’ singkat adalah seorang
kelahiran Argentina, Rogelio Livieres, Uskup Ciudad del Este di Paraguay.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, dia telah mendirikan seminari yang
memperoleh kesuksesan besar, menarik banyak siswa dari seluruh Amerika Selatan,
termasuk beberapa dari seminari Bergoglio sendiri di Buenos Aires. Selama masa
Livieres menjabat, keuskupannya menunjukkan peningkatan spektakuler dalam
setiap aspek kegiatan keagamaan; jumlah imam diosesan saja meningkat dari 14
menjadi 83. Memang benar bahwa Livieres melakukan kesalahan serius: dia
mempromosikan seorang imam asing, tertipu oleh apa yang oleh atasan sebelumnya
digambarkan sebagai "kepribadiannya yang brilian dan karismatik", dan
mengabaikan fakta bahwa pria itu telah dituduh dalam karier seminaris
sebelumnya, karena menganiaya para seminaris secara sexual. Tetapi pada
kenyataannya kesalahan penilaian ini bukanlah sebuah tuduhan yang dibuat oleh paus
Francis terhadap Uskup Livieres; apa yang dia duga adalah bahwa Livieres bersengketa
dengan sisa hierarki Paraguay - bagaimana dia tidak bersengketa, mengingat apa yang
dilakukan mereka itu (hierarki)? Pada bulan September 2014 Uskup Livieres
diberhentikan; seminarinya bubar dan karyanya yang luar biasa di Amerika
Selatan hancur.
Merenungkan tindakan-tindakan ini, orang mungkin
mengakui bahwa beberapa paus - yang sangat langka - telah naik takhta dengan
ketidaksabaran terhadap masalah-masalah gerejawi tertentu yang mereka hadapi
dalam masa pemerintahan mereka dan mereka menanganinya dengan singkat. Tetapi
seorang ahli minutia kepausan harus memeras otaknya untuk menemukan apa pun
yang cukup cocok dengan kasus-kasus yang diuraikan di atas: perombakan kurial
yang diperintahkan oleh Paul VI (1963 - 78), dorongan anti-Modernis dari Pius X
(1903-14 )? Mereka hampir tidak cocok dengan pola pembalasan pribadi yang sama.
Faktanya adalah bahwa tidak ada paus di zaman modern yang naik takhta dalam
hubungan buruk dengan begitu banyak orang seperti yang dilakukan Jorge
Bergoglio; dan para pendahulunya pada dasarnya cukup berpikiran bijak untuk
menghindari tindakan yang mungkin tampak seperti balas dendam yang tidak layak.
Yang sama-sama
harum dari pekerjaan Peronis untuk anak laki-laki adalah hadiah yang diberikan
kepada dua orang yang telah dipekerjakan Cardinal Bergoglio sebagai agennya di
Roma ketika dia berada di Buenos Aires. Mgr. Guillermo Karcher bermandikan
martabatnya sebagai cerimoniere
kepausan, dan untuk sesaat ‘membuang berat badannya’ di Vatikan, tetapi
sekarang tampaknya dia telah kehilangan dukungan paus Francis yang selalu berubah-ubah
sikapnya. Monsignor Fabián Pedacchio pada awalnya ditunjuk sebagai sekretaris
kepausan informal, dan sudah tahu akan kesulitannya dalam mempengaruhi pemegang
resmi posisi itu (Mgr. Xuereb, dari Malta) sebelum dia menggantikannya secara resmi
dalam jabatan pada tahun 2014.
Rezim Baru Casa Santa Marta
Ketika Paus
Fransiskus terpilih, tidak ada tindakannya yang lebih dipuji, yang menunjukkan
semangatnya yang segar dan demokratis, selain keputusannya untuk menghindari
apartemen kepausan lama di Istana Apostolik dan pindah ke tempat tinggal di
Casa Santa Marta, rumah tamu yang dirawat dengan baik, rumah bagi para kardinal
yang berkunjung, tempat dia tinggal sejak saat itu. Implikasi lain dari pilihan
ini agak terlewatkan oleh publik, misalnya fakta bahwa untuk merubah Casa Santa
Marta untuk tujuan barunya, dikatakan menelan biaya dua juta euro - sementara
apartemen kepausan lama, tentu saja, masih harus dipertahankan. Namun ada
baiknya menilai lebih banyak aspek psikologis dari langkah tersebut. Omar Bello
mencatat bahwa Paus Francis memandang apartemen tua itu, dengan kamar-kamarnya
yang megah, tempat para paus makan makanan mereka secara tradisional dalam
kesunyian, dan segera menyadari bahwa itu mengisolasi paus dari Kuria. Di Santa
Marta, paus Francis memiliki para kardinal yang dekat dengannya, dan dia makan
di ruang makan umum. Seorang jurnalis telah menunjukkan bahwa ini berfungsi
sebagai "metode kontrol, untuk mendapat informasi saat makan siang,
tentang kejadian di berbagai kamp di Vatikan." Cengkeraman erat yang
dilakukan Kardinal Bergoglio pada kuria archiepiscopal di Buenos Aires, dengan
demikian, dipindahkan ke posisi barunya di Vatikan.
Bab 3 telah sedikit
menggambarkan rezim yang dikendalikan paus Francis dari posisinya saat ini: ini
adalah salah satu harapan reformasi yang telah hancur dan telah digantikan oleh
ketidakamanan yang kacau. The udienza di
tabella, yang memastikan para pemimpin dicasteri untuk melakukan audiensi
dua kali sebulan, telah dihapuskan, dan akses pada kehadiran kepausan
diserahkan kepada kemauan paus Francis secara sepihak. Para uskup yang bekerja
di Vatikan akan memberi tahu Anda bahwa pertemuan-pertemuan akrab dan penuh persaudaraan
sebelumnya, yang biasa digunakan para paus untuk menemui para pembantunya, saat
ini telah menghilang; beberapa dari mereka hampir tidak pernah berbicara dengan
Francis sejak dia terpilih. Tidak ada yang bisa lebih “kolegial” daripada cara
pahlawan lobi St. Gallen ini memperlakukan bawahannya. Kontrol Sekretariat
Negara atas Kuria lainnya menjadi lebih absolut daripada sebelumnya. Dan setiap
orang, mulai dari kardinal hingga monsignori, sengaja dibuat dalam keadaan
gugup secara permanen oleh ucapan-ucapan yang mengomel, oleh kritikan secara
terbuka dan kasar, oleh pemecatan serta pembongkaran dan perusakan rahasia yang
merupakan ciri khas rezim baru sekarang.
Kardinal Pietro
Parolin, yang ditunjuk sebagai Sekretaris Negara pada Oktober 2013, pada
mulanya adalah favorit kurial, dan dimanjakan oleh Francis dalam tekadnya untuk
melestarikan dan bahkan memperpanjang hak prerogatif jabatannya. Tapi itu bukan
gaya Francis untuk membuat siapa pun merasa aman. Untuk beberapa waktu sekarang
Paus telah menggunakan Sostituto Parolin, Uskup Agung Angelo Becciu, sebagai
alat yang lebih siap, karena dia memiliki lebih banyak keuntungan dari tuannya.
