Dukungan Diam-Diam Francis Pada Pernikahan Gay Merusak Kitab Suci
Demi Menyenangkan Dunia
BY: JOSEPH D'HIPPOLITO
NOVEMBER 18, 2022
Mengingat kontras antara retorika dan perilaku Francis, Gereja Katolik berisiko membuang ajarannya yang luhur yang telah ada selama berabad-abad demi memeluk gaya pasca-modernis.
Ketika para uskup Katolik Belgia bertemu dengan Francis untuk kunjungan yang diperlukan pada 21-26 November mendatang, paus Francis akan memiliki kesempatan untuk menegaskan kembali atau meniadakan doktrin Katolik mengenai salah satu masalah peradaban yang paling kontroversial: pernikahan sesama jenis.
Para uskup Flemish/Belgia pada bulan September menerbitkan liturgi yang diusulkan untuk pasangan sesama jenis. Para uskup Belgia yang berbahasa Prancis mengatakan setelah itu mereka akan mempertimbangkan hal serupa.
Tetapi liturgi semacam itu dapat mengarah pada pengakuan sakramental atas pernikahan sesama jenis. Itu akan menandai perubahan teologis dan moral yang penting, yang mungkin tidak dapat dibatalkan, terutama ketika otoritas sekuler semakin mendukung mengekspos anak-anak pada seksualitas LGBT.
Selama berabad-abad Gereja Katolik mengajarkan bahwa pernikahan sesama jenis adalah tidak sah secara sakramental. Katekismus mendefinisikan homoseksual sebagai “tindakan kebejatan berat” dan “secara intrinsik tidak teratur” dan mendesak kaum homoseksual untuk mempraktikkan kesucian.
Katekismus mencerminkan ajaran alkitabiah. Kitab Imamat memasukkan juga masalah homoseksualitas di samping perilaku seksual lainnya yang dianggap "menjijikkan." Dalam Perjanjian Baru, Yesus mendefinisikan pernikahan sebagai persatuan antara satu pria dan satu wanita. St. Paulus, seorang mantan Farisi, menggambarkan tindakan homoseksual sebagai “memalukan” dan mempraktikkan homoseksual sebagai perbuatan yang tidak dapat “mewarisi Kerajaan Allah.”
Pada Maret 2021, menanggapi tantangan serupa dari para uskup Jerman, badan teologi terkemuka Vatikan, Kongregasi untuk Ajaran Iman, menyatakan bahwa gereja tidak memiliki wewenang untuk memberkati persatuan sesama jenis. Tanggapan tertulis kongregasi secara tegas menyebutkan bahwa Francis sendiri menyetujui keputusan dan penerbitan aturannya.
Bertahun-tahun sebelum keputusan itu, Francis mengulangi ajaran Katolik tentang pernikahan. Dia bahkan menggambarkan teori gender sebagai “kolonisasi ideologis.” Tetapi para uskup Belgia mengutip Francis justru sebagai inspirator mereka.
Mengutip “Amoris Laetitia”, yang membahas cinta dalam keluarga, para uskup menyatakan tujuan mereka untuk menggunakan “kebijaksanaan, bimbingan dan integrasi” yang dia anjurkan untuk “memberikan tanggapan dan pemenuhan konkret terhadap keinginan untuk memberikan perhatian eksplisit pada situasi homoseksual, orang tua mereka, dan keluarga mereka dalam pembuatan kebijakan.” Para uskup menyimpulkan dengan usulan “doa untuk cinta dan kesetiaan.”
Meskipun Francis membela pernikahan tradisional dengan kata-katanya, namun segala tindakannya menunjukkan toleransi yang apatis terhadap advokasi dan perilaku LGBT. Sikap apatis itu meluas hingga kepada orang-orang yang diangkatnya dalam jabatan gerejawi, khususnya di Vatikan.
Salah satunya adalah Kardinal Vincenzo Paglia, yang, seperti yang saya catat di halaman ini pada bulan September, memiliki toleransi yang berkaitan dengan aborsi. Francis mengangkat Paglia pada tahun 2016 sebagai presiden Akademi Kepausan untuk Kehidupan, yang didirikan Paus Yohanes Paulus II untuk memerangi aborsi. Namun sebelum pindah ke Vatikan, Paglia menunjukkan kecenderungannya yang besar dalam mendukung homoseksualitas.
Sementara menjadi uskup agung dari sebuah keuskupan kecil di utara Roma, Paglia menugaskan seorang seniman untuk memajang di katedralnya sebuah lukisan yang didominasi oleh gambar-gambar homoerotik. Ini termasuk adegan yang menunjukkan uskup agung itu sendiri setengah telanjang, mengenakan topinya, memeluk seorang pria setengah telanjang pula.
Paglia dan imam-imam lain mengawasi setiap aspek karya lukisan ini, yang dipajang di dalam katedralnya.
“Tidak ada detail yang dikerjakan secara bebas, asal-asalan,” kata sang seniman, Ricardo Cinalli. “Semuanya telah dianalisis. Semuanya dibahas. Mereka (Paglia dan imam-imam pembantunya) tidak pernah mengizinkan saya untuk bekerja sendiri tanpa persetujuan mereka.”
