Saturday, February 20, 2016

Menyelamatkan planet atau menyelamatkan jiwa-jiwa?



Menyelamatkan planet atau menyelamatkan jiwa-jiwa?






Saving the Planet – or Saving Souls?

Berapa banyak imam-imam saat ini, yang kita tahu, yang menghabiskan waktu 13-17 jam sehari untuk melayani Pengakuan Dosa? Mungkin tidak ada. Banyak yang akan berkata bahwa itu sangat tidak praktis bagi seorang imam dalam meluangkan waktunya, karena banyaknya tugas dan tantangan yang harus dihadapinya di wilayah masing-masing : berbagai mengikuti rapat dan pertemuan, membuat berbagai rencana yang kurang berhubungan dengan tugas pokoknya, dan lain-lainnya.

Hanya ada seorang imam yang menghabiskan waktu hingga 13-17 jam sehari didalam kamar pengakuan dosa, dan dia kemudian menjadi contoh bagi semua imam yang lain, dia adalah St. John Mary Vianney. Sebagai imam paroki Ars, sebuah desa kecil di Perancis, tujuan hidupnya hanya satu : mempertobatkan pendosa dan menyelamatkan jiwa-jiwa. Dia meneghabiskan hari-harinya didalam doa, mengajar Katekismus, serta melayani pengakuan dosa. Dia tidak menolong umat parokinya dalam hal kemiskinan materiil. Dia tidak memberikan lapangan pekerjaan. Dia tidak mendorong umat di wilayahnya untuk ‘berdialog’ dengan agama-agama lain. Dia juga tidak mengorganisir diadakannya kereta-kereta yang melayani kesehatan bagi orang-orang sakit, tidak mengadakan berbagai ‘job fair’, tidak mengadakan proyek-proyek penanaman pohon penghijauan, tidak mengadakan pawai dengan tujuan sosial tertentu, serta berbagai kegiatan lainnya yang sering diikuti dan dilakukan oelh imam-imam saat ini. Dia juga tidak pernah, secara tidak langsung, mendorong orang-orang untuk tetap berada dalam keadaan dosa dengan mengajarkan besarnya Kerahiman Allah tanpa menekankan perlunya pertobatan. Kenyataannya, semua homilinya diarahkan untuk menentang kekejian yang banyak terjadi di desa Ars saat itu : penghujatan, menyalahkan orang lain, pencemaran pada hari-hari Minggu, pesta pora dan dansa-dansi, lagu-lagu serta perkataan yang tidak sopan.

Keajaiban-keajaiban terbesar di Ars bukanlah berupa perubahan fisik dari desa itu, tetapi berupa perubahan spirituil dari warganya dibawah tuntunan pastornya. Kehidupan St. John Vianney adalah sebuah kisah seorang yang kudus dan sederhana, yang berhasil melakukan hal-hal yang menjadi tugas pokok seorang imam : mempertobatkan ribuan orang pendosa.

Sebuah penekanan baru
Marilah kita melihat keadaan saat ini. Kita menyaksikan bahwa prioritas para klerus nampak berjalan menuju sebuah arah yang berbeda : memang demi kebaikan orang-orang, namun bertentangan dengan esensi dari keimaman. Prioritas-prioritas Gereja, seperti yang ditekankan oleh penguasa-penguasa tertinggi Gereja, adalah menolong planet ini, menolong orang untuk mengatasi kemiskinannya, mengatasi pengangguran kaum muda, meraih orang-orang non-Katolik melalui dialog.

Kenyataannya, dalam sebuah wawancara dengan seorang wartawan/editor atheis, dari media La Republica, sebuah penerbitan Italia yang sangat anti-Katolik, PF berkata :”Kejahatan yang paling serius yang membebani dunia saat ini adalah berupa pengangguran diantara kaum muda serta kesepian yang dialami oleh orang-orang jompo. Menurut saya, inilah masalah yang paling urgen yang dihadapi oleh Gereja.”