Becciu adalah orang yang melakukan pekerjaan-pekerjaan kotor Paus, demi
kepentingan paus, dan dia melakukannya secara efisien. Dialah yang menelepon
PricewaterhouseCoopers pada 2015 untuk memberi tahu mereka bahwa audit Vatikan
tidak boleh menyentuh Sekretariat Negara; dia adalah orang yang dikedepankan
untuk menghadapi para Ksatria Malta dalam pengambilalihan secara kasar dari Francis
atas Ordo itu; dan dia adalah tokoh kunci dalam pemberhentian kejam terhadap Auditor
General pada Juni 2017. Dikenal secara luas di Vatikan bahwa Becciu sekarang
memiliki kekuatan lebih nyata daripada Parolin, dan dia mungkin akan segera
melangkah menggantikannya. Secara keseluruhan, apa yang kita miliki di sini
adalah rezim yang murni politis, dan tidak bersifat spritual sama sekali, seperti
yang terlihat di bawah Bertone dan Sodano.
Dalam rezim
ini, para uskup yang menikmati dukngan paus adalah para penjilat, seperti
Cardinal Coccopalmerio, yang menggunakan pengaruhnya untuk melindungi pastor
Inzoli, anak buahnya, atas pelecehan anak, dan yang menjadi sekretarisnya adalah
Mgr. Luigi Capozzi, sampai saatnya dia digerebek dan ditangkap polisi di sebuah
pesta narkoba dan homosex di apartment Coccopalmerio. Atau seorang pedagang
kendaraan yang tidak direformasi seperti Cardinal Calcagno, yang masa lalunya
yang suram sebagai uskup Savona tidak mendiskualifikasi dia untuk bertanggung
jawab atas kekayaan Gereja; atau Kardinal Baldisseri, manipulator terampil dari
seruan "belas kasihan" dalam acara Sinode tentang Keluarga.
Di sisi lain,
para kardinal yang merasakan ‘cuaca beku’ adalah mereka yang dipercayai oleh
Paus Benediktus: Kardinal Burke, Müller dan Sarah, yang kepadanya seseorang
dapat menambahkan Cardinal Ouellet, yang kini telah dikesampingkan karena dia
memperlihatkan dirinya terlalu bersikap independent. Tanpa melihat ideologi,
mereka ini adalah orang-orang yang tulus dalam kata dan perbuatan, dan tak ada
kata yang terucap yang merendahkan karakter moral mereka. Orang-orang di
sekitar paus Francis biasanya digambarkan oleh komentator sebagai "pembaharu",
dan orang-orang yang dipinggirkan sebagai "anti-reformasi." Ini
menimbulkan pertanyaan: bagaimana kita menilai reformasi ini yang mempekerjakan
orang-orang yang licik serta mengusir orang-orang
yang terbuka dan tulus?
Jubah Imam Dan Belati Di Curia
Seorang wartawan
Inggris, Damian Thompson, mengutip seorang imam yang bekerja di Kuria, dan yang
memulai tugasnya sebagai pendukung kuat paus Francis, dengan kata-kata berikut:
“Bergoglio membagi Gereja menjadi orang-orang yang berada bersamanya dan orang-orang
yang menentangnya - dan jika dia berpendapat bahwa Anda berada di kemah
terakhir (yang menentangnya) maka dia akan mengejar Anda.” Ini adalah
pengalaman tiga orang imam di Kongregasi untuk Ajaran Iman. Pada musim panas
2016 mereka dipanggil untuk menghadap Paus secara pribadi, dituduh membuat
pernyataan yang tidak menyenangkan tentang dia, dan memecat Kardinal Müller yang
berusaha untuk membela mereka, dan dalam sebuah audiensi yang diikuti Kardinal
Müller, setelah beberapa bulan berusaha, dia memprotes Francis: "Orang-orang
ini adalah orang yang terbaik dalam dicastery saya ... apa yang mereka
lakukan?" demikian tanya Müller. Tetapi paus menolak protesnya dan menutup
audiensi itu dengan kata-kata: "Saya adalah paus, saya tidak perlu memberikan
alasan untuk setiap keputusan saya. Saya telah memutuskan bahwa mereka harus
pergi dan mereka harus pergi."
Kardinal Müller
sendiri, sebagai pengawas ex officio dari sikap ortodoksi Katolik, menerima
beban kebencian dari paus karena penentangannya terhadap perubahan terhadap ajaran
Gereja tentang pernikahan. Setelah beberapa kali menerima tindakan penghinaan
selama empat tahun, di mana Cardinal Müller secara efektif digantikan dengan
Kardinal Schönborn sebagai otoritas doktrinal resmi, kemudian Kardinal Müller
diminta untuk pensiun pada Juli 2017, pada akhir masa jabatan lima tahunnya.
Kegagalan untuk memperbarui jabatannya adalah kontras dengan praktik yang normal,
karena dia ‘dipaksa’ pensiun pada usia 69 (sementara itu Kardinal
Coccopalmiero, misalnya, terus menikmati perlindungan paus hingga umur 79 tahun).
Juga patut dicatat bahwa pengganti Coccopalmiero di Kongregasi, Uskup Agung
Ladaria, telah pernah dituduh melindungi seorang imam yang melakukan pencabulan
terhadap anak laki-laki.
Yang lebih drastis
lagi, dalam beberapa hal, adalah perlakukan yang diberikan kepada Kardinal
Robert Sarah, Prefek Kongregasi untuk Ibadah Ilahi. Paus Francis mengangkatnya pada
jabatan itu pada November 2014 dan menginstruksikan dia pada saat itu untuk
melanjutkan kebijaksanaan garis liturgi yang dibuat oleh Paus Benediktus XVI. Kejatuhannya
terjadi ketika dia menyatakan pandangannya tentang cara modern dalam
mempersembahkan Misa. Pada bulan Juli 2016 Kardinal Sarah, berbicara kepada
sebuah konferensi di London, mendesak pemulihan praktik tradisional perayaan misa
ad orientem, yaitu dengan imam menghadap ke aras timur liturgis (imam menghadap
tabernakel).
Bertentangan
dengan apa yang biasa dilakukan, tidak ada perintah yang pernah diberikan bahwa
imam harus mengadakan Misa menghadap kepada umat; itu adalah praktik yang
diperkenalkan pada tahun sembilan belas enam puluhan, ketika diyakini bahwa itu
adalah cara yang digunakan oleh Gereja awali, sebuah gagasan yang sekarang dianggap
salah. Hal ini telah dikemukakan oleh Kardinal Ratzinger sejak tahun 1993,
ketika dia menjadi Prefek Kongregasi untuk Iman, dan dia sangat akrab dengan
tulisan-tulisan liturgi pada umumnya. Mengajari Gereja tentang keaslian liturgi
seharusnya menjadi salah satu fungsi Kongregasi untuk Ibadah Ilahi; tetapi
kata-kata Kardinal Sarah diterima dengan protes dari mereka yang menganggap
bahwa praktik yang sudah dijalankan selama lima puluh tahun terakhir tidak
perlu dipertanyakan lagi.
Apa yang
terjadi selanjutnya adalah, pertama, contoh terjadinya tindakan ‘penusukan dari
belakang’ yang telah menjadi hal yang biasa di Kuria saat ini. Surat-surat
protes masuk ke Roma ketika Kardinal Sarah sedang pergi dari Roma untuk musim
panas. Tanpa memberi Kard. Sarah kesempatan untuk berurusan dengan surat-surat itu,
Sekretaris Kongregasi, Uskup Agung Arthur Roche, membawa surat-surat itu kepada
paus Francis, yang tidak dikenal karena keahliannya dalam masalah-masalah
liturgi, dan dia bertindak dari pengetahuan hanya satu sisi dari pertanyaan itu,
sisi orang yang bodoh. Reaksinya mungkin adalah yang terdekat dengan
pembersihan Stalinis yang bisa kita lihat di Vatikan.
