Volume
2 : Misteri Kerahiman Allah
Bab 40
Motiv didalam menolong
jiwa-jiwa suci
Kewajiban bukan saja
untuk bermurah hati, tetapi juga untuk bersikap adil
Warisan ketaatan
Pastor Rossignoli dan
harta yang musnah
Thomas dari Cantimpre
dan serdadu dari Charlemagne
Kita telah mengerti bahwa devosi kepada jiwa-jiwa di Api Penyucian adalah
merupakan bentuk tindakan kemurahan hati. Doa-doa bagi orang yang meninggal
adalah perbuatan yang suci, karena ia merupakan tindakan yang terpuji dari
keutamaan yang paling besar, yaitu kemurahan hati. Kemurahan hati terhadap
orang yang meninggal ini bukan saja bersifat bisa dipilih sendiri dan sukarela,
dan merupakan anjuran saja, namun ia juga merupakan ajaran, tidak kurang
nilainya dari pada memberi sedekah kepada orang miskin. Jika terdapat sebuah
kewajiban yang bersifat umum dalam hal kemurahan hati yaitu dengan memberikan
sedekah, maka betapa lebih besar lagi alasan yang ada agar kita terikat oleh
hukum kemurahan hati itu dengan cara menolong saudara kita yang menderita
didalam Api Penyucian.
Kewajiban kemurahan hati ini sering menjadi satu dengan kewajiban akan
keadilan. Jika ada orang yang meninggal, melalui perkataan lisan maupun
tertulis, menyatakan permintaannya yang terakhir kepada keluarganya dalam hal
perbuatan kebajikan. Jika dia menunjuk para ahli warisnya untuk melakukan
sejumlah Misa Kudus, untuk membagikan sejumlah uang sebagai sedekah, untuk
melakukan perbuatan baik tertentu, maka ahli waris itu wajib, secara ketat,
dari sejak saat mereka menerima harta warisan itu, untuk memenuhinya tanpa
menunda-nunda permintaan terakhir dari orang yang meninggal itu.
Kewajiban yang berdasarkan rasa keadilan ini adalah lebih suci, karena
warisan yang suci ini sering dianggap sebagai restitusi atau penggantian. Dari
pengalaman hidup sehari-hari, apakah yang telah diajarkan kepada kita ? Apakah
orang-orang segera dengan cepat menuruti ajaran agama untuk melaksanakan
kewajiban suci ini dengan memperhatikan jiwa yang meninggal itu. Celaka !
Justru sebaliknya ! Sebuah keluarga yang mendapatkan harta warisan yang cukup
banyak, seringkali melakukan sedikit saja sedekah demi saudara mereka yang
meninggal, dengan sedikit permohonan yang menjadi haknya demi manfaat
spirituilnya. Dan jika hukum manusia mendukung tindakan itu, maka para anggota
keluarga ini tidak akan dipermalukan oleh tindakan mereka itu dengan berbagai
alasan yang dicari-cari secara sembarangan, hingga kepada tindakan penggelapan,
agar bisa membebaskan diri mereka dari kewajiban melaksanakan warisan yang suci
itu. Tidaklah sia-sia jika penulis buku Imitation
menarik hati kita untuk menebus dosa-dosa kita selama di dunia ini, dan tidak
terlalu bergantung kepada saudara-saudara kita, yang seringkali melupakan kita,
dengan tidak mau berkurban demi keringanan jiwa kita.
Hendaklah keluarga-keluarga sangat berhati-hati. Ini merupakan
ketidak-adilan yang sakrilegis serta merupakan kekejaman yang mengerikan.
Mencuri sesuatu dari orang yang miskin, kata Konsili ke IV di Carthago, sama
dengan menjadi pembunuhnya. Apa yang akan kita katakan tentang mereka yang
merampok hak dari orang yang meninggal, dimana secara tidak adil kita
meluputkan doa-doa permohonan bagi mereka, meninggalkan mereka tanpa bantuan
apapun, ditengah siksaan-siksaan yang amat mengerikan didalam Api Penyucian ?
Terlebih lagi, orang yang berbuat pencurian ini akan dihukum dengan keras
oleh Tuhan, bahkan ketika mereka masih berada di dunia ini. Kadang-kadang kita
bisa melihat suatu nasib baik menjadi hilang di tangan para pewarisnya. Kutukan
semacam ini nampak menaungi beberapa ahli waris tertentu. Pada hari Penghakiman, ketika sesuatu yang masih
tersembunyi saat ini akan dibuka nanti, kita akan tahu bahwa penyebab dari
kejatuhan ini sering berupa sifat kikir dan ketidak-adilan dari para ahli waris
itu, yang melupakan kewajiban mereka terhadap hibah wasiat yang suci ketika
mereka berhasil memilikinya.
Terjadilah di Milan, kata Pastor Rossignoli, ada suatu kebun yang terletak
dekat dengan kota, yang menjadi hancur karena hujan es, sementara itu kebun
disekitarnya tidak terganggu apa-apa. Peristiwa ini menarik perhatian dan
keheranan dari orang banyak. Ia mengingatkan orang akan terjadinya wabah
penyakit di Mesir. Hujan es telah merusakkan berbagai wilayah di Mesir serta
meluputkan daerah Gessen, yang dihuni oleh anak-anak Israel. Hal ini juga
dipandang sebagai siksaan yang sama. Hujan es yang misterius itu tak bisa
membatasi dirinya didalam batas-batas milik orang tertentu saja tanpa mematuhi
sebuah sumber perintah dan sumber penyebab yang kuat kuasanya. Orang-orang tidak
tahu bagaimana menjelaskan fenomena ini, ketika terjadi penampakan suatu jiwa
dari Api Penyucian mengungkapkan bahwa itu adalah sebuah pemurnian bagi
orang-orang yang tidak berterima-kasih dan anak-anak yang jahat yang telah lupa
melaksanakan permintaan terakhir dari ayah mereka yang meninggal, terhadap
suatu perbuatan suci tertentu.
