JIKA PENDAPAT PAUS FRANCIS
MENGENAI PERZINAHAN ADALAH BENAR, MAKA GEREJA KATOLIK AKAN RUNTUH
by
David Carlin
December 7, 2016 (TheCatholicThing)
-- Jika anda menyetujui tindakan perampokan bank, maka anda tak
bisa menyalahkan tindakan mengutil permen di sebuah kedai kaki lima maupun di
sebuah mall. Yang saya maksudkan disini adalah bahwa anda tak bisa melakukan
hal yang kecil jika anda tidak konsisten dengan hal yang besar. Jika anda
menyetujui tindak kejahatan besar, maka secara logis anda tak bisa menyalahkan
kejahatan-kejahatan kecil dari jenis yang sama.
Begitulah, jika anda menyetujui sebuah
pembunuhan, maka anda tak bisa menyalahkan tindakan penyerangan atau
penganiayaan, hanya demi membela reputasi anda ataupun konsistensi logis anda.
Sekali lagi, jika anda adalah seorang Katolik
yang menyetujui perbuatan zinah, maka anda tak bisa menyalahkan pemakaian
kontrasepsi maupun perbuatan cabul.
Tetapi sekarang di dalam Bab VIII yang terkenal
dari Amoris Laetitia itu (bisa saya katakan sebagai perbuatan yang sangat
jahat), PF nampak jelas bahwa dia menyetujui apa yang dianggap oleh Gereja
Katolik (hingga saat ini) sebagai perbuatan perzinahan. Dia menegaskan (atau nampak sekali menegaskan) bahwa ‘pada
keadaan tertentu’ seorang Katolik yang bercerai dan menikah lagi boleh
menganggap bahwa perkawinannya yang kedua sebagai perkawinan yang sah. Dengan
kata lain, orang Katolik yang bercerai dan menikah lagi secara bebas boleh
melakukan hubungan sex (dengan pasangannya yang kedua) dan hal itu adalah tidak
berdosa dan dia juga secara bebas bisa menerima Komuni Kudus.
Hal ini jelas bertentangan dengan Sabda Yesus
sendiri, yang berbunyi (kecuali Kitab Injil itu salah tulis) bahwa seseorang
yang telah menikah dan kemudian menikah lagi sementara pasangannya yang pertama
masih hidup, maka dia melakukan perzinahan. Tetapi PF nampak mendukung, ‘dalam
kasus tertentu’, apa yang dikatakan oleh Yesus sebagai perzinahan. Dan jika
paus melakukan hal ini, bagaimana mungkin dia tidak mendukung, dalam ‘kasus
tertentu’ pula, pemakaian kontrasepsi dan percabulan?
Singkatnya, apakah persetujuan paus terhadap
tindakan perzinahan ini, meski hanya dalam ‘kasus tertentu’, tidak menyebabkan
runtuhnya hampir seluruh struktur moralitas Gereja Katolik dalam masalah
sexual? Terlepas dari masalah pemerkosaan maupun pelecehan sexual terhadap
anak-anak, apa lagi yang masih tetap dianggap taboo dalam masalah sex? Dan
apakah imam-imam atau bekas imam yang melakukan pelecehan sexual terhadap
anak-anak kemudian bisa beranggapan bahwa perbuatannya itu bisa diterima ‘dalam
kasus tertentu’? Kutipan ‘kasus tertentu’ ini seakan menjadi pembenar bagi perbuatan
dosa. Dengan berlindung dibalik ‘kasus tertentu’ versinya paus ini maka umat
beriman merasa ‘bebas dan aman’ untuk berbuat dosa berat sekalipun.
Seperti halnya perbuatan sodomi yang dilakukan
oleh kaum homosex, pertanyaan apakah boleh atau tidak boleh menyalahkan mereka,
kini akan tergantung kepada apakah tindakan itu dianggap perbuatan dosa atau bukan, dan tidak lagi dianggap sebagai
perzinahan. Lebih jauh lagi, jika paus mengijinkan tindakan perzinahan, ‘dalam
kasus tertentu’, maka hal itu juga akan bisa diterapkan kepada tingkah laku
homosexual ‘dalam kasus tertentu’ juga. Saya percaya bahwa umat Katolik masih
tidak bisa menyetujui tindakan homosexual. Tetapi realitasnya, bagaimana bisa
umat Katolik berpegang teguh kepada sikap ini jika seluruh struktur ajaran
moral Katolik di bidang sexual menjadi runtuh? Jika perzinahan dan percabulan
disetujui atau diterima (oleh jajaran birokrasi Gereja), siapakah yang masih
memiliki hati untuk menolak tindakan sodomi pada orang homosex, kecuali seorang
yang memang secara tulen tidak menyukai tindakan semacam itu?
Anda masih bisa menyalahkan dan mengutuk
tindakan aborsi. Karena aborsi adalah pembunuhan, yang merupakan dosa yang
lebih buruk daripada tindakan perzinahan. Namun dalam kenyataannya, setiap
orang yang menyetujui kebebasan sex dia juga menyetujui perzinahan. Sebenarnya
umat Katolik, sebelumnya, dengan dimulai dan dipimpin oleh para paus dan para
uskup, masih bisa menyalahkan tindakan aborsi; namun kini hati mereka tidak
akan bersikap seperti itu. Dan kenyataannya, mereka bisa menyetujui tindakan
itu, berdasarkan contoh dari atasan mereka.