Pada bulan
Oktober, hampir semua anggota Kongregasi untuk Ibadat Ilahi, yang banyak di
antaranya telah ditunjuk oleh Benediktus XVI dan mengikuti garis kebijaksanaan
liturginya diperintahkan keluar dalam sebah pemecatan massal yang belum pernah
terjadi sebelumnya, dan 27 anggota baru ditunjuk untuk menggantikan tempat
mereka, sehingga meninggalkan Kardinal Sarah sepenuhnya terisolasi. Dia terpaksa
membatalkan kehadirannya di sebuah konferensi liturgi di mana dia akan
berbicara tentang “Makna Motu Proprio Summorum Pontificum untuk pembaruan
liturgi di Gereja Latin.”
Tindakan
terhadap Kardinal Sarah ini merupakan pola dari paus Francis yang memberikan satu
set jaminan kepada pejabat yang ditunjuknya, sebelum tampil dengan sebah wajah yang
jujur; dan juga tentang penyerangannya terhadap orang-orang yang dia anggap
sebagai musuh, bukan dengan memberhentikan mereka, tetapi dengan melemahkan
mereka dan membuat mereka menjadi tidak berdaya. Sedangkan untuk Uskup Agung
Roche, ganjarannya atas intervensinya adalah bahwa dia sekarang menjadi orang
yang berkuasa di Kongregasi untuk Ibadah Ilahi.
Kata semboyan
dari Mafia St. Gallen adalah liberalisasi Gereja, dan dengan kandidat mereka
yang berkuasa sekarang, kita bisa melihat apa artinya ini. Sikap ‘horor yang saleh’
pada siapa pun yang menunjukkan perbedaan pendapat dari garis kebijaksanaan kepausan,
adalah sikap ortodoksi yang berkuasa. Ketika keempat kardinal Brandmüller,
Burke, Caffarra dan Meisner menandatangani surat yang meminta klarifikasi
tentang ambiguitas di dalam Amoris Laetitia, Dekan Rota Suci, Uskup Agung Vito
Pinto, membuat pernyataan: “Apa yang telah dilakukan para kardinal ini adalah
skandal yang sangat serius yang dapat menyebabkan Bapa Suci merampas topi
kardinal mereka…. Orang tidak boleh meragukan tindakan Roh Kudus.” Sementara
itu, Kardinal Blase Cupich dari Chicago (yang menerima topi merah kardinal pada
bulan Oktober 2016, sebagai perbandingan terhadap beberapa uskup Amerika
lainnya yang lebih layak untuk menerima topi merah daripada dia) menyatakan
bahwa para kardinal dubia itu “membutuhkan pertobatan.”
Dalam bidang
yang berbeda, Uskup Agung Rino Fisichella, Presiden Dewan Evangelisasi Baru,
membuka Tahun Pengampunan dengan menyarankan bahwa mereka yang mengkritik paus
Francis harus menanggung ekskomunikasi, seperti yang ditetapkan oleh hukum
agama bagi mereka yang memberikan kekerasan fisik kepada paus, dengan alasan
bahwa “kata-kata adalah juga sebagai batu
dan karang.” Itulah cara bekerja di dalam Gerejanya paus Francis, dan pelajaran
ini hendaknya dimengerti dengan baik.
Pemikiran Polisi-Liberalisme
Mengikuti garis
kepausan yang patuh tidak terbatas pada beberapa tindakan di Kuria, telah menjadi
kebijakan di pos-pos Gereja yang jauh. Seseorang dapat mengingat nasib beberapa
dari 45 penandatangan surat yang dialamatkan kepada para kardinal dan patriark,
pada 29 Juni 2016, yang meminta mereka untuk mengajukan petisi kepada paus
Francis untuk mengoreksi daftar proposisi yang dipertanyakan, yang disiratkan
oleh nasihat Amoris Laetitia. Salah satu penandatangan itu dengan segera diberhentikan
dari posisinya sebagai direktur urusan akademik di universitas kepausan,
setelah mendapat tekanan dari uskup agungnya. Yang lain adalah seorang
Dominika, dilarang oleh pemimpin agamanya untuk berbicara di depan umum tentang
anjuran Amoris Laetitia; contoh yang ketiga, diperintahkan untuk mencabut tanda
tangannya, dan seorang kardinal menekan orang yang keempat untuk menarik
namanya dari daftar penandatangan.
Dapat
ditunjukkan bahwa dubia kardinal dan surat yang baru saja disebutkan itu,
berbentuk permintaan klarifikasi, bukan penentangan; keduanya mungkin disamakan
dengan penolakan terbuka terhadap keputusan kepausan yang telah dibuat tanpa
balasan oleh para teolog "progresif" di zaman modern ini, misalnya soal
penahbisan wanita. Tetapi di bawah paus Francis, meminta penjelasan saja sudah merupakan
pelanggaran. Seseorang dapat menyadari hukumannya sendiri dalam Evangelii Gaudium (2013) dari para
penulis yang “mendiskreditkan mereka yang mengajukan pertanyaan, terus-menerus
menunjukkan kesalahan orang lain dan terobsesi dengan penampilan.” Ada orang
yang memiliki bakat untuk mengkritik kesalahan mereka sendiri.
Seperti yang
dilaporkan Sandro Magister pada November 2016, pada awal tahun akademik ini,
klub penggemar mengirim email kepada staf pengajar ‘Institut Kepausan John Paul
II untuk Studi tentang Pernikahan dan Keluarga’ dengan ketentuan sebagai berikut:
“Seperti yang
telah terjadi di lembaga pastoral, akademis dan budaya Katolik lainnya,
Observatorium kami untuk Implementasi Reformasi Gereja Paus Francis - sebuah
inisiatif umat awam Katolik dalam mendukung kepausan Paus Francis - telah
dimulai pada tahun akademik saat ini, melakukan pemantauan atas isi publikasi
fakultas dan ajaran-ajaran yang disampaikan di Institut Kepausan John Paul II
Kepausan untuk Pernikahan dan Keluarga untuk memperjelas adaptasi atau
kemungkinan ketidaksepakatan mengenai ucapan yang dibuat oleh Paus Francis pada
kesempatan pembukaan tahun akademik baru dari Institut Anda (Sala Clementina,
28 Oktober 2016), di mana Anda dipanggil 'untuk mendukung pembukaan kecerdasan
iman yang diperlukan untuk melayani perhatian pastoral dari penerus Peter.'
“Secara khusus,
isi dari karya-karya yang diterbitkan, dan kelas-kelas yang diberikan akan
dipertimbangkan sehubungan dengan apa yang diungkapkan dalam nasihat apostolik
'Amoris laetitia', sesuai dengan citra Gereja yaitu, bukan dari pemikiran
Gereja dalam citra dan keserupaan dengan manusia, yang 'mengarahkan penelitian
dan pengajaran tidak lagi ke arah 'cita-cita pernikahan yang terlalu abstrak, yang
hampir dibangun secara artifisial, jauh dari situasi konkret dalam masyarakat dan
dari kemungkinan keluarga yang efektif sebagaimana adanya' (pidato paus
Francis, disebutkan sebelumnya, 28 Oktober 2016).
