SEORANG PASTOR (FR. LINUS
CLOVIS) BERKATA:
KITA SEDANG MENYAKSIKAN
PENGGENAPAN DARI NUBUATAN ST.YOHANES PAULUS II MENGENAI SEBUAH ‘ANTI-GEREJA’
by Pete Baklinski
ROME, May 18, 2017 (LifeSiteNews)
-- Peringatan yang bernada nubuatan dari St.Yohanes Paulus II,
tahun 1976, mengenai munculnya sebuah
‘anti-Gereja’ yang akan mewartakan ‘anti-Injil’ saat ini sedang digenapi oleh
para pemimpin di dalam Gereja Katolik, terutama di jajaran tertinggi, demikian
kata seorang pastor (Fr. Linus Clovis)
dalam sebuah pidatonya pada konperensi di Roma hari ini.
Fr. Linus Clovis dari Family Life International
mengatakan hal ini dalam the Rome Life Forum yang diadakan oleh Voice of the Family, dimana
dia mengatakan bahwa ‘anti-Injil’ dari ‘anti-Gereja’ itu sering tak dapat
dibedakan dengan ideologi sekuler, yang memutar-balikkan hukum alam dan Sepuluh
Perintah Allah.
Gerakan ‘anti-Injil’ ini, yang berusaha untuk
meninggikan keinginan manusia, untuk selalu mengkonsumsi, menikmati dan
mengalahkan kehendak Allah, telah ditolak oleh Kristus ketika Dia dicobai di
padang gurun. Disamarkan sebagai ‘hak-hak asasi manusia’ ide itu dimunculkan
kembali, dengan penuh kesombongan luciferian, untuk mempromosikan sikap narsis,
hedonis, yang menolak segala hambatan kecuali yang berasal dari hukum buatan
manusia, demikian lanjut Fr. Linus Clovis.
Dalam kunjungannya ke Amerika Serikat 41 tahun
yang lalu, Cardinal Karol Wojtyla yang saat itu masih menjadi Uskup Agung di
Cracow dan dua tahun kemudian menjadi Paus Yohanes paulus II, menyampaikan
sebuah pesan nubuatan di Philadelphia,
dalam kesempatan ulang tahun kemerdekaan Amerika ke 200.
Saat itu Wojtyla berkata:
Kini kita sedang berada di hadapan konfrontasi
umat manusia yang terbesar dalam sejarah. Saya tidak berpikir bahwa masyarakat
Amerika, atau yang lebih besar lagi: komunitas Kristiani, menyadari hal ini
sepenuhnya. Kini kita sedang menghadapi konfrontasi terakhir antara Gereja
dengan ‘anti-Gereja’, antara Injil melawan ‘anti-Injil’.
Kita
semua harus siap menghadapi cobaan-cobaan besar dalam waktu yang tidak terlalu
jauh di depan. Cobaan-cobaan yang akan menuntut kita untuk siap menyerahkan
hidup kita, dan sebuah penyerahan diri yang total kepada Kristus dan demi
Kristus. Melalui doa-doa anda dan saya, adalah mungkin untuk meringankan
kesengsaraan itu, tetapi bukan untuk membatalkannya… Berkali-kali pembaharuan di
dalam Gereja terjadi di tengah genangan darah. Maka saat inipun tidak berbeda
dengan dulu.
Fr. Linus Clovis
mengatakan bahwa kebangkitan ‘anti-Gereja’ telah dimulai secara perlahan namun
menetap selama beberapa dekade belakangan ini, dan kemunculannya terlihat lebih
jelas lagi beberapa tahun belakangan ini.