Kita tahu bahwa di semua negara dan semua tempat diceritakan adanya rumah
hantu yang tidak berpenghuni, sehingga menimbulkan kerugian yang besar bagi
pemiliknya. Jika kita mencari penyebabnya, secara umum kita akan mendapati
adanya suatu jiwa yang telah dilupakan oleh keluarganya dimana dia kembali ke
tempat itu untuk meminta permohonan yang setimpal. Apakah hal ini karena orang
menjadi mudah percaya ?, sebagai produk imajinasi, halusinasi, atau bahkan
karena suatu tipuan ?, tetapi hal itu tetaplah sebagai sebuah fakta untuk
mendidik para ahli waris yang telah melupakan saudaranya yang meninggal, betapa
Allah menghukum ketidak-adilam itu serta tingkah laku pencemaran itu, bahkan
sejak di dunia ini. Kejadian berikut ini kita ambil dari Thomas dari Cantimpre,
yang membuktikan secara jelas betapa jahatnya di mata Allah para ahli waris
yang tidak mau memberikan hak dari orang yang meninggal itu. Selama perang
Charlemagne ada seorang serdadu yang berani, telah menduduki jabatan yang
penting dan terhormat. Cara hidupnya juga menunjukkan seorang Kristiani yang
sejati. Merasa puas dengan kehidupannya, dia menahan diri dari setiap tindak
kekerasan dan keributan dari kamp serdadu tak pernah bisa mencegahnya untuk
melakukan tugas utamanya sebagai orang Kristiani, meskipun dalam
masalah-masalah yang kecil dia bisa bersikap keras terhadap kesalahan-kesalahan
kecil yang sering terjadi di lingkungan profesinya. Setelah dia mencapai usia
lanjut, dia jatuh sakit. Dan demi menyadari bahwa saat terakhirnya segera tiba,
dia memanggil seorang kemenakannya yang sudah yatim piatu, dimana dia telah
menjadi anak angkatnya, dan dia menyatakan permintaan terakhirnya kepada anak
itu. “Anakku”, kata serdadu itu, “kamu tahu bahwa aku tak memiliki kekayaan
untuk kuwariskan kepadamu. Aku tak memiliki apa-apa kecuali senjata dan kuda.
Senjata-senjata itu adalah untukmu. Dan kuda itu, juallah nanti ketika aku akan
segera menyerahkan jiwaku kepada Allah dan bagiakanlah uangnya diantara para
imam dan orang-orang miskin. Agar para imam itu bisa mempersembahkan Kurban
Kudus bagiku, dan orang-orang miskin itu bisa menolong aku melalui doa-doa
mereka”. Keponakan itu menangis dan berjanji untuk melaksanakan permintaan itu
tanpa menunda-nunda lagi. Serdadu itu segera meninggal dan keponakana itu
menerima senjata serta dia menuntun kuda itu. Kuda itu amat indah dan mahal
harganya. Bukannya dia segera menjualnya seperti yang dijanjikannya dulu,
tetapi dia mengendarai kuda itu untuk perjalanan yang pendek. Ketika dia merasa
senang dengan kuda itu, maka dia tidak ingin berpisah lagi dengan binatang itu.
Dia menunda dengan berbagai alasan, bahwa tak ada dorongan yang mendesak untuk
memenuhi janjinya dan dia akan menunggu hingga saat yang tepat untuk
mendapatkan harga yang tinggi bagi kuda itu. Dengan menunda hari demi hari,
minggu demi minggu, dari bulan ke bulan, dia berakhir dengan mematikan suara
hatinya dan melupakan kewajiban sucinya yang dia miliki demi jiwa pamannya.
Enam bulan telah berlalu, ketika pada suatu hari orang yang meninggal itu
nampak kepadanya sambil mempersalahkan keponakannya itu. “Orang yang malang”,
katanya menuduh, “kamu telah melupakan jiwa pamanmu. Kamu telah melanggar janji
suci yang telah kau ucapkan di tempat tidur kematianku dulu. Manakah Misa Kudus
yang seharusnya kau laksanakan itu ? Manakah sedekah yang seharusnya kau
bagikan kepada orang-orang miskin demi istirahat bagi jiwaku ? Karena
kelalaianmu itu, aku menderita siksaan-siksaan didalam Api Penyucian. Akhirnya
Allah telah mengasihani aku. Hari ini aku diijinkan untuk menikmati kebersamaan
dengan orang-orang terberkati di Surga. Tetapi kamu, dengan penghakiman yang
adil dari Tuhan, akan mati dalam beberapa hari lagi, dan kamu akan menerima
siksaan yang sama yang masih tersisa bagiku karena kamu tidak menunjukkan
kemurahan hati kepadaku. Kamu akan menderita dalam waktu yang sama dengan yang
kualami dan setelah itu, kamu harus menebus dosa-dosamu sendiri”.
Beberapa hari kemudian keponakan itu sakit keras. Segera dia memanggil
seorang imam, dan menceritakan penglihatan itu kepadanya dan dia mengakukan
dosa-dosanya sambil menangis sedih. “Aku akan mati”, katanya, “dan aku menerima
kematian dari tangan Allah sebagai pemurnian bagiku”. Dia bernapas panjang
penuh penyesalan. Ini merupakan sebagian kecil dari penderitaan yang dinyatakan
kepadanya sebagai hukuman atas ketidak-adilannya. Kami gemetar ketakutan jika
memikirkan bagian yang tersisa yang akan dia alami di dunia sana.
No comments:
Post a Comment