SEORANG FILSUF
BERKATA: JIKA SEORANG PAUS MENGAJARKAN KEBOHONGAN, MAKA UMAT KATOLIK TIDAK
WAJIB UNTUK MEMATUHINYA
Pete Baklinski
NEWSCATHOLIC CHURCHThu Nov 9, 2017 - 2:59 pm EST
9
November 2017 (LifeSiteNews) -
Seorang filsuf Katolik yang terkenal mengatakan bahwa umat Katolik yang setia
"berkewajiban" untuk tidak mengikuti atau mematuhi Paus jika dia
secara jelas bertentangan dengan ajaran kekal Gereja Katolik.
Dr.
Josef Seifert, presiden Academy for Life yang baru dibentuk dan teman dekat almarhum
Paus St. Yohanes Paulus II, mengatakan bahwa umat Katolik "berkewajiban untuk
tidak mempercayai (semua yang diajarkan dan ditulis oleh Paus) sebagai
kebenaran jika kita melihat bahwa hal
itu jelas bertentangan dengan ajaran Gereja yang kekal atau kebenaran moral
yang nyata yang dapat diterima oleh akal sehat manusia, atau keduanya."
"Saya
berpikir, begitu kita menemukan bahwa ajaran baru (dari paus) itu salah, maka
kita wajib untuk tidak menaatinya. Dan segera setelah kita menemukan keputusan
pastoral Paus yang baru tidak dapat diterapkan dalam pandangan hati nurani yang
baik, seperti misalnya memberikan sakramen kepada orang-orang berdosa yang
tidak mau bertobat atas dasar "pembedaan dari hati nurani mereka" (yang
menurut kita adalah tidak mungkin), kalau-kalau dosa mereka itu masih sesuai
dengan keberadaan mereka di dalam rahmat dengan alasan-alasan yang sangat subyektif,
atau bahkan alasan yang dibuat-buat untuk membenarkan perbuatan dosa mereka,
maka kita secara moral berkewajiban untuk tidak menaatinya," katanya.
Mengutip
dari Kisah Para Rasul, Seifert mengatakan bahwa ketika kita sampai pada
kebenaran kekal dari iman Katolik, maka umat Katolik "harus lebih taat
kepada Tuhan daripada manusia." (lihat
Kis.5:29)
Filsuf
tersebut berkomentar dalam sebuah wawancara
dengan Maike Hickson dari media OnePeterFive
yang dipublikasikan pada 7 November.
Komentar-komentarnya
muncul pada saat berbagai argumen antara para pemikir Katolik berkecamuk mengenai
sampai sejauh mana umat Katolik berhutang kesetiaan kepada ajaran-ajaran PF
yang kontroversial mengenai pernikahan, hati nurani, dan Sakramen-sakramen,
khususnya yang ada di dalam Amoris Laetitia (The Joy of Love ) 2016.
Salah
satu aspek yang paling kontroversial dari Amoris Laetitia adalah membuka pintu lebar-lebar bagi umat Katolik
yang bercerai dan menikah kembali dan yang secara aktif hidup dalam perzinahan,
untuk menerima Komuni Kudus melalui proses "pembedaan di dalam hati nurani
mereka." Meskipun banyak klerus dan ahli telah bersikeras bahwa
dokumen tersebut harus ditafsirkan secara tradisional, dengan mengikuti ajaran kekal
Gereja, tetapi penafsiran liberal/modern telah diadopsi oleh berbagai uskup dan
kelompok uskup, termasuk di Argentina,
Malta,
Jerman,
dan Belgia.
Seifert
mengatakan dalam wawancara itu bahwa banyak umat Katolik di seluruh dunia yang
berusaha untuk tetap setia kepada Gereja, telah
secara keliru menganggap bahwa semua ucapan paus atau tulisannya harus mereka
setujui dan mereka terima tanpa syarat.
Tapi
tidak bisa ada ‘kesatuan sejati dengan Paus’ kecuali ada kesatuan sebelumnya yang
didasarkan pada ‘kebenaran,’ katanya.
"Untuk
bersikap setuju dengan Paus, untuk memiliki persatuan dengan Paus dalam masalah
yang salah, adalah tidak ada nilainya sama sekali," katanya.
"Sebaliknya:
sebagaimana St. Thomas dan Kisah Para Rasul menyatakan dengan jelas, dalam
kasus seperti itu maka pihak bawahan
memiliki kewajiban untuk mengkritik atasannya, bahkan di depan umum, seperti
halnya St. Paulus mengkritik St. Petrus," tambahnya. (lihat Gal 2:11).