Selama setengah abad terakhir ini telah
berkembang sebuah krisis di dalam Gereja yang muncul akibat ajaran yang tidak
jelas dan ambigu serta membingungkan, karena terjadinya iklim perbedaan
pendapat diantara imam-imam, kaum religius, maupun umat awam. Di dalam Gereja
kontemporer sekarang ini krisis itu telah dibawa ke permukaan, bisa dikatakan: hingga ke titik puncaknya, dengan
melalui penolakan terhadap ‘paradigma ya/tidak’ dari Allah, serta pelemahan
terhadap nilai-nilai doktrinal yang telah mapan melalui praktek-praktek
pastoral yang mudah sekali berubah dan tidak menentu, demikian kata Fr. Linus Clovis.
Dia mengatakan terdapat sebuah pendapat
diantara umat Katolik bahwa ‘segala sesuatu yang eklesiastik dan katolik sedang
runtuh dan sebuah anarki pastoral telah diterapkan di dalam Gereja.’ Dia
mengatakan adanya sebuah ‘pemaksaan kekuasaan yang tersembunyi’ kini sedang
berlangsung di dalam Gereja hingga mengobarkan anarki yang besar.
Kekuasaan
itu bisa merubah proses anulasi perkawinan hingga bisa dilakukan tanpa adanya
konsultasi dengan dikasteri Roma lebih dahulu; dilakukannya teguran yang pedas
dan meluas pada kuria Roma; membersihkan keanggotaan dikasteri yang tidak
sejalan dengan pemimpin, yang kemudian secara efektiv melemahkan pengaruh para
pejabat yang berteguh menolak pembaharuan yang bisa merusak ajaran mengenai
perkawinan dan ajaran liturgi; melumpuhkan wewenang biarawan Fransiskan
Imakulata; dan kemudian menutup sama sekali kampus the John Paul II Institute di
Melbourne.
Clovis
berkata bahwa mengikuti bangkitnya semangat ‘anti-Gereja’ adalah merupakan
serangan langsung terhadap ‘pilar ciptaan’ serta fondasi tatanan sosial, yaitu
kebenaran dari relasi antara pria dan wanita seperti yang diwujudkan di dalam
sebuah perkawinan dan keluarga. Dia juga mengingatkan bahwa Sr.Lucia, salah
satu visiuner Fatima, pernah berkata bahwa ‘pertempuran terakhir antara Allah
dengan kerajaan setan akan terjadi di bidang perkawinan dan keluarga.’
“Sudah umum diketahui bahwa mencampakkan sebuah
batu fondasi beresiko runtuhnya seluruh bangunan,” katanya. “Batu fondasi itu,
yang merupakan sel utama dari masyarakat, adalah berupa perkawinan dan
keluarga.” Dan ‘anti-Gereja’ kini sedang bekerja keras untuk melemahkan batu
fondasi itu.
“Dengan penerimaan pemakaian kontrasepsi dan
perceraian, maka ‘tindakan kerahiman yang sesat itu’ telah memeluk atau
menyetujui perceraian dan menikah lagi secara sipil, bahkan menyetujui
‘perkawinan’ sejenis. Beginilah batu fondasi itu telah diinjak-injak, dan titik
akhir itu kini telah tercapai,” kata Fr.Clovis lagi.
Dia juga mengatakan bahwa sekularisme atheistik
yang telah menyemangati gerakan ‘anti-Gereja’ telah bekerja untuk ‘meruntuhkan
keluarga, dengan melalui penerimaan ideologi LGBT’. Wajah yang nampak di depan
publik adalah berupa ‘pembenaran politis’ dengan pakaian pesta hari Minggu
berupa ‘mental inklusivitas dan tidak menghakimi’.
Dia memperingatkan umat Katolik betapa
‘anti’gereja’ itu akan berusaha keras menipu umat beriman dengan berkedok
sebagai Gereja yang benar.
Saat ini nyata sekali bahwa Gereja Katolik dan
‘anti-Gereja’ itu telah hidup bersama dan bekerja-sama di bidang sakramental,
liturgis dan juridis dalam Gereja Katolik. Anti-Gereja telah semakin kuat
dimana kini ia berusaha memperkenalkan dirinya sebagai Gereja yang benar,
dengan lebih mudah melantik ataupun memaksa umat beriman agar mau menerima,
membela dan mempromosikan ideologi sekulernya.