“Untuk tujuan
ini, kami akan menggunakan bacaan analitis dan kritis dari berbagai studi yang
diterbitkan oleh fakultas, pidato-pidato kelulusan dan tesis doktor yang
disetujui oleh Institut, silabus kelas, bibliografi mereka, serta wawancara
dengan siswa yang dibuat setelah kelas-kelas yang diikuti, di lapangan di depan
Universitas Lateran.
“Yakinlah bahwa
kami sedang melakukan tugas yang bermanfaat untuk meningkatkan layanan yang
Anda lakukan dengan dedikasi kepada Gereja dan kepada Bapa Suci, dan kami akan terus
memberi Anda informasi terkini tentang hasil penelitian pengamatan kami.”
Arti penting
dari "penelitian observasional" ini adalah, tentu saja, bahwa
Institut John Paul II adalah badan akademis yang dibentuk untuk melestarikan
pengajaran Paus tentang keluarga, di mana paus yang berkuasa saat ini tidak
merasakan antusiasme sama sekali.
Seperti yang
ditunjukkan oleh Sandro Magister, ada preseden bagi sekelompok orang fanatik
kepausan di dunia Katolik: itu adalah Sodalitium Pianum yang dibentuk pada masa
pemerintahan Pius X (1903-14) untuk menegakkan kecaman paus terhadap
Modernisme. Hal itu dilakukan dengan memantau ceramah para profesor seminari
dan melaporkan kepada pihak berwenang ucapan-ucapan yang tampaknya tidak
mendukung ortodoksi, dan sejak itu telah dicerca oleh kaum liberal sebagai
contoh pemerintahan intelektual teror yang diperkenalkan oleh Pius X. Secara
umum, orang mungkin menganggap hal itu memalukan, bahwa zaman kita seharusnya
menghasilkan gema dari apa yang sampai sekarang dianggap sebagai kepausan
paling ketat di zaman modern; tetapi ironisnya melangkah lebih jauh. Tidak
diragukan lagi bahwa sebuah rezim yang menuntut ortodoksi yang ketat harus
didukung, betapapun disayangkan, oleh langkah-langkah yang disukai negara-polisi;
tetapi "Observatory" dari Big Brother modern ini bermunculan pada
masa pemerintahan paus Francis yang liberal dan progresif, yang dipilih oleh
pikiran terbuka Mafia St. Gallen guna menyapu bersih otoriterisme Benediktus
XVI dan Yohanes Paulus II.
Kediktatoran Belas Kasih
Para jurnalis
yang meliput segala urusan Roma menjadi semakin sadar bahwa "di bawah Paus
Francis ini, Vatikan secara sistematis membungkam, menghilangkan, dan merubah
segala kritik terhadap pandangan Paus", dan berita-berita mengerikan telah
mengalir keluar tentang cara-cara yang digunakan oleh penguasa. Gianluigi Nuzzi
melaporkan bahwa pada Maret 2015 ditemukan banyak gangguan di mobil-mobil, kantor-kantor
dan rumah-rumah pribadi klerus Vatikan, dan dalam keanehan yang tidak dapat
dijelaskan, Gendarmeria (dinas keamanan internal Vatikan) tidak juga dipanggil
untuk menyelidiki hal itu. Klerus dan orang awam yang bekerja di Kuria menemukan
tanda-tanda aneh dalam panggilan telepon mereka, di mana, setelah panggilan
terputus, mereka mendengar audio saat-saat terakhir dari percakapan mereka
diputar ulang kepada mereka - sebuah tanda yang dikenal dari ketukan telepon.
Mereka yang berada di Kuria menerima begitu saja kenyataan bahwa panggilan
telepon dan email mereka sedang dimata-matai secara sistematis.
Mengenai paus
Francis sendiri, Damian Thompson melaporkan bahwa ledakan emosinya,
kekasarannya terhadap bawahan dan bahasanya yang vulgar menjadi terkenal di
seluruh Vatikan. Thompson mengutip sebuah sumber yang layak dipercaya: “Francis
tidak harus mencalonkan diri untuk dipilih kembali oleh Konklaf. Percayalah
pada saya, dan beruntung baginya, karena setelah kesengsaraan banyak orang dan
omong kosong beberapa tahun terakhir ini, dia akan dieliminasi dalam pemungutan
suara pertama.” Ini adalah kebenaran yang sedikit orang saja di Kuria yang meragukannya;
mereka menjadi melek oleh fakta bahwa pemilihan "The Great Reformer"
pada tahun 2013 memiliki efek yang menempatkan mereka di bawah kediktatoran
Argentina gaya lama, dengan semua metodenya. Pada bulan-bulan pertama,
terinspirasi oleh kejenakaan hubungan masyarakat Francis, nama panggilan untuk
guru mereka di kalangan klerus Vatikan adalah "Toto the Clown." Mereka
sekarang menyadari bahwa mereka telah mengabaikan jati diri Bergoglio, dan nama
panggilannya saat ini adalah "Ming", meniru nama kaisar kejam dalam
komik Flash Gordon. Seorang kardinal mengatakan, “Di Vatikan, semua orang
merasa takut pada paus Francis; tidak ada yang menghormatinya, dari Kardinal
Parolin hingga ke jajaran bawah."
Ketakutan
adalah warna dominan di dalam Kuria di bawah pemerintahan Francis, bersama
dengan adanya rasa saling curiga. Bukan hanya para informan penjilat yang melaporkan
segala pembicaraan yang tidak terkontrol - seperti yang dialami oleh tiga orang
bawahan Kardinal Müller. Dalam sebuah organisasi di mana para koruptor moral
dibiarkan berada di tempat, dan bahkan dipromosikan oleh paus Francis, maka pemerasan
halus adalah merupakan perintah sehari-hari. Seorang pastor curia mengatakan,
“Mereka melaporkan bukan apa yang Anda ketahui, tetapi siapa saja yang Anda
kenal. Di Vatikan, pepatah ‘apa yang kau tahu tentang siapa yang kau kenal,’
adalah tidak berlaku dan dianggap tidak benar.”
Keadaan seperti
ini belum pernah terjadi sebelumnya di Kuria Roma, tetapi kita dapat membaca
tulisan Austen Ivereigh mengenai biografi paus Francis soal usaha untuk menemukan
waktu dan tempat dengan sebuah ‘cincin yang biasa.’ Hal ini menggambarkan rezim
Perón di masa muda Bergoglio, dimana dia menceritakan bagaimana setelah tahun
1952 “Perón menjadi bersikap defensif dan paranoid, turun kepada kegilaan
otoriter yang biasanya menimpa pemerintah populis-nasionalis di Amerika Latin
... pejabat negara dituntut menjadi anggota partai, pertikaian dibingkai
sebagai perbedaan pendapat, dan lawan ... didefinisikan sebagai musuh rakyat."