Filsuf
itu mengatakan bahwa memprioritaskan kebenaran di atas persatuan adalah
"mutlak." Dia menekankan bahwa "kebenaran tidak hanya harus
diprioritaskan di atas persatuan dan perdamaian, namun kebenaran adalah kondisi
yang harus ada bagi kesatuan dan kedamaian yang otentik."
Seifert
menjelaskan mengapa dia menganggap salah satu pembela terkemuka Amoris Laetitia, Profesor Rocco
Buttiglione, telah bertindak salah dalam argumennya yang mengatakan bahwa umat
Katolik harus mematuhi nasehat (Amoris Laetitia) tersebut.
"Buttiglione
berpendapat bahwa sebagai umat Katolik, kita harus percaya bahwa apapun yang
dikatakan Paus dalam pelaksanaan Magisteriumnya adalah benar, sementara itu saya
setuju dengan hal itu, ya, tetapi kita juga berkewajiban untuk melihat terlebih dahulu kebenaran yang
terkandung dalam dokumen magisterial itu dan cobalah menafsirkannya berdasarkan
terang yang disampaikan dalam Tradisi Gereja
Katolik, dan kita tidak memiliki kewajiban mutlak untuk
percaya bahwa setiap bagian dari pengumuman magisterium kepausan itu memang
benar atau sesuai dengan ajaran kekal Gereja, "kata Seifert.
"Selain
itu, kita berkewajiban untuk tidak mempercayai bahwa hal itu benar jika kita
melihat atau menemukan bahwa hal itu
bertentangan dengan a) ajaran Gereja
yang kekal atau b) kebenaran moral
yang nyata dapat diterima oleh akal sehat manusia, atau c) keduanya," tambahnya.
Seifert
mengemukakan empat buah argumen yang menentang anggapan bahwa anjuran Amoris
Laetitia itu sebagai pelaksanaan ajaran Magisterial dari Paus, yang jika memang
demikian, umat Katolik akan terikat untuk mematuhinya.
- Karena poin-poin baru yang
menentukan dari Amoris Laetitia, terutama hanya ditemukan (dituliskan) dalam catatan kaki yang tidak
dapat merubah disiplin sakramental Gereja selama 2000 tahun ini, dimana hal ini dengan
sungguh-sungguh ditegaskan kembali oleh nasehat apostolik Familiaris Consortio dari St. Paus
Yohanes Paulus II. Catatan kaki semacam itu tidak dapat dianggap sebagai pelaksanaan
ajaran Magisterium, seperti yang juga disampaikan oleh Kardinal
Brandmüller dan Burke serta para Kardinal dubia lainnya dan banyak lagi lainnya.
- Selain itu, Paus secara
eksplisit mengatakan di bab III Amoris Laetitia bahwa dia tidak ingin
menyelesaikan hal baru yang menentukan di dalam Amoris Laetitia melalui
magisteriumnya, namun membiarkannya
terbuka untuk diputuskan oleh berbagai konferensi uskup lokal dan budaya
yang berbeda dan terdesentralisasi.
- Dia menegaskan posisinya
ini dengan menyetujui keputusan dari Episkopat Polandia untuk mengikuti FC
sepenuhnya yang tidak mau mengakui seorang yang bercerai dan menikah lagi,
atau memberikan Sakramen-sakramen kepada homosex aktiv yang tidak ingin
mengubah cara hidup mereka, tetapi pada
saat yang sama paus juga membenarkan dan memuji tindakan yang berlawanan:
pengumuman Uskup-uskup Argentina di wilayah Buenos Aires, yang berbarengan
dengan uskup-uskup lainnya, termasuk uskup agung Granada, yang memberikan Sakramen-sakramen
kepada orang-orang yang bermasalah dalam perkawinannya itu. Uskup-uskup
ini mengadopsi penafsiran yang persis berlawanan. Paus bahkan memuji
pernyataan Uskup-uskup Malta yang jauh lebih radikal tentang Amoris
Laetitia, yang mengajukan penafsiran Amoris Laetitia yang benar-benar melawan
ajaran Kristus. Jadi, Paus Francis mengikuti gagasan yang dia ajukan
tentang "desentralisasi magisterium " atau
"magisteria" yang berbeda di dalam Gereja - yang kesemuanya dia
setujui - sebuah gagasan yang saya dengar sendiri dari Karl Rahner yang disampaikan
di Munich setengah abad yang lalu. Sekarang, logika murni mengatakan
kepada kita bahwa posisi para Uskup Buenos Aires atau Malta dengan Konferensi
Uskup Polandia yang secara diametris bertentangan, dimana uskup-uskup
Buenos Aires dibela oleh Buttiglione, dan keduanya diakui dan disetujui oleh Paus dalam "pluralisme
magisterial barunya", maka tidak mungkinlah keduanya sesuai dengan
"Magisterium biasa dari Paus". Oleh karena itu, ajaran baru Amoris
Laetitia (yaitu, the
Buenos Aires reading) tidak bisa menjadi "Magisterium dari Paus".