Jika anti-Gereja ini telah berhasil menguasai
dan memerintah segala sendi dari Gereja yang benar, maka hak-hak manusia akan
melampaui hak-hak Allah melalui pencemaran terhadap Sakramen-sakramen,
pencemaran tempat kudus, serta penyalah-gunaan kekuasaan apostolik.
Begitulah
saat ini banyak politisi ataupun tokoh-tokoh terkenal yang mendukung tindakan
aborsi dan perkawinan sejenis bisa dengan mudahnya menerima Komuni Kudus; suami
atau istri yang meninggalkan pasangannya dan anak-anak mereka, dan kemudian
menjalin relasi perzinahan dengan orang lain kini diijinkan untuk menerima
Sakramen-sakramen; imam-imam atau teolog yang secara terbuka menolak
doktrin-doktrin dan moral Katolik bisa dengan bebas dan lancar melanjutkan
tugas perutusan mereka serta menyebarkan kesesatan mereka. Sementara itu umat
Katolik yang tetap setia kepada ajaran Yesus Kristus dipinggirkan, diancam dan
dianiaya dalam berbagai bentuknya. Dengan demikian anti-Gereja itu akan
berhasil mendapatkan tujuannya yaitu melengserkan Allah dari TahtaNya sebagai
Pencipta, Juru Selamat dan Pengudus, serta menggantikanNya dengan manusia yang
menganggap dirinya sebagai pencipta, juru selamat, serta pengudus.
Fr.Clovis berkata bahwa anti-Gereja itu
berusaha mencapai tujuannya dengan mengalahkan Gereja yang benar dengan cara
mengancam umat beriman, termasuk umat awam, imam-imam, uskup-uskup agar mereka
tunduk kepadanya.
Untuk mencapai tujuannya, anti-Gereja, bekerja
sama dengan kekuatan-kekuatan sekuler, menggunakan hukum dan media massa untuk menjatuhkan
Gereja yang benar beserta ajarannya. Dengan penggunaan media yang cerdik, para
aktivis anti-Gereja telah berhasil mengintimidasi para uskup, klerus dan
sebagian besar pers Katolik untuk bersikap diam. Dengan cara yang sama, umat
awam akan diteror oleh ketakutan akan permusuhan, penolakan, ejekan dan
kebencian yang akan mereka hadapi jika mereka keberatan dengan penerapan
ideologi LGBT. Sebagai contoh, pada tahun 2015, kongregasi St Nicholas dari
Myra dari Keuskupan Agung Dublin memberikan tepuk tangan meriah kepada pastor
paroki mereka ketika dia mengumumkan dari atas mimbar bahwa dirinya adalah seorang
gay dan mendesak semua peserta yang hadir agar mendukung pernikahan sesama
jenis di dalam referendum Irlandia nanti. Tidaklah sulit untuk membayangkan bagaimana
pengasuhan pastoral yang akan diterima oleh umat setempat. Dengan demikian,
pengaruh yang menindas dari anti-Gereja paling jelas terlihat ketika seseorang
takut untuk secara terbuka memegang teguh dan mengakui ajaran Tuhan tentang
homoseksualitas, aborsi atau kontrasepsi di tengah komunitas paroki mereka.
Sementara itu anti-Gereja terutama menarget
para imam dan uskup untuk menyuarakan ajaran anti-Injil, karena mereka tahu
bahwa sekali saja imam-imam dan uskup-uskup itu kalah, mereka akan membawa
serta tak terbilang banyaknya jiwa-jiwa untuk menjauhi Gereja yang benar.
