Sinode tentang 'Tenda Besar' Synodalitas yang Merangkul Semua Orang,
Kecuali Tuhan
August 2, 2023 from L'Espresso by Sandro Magister
Gambar simbolis sinode tentang sinodalitas yang akan diselenggarakan dalam sidang paripurna Oktober mendatang, berupa tenda yang diperbesar, untuk akhirnya ia akan “menyambut dan menemani” bahkan mereka yang “merasa tidak diterima di dalam Gereja.”
Dan siapa yang pertama dalam daftar orang-orang yang dikecualikan ini, dalam “Instrumentum laboris,” dokumen yang bertindak sebagai pedoman sinode? “Yaitu meliputi orang-orang yang bercerai dan menikah lagi, orang-orang dalam pernikahan poligami, atau pun Katolik LGBTQ+.”
Selama bertahun-tahun di Gereja, tipologi manusia seperti ini telah menjadi pusat diskusi. Di Jerman mereka telah membentuk "jalan sinode" sendiri yang asli buatan mereka, dengan tujuan yang dinyatakan jelas untuk merevolusi doktrin Gereja tentang seksualitas.
Tetapi penolakan terhadap kecenderungan ini juga kuat, yaitu dari mereka yang melihatnya sebagai penyerahan diri pada semangat zaman, yang mempertanyakan dasar-dasar iman Kristiani.
Kontribusi berikutnya berada di sisi yang kritis ini. Itu ditawarkan untuk diterbitkan di Settimo Cielo oleh teolog Swiss, Martin Grichting, mantan vikjen keuskupan Chur. Yang menutup renungannya dengan mengutip Blaise Pascal dalam polemiknya dengan Jesuit pada masanya. “Itu adalah halaman, tulisnya, "yang menghibur kami terutama dalam situasi saat ini."
Continue reading at L’Espresso
1 Agustus 2023
Revolusi Seksual di dalam Gereja.
Semua orang diundang masuk, tapi dengan ongkos pengecualian terhadap Tuhan
Gambar / lambang simbolis Sinode tentang Sinodalitas Oktober 2023, yang diselenggarakan dalam sidang paripurna berupa tenda yang diperbesar. Untuk akhirnya ia “menyambut dan menemani” bahkan mereka yang “tidak merasa diterima di Gereja.”
Isi tulisan berikut ada di sisi kritis ini. Itu ditawarkan dengan diterbitkan di Settimo Cielo oleh teolog Swiss Martin Grichting, mantan vikjen keuskupan Chur.
GEREJA DAN INKLUSI
by Martin Grichting
“Instrumentum laboris” (IL) dari Sinode Para Uskup tentang sinodalitas menempatkan Gereja di bawah tuduhan karena fakta bahwa beberapa orang – katanya – “tidak merasa diterima” oleh Gereja, “seperti misalnya orang yang bercerai dan menikah lagi, orang-orang dalam pernikahan poligami, atau pun Katolik LGBTQ+;” (IL, B 1.2).
Dan itu bertanya: “Bagaimana kita dapat menciptakan ruang di mana mereka yang merasa sakit hati oleh Gereja dan tidak diterima oleh masyarakat, bisa merasa diakui, diterima, bebas untuk bertanya dan tidak dihakimi? Dalam terang Seruan Apostolik Amoris Laetitia Pasca Sinode, langkah-langkah konkret apa yang diperlukan untuk menyambut mereka yang merasa dikucilkan dari Gereja karena status atau seksualitas mereka (misalnya, janda cerai yang menikah lagi, orang-orang dalam perkawinan poligami, orang-orang LGBTQ+, dll. )?”
Jadi Gereja itu sendiri, sindirnya, adalah pihak yang bertanggung jawab atas fakta bahwa orang-orang seperti itu merasa "tersakiti", "dikucilkan", atau "tidak diinginkan". Dan apa yang dilakukan Gereja? Ternyata Gereja tidak mengajarkan apa pun dari penemuannya sendiri, tetapi menyatakan apa yang telah diterimanya dari Tuhan. Jadi, jika orang merasa “tersakiti”, “dikucilkan”, atau “tidak diterima” oleh inti ajaran Gereja dalam hal iman dan moral, maka mereka merasa “tersakiti”, “dikucilkan”, atau “tidak diterima” oleh Allah. Karena firman Allah menetapkan bahwa perkawinan itu hanya terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan bahwa ikatan perkawinan itu tidak dapat dipisahkan. Dan firman Allah telah menetapkan bahwa homoseksualitas yang dihidupkan dan dipraktikkan, adalah dosa.
Namun, jelas bahwa penyelenggara sinode ini tidak mau mengatakannya dengan begitu gamblang. Untuk alasan ini mereka membidik Gereja dan mencoba membuat jarak antara Gereja dan Tuhan. Jika Tuhan, pada kenyataannya, menerima semua orang, maka Gerejalah yang mengecualikan atau mengucilkan pihak-pihak tertentu. Namun Yesus Kristus berkata: “Dan siapa pun yang menghujat salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku; lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya, lalu ia dibuang ke laut” (Mrk 9:42). Sangat mengherankan bahwa para pemimpin sinode ini nampaknya telah melupakan Sabda Yesus yang tidak inklusif ini. Jadi tampaknya hanya Gereja yang "menyakiti" orang dan membuat mereka merasa "tidak diterima" atau "ditolak."
Namun, tesis ini memiliki konsekuensi yang serius. Jika selama dua ribu tahun Gereja telah berperilaku dengan cara yang secara fundamental berbeda dari kehendak Allah mengenai pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang doktrin iman dan moral, hal itu tidak dapat lagi menumbuhkan iman pada pertanyaan apa pun. Karena dengan begitu, apa yang masih dianggap pasti?