Seorang pembela dari Bab VIII Amoris Laetitia
bisa saja menanggapi tulisan saya ini dengan menunjuk bahwa paus mendorong kita
untuk bersikap toleran terhadap perkawinan kedua ‘dalam kasus tertentu saja’. Meski
dia tidak beralasan secara sengaja membuka pintu bagi pemikiran sekuler saat
ini dalam hal kebebasan sex yang hampir tanpa batas. Tetapi cukuplah sudah.
Orang yang tidak mau memperbaiki rembesan kecil pada sebuah tanggul air yang besar,
maka dia juga tidak berniat untuk mempertahankan keutuhan tanggul itu dan tidak
bersedia mempertahankan daratan agar tidak tergenang air laut. Begitulah yang
terjadi saat ini, ada tanggul yang besar dan ada rembesan kecil di bagian bawah.
Ancaman itu telah nyata.
Umat manusia, termasuk umat Katolik, dalam masalah
ini, adalah sebagai binatang yang rasional. Hal ini bukan berarti bahwa kita
tidak bisa salah. Hal ini juga tidak berarti bahwa kita sangat cerdik. Namun kita
cenderung untuk selalu konsisten, paling tidak, dalam jangka panjang. Sekali kita
menerima sebuah prinsip tertentu, misalnya ‘semua manusia adalah diciptakan secara
sama’, maka cepat atau lambat sampailah kepada kita keinginan untuk membebaskan
dunia dari perbudakan. Hal yang sama juga berlaku, sekali umat Katolik setuju dengan
pendapat paus yang seakan menyatakan bahwa Yesus adalah salah ketika Dia menyampaikan
pandanganNya yang absolut mengenai tak terceraikannya perkawinan, maka seluruh
struktur moralitas Katolik di bidang sexual cepat atau lambat akan runtuh.
Bukan saja moralitas di bidang sexual, tetapi seluruh
struktur bangunan katolisitas akan runtuh. Karena jika Yesus, yang merupakan sosok
panutan utama dalam sejarah Gereja, bersikap keliru mengenai perkawinan, maka bisa
saja Dia juga keliru dalam berbagai hal lainnya. Dan jika Yesus itu salah, maka
St.Paulus serta berbagai penulis Perjanjian Baru juga salah. Dan jika Yesus dan
Paulus adalah salah, maka siapakah yang bisa mempercayai ajaran-ajaran para
Bapa Gereja dan para Doktor Gereja? Begitulah akibat dari sebuah rembesan kecil
dari sebuah tanggul besar.
Saya menulis ini bukan sebagai orang yang ultra-conservative (ultra kolot). Tidak sama sekali. Jika saya bisa
mengulas hukum-hukum Gereja mengenai perkawinan dan sex, maka saya tidak melihat
satupun yang mengijinkan perceraian. Orang yang baik sering berbuat salah besar,
terutama ketika masih muda. Saya memang bersikap toleran terhadap orang yang berbuat
zina dan kumpul kebo. Tetapi saya mencela perbuatan itu. Dan jika 2000 tahun yang
lalu Yesus bertanya kepada saya mengenai hal ini, maka saya akan meminta kepadaNya
agar Dia memaklumi pandangan saya, karena saya diilhami oleh kebijaksanaan moral
yang dahsyat dari akhir abad 20 dan awal abad 21 ini.
Bagaimanapun juga, dan untungnya juga, bahwa Gereja
Katolik tidaklah didasarkan kepada kebijaksanaan progresiv dan kebablasan yang terjadi
saat ini. Sebaliknya, Gereja Katolik didasarkan kepada apa yang oleh pikiran
modern saat ini dianggap sebagai ‘kebijaksanaan’ provinsial dari seorang
pengkhotbah keliling yang berjalan kaki kesana kemari di Palestina pada abad
pertama dulu; seorang pengkhotbah yang kita, sebagai orang Katolik, kita
percayai sebagai Allah yang menjelma secara sempurna, yaitu Yesus Kristus. Paling
tidak, kita mempercayai hal ini. Dan jika kita sungguh mempercayaiNya, pada saat
ketika perselisihan mulai terbuka antara Yesus dengan paus yang mempermasalahkan
keutuhan perkawinan, tidak terceraikannya perkawinan, meskipun sulit dan menyedihkan
bagi kita untuk memisahkan diri kita dari orang yang baik seperti Puas Francis
ini, tetapi kita tak punya pilihan lain kecuali berada di pihak Yesus dalam menyikapi
perselisihan ini.
Marilah kita mengingat kutipan ini: Kis 5:29 “Tetapi Petrus dan
rasul-rasul itu menjawab, katanya: "Kita harus lebih taat kepada Allah
dari pada kepada manusia.”
Jika kita tidak bersikap dan berbuat saat ini maka
tanggul itu akan runtuh.
No comments:
Post a Comment