NEWSCATHOLIC CHURCHWed Sep 21,
2016 - 12:41 pm EST
SEORANG FILSUF TERKENAL
BERKATA : PAUS HARUS MENGHENTIKAN PERNYATAAN-PERNYATAANNYA YANG NYATA-NYATA
SESAT UNTUK MENGHINDARI SKISMA
Dr. Josef
Seifert
September
21, 2016 (LifeSiteNews) - Josef Seifert, filsuf Katolik dari Austria
dan teman dekat mendiang Paus Yohanes Paulus II, mengatakan dalam sebuah
wawancara baru-baru ini bahwa dia berharap agar Paus Francis mencabut
pernyataan-pernyataannya yang nyata-nyata sesat di dalam Amoris Laetitia untuk menghindari “skisma” atau "perpecahan”
yang total dalam Gereja.
Berbicara
kepada Gloria.TV tentang surat yang dia
tulis bagi Paus Francis serta sebuah esai-nya yang menguraikan beberapa
kekhawatirannya terhadap anjuran (AL)
itu, Seifert menjelaskan bahwa ada empat kesimpulan yang bisa ditarik dari Amoris Laetitia (AL).
Ke
empat kesimpulan ini "secara radikal adalah berbeda dan karena itu saya
pikir orang harus mencari kejelasan mana yang merupakan jawaban yang
benar," demikian katanya.
Kesimpulan
pertama adalah ahwa adalah tetap merupakan sebuah tindakan sakrilegi
(pencemaran) bagi mereka yang berada dalam keadaan dosa berat dan tidak bertobat,
untuk menerima Komuni Kudus, terutama karena catatan kaki 351 membuka pintu bagi
tindakan ini.
Para
pendukung argumen ini bisa beralasan bahwa teks (AL) itu bukan merupakan dokumen magisterial, seperti yang dikatakan
oleh Kardinal Burke, sehingga dokumen itu (AL)
bukanlah bentuk atau sarana yang tepat untuk mengubah doktrin agama Katolik (dan)
tradisi selama 2.000 tahun ini mengenai disiplin sakramental dengan melalui
beberapa goresan pena tanda tangan dari PF. ... Jadi tidak ada yang berubah,
pada dasarnya, dan dokumen itu mungkin mencoba untuk mengubah sesuatu, tetapi
tidak mengubah apa pun. "
Kesimpulan
kedua adalah sebaliknya – berlawanan dan secara mutlak serta radikal
bertentangan," kata Seifert. "Dan itu adalah berupa pernyataan bahwa setiap
pasangan, semua homosek, semua lesbian, semua pezinah, semua orang yang menikah
lagi, ataupun tidak menikah lagi – ya, semua orang diterima di Meja Perjamuan Tuhan"
Dia berpendapat bahwa ini pada dasarnya adalah interpretasi yang dianut oleh para
uskup Filipina, yang telah "membuat pernyataan penting dalam hal
pengaruh dari dokumen ini."
"Penafsiran
ini tidak bisa seperti apa yang dimaksudkan oleh paus - tidak harus sama
seperti yang dikehendaki oleh paus, karena penafsiran paus itu bisa menyebabkan
tindakan sakrilegi yang tak terhitung banyaknya, segala macam orang berdosa (berat)
boleh datang untuk menerima Sakramen Perjamuan Kudus," kata Seifert.
Membiarkan penafsiran seperti ini berarti "membuka pintu untuk mengubah
Gereja, bait Allah, menjadi bait setan."
Seifert
meminta Paus Francis untuk "benar-benar dan secara wajib menyatakan bahwa penafsiran
ini adalah pemahaman yang salah terhadap ajaran Gereja."
Forum internal yang akan menjadi
'bencana pastoral'
Kemungkinan
interpretasi ketiga dari Amoris Laetitia
adalah bahwa suatu pasangan mungkin melakukan "pemeriksaan" dengan
bantuan seorang imam, apakah mereka benar-benar bersalah atas tindakan mereka yang
terus-menerus dilakukan, yang oleh Gereja disebut sebagai perbuatan dosa yang obyektif.