Apa yang disarankan IL (Instrumentum Laboris) dengan membongkar seluruh Gereja. Tapi ini juga menimbulkan pertanyaan tentang Tuhan. Bagaimana seseorang dapat berpikir bahwa Tuhan akan menciptakan Gereja – tubuh Kristus yang hidup di dunia ini, yang kepadanya Tuhan memberikan Roh kebenaran-Nya sebagai bantuan – ketika pada saat yang sama Dia membiarkan Gereja yang sama ini dan jutaan orang percaya, untuk tersesat di jalan mereka dalam masalah penting selama dua ribu tahun ini? Bagaimana mungkin seseorang masih percaya pada Gereja semacam ini? Jika memang demikian, bukankah semua yang dikatakan bersifat sementara, dapat dibalik, salah, dan karena itu tidak relevan?
Tetapi apakah Gereja benar-benar "eksklusif", yaitu, mengecualikan, seperti yang telah dilakukannya selama dua ribu tahun ini atas pertanyaan yang diajukan? Tidak, selama dua ribu tahun ini Gereja telah hidup secara inklusif. Jika tidak, hari ini tidak akan tersebar luas di seluruh dunia dan hari ini Gereja tidak akan terdiri dari 1,3 miliar orang yang percaya. Tetapi alat inklusi Gereja bukanlah – seperti yang diklaim IL (Instrumentum Laboris) dari sinode ini – “pengakuan” atau “non-penghakiman” atas apa yang bertentangan dengan perintah-perintah Allah. “Alat” yang termasuk dalam Gereja adalah katekumenat dan pembaptisan, pertobatan dan sakramen tobat. Untuk alasan ini Gereja berbicara tentang perintah-perintah Allah dan hukum moral, tentang dosa, tentang Sakramen Tobat, tentang kesucian, tentang kekudusan dan panggilan untuk hidup yang kekal. Ini semua adalah konsep yang tidak ditemukan dalam 70 halaman IL dari sinode ini.
Tentu saja, kata “penyesalan” (2 kali) dan “pertobatan” (13 kali) ditemukan dalam IL. Tetapi jika seseorang mempertimbangkan konteks masing-masing, orang memperhatikan bahwa kedua istilah dalam IL ini hampir tidak pernah merujuk pada manusia yang berpaling dari dosa, tetapi menandakan menunjuk pada tindakan struktural, yaitu Gereja. Bukan orang berdosa yang harus bertobat dan menyesal; tidak, Gerejalah yang harus mengubah dirinya – “secara sinodal” – kepada “pengakuan” atas mereka yang mengaku bahwa mereka tidak ingin mengikuti ajarannya dan karena itu tidak mengikuti Tuhan.
Fakta bahwa para para pemimpin sinode tidak lagi berbicara tentang dosa, pertobatan, dan penyesalan para pendosa, ini membuat orang berpikir bahwa mereka sekarang percaya bahwa mereka telah menemukan cara lain untuk menghapus dosa dunia. Semua ini mengingatkan peristiwa yang dijelaskan oleh Blaise Pascal, yang lahir tepat 400 tahun yang lalu, dalam "Provincials" (Les Provinciales, 1656/1657). Di dalamnya Pascal membahas teologi moral Jesuit pada masanya, yang menggerogoti ajaran moral Gereja dengan kasuistis yang terdiri dari paham sofisme, hampir sampai mengubahnya menjadi kebalikannya. Dalam Surat Keempatnya, dia mengutip seorang kritikus Etienne Bauny yang mengatakan tentang Jesuit ini: “Ecce qui tollit peccata mundi,” lihatlah dia yang menghapus dosa dunia, hingga membuat keberadaannya menghilang bersama dengan paham sofismenya. Penyimpangan para Yesuit ini kemudian dikutuk berulang kali oleh magisterium gerejawi. Karena mereka tentu bukan orang yang menghapus dosa dunia. Yang menghapus dosa dunia adalah Anak Domba Allah. Dan demikian juga hari ini, untuk iman Gereja.
Bagi Blaise Pascal, cara penipuan dan manipulasi seperti ini, yang terjadi di dalam Gereja, memiliki sesuatu yang menakutkan, dan karena itu juga kekerasan. Dalam Surat Kedua Belasnya, dia menyampaikan kepada kita baris-baris yang menghibur kita, terutama dalam situasi saat ini:
“Ketika kekuatan bertemu kekuatan, yang lebih lemah harus mengalah pada yang lebih kuat. Ketika argumen bertentangan dengan argumen, yang solid dan yang meyakinkan akan menang atas yang kosong dan yang salah. Tetapi kekerasan dan kebenaran tidak dapat membuat kesan satu sama lain. Namun, janganlah ada yang mengira keduanya benar, dan oleh karena itu keduanya adalah sama satu sama lain; karena ada perbedaan besar di antara mereka, bahwa kekerasan hanya memiliki jalan tertentu untuk dijalankan, dibatasi oleh penunjukan Surga, yang mengesampingkan pengaruhnya terhadap kemuliaan kebenaran yang diserangnya; sedangkan kebenaran akan bertahan selamanya dan akhirnya menang atas musuh-musuhnya, menjadi abadi dan mahakuasa seperti Tuhan itu sendiri.”
-------------------------------------
Silakan membaca artikel lainnya di sini:
Wanita membawa monstrans dalam sebuah prosesi di Jerman
Antikristus telah berada di dunia
Paus Francis Harus Segera Menghentikan Semua Kegilaannya
Sebuah Sinode Penghancuran Diri