JERITAN DARI NERAKA DAