SEORANG TEOLOG (yang
dulu pernah bertugas) DI VATIKAN BERKATA: PF MUNCUL SEBAGAI ‘AGEN PERPECAHAN’
Hari ini, 24 Februari, 2018, sampailah kepada
kita perkataan dari Pastor Thomas G. Weinandy, seorang Capuchin, ahli teologi
dan kritikus
kepausan dari Amerika Serikat yang sangat dihormati, yang berupa komentar dan
pernyataannya tentang kepausan Francis saat ini serta pengaruhnya yang memecah
belah. Sandro Magister, seorang pengamat Vatikan, dari Italia, menerbitkan hari
ini pidato pastor Weinandy tentang masalah ini, yang ia berikan hari ini di
University of Notre Dame di Sydney, Australia.
Dalam sambutannya, pastor Weinandy menjelaskan pendekatan
yang dilakukan PF yang menyebabkan banyak sekali perpecahan, bukannya
persatuan:
Terkadang nampak bahwa Paus Fransiskus
mengidentifikasi dirinya bukan sebagai promotor persatuan melainkan sebagai
agen perpecahan. Filosofi praktisnya, jika itu boleh disebut sebagai filosofi yang
disengaja, nampaknya hal itu terdiri atas keyakinan bahwa kebaikan pemersatu yang besar akan
muncul dari keributan sekarang ini yang berasal dari berbagai pendapat yang
berbeda serta kekacauan dari perpecahan yang diakibatkannya.
Pastor Weinandy berpendapat, fakta bahwa paus ini
telah menyebabkan kebingungan dan perpecahan secara efektif merongrong Tahta Petrus,
yang bertujuan, melalui misinya, untuk menumbuhkan persatuan di dalam Iman.
Dia berkata:
Perhatian saya di sini adalah bahwa pendekatan
seperti itu, bahkan meski tidak disengaja, akan menyerang esensi pelayanan Petrus
seperti yang dimaksudkan oleh Yesus dan terus dipahami oleh Gereja selama
berabad-abad ini. Pengganti Santo Petrus, yang merupakan hakikat dari jabatan
tersebut, secara harfiah adalah perwujudan pribadi dan dengan demikian
merupakan pertanda sempurna dari persekutuan umat Gereja, dan karenanya, ia
adalah pembela utama dan promotor persekutuan Gerejani [.]
Berikut ini, pastor Weinandy menjelaskan bahwa
Paus Fransiskus secara efektif telah merongrong keempat tanda Gereja - SATU, KUDUS,
KATOLIK, dan APOSTOLIK.
Sehubungan dengan kerasulan Gereja (Apostolik),
dia memiliki beberapa hal berikut untuk disampaikan:
Seperti yang terlihat pada "Amoris
Laetitia", untuk memahami kembali dan mengungkapkan sesuatu yang baru mengenai
iman apostolik dan tradisi magisterial yang sudah jelas selama ini dengan cara
yang nampak sangat ambigu, sehingga menimbulkan kebingungan dan tanda tanya besar
dalam komunitas gerejani, dimana hal ini bertentangan dengan tugasnya sendiri
sebagai penerus dari Petrus dan dia telah mengabaikan kepercayaan dari sesama
uskupnya, serta dari para para imam dan seluruh umat beriman.
Ajaran kepausan seperti itu yang sekarang
"bertentangan dengan ajaran apostolik dan tradisi magisterial Gereja yang
terdahulu ... tidak dapat diusulkan sebagai pengajaran magisterial," jelas
pastor Weinandy.
Lebih dari itu, dia
menyoroti bahwa dukungan paus terhadap sinodalitas mengarah kepada praktik
untuk mengaburkan keputusan dan arahan para uskup sehingga hal ini akan melemahkan
universalitas Gereja. Teolog ini (pastor Weinandy) melihat adanya "disintegrasi
katolisitas Gereja," karena "Gereja-gereja lokal, baik di tingkat
keuskupan dan nasional, sering menafsirkan norma-norma doktrin dan ajaran moral
dalam berbagai cara yang saling bertentangan dan kontradiktif." (Inilah
yang menjadi dasar pemikiran dari keputusan para uskup Jerman untuk mengijinkan
pasangan Protestan dan Katolik untuk menerima Komuni Kudus.)