PF juga menganjurkan agar kita mengurangi perbincangan mengenai pembelaan terhadap kehidupan manusia :”Kita tidak usah terus membicarakan isu mengenai aborsi, pernikahan gay, serta penggunaan cara-cara kontrasepsi. Hal ini adalah tidak mungkin... tidak perlu kita bicara soal isu ini sepanjang waktu.”

Menyelamatkan planet ini adalah sebuah prioritas besar : kenyataannya, ensiklis pertama, Laudato Si, berbicara mengenai lingkungan. Pada 8 Desember 2015, bukannya perayaan Yang Dikandung Tanpa Noda yang diadakan, tetapi acara-acara yang berpusat pada pemujaan atas lingkungan, melalui pertunjukkan cahaya kolosal dengan sponsor dari Vatikan, di Basilika St. Petrus.

Dialog antar agama juga menjadi penekanan berikutnya. Kenyataannya, pada bulan Januari, PF merilis sebuah video doa yang kemudian menjadi sangat kontroversial. Pada awal video itu, dalam durasi 1½ PF menyampaikan kenyataan bahwa mayoritas penduduk bumi memeluk kepercayaan agama tertentu. Hal ini “hendaknya menuntun kepada sebuah dialog antar agama. Janganlah kita berhenti berdoa bagi hal itu, dan bekerja sama dengan mereka yang berpikiran beda.” Video itu kemudian menampilkan wakil-wakil dari agama Buddha, Kristiani, Islam, dan Judaisme, yang menyatakan kepercayaan mereka kepada Tuhan, Yesus Kristus, Allah, dan Buddha. “Saya percaya kepada Buddha,” demikian suara seorang lama wanita; “saya percaya kepada Tuhan”, kata seorang rabbi, “Saya percaya akan Yesus Kristus”, kata seorang imam, dan “Saya percaya akan Allah”. Kemudian ketika PF selesai mengatakan bahwa semuanya, apapun kepercayaan mereka, adalah anak-anak Allah, maka semua pemimpin agama yang ditampilkan dalam video itu menyatakan kepercayaan bersama mereka kepada kasih.  

Pertanyaan kita
Ditengah segala perubahan besar ini, ada banyak pertanyaan yang harus diajukan oleh imam-imam dan para uskup kepada dirinya sendiri. Apakah menyelamatkan planet ini lebih penting dari pada menyelamatkan jiwa-jiwa? Apakah kemiskinan materiil adalah sunggguh sebuah kejahatan terbesar ? – atau kemiskinan spirituil ? Kita ingat akan kisah Lazarus serta orang yang miskin – orang yang miskin secara materiil, yang memakan remah-remah roti yang terjatuh dari meja perjamuan Lazarus yang kaya itu. Orang miskin itu ternyata memperoleh harta yang terbesar yang bisa diperoleh seseorang : Surga !

Apakah dialog antar agama lebih penting dari pada perintah Allah untuk ‘pergi dan mewartakan Injil kepada segala bangsa...’? Bukankah Yesus telah bersabda :”Aku adalah Jalan, Kebenaran dan Hidup. Tak seorangpun sampai kepada Bapa kecuali melalui Aku.”

Di masa Puasa ini kami mengundang para pembaca kami, terutama para klerus, untuk kembali kepada dasar dari tugas imamat kita serta kehidupan spirituil secara menyeluruh : menyelamatkan jiwa-jiwa adalah tujuan utama, mempertobatkan pendosa adalah misi nomor satu ! Seperti yang dikatakan Yesus :”Apa untungnya seseorang mendapatkan seluruh bumi ini namun kehilangan jiwanya?” Kita akhiri tulisan ini dengan kalimat yang indah dari Uskup Agung Schneider :”Keimaman bukan hanya memperhatikan hal-hal yang sementara saja, tetapi hal-hal yang kekal. Begitu juga dengan Gereja. Gereja tidaklah memperhatikan perubahan cuaca, ataupun ekologi. Karena itu adalah tugas dari pemerintah ! Gereja hendaknya memperhatikan hal-hal yang bersifat kekal !”

No comments:

Post a Comment