"Bagaimana
hal itu diterapkan?" tanya Seifert. "Haruskah seorang imam berkata kepada
seorang pezinah, 'Anda adalah pezina yang baik, anda berada di keadaan rahmat, anda
adalah seorang yang sangat saleh, maka anda mendapatkan pengampunan tanpa harus
mengubah kehidupan anda dan kemudian anda dapat menerima Komuni Kudus. ... Dan
kemudian datanglah pezinah lainnya, dan imam yang sama itu mengatakan, 'Oh, anda
adalah jelas seorang pezina. Anda harus terlebih dahulu mengaku dosa, anda
harus merubah hidup anda, anda harus memperbaiki hidup anda, dan kemudian anda
dapat menerima Komuni Kudus.” Nah, bisakah seorang imam yang sama melakukan
nasihat seperti ini?
Hal
ini benar-benar tidak pantas dilakukan, dan hal ini bisa menjadi "bencana
pastoral," demikian Seifert memperingatkan. Dia juga mengatakan bahwa hal itu
bisa membingungkan pasangan Katolik yang bercerai dan menikah lagi, dimana beberapa
di antara mereka mungkin diberitahu oleh imam mereka untuk langsung menerima
Komuni Kudus dan pasangan yang lain mungkin diberitahu oleh imam yang sama
untuk hidup abstinently (tidak berhubungan suami istri) dan mengaku dosa agar bisa
menerima Komuni Kudus. Seifert mencatat bahwa kesimpulan ketiga ini berisi masalah
“kesalahan logis" yang mengasumsikan bahwa jika seseorang "tidak
mengerti bahwa apa yang dia lakukan adalah salah, maka dia tidak bersalah dan berada
dalam keadaan rahmat, tetapi kebutaan atas suatu tindakan yang salah itu adalah
sebuah dosa berat."
"Adalah
sebuah asumsi yang keliru jika banyak pasangan tidak merasa bersalah jika dia menikah
lagi dan menganggap orang yang bercerai itu adalah sebagai “pendosa yang tidak
bersalah” dan mereka tetap berada dalam keadaan rahmat, karena kebutaan mereka
sendiri (terhadap kenyataan bahwa mereka melakukan perzinahan) dan kebutaan seperti
itu adalah dosa, "kata Seifert.
Penyangkalan terhadap adanya neraka haruslah diluruskan,
agar menjadi jelas.
Menurut
Seifert, kemungkinan penafsiran ke empat dari Amoris Laetitia adalah orang dapat mengatakan di dalam hati nuraninya
bahwa pernikahan pertama mereka adalah tidak sah, meskipun pengadilan gerejawi mengatakan
sebaliknya, dan karena itu dia merasa boleh bercerai, dan "menikah"
lagi, dan menerima Sakramen-sakramen sambil tetap melakukan hubungan seksual
dengan pasangan kedua mereka.
Masalah
ini tidak boleh diserahkan kepada suara hati nurani dari masing-masing individu
untuk menilai apakah pernikahannya adalah sah atau tidak, dan tanpa melibatkan penilaian
dari seorang imam, karena untuk menilai ... keberadaan suatu Sakramen (dalam hal
ini adalah Sakramen Perkawinan) membutuhkan penyelidikan yang cermat dan itu
adalah tugas pengadilan Gerejawi dan karena itu seseorang tidak bisa ... dalam
hati nuraninya mengatakan, (dulu itu) saya tidak menikah dan sekarang saya
menikah lagi," demikian Seifert menjelaskan. Dia juga mengatakan bahwa jika
ada seseorang yang menyatakan bahwa pernikahannya tidak sah hal ini dikutuk
oleh Konsili Trent, karena hal itu tidak sejalan dengan ajaran Gereja.
Maka
adalah benar-benar sesat jika mengatakan, seperti yang dilakukan oleh Amoris Laetitia, bahwa seseorang mungkin
tidak dapat hidup sesuai dengan tuntutan Injil, demikian kata Seifert. Amoris Laetitia menyarankan agar orang
dapat "mengakui bahwa adalah kehendak Tuhan untuk hidup dalam hubungan perzinahan,"
tetapi "hal itu jelas bertentangan dengan beberapa dogma Konsili Trent dan
hal itu jelas bertentangan dengan Veritatis
Splendor dan beberapa ajaran mulia Gereja," katanya.