Menurut pastor Weinandy, pendekatan baru di
bawah Paus Fransiskus saat ini yang mengakui beberapa "orang yang menikah
kembali" boleh Komuni Kudus, secara efektif telah merongrong kekudusan
Gereja dalam rasa hormatnya terhadap Ekaristi. Dia menjelaskan:
Di sini kita melihat tantangan saat ini terhadap
kekudusan Gereja dan khususnya kekudusan Ekaristi. Pertanyaan apakah pasangan
Katolik yang bercerai dan menikah kembali yang melakukan tindakan perkawinan
dapat menerima komuni, berkisar di seputar isu "perilaku lahiriah yang
secara serius, jelas dan tegas bertentangan dengan norma moral," dan oleh
karena itu, apakah mereka memiliki "disposisi moral yang tepat dan nyata"untuk
boleh menerima komuni?
Pastor Weinandy
menjelaskan bahwa pendekatan baru dalam masalah ini akan segera menjadi
"praktik umum dan menyeluruh" dan dengan demikian akan mengarah pada
situasi bahwa "hampir setiap
pasangan yang bercerai dan menikah kembali akan menilai diri mereka bebas untuk
menerima Komuni Kudus."
Dengan demikian, dia menjelaskan, "perintah yang bersifat melarang," seperti
terhadap perzinahan, tidak akan lagi "diakui sebagai norma moral absolut."
Perkembangan seperti ini bukan hanya akan mempengaruhi kesucian Gereja, tetapi
juga "meremehkan kejahatan dari dosa berat yang layak mendapatkan hukuman dan
... menggerogoti kebesaran dan kuasa dari Roh Kudus. "
Pastor Weinandy menyimpulkan sebagai berikut:
Praktik pastoral semacam
itu secara implisit mengakui bahwa dosa masih terus menguasai dan memerintah umat
manusia meski sudah ada karya penebusan Yesus dan pengurapan dari Roh Kudus
atas semua orang yang percaya dan dibaptis. Dan Yesus sebenarnya bukanlah
Juruselamat dan Tuhan, dan Setan akan terus memerintah.
Dukungan kepada perbuatan dosa seperti itu, lanjut
teolog itu, sangat membahayakan keselamatan jiwa-jiwa dan bahkan menghina orang
yang berdosa berat: si pendosa itu begitu buruknya "bahkan Roh Kudus pun tidak
cukup kuat" untuk membantunya mengubah jalannya. Secara efektif, Gereja
dipertontonkan sebagai institusi yang tidak terlalu suci untuk dapat membantu
orang-orang berdosa.
Pastor Weinandy mengakhiri pidatonya dengan kalimat
yang keras dan menusuk berikut ini:
Akhirnya, skandal akan menjadi konsekuensi
pastoral yang memungkinkan orang-orang yang berada dalam keadaan dosa berat dan
tidak bertobat, untuk menerima Komuni Kudus. Bukan hanya karena anggota komunitas
Ekaristik yang setia akan merasa kecewa dan mungkin tidak puas, namun yang
lebih penting, mereka akan tergoda untuk berpikir bahwa mereka juga dapat
berbuat dosa berat dan terus dengan gagah dan percaya diri memasuki Gereja. Kalau
begitu, mengapa kita harus berusaha menjalani kehidupan yang suci, bahkan
kehidupan saleh yang heroik, ketika Gereja sendiri nampaknya tidak menuntut
kehidupan suci semacam itu, atau bahkan Gereja mendorong kehidupan semacam itu?
Di sini Gereja akan menjadi bahan olok-olok dirinya sendiri dan permainan
semacam itu tidak menghasilkan apa-apa selain cemoohan dan diremehkan di dunia
ini, cemoohan dan sinisme di antara umat beriman, atau paling tidak, harapan yang
berlawanan dengan harapan dari orang-orang kecil dan hina.
Silakan melihat artikel lainnya
disini : http://devosi-maria.blogspot.co.id/
No comments:
Post a Comment