Penulis sendiri belum memperhatikan korelasinya, tetapi beberapa elemen dapat
ditemukan bahkan dalam narasinya. Ketika Austen Ivereigh memelototi kepausan
Francis, dia menyajikan sketsa "reformasi" Vatikannya yang dapat
disebut sebagai sebuah ‘mahakarya pelintiran,’ terutama di tengah tanda-tanda
propaganda yang muncul melalui pertanyaan ‘seberapa otokratis dan tidak
populernya metode paus,’ dimana tanda-tanda itu adalah:
“Francis telah
pindah kepada lingkaran terdekat di sekelilingnya, dalam hal apa yang biasanya
ditangani oleh lembaga-lembaga Vatikan, dan menghindari saluran-saluran lama yang
sampai menimbulkan kemarahan yang besar. Popularitas Francis yang luar biasa di
luar perbatasan Gereja sangat kontras dengan pandangannya di Vatikan, di mana
ada banyak sekali omelan ....
Ini adalah
paradoks Bergoglio: paus kolegial, yang dekat dengan rakyat, menggunakan
otoritas kedaulatannya dengan cara-cara yang tampaknya bisa dibujuk orang. Dia
adalah pemerintahan yang sangat personalistis, yang mem-bypass sistem,
tergantung pada hubungan dekat, bekerja melalui orang, bukan berdasarkan
dokumen, dan mempertahankan kontrol yang ketat ... Dalam banyak hal, Francis
adalah paus yang paling tersentralisasi sejak Pius IX.”
Pius IX
(1846-78) dan masa-masa Negara Kepausan memang layak diingat oleh sebuah
fenomena yang tidak pernah terlihat selama beberapa generasi. Pada 4 Februari
2017, orang-orang Roma bangun untuk menemukan kota mereka terpampang dengan
gambar-gambar yang mengejek Paus. Poster-poster ini menggambarkan Francis dalam
salah satu suasana hatinya yang kurang riang, dan di bawahnya ada tulisan:
"Hei, Frankie, Anda telah merusak Kongregasi, menggeser para pastor, memenggal Ordo Malta dan
para Fransiskan ‘Yang Tak
Bernoda,’
mengabaikan para Kardinal ... lalu di mana belas kasih yang Anda gembar-gemborkan itu?"
Ringkasan, yang
tersusun dalam dialek Romanesco (Roman Cockney), secara sadar mengingatkan kita
akan pasquinades (patung zaman dulu
yang menggambarkan seorang tokoh yang sering menyusahkan rakyat) yang dulu sering
muncul pada zaman the Temporal Power;
dan seseorang harus kembali ke masa itu untuk menemukan kasus belakangan ini
yang berisi sindiran politik terhadap seorang paus yang berkuasa yang
diperlihatkan secara publik di Roma. Ini adalah salah satu bukti dan fakta
bahwa popularitas Francis, dengan mengasumsikan dia memakai gaya wajah cemberut,
telah merosot di Italia dan sekitarnya. Tanda lain adalah angka-angka yang
semakin merosot dari peserta audiensi kepausan di Lapangan Santo Petrus, yang
diadakan kurang lebih setiap minggu dan yang digunakan untuk menarik puluhan
ribu umat beriman. Statistik resmi untuk rata-rata kehadiran di acara-acara ini
sejak Francis menjadi Paus diberikan sebagai berikut:
Tahun 2013:
51,617 orang
Tahun 2014:
27,883 orang
Tahun 2015:
14,818 orang
Untuk tahun 2016
tidak ada angka yang tersedia, tetapi jumlahnya diperkirakan di bawah 10.000
orang, kurang dari seperlima dari pengunjung pada empat tahun lalu, dan pada
zaman Benediktus XVI. Bagi mereka yang melihat pita yang menyusut di dalam
barisan tiang Santo Petrus, pesannya cukup jelas: Paus Rakyat sedang
ditinggalkan oleh rakyatnya. Kehadiran misa juga telah merosot tajam di Italia,
dan tampaknya di seluruh dunia. Kepausan Francis, yang diharapkan untuk
menghidupkan kembali Gereja, setelah empat tahun dalam keadaan merana, membuktikan
kegagalan yang tak terhindarkan.
Paus Politik
Tampaknya paus
Francis sendiri telah mulai menyadari ‘tempat berbahaya’ di mana filsafatnya
"menciptakan kekacauan" membawa dirinya. Dia dilaporkan telah
berkomentar sebelum Natal 2016: “Bukan tidak mungkin saya akan turun dalam
sejarah sebagai orang yang memecah belah Gereja Katolik.” Pikiran itu tidak
luput dari pengaruh orang-orang di sekitarnya, dan pada Maret 2017 surat kabar
Inggris The Times menerbitkan sebuah
artikel di bawah judul “Para kardinal ‘anti-reformasi’ menghendaki Paus
berhenti.” Artikel itu mengutip laporan beberapa hari sebelumnya, yang ditulis oleh
Antonio Socci: “Sebagian besar kardinal yang memilihnya kini merasa sangat
khawatir, dan kuria ... yang mengatur pemilihannya dan telah menemaninya selama
ini, tanpa pernah memisahkan diri darinya, sedang memanen kekacauan moral dan
berusaha untuk membujuknya agar pensiun." Para kardinal “anti reformasi”
ini (perhatikan ortodoksi media yang mendefinisikan orang-orang yang meragukan
Francis) dikatakan berjumlah sekitar selusin, dan apa yang mendorong mereka
adalah ketakutan akan perpecahan yang diciptakan oleh paus Francis. Ini juga
merupakan pertanda bahwa pada bulan-bulan akhir 2016 sebuah studi teologis
tentang kemungkinan menggulingkan seorang paus dilaporkan menciptakan
kekhawatiran di Vatikan. Jika itu membuahkan hasil, itu mungkin satu-satunya
cara di mana kepausan Francis terbukti benar-benar inovatif: Senjata makan
tuan.
Mereka yang
terkejut mendengar Francis digambarkan sebagai seorang diktator, tidak akan
mempertanyakan fakta bahwa dia adalah paus yang berpikiran politis untuk naik
takhta selama berabad-abad. Ini bukanlah pencemaran nama baik dari pihak musuh-musuhnya,
tetapi ini diusulkan oleh seorang pengagum yang tidak memenuhi syarat, seperti penulis
Austen Ivereigh. Kita perlu memahami bahwa kunci dari gaya ceroboh Francis -
ketidakpedulian terhadap reformasi, tindakan tiranik, demam untuk mencari citra
populer - adalah bahwa perhatian utamanya bukan pada pemerintahan Gereja. Ivereigh
telah melacak secara rinci ambisi Francis untuk menjadikan dirinya pemimpin
dunia dalam bidang politik; dia berangkat dengan visi bombastis tentang
"dekadensi" atau kemerosotan moral peradaban Barat yang akan
dieksploitasi oleh Bergoglio dengan gaya Amerika Latin untuk menegaskan kembali
kehebatan dirinya, dan mimpinya adalah untuk menggalang benua menuju "la
patria grande" (tanah air besar) untuk menantang dominasi imperialis
Amerika Serikat. Tujuan ini berada dibalik pengangkatan Kardinal Parolin sebagai
Sekretaris Negara Vatikan, yang telah berpengalaman menjadi nuncio kepausan
yang sangat dipuji untuk Meksiko dan Venezuela, dan dia akan bekerja untuk
mengikat segala benua bersama-sama di bawah perlindungan Takhta Suci. Hasil
aktualnya telah dianalisis oleh seorang jurnalis Italia:
"Citra
Francis, yang memiliki peluang untuk menjadikan dirinya sebagai 'pemimpin moral
benua', tanpa payung Barack Obama akan dengan cepat memasuki krisis, meskipun ada
upaya luar biasa dari Sekretaris Negara Parolin: di Kuba, dengan Trump,
diplomasi Vatikan tersandung;
di Kolombia
referendum perdamaian gagal dengan sangat buruk karena umat Protestan negara
itu menyabotnya; di Venezuela semua pendukung politik sepakat bahwa upaya
perdamaian Vatikan telah memperburuk, bukannya memperbaiki situasi; dan
akhirnya di Brazil, setelah keberhasilan hari kaum muda sedunia, Rio de Janeiro
memiliki walikota yang adalah uskup Protestan, anti-Katolik dan yang paling
penting: dia sering mengkritik Konferensi Episkopal.”