Seifert
menekankan bahwa dia tidak menyebut Paus adalah sesat, tetapi dia hanya
menunjukkan bahwa paus telah membuat berbagai pernyataan yang sesat yang harus
diperbaiki.
"Paus
mengatakan bahwa tidak ada orang yang dikutuk selamanya ... dimana hal ini dapat
saja diartikan dengan pengertian yang lain, tetapi sulit sekali untuk
menafsirkan kalimat itu dengan makna lain selain penolakan terhadap keberadaan neraka," katanya. Kristus
"memperingatkan kita tentang adanya bahaya yang besar dan nyata dari
hukuman kekal," seperti yang juga disampaikan oleh berbagai orang kudus
dan Perawan Maria pada penampakan-penampakan yang telah diakui oleh Gereja,
"dan karena itu, jika Paus mengajak orang yang berada dalam keadaan dosa
berat untuk menerima Sakramen-sakramen maka pada saat yang sama dia berkata bahwa
tidak ada orang yang akan dihukum selamanya, dan saya berkesimpilan bahwa paus telah
menyangkal adanya hukuman kekal."
"Karena
itu saya menyarankan kepada paus agar dia pertama-tama harus menjelaskan bahwa dia
tidak ingin menyangkal keberadaan neraka dalam pernyataannya itu, karena hal itu
akan bertentangan dengan Kitab Suci, dan bertentangan terhadap beberapa dogma,"
kata Seifert. Bahkan meskipun jika Paus Francis mengatakan bahwa pernyataan-pernyataannya
itu bukanlah merupakan penolakan terhadap keberadaan neraka, “tetapi saya pikir banyak orang menafsirkannya
demikian (menolak keberadaan neraka) dan karena itu dia harus secara jelas
mengatakan kebenaran Injil dan tidak memberi kesan seolah dia menolak keberadaan
neraka," dia berkata. Hal ini harus dilakukan oleh paus "demi
kejelasan dan demi pemeliharaan pastoral."
Seifert akan tetap berbicara 'bahkan
jika saya dibunuh untuk itu'
Paus
Francis akan menumbuhkan “rasa penghargaan dan rasa hormat di dunia" jika dia
mau menarik pernyataan-pernyataannya di dalam Amoris Laetitia yang nampak bertentangan dengan doktrin Katolik, demikian
kata Seifert. Namun jika dia "tetap bertahan dengan hal itu," maka
ada "bahaya perpecahan di dalam Gereja."
"Untuk
menghindari perpecahan dan untuk menghindari bid'ah serta menghindari
perpecahan total di dalam Gereja, saya pikir perlu sekali agar paus ...
diberitahu tentang masalah ini dan mencabut pernyataan-pernyataan itu,” kata
Seifert
Seifert
mengatakan bahwa dirinya bukanlah satu-satunya akademisi Katolik yang menyampaikan
alarm tanda bahaya mengenai Amoris
Laetitia. Profesor Robert Spaemann, seorang profesor filsafat terkemuka dari
Jerman dan teman dekat Paus Emeritus Benediktus XVI, dan Dr. Jude P. Dougherty, mantan dekan School of Philosophy di
Catholic University of America, mereka menyerukan keprihatinan yang serius atas
anjuran AL itu. Professor
Robert Spaemann menyebutnya sebagai "pelanggaran"
terhadap tradisi Katolik dan Dr. Jude P. Dougherty menulis jika ambiguitas Paus Francis menunjukkan
“bahwa apa yang sudah pasti pada saat sebelumnya, kini menjadi
bermasalah."
"Bahkan jika saya harus dibunuh untuk itu,
saya pikir saya harus tetap berbicara karena seseorang tidak bisa tinggal
diam saja jika dia mengetahui bahwa kebenaran-kebenaran penting, yang juga sangat
penting bagi keselamatan kekal dari umat beriman, dikaburkan ... di dalam
dokumen (Amoris Laetitia)," demikian
kata Seifert.
Watch Dr. Seifert's
interview with Gloria.TV here:
No comments:
Post a Comment