Dari 2012-2016, Paglia adalah presiden Dewan Kepausan untuk Keluarga. Dalam peran itu, dia merilis kursus pendidikan seks untuk remaja yang oleh Dr. Rick Fitzgibbons disebut sebagai “ancaman paling berbahaya bagi kaum muda Katolik yang pernah saya lihat selama 40 tahun terakhir.”
“Sebagai seorang profesional yang telah merawat para imam pelaku dan korban krisis pelecehan sexual di dalam Gereja,” katanya, “apa yang saya temukan sangat meresahkan adalah bahwa gambar-gambar porno dalam program ini mirip dengan yang digunakan oleh para predator seksual dewasa pada remaja...”
Penunjukan lain yang berbau busuk sama seperti itu adalah terhadap pastor James Martin. Pemimpin redaksi majalah Yesuit “America” ini menjadi salah satu penasihat komunikasi Francis pada tahun 2017. Dengan menggunakan berbagai platformnya, terutama Twitter, pastor Martin memposisikan dirinya sebagai sekutu erat LGBT, bahkan sampai bertentangan dengan ajaran Gereja yang sudah mapan.
Pastor Martin tidak hanya memposting tweet yang menyiratkan dukungan untuk para uskup Belgia. Pada 2019, dia mengakui di Twitter bahwa Alkitab “dengan jelas mengutuk” seks homoseksual. “Masalahnya,” lanjut Yesuit itu, “tepatnya apakah penilaian alkitabiah itu benar?.” Pernyataannya itu jelas menyangkal doktrin dasar Katolik bahwa Kitab Suci diilhamkan secara ilahiah.
Pada 2017, pastor Martin mengungkapkan pendapatnya dengan tegas. Pada Agustus itu, di Universitas Villanova, dia memberi tahu seorang pria gay yang menahan diri untuk tidak mencium pasangannya (sesama jenis) selama Misa Tanda Damai, “Saya berharap dalam sepuluh tahun Anda akan dapat mencium pasangan Anda atau, Anda tahu, segera menjadi suami Anda. Kenapa tidak? Apa hal yang mengerikan?”
Pastor Martin memiliki pengaruh besar di Roma. Pada 11 November, Martin bertemu Francis untuk dua audiensi pribadi “di mana kami berbicara tentang kegembiraan dan harapan, kesedihan dan kecemasan umat Katolik LGBTQ,” tulis Martin dalam tweetnya. Saat pertemuan dengan paus Francis itu “benar-benar diselingi dengan senyum dan tawa, dan setelah itu saya benar-benar merasa gembira,” tambahnya. “Itu adalah pertemuan yang hangat, menginspirasi, dan menyemangati yang tidak akan pernah saya lupakan.”
Indikasi lain dari sikap apatis Francis adalah seni yang dirancang untuk sinode internasional mendatang tentang tata kelola gereja. Satu bagian, "Pengecualian untuk Inklusi," meremehkan "Kitab Suci" dan "identitas Katolik" sebagai pengecualian tetapi memberi peringkat "identitas LGBTQ+" dengan istilah inklusif. Gambar lain menampilkan sosok yang mengenakan T-shirt bertuliskan "Pride" dalam warna pelangi yang berbunyi: "Kami adalah anak muda masa depan, dan masa depan adalah sekarang."
Damian Thompson, yang meliput masalah agama untuk media Britain’s Observer, percaya bahwa Francis sengaja menggunakan sikap kelambanan untuk menunjukkan persetujuannya pada LGBT & homosex. Thompson mengutip contoh-contoh seperti kasus Uskup Jerman Franz-Josef Bode, yang menolak untuk mengundurkan diri meskipun menoleransi pelecehan seksual oleh para klerus.
“Jika Uskup Bode diizinkan untuk tetap menjabat meskipun mengakui kegagalan yang sangat serius terkait dengan pelecehan seksual, maka itu karena paus Francis senang dia bisa bebas melakukannya,” kata Thompson di podcast 27 September. “Mengapa para uskup Jerman dan Belgia mengusulkan perubahan mendasar pada ajaran Katolik? Karena Francis telah mengundang mereka untuk melakukannya.“
Mengingat kontras antara retorika dan perilaku Francis, Gereja Katolik berisiko membuang pengajaran selama berabad-abad demi memeluk gaya pasca-modernis.
*****
Joseph D'Hippolito adalah seorang penulis lepas yang banyak komentarnya telah muncul di Jerusalem Post, The Stream, Front Page Magazine, dan American Thinker.
----------------------------------
Silakan membaca artikel lainnya di sini:
Kaum Muda Memprotes Sinode Saat Ini
5 Alasan Mengapa Lebih Baik Kita Bertahan Dalam Gereja Sampai Selesai Misa
Pesan kepada Giselle Cardia, 29 Okt; 3, 5, 8, 9 Nopember 2022
Pesan Maria dan Yesus pada ultah ke 22 penampakan di Bayside, 18 Juni 1992
Uskup Schneider: Hasil Sinode Tentang Sinodalitas Sudah Ditentukan Lebih Dahulu