- Pembaharuan-pembaharuan dari
Amoris Laetitia bukan saja bersifat doktrinal, namun juga pastoral, dan
karena itu ia lebih cocok sebagai bentuk kehati-hatian atau ketidakhati-hatian
(kesembronoan) daripada kebenaran dan kepalsuan; misalnya, jika paus-paus
sebelumnya meminta dalam pelaksanaan Magisterium mereka di dalam bentuk ketetapan
kepausan atau ensiklis, yang menyatakan bahwa para bidaah, penyihir, dan
penyihir harus dibakar di tiang pancang, atau ketika mereka di-ekskomunikasi
melalui ketetapan kepausan di seluruh kota karena pangeran mereka memimpin
perang melawan Vatikan, maka saya tentu tidak berkewajiban untuk percaya
bahwa ini adalah keputusan pastoral yang bijaksana. Buttiglione sendiri, secara
kontradiktif mengatakan bahwa ajaran baru di dalam Amoris Laetitia adalah
ajaran pastoral murni dan dia juga menyatakan, setidaknya dalam suratnya
kepada saya, bahwa kita tidak terikat untuk menyetujui kebijaksanaan
keputusan pastoral seorang Paus yang tidak semata-mata benar atau salah, tetapi
hal itu adalah kehati-hatian atau ketidakhati-hatian. Tapi dalam kasus itu
saya sama sekali tidak berkewajiban untuk setuju dengan Amoris Laetitia (sesuai
dengan logika yang diterapkan pada pengakuan Buttiglione), atau untuk
menyetujui bahwa pedoman pastoral yang baru itu adalah bijaksana.
Seifert
mengatakan bahwa ini berarti sebuah ‘papolatry’, pemujaan terhadap paus, untuk
menegaskan bahwa umat Katolik ‘memiliki tugas mutlak untuk menerima segala
sesuatu yang dikatakan oleh Paus atau Konsili,’ sejauh hal itu "tidak
dogmatis dan mengenai iman, dan jika dia memiliki alasan yang bagus untuk berpendapat
bahwa hal itu bertentangan dengan kebenaran alami atau wahyu Ilahi atau
keduanya."
"Saya
berpikir bahwa Magisterium Luar Biasa yang tidak dapat salah hanya berlaku
untuk hal-hal penting, seperti doktrin dan keyakinan, bahwa Paus mendefinisikan
'ex cathedra' (yang hanya terjadi dua atau tiga kali dalam sejarah Gereja) atau
bila sebuah Konsili, dalam persekutuan dengan Paus, yang menetapkan sesuatu sebagai
dogma dan de fide sedemikian rupa
sehingga siapapun yang membantahnya bisa dinyatakan sebagai 'terkutuk,' katanya.
"Magisterium
Biasa Gereja yang tidak dapat salah hadir hanya dalam ajaran magisterium biasa
yang sesuai dengan apa yang telah diajarkan Gereja selalu dan dimana-mana, bukan
dengan ajaran yang sama sekali baru, seperti Amoris Laetitia itu. Tidak satu
pun dari kriteria ‘tak bisa salah’ ini berlaku untuk hal-hal baru di dalam Amoris
Laetitia, "tambahnya.
"Untuk
menganggap umat Katolik yang berbeda pendapat dari Amoris Laetitia sebagai
orang sesat, schismatik, secara fakta atau di dalam roh, atau dianggap tidak
taat kepada Paus, adalah merupakan sebuah ketidakadilan yang serius,"
katanya.
Seifert
dipecat
dari jabatannya di universitas oleh uskup agung pada bulan September, setelah
dia menerbitkan sebuah artikel di mana dia mempertanyakan ajaran Paus di dalam Amoris
Laetitia.
Dia
menyarankan dalam artikelnya itu bahwa jika Paus Fransiskus percaya bahwa
perzinahan - mengutip omongan paus sendiri - "adalah apa yang diminta oleh Tuhan sendiri" pada yang pasangan
‘bermasalah’, maka tidak akan ada yang bisa
menghentikan perbuatan jahat lainnya hingga semua itu akhirnya akan bisa dibenarkan.
Dia menyebut anjuran Amoris Laetitia itu sebagai sebuah "bom atom
teologis" yang memiliki kapasitas untuk menghancurkan semua ajaran moral
Katolik.
Seluruh
wawancara Seifert bisa dibaca di
sini.
Silakan melihat artikel lainnya
disini : http://devosi-maria.blogspot.co.id/
No comments:
Post a Comment