Imam-imam dan uskup-uskup adalah para pemimpin
yang terdekat dengan umat dan mereka ditekan untuk menyebar-luaskan rasa
ketakutan yang ditimbulkan oleh anti-Gereja. Selain itu karena sumpah ketaatan
dan hormat para klerus, maka rasa takut mereka semakin besar terutama ketika
mereka mengetahui bahwa sesama mereka terpecah-belah. Persatuan mereka
terkoyak. Disiplin sakramental yang telah lama mereka laksanakan, kini mereka
langgar sendiri. Hukum Canon diabaikan. Semangat pewartaan mereka menjadi loyo,
karena takut dianggap sebagai ‘kristenisasi’ dan sangat tidak masuk akal.
Dalam hal pribadi mereka, mereka dicap sebagai
monster-monster kecil yang melemparkan batu kepada para pendosa yang malang,
ataupun merendahkan peranan Sakramen Tobat seolah seperti kamar penyiksaan,
dengan bersembunyi dibalik ajaran-ajaran Gereja, duduk di kursi Musa dan terus
menghakimi setiap saat dengan perasaan keunggulan dan kedangkalannya.
Sebagai kaum klerus, mereka memandang dirinya
tidak layak menerima perhatian dari paus, merasa lebih rendah daripada tokoh
dan jagoan aborsi dari Italia, Emma Bonino, dan
bahkan para klerus itu merasa dirinya tidak layak menerima rehabilitasi
dibandingkan dengan nabi palsu dan pembela gerakan aborsi internasional, penganjur
pembatasan jumlah penduduk,Paul Ehrlich,
yang diberi kesempatan untuk berpidato di Vatikan guna menyampaikan buah
pikirnya.
Sebagai imam-imam mereka diharuskan meminta
maaf kepada kaum gay dan mereka diberitahu bahwa ‘sebagian besar’ perkawinan
Katolik yang mereka berkati adalah tidak sah. Selain itu mereka dianggap
sebagai ‘mesin pengucap doa’ dan karena mereka menganggap bahwa mengikuti Misa
Kudus dan sering mengaku dosa adalah penting, maka mereka dicap sebagai Pelagians.
Sebagai
umat Katolik, maka devosi Lima Sabtu Pertama memang dianjurkan sebagai silih
atas penghujatan terhadap Bunda Maria, maka secara pribadi para klerus itu
dihadapkan kepada ‘renungan-renungan’ yang mengerikan dimana diatas Kalvari
Bunda Maria menjadi Ibu dari semua orang yang ditebus oleh Kristus, mungkin ini
adalah Perawan Kudus Fatima, yang di dalam hatinya berkata kepada Tuhan:
“Bohong! Bohong! Aku telah ditipu!.” Seperti pohon-pohon di hutan bergoyang
oleh hembusan angin, maka hati para klerus itu juga terguncang oleh rasa takut
akan kemungkinan dirinya dituduh sebagai ‘lebih Katolik daripada paus.’
Fr.Clovis menyebut pengaruh PF di dalam Gereja
sebagai ‘berkat yang benar dan besar’ karena ajaran-ajaran yang ambisius dari
PF telah mempromosikan dan mendorong munculnya anti-Gereja dari balik
bayang-bayang, yang terlihat jelas oleh seluruh umat beriman. Saat ini umat
beriman memiliki sebuah pilihan yang jelas : tuan manakah yang akan mereka
ikuti.
“Sebuah konflik tersembunyi sedang berkecamuk
di dalam Gereja selama lebih dari seratus tahun: konflik yang dinyatakan secara
jelas kepada Paus Leo XIII, konflik yang dinyatakan sebagian kepada St.Pius X,
konflik yang ditabur di dalam KV II. Dan dibawah pemerintahan PF, paus Jesuit
pertama dari benua Amerika, paus pertama yang tahbisan imamatnya memakai Ritus
Baru, konflik itu meletus keluar dengan potensi untuk merusak Gereja dan
terlebih lagi merusak umat beriman,” demikian kata Fr.Clovis.