Sebagaimana
ditunjukkan oleh analisis ini, pemilihan Donald Trump telah menghancurkan segala
asumsi yang menjadi dasar strategi Francis. Dengan semua retorika macho Amerika
Latin, rencana bergantung pada kehadiran seorang presiden liberal di Gedung
Putih yang bersedia merendahkan diri (atau dirinya sendiri) untuk membela klaim
Amerika Latin. Semua itu runtuh di hadapan seorang presiden yang jawabannya terhadap
pembuat masalah di luar Rio Grande, adalah untuk membangun tembok pembatas terhadap
mereka. Itulah sebabnya pada tahun 2016 paus Francis mempertaruhkan semua harapannya
pada kepresidenan Clinton. Orang-orang di sekitarnya, dimulai dengan Kardinal
Parolin (yang lebih baik memberi nasihat tentang urusan Amerika?) memberi tahu
dia bahwa Donald Trump tidak punya harapan untuk menang, dan atas perintah
Francis, APSA membiayai kampanye kepresidenan Hilary Clinton (Sekarang
dikatakan bahwa uang yang digunakan untuk itu berasal dari Peter's Pence, yaitu
sumbangan umat beriman yang diberikan untuk tujuan amal). Francis juga turun
tangan dalam kampanye Hilary Clinton dengan kata-kata yang secara implisit
menuduh Trump bukan seorang Kristen. Ketika melihat musuh menang meski ada
berbagai upaya untuk mencegahnya, maka Francis marah kepada para penasihatnya.
Ini mungkin salah satu alasan mengapa Kardinal Parolin kehilangan dukungan: dia
membuktikan dirinya bisa keliru di Amerika Serikat, dan dia gagal mengirimkan
barang di Amerika Latin.
Adegan global
di mana Francis menggambarkan kemenangannya, telah berubah. Dengan pemulihan
hubungan antara Amerika Serikat dan Rusia, dan dengan Inggris meninggalkan Uni
Eropa, Merkel dan Macron dibiarkan berkerumun bersama, berusaha melindungi karut
marut tatanan dunia liberal, yang tampaknya telah disajikan dan siap untuk makan
sedikit lebih banyak daripada setahun yang lalu. Tentang tatanan dunia itu,
Francis menjadikan dirinya sendiri sebagai imam agung; kemana dia pergi
selanjutnya?
Konsekuensi
politik dari kegagalan itu bisa beragam. Gedung Putih memiliki kartu truf yang
kuat untuk dimainkan melawan Vatikan, dan orang mungkin terkejut bahwa sejauh
ini mereka menahan diri untuk tidak memainkannya. Diketahui bahwa CIA terus memantau
Konklaf 2013, dan ingatan bahwa pemerintah Amerika akan menggunakan pengetahuannya
yang amat banyak, dikatakan telah menyebabkan ‘malam-malam tanpa tidur’ di
Curia. Kesempatan untuk melakukan intervensi membutuhkan sedikit temuan. Dengan
kegagalan Tahta Suci untuk mereformasi struktur keuangan yang penuh aroma kriminal,
yang bukti-buktinya terus meningkat setiap hari, orang dapat dengan mudah
melihat bahwa komunitas internasional, yang dipimpin oleh Amerika, akan memutuskan
untuk mengumumkan bahwa cukuplah sudah apa yang diperbuat oleh Francis. Pemecatan
secara brutal pada Juni 2017 atas Libero Milone, Auditor General Vatikan, yang
bukannya tidak memiliki banyak teman di Amerika, mungkin membuktikan akan
adanya provokasi terakhir.
Alasan mendasar
dari kesulitan ini adalah bahwa Francis telah bertindak melampaui batas
kemampuannya. Dia adalah seorang politikus yang pandai - yang terpandai untuk
menduduki takhta kepausan selama berabad-abad, mampu dengan baik mengendalikan lingkaran-lingkaran
di sekitar gereja yang tidak menaruh curiga kepadanya, seperti misalnya Cardinals
Burke, Sarah dan Müller - tetapi sebagai negarawan dunia, dia telah keluar dari
pertandingan, tidak masuk hitungan. Jadi, dia sebagai penguasa Gereja Katolik,
membutuhkan bakat lebih tinggi daripada seorang bos partai Peronis. Fakta ini
mulai diakui oleh mereka yang mempelajari perjalanan kepausannya. Jurnalis yang
baru saja dikutip, telah menulis:
“Setelah
mengendarai kampanye Pers yang menjadi idola Paus Argentina, orang-orang
menyadari bahwa, pada dasarnya, pekerjaan Ratzinger sangat diremehkan. Dalam
sebuah Vatikan yang terpecah-belah oleh perselisihan, Paus Jerman (Ratzinger)
membawa IOR ke dalam Daftar Putih, memberlakukan toleransi nol terhadap pencabulan
anak dan melakukan penelitian mendalam tentang area kritis Gereja modern dalam
menghadapi tantangan di masa depan. Dengan demikian, Francis tiba dengan
keuntungan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang mungkin bahkan tidak
disadarinya, dikelilingi oleh klik biasa-biasa saja yang mengaburkan visinya
dan yang tidak menunjukkan kepadanya titik-titik bahaya yang beresiko tinggi, dengan
dimensi-dimensi yang semakin besar, serta menjauhkannya (Francis) dari
pendahulunya sendiri.
Aspek yang
lebih doktrinal dianalisis pada tahun 2016 oleh seorang ahli Vatikan, Giuseppe
Nardi: “Tiga setengah tahun setelah dimulainya masa kepausannya, paus Francis telah
mencapai batasnya. Kesan yang diberikan melalui gerak-gerik dan kata-katanya,
tentang niat tersembunyi untuk mengubah doktrin Gereja, pada suatu saat harus
mengambil bentuk tertentu atau Gereja harus runtuh .... Francis menemukan
dirinya terpojok melalui atmosfer yang dia sendiri bertanggung jawab untuk menciptakan.
Ini bukan lagi tentang ucapan spontan tentang ini atau itu, yang tetap
diimprovisasi olehnya dan tidak mengikat. Pekerjaan penggembalaan dan
keterampilan kepemimpinannya, yang menuntut rasa tanggung jawab dan karakter
yang patut dicontoh, sedang mencapai batasnya. Inilah yang bisa membuat Francis
gagal."