Dia mengatakan bahwa Amoris Laetitia dari PF
adalah contoh dari sebuah kekuatan yang bekerja di dalam Gereja saat ini dan
menorehkan garis pertempuran antara anti-Gereja dengan Gereja sejati dari Yesus
Kristus.
“Anjuran apostolik Amoris Laetitia adalah merupakan
katalis yang memecah-belah para uskup dan konperensi waligereja, memecah-belah
imam dari uskupnya serta dengan sesamanya. Sedangkan umat awam menjadi cemas,
penasaran dan kebingungan,” demikian kata Fr.Clovis selanjutnya.
“Seperti kuda Troya, Amoris Laetitia menimbulkan
kehancuran spirituil bagi seluruh Gereja. Sebagai sebuah tantangan, Amoris
Laetitia mengundang keberanian untuk mengatasi rasa takut. Tetapi dalam hal apapun,
kita harus siap untuk memisahkan anti-Gereja, seperti yang dikatakan oleh
St.Yohanes Paulus II, dari Gereja yang benar yang didirikan oleh Kristus. Sementara
pemisahan itu mulai dilakukan, maka kita masing-masing, seperti para malaikat, harus
memutuskan bagi diri kita sendiri, apakah kita akan berpihak kepada Lucifer
atau tidak,” Clovis menambahkan.
Clovis juga menunjuk kepada ulang tahun ke 100
penampakan Bunda Maria di Fatima. Dia mengatakan bahwa Bunda Maria telah
mengajukan sebuah strategi yang jika kita laksanakan akan bisa memberikan keselamatan
bagi sejumlah besar jiwa-jiwa.
“Strategi itu mensyaratkan bahwa untuk bisa ‘menyenangkan
Allah, yang saat ini telah sangat ditentang, maka tiga buah syarat harus dilaksanakan,
yaitu reformasi moral yang sejalan dengan hukum alam dan hukum Ilahi, devosi
Lima Sabtu Pertama dan Konsekrasi Rusia kepada Hati Maria Yang Tak Bernoda,”
demikian kata Clovis.
“Kemudian untuk menekankan betapa gawatnya
situasi dari saat-saat yang terus mendekat ini, Sang Perawan, dengan perhatian
keibuan yang penuh kasih, memperingatkan tentang akibat-akibatnya jika manusia mengabaikan
pesannya: peperangan, Rusia menyebarkan kesesatannya, penganiayaan terhadap Gereja
dan Bapa Suci. Bunda Maria menutup pesannya saat itu dengan pesan yang penuh pengharapan:
‘pada akhirnya nanti Hatiku Yang Tak Bernoda akan menang dan sebuah masa damai tertentu
akan diberikan kepada dunia.”
Fr.Clovis berkata bahwa umat Katolik yang ingin
tetap setia kepada Kristus dan Gereja yang didirikanNya tidak perlu merasa
takut akan kekacauan yang terjadi saat ini.
“Pada saat Pembaptisan kita telah menjadi
anggota Gereja yang militan, dan pada saat menerima Sakramen Krisma kita telah menjadi
para prajurit Kristus. Karena itu kita telah direkrut dan dipersenjatai untuk melakukan
pertempuran yang mematikan melawan tiga musuh utama jiwa kita: dunia, daging dan
iblis.”
“Dengan menyadari bahwa kita berperang bukan melawan
daging dan darah, tetapi melawan kerajaan, kekuatan serta penguasa dunia dari saat
kegelapan ini, melawan seluruh pasukan spirituil durhaka di langit, maka kita harus
berjuang seperti para rasul, dengan contoh dari para martir dan Yesus Kristus, dan
Yesus Kristus sendiri yang akan menjadi hadiah bagi kita.”
Silakan melihat artikel lainnya
disini : http://devosi-maria.blogspot.co.id/
No comments:
Post a Comment