Komentar-komentar
semacam ini menunjuk pada kesalahan amat besar yang dibuat oleh Konklaf 2013
dalam memilih kardinal "dari ujung bumi" untuk menjadi kepala Gereja
Katolik. Dengan memilih orang luar yang kurang dikenal, mereka memilih seorang
pria yang terbukti tidak layak, oleh karakternya dan oleh prioritas yang
ditunjukkannya, untuk memegang jabatannya. Bagi banyak umat Katolik, gagasan
ini sulit diterima. Dalam ingatan (sejarah) yang hidup, kita tidak pernah menemukan
kasus di mana kesalahan penilaian dalam pemilihan paus telah terjadi. Beberapa
paus modern adalah orang-orang hebat, yang lain memadai; selama berabad-abad
tidak ada seorang pun, seperti yang harus dikatakan secara kasar dan jujur
tentang Francis, yang jelas-jelas di bawah jabatannya. Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Kita harus
ingat bahwa Jorge Bergoglio adalah orang yang dibesarkan dalam lingkup budaya
politik yang menjijikkan, dan dia dilatih dalam tatanan agama yang tradisi kepatuhannya
dan keterlibatan politik dan sosialnya terganggu dan terdistorsi oleh
pergolakan tahun 1960-an. Hal ini berarti bahwa dia kurang terbentuk dalam
disiplin budaya yang berakar panjang, yang membuat para pendahulunya memenuhi
standar tertentu untuk menjadi paus. Gereja tidak pernah menjadi orang asing
bagi klerus, bahkan mereka yang berkarakter tinggi, yang membiarkan panggilan
religius mereka terlalu berbau politis, dan Bergoglio tidak pernah menunjukkan
kemurnian dedikasinya yang akan melindungi dirinya dari kesalahan semacam itu. Sebelum
pemilihannya, dia tidak membedakan dirinya dengan tulisan atau khotbah
spiritual atau doktrinal yang diketahui dari banyak paus. Minimnya minat pada
doktrin dan liturgi sudah biasa dilakukannya, dan bahkan beberapa kebiasaan
doanya mengundang komentar yang menggemparkan. Lucrecia Rego de Planas
berkomentar bahwa ketika merayakan Misa, paus Francis tidak pernah mau berlutut
ke arah tabernakel atau Hosti yang telah dikonsekrasikannya, sebagai aturan wajib
dalam liturgi yang telah ditentukan, dan dia dikenal karena kelalaian itu jauh
sebelum usia tua membuatnya secara fisik bisa dimaklumi. Apa yang bisa diharapkan
oleh umat Katolik dari seorang Paus yang mengabaikan tanda-tanda hormat kepada
Sakramen Mahakudus, yang selama ini telah dilakukan oleh semua imam dan umat
beriman melalui aturan dan tradisi?
Kita dapat
menghubungkan cacat-cacat ini dengan nada rendah dari magisterium ‘kerendahan
hati’ yang dibuat oleh paus Francis sebagai ciri khasnya, dalam konferensi pers,
dalam sebuah penerbangan internasional, dan alternatif improvisasi lainnya
untuk cathedra Petrine. Aldo Maria
Valli telah menunjukkan "kedangkalan’ Francis ini sebagai nada dominan,
dan konformismenya sebagai kebiasaan intelektual." Orang mungkin mengatakan
hal yang sama tentang penghinaan kasar yang sering dilontarkan paus Francis
terhadap orang-orang yang dia tegur, dimana sikap seperti itu merupakan sebuah
fenomena yang meluas sampai kepada dokumen-dokumen resminya. Sebuah ensiklik
seperti Evangelii Gaudium (2013) penuh dengan frasa seperti "elitisme
narsis dan otoriter", atau "Promethean Neo-Pelagianisme yang
mementingkan diri sendiri." Yesus Kristus mengecam "nabi-nabi palsu,
yang datang kepadamu dengan pakaian domba, tetapi di dalam hati mereka adalah serigala
yang ganas"; tetapi kita harus menunggu sampai kepausan Francis untuk
diperingatkan, dalam hal pengajaran kepausan, tentang bahayanya berbagi tempat
duduk dengan seorang Promethean Neo-Pelagian. Rupanya, ini adalah bahasa
penginjilan baru yang segar, yang diilhami oleh kebutuhan pastoral orang
miskin.
Semua ini,
untuk waktu yang lama, telah luput dari pandangan media yang dangkal, yang
berada di luar kedalamannya dalam hal teologi dan jatuh ke dalam gerakan
publisitas dengan kenaifan kekanak-kanakkan. Di Italia ada sejumlah jurnalis, diantaranya
adalah Sandro Magister, yang telah melaporkan secara kritis tentang urusan
Vatikan selama beberapa tahun ini, tetapi di dunia berbahasa Inggris keheningan
itu telah cukup memekakkan telinga. Hanya segelintir situs web Katolik
konservatif, termasuk National Catholic
Register dan LifeSiteNews, yang
menghasilkan, dengan alasan doktrinal, jenis pelaporan yang tajam yang
diabaikan oleh media arus utama. Italia juga telah menghasilkan dua buku
kritis, Non Soc Francesco (2014)
karya Antonio Socci dan 266 karya
Aldo Maria Valli (2016). Di Amerika tanda-tanda mulai muncul dari pecahnya
peringkat, setidaknya di dunia penerbitan: George Neumayr's The Political Pope (2017) yang menyajikan
kasus konservatif terhadap Francis, dan sebuah buku karya Philip Lawler yang saat
ini sedang diterbitkan, berdasarkan pada tajamnya pelaporannya sebagai jurnalis
Vatikan.
Dalam beberapa
bulan terakhir tanda-tanda telah meningkat bahwa "Anda tidak dapat membodohi semua orang sepanjang waktu".
Konsensus media yang menyebut Francis sebagai seorang reformator hebat
menunjukkan celah serius pada 2 Juli 2017, ketika harian Romawi Il Tempo menghabiskan halaman depan dan halaman 2 dan 3
untuk serangkaian artikel yang menilai pencapaian Francis dan menemukan apa yang
mereka inginkan.
Artikel utama
berada di bawah judul, “Crollo di fedeli,
temi etici, gay, immigrati e Isis-Islam. Quanti errori. Ora le epurazioni. Cala
la popolarità di Francesco.”
Kepergian Libero
Milone, Kardinal Müller, dan Kardinal Pell secara cepat dari Vatikan tidak
dapat dikatakan gagal untuk menyampaikan beberapa keadaan kritis, dan upaya
untuk menjelaskan soal paus Francis yang menumpahkan tindakan dan ucapannya yang
salah, pasti akan menyerah sebelum penyelidikan lebih lanjut. Rumor bahwa dana Peter's
Pence (uang hasil kolekte umat beriman di seluruh dunia) digunakan untuk
mendanai kampanye kepresidenan Hilary Clinton semakin banyak terdengar, dan semua
itu menunjukkan jalan menuju kepada skandal besar.
Paus Francis
masih memiliki satu keuntungan luar biasa. Media liberal telah banyak
berinvestasi dalam dirinya dengan menyebutnya sebagai sebagai ‘idola
revolusioner’ - orang yang oleh The Wall
Street Journal, pada Desember 2016, digambarkan oleh sebagai "pemimpin
kiri global" - dan mereka tidak siap untuk melepaskan mitos itu. Dengan kepergian
Obama dan Hillary Clinton dipermalukan, maka Francis menjadi lebih penting bagi
mereka daripada sebelumnya. Bagi orang yang bukan Kristen, kekhawatiran yang
digerakkan Francis melalui upayanya untuk meliberalisasi ajaran moral Gereja
tentang tindakan seksual, tidaklah relevan bagi mereka. Memang, apa yang
disukai kaum sekularis dalam diri Francis, yaitu gayanya sebagai pemecah
tradisi dan mengabaikan masalah mistik serta otoritas Gereja. Namun kepercayaan
bahwa media liberal dapat memaksakan pandangan mereka tentang dunia, telah memudar
belakangan ini. Hillary Clinton yang mengandalkan mereka, dan gagal; kita
mungkin melihat paus Francis juga berjalan dengan cara yang sama.
Paus Berikutnya
Kita kembali melihat
kesalahan besar yang belum pernah terjadi sebelumnya yang dilakukan oleh para
kardinal pada 2013 dalam memilih sosok seperti Jorge Bergoglio. Seperti telah
dikomentari sebelumnya, umat Katolik terbiasa dengan pemilihan paus yang patut
dipuji, atau setidaknya: memadai, dan mereka akan merasa sulit untuk percaya
(bahkan meski dengan adanya bukti sekelompok kardinal yang licik untuk
menjelaskannya) bahwa kesalahan yang benar-benar tidak suci dapat dilakukan di
Vatikan atau di sebuah konklaf. Namun di dunia ini tidak ada prosedur pemilihan
yang kebal terhadap kesalahan, betapapun jarangnya terjadi kejadian semacam
itu. Kita harus kembali ke beberapa abad yang lalu untuk menemukan paus yang
telah menjadi bencana pribadi, tetapi itu telah terjadi, seperti yang
diperkirakan orang.
Mungkin paus
terakhir dengan pendekatan duniawi dan politis seperti Francis adalah paus Urbanus
VIII (1623-44). Dia melibatkan kepausan dalam konflik dengan kerajaan-kerajaan
tetangga, yang menyerbu Negara-negara Kepausan dalam perang yang menghancurkan,
sehingga pada saat kematian Urbanus, Tahta Suci bangkrut dan keluarganya diusir
dari Roma. Kerusakan yang lebih panjang yang dilakukan Urbanus terhadap Gereja
adalah kecamannya terhadap Galileo, bukan karena dia menganggap bahwa teori
astronomi heliosentrisitas adalah bidaah (pandangan keliru yang selalu diambil
dari kejadian itu) tetapi memang dia mau membalas dendam pribadi atas
penghinaan terhadap Paus yang telah dirajut oleh Galileo ke dalam bukunya
tentang hal itu. Di sini kita memiliki ilustrasi tentang fakta bahwa cacat
pribadi seorang paus dapat berdampak pada bidang doktrinal Gereja.
Mungkin kasus
semacam itu yang lebih dekat adalah penguasa seperti Paul IV (1555-59), seorang
yang bersemangat untuk meluaskan kemiskinan religius, yang kemudian terpilih
menjadi paus pada usia tujuh puluhan. Obsesi politiknya membawanya untuk
berperang melawan Kaisar Charles V, juara utama perjuangan Katolik dalam perang
melawan Protestan yang berkecamuk pada waktu itu, dan dia bertengkar, lagi-lagi
karena alasan politik, dengan Mary Tudor dan Kardinal Pole, yang terlibat dalam
tugas sulit memulihkan agama Katolik di Inggris. Masa pemerintahannya berakhir
dengan skandal politik dan kerusuhan rakyat terhadap ketidakpopulerannya yang
kejam. Atau seseorang dapat mempertimbangkan Urbanus VI (1378-89), yang
terpilih sebagai orang luar sepenuhnya, dan segera menunjukkan bahwa dia tidak
memiliki keseimbangan mental untuk memegang jabatannya. Para kardinal
memintanya untuk turun tahta, dan dalam surat penolakannya paus menyatakan bahwa
dirinya digulingkan dan kemudian para kardinal memilih seorang antipaus, yang
kemudian menyulut Skisma Barat selama empat puluh tahun. Urbanus merespons
dengan menciptakan 29 orang kardinal untuk menggantikan para kardinal yang
telah meninggalkannya, tetapi dia juga segera bertengkar dengan para kardinal
baru ini dan mengeksekusi lima dari mereka karena dituduh berkomplot
melawannya, sementara beberapa yang lain pergi ke pihak lawan.
Kasus-kasus
seperti ini menggambarkan bahayanya sebuah meriam yang sepenuhnya tidak dijaga
di atas Bahtera St. Petrus, dan hal itu juga menunjukkan kesulitan dalam menggulingkan
seorang paus. Peristiwa penggulingan semacam itu mungkin masih direnungkan oleh
para kardinal yang saat ini berusaha membuat Francis turun. Apakah hal itu
terjadi, atau apakah kita menunggu cara Tuhan yang lebih umum untuk membuat
kekosongan di dalam Tahta Apostolik, namun pertanyaan besarnya adalah apa yang akan
terjadi dalam pemilihan paus berikutnya, dan masih tidak ada kepastian bahwa
kesalahan yang sama tidak akan dilakukan lagi. Marilah kita perhatikan bahwa
para kardinal yang dikatakan bergerak melawan paus Francis saat ini, adalah
setan kurial yang, pada 2013, memutuskan untuk memberi bobot pada Bergoglio,
dan dengan demikian memastikan pemilihannya. Kali ini, kandidat yang mereka
ajukan adalah Kardinal Parolin. Jadi: dari tim yang membawa paus Bergoglio
kepada Anda, sekarang sambutlah paus Parolin. Seseorang yang dengan tulus
berharap bahwa Sacred College telah belajar dengan pelajaran yang lebih baik.
Kita dapat merenungkan
bahwa bahkan para kardinal yang telah diangkat oleh paus Francis selama masa
kepausannya - dilaporkan sedang dalam upaya yang disengaja untuk mengemas
Konklaf berikutnya – dan mereka tidak serta-merta berbagi pandangan dengan Francis
tentang Gereja sebagai instrumen politik. Marilah kita meminta kepada mereka,
dan berdoa kepada Tuhan, agar mereka dapat menolak visi bencana yang telah
membawa Gereja ke dalam kebingungan dan kembali ke model spiritual, tentang apa
yang seharusnya dilakukan seorang paus.
Marilah kita
berdoa semoga para peserta dalam Konklaf berikutnya nanti, memastikan bahwa
tidak ada klik yang mencoba mengubah pemilihan paus menjadi agenda mereka
sendiri; kedua, bahwa mereka tahu benar siapa yang mereka pilih. Biarkan dia
menjadi orang yang bereputasi mapan di Gereja, dan yang terutama dikenal
sebagai abdi Allah dan bukan politisi; seorang pria yang prioritasnya adalah
harta spiritual, ke arah mana dia dipanggil untuk menjaganya; seorang pria yang
mengajarkan doktrin secara terbuka dan tidak dalam kesepakatan melalui ‘pintu
belakang’ yang serba ambigu; seorang pria yang akan menjadi reformator yang
tulus dan tidak akan bersekutu dengan kebusukan dalam upaya untuk mengendalikan
Gereja. Bagi para kardinal, adalah tugas mereka untuk melakukan hal yang benar
dalam hati nurani mereka dan meninggalkan sisanya di tangan Tuhan. Dan marilah
kita berdoa agar keanehan alam yang secara tidak sengaja, muncul di Tahta
Petrus, mungkin peristiwa seperti itu akan lama untuk terjadi sebelum
malapetaka seperti itu berkunjung lagi di Gereja Katolik.
No comments:
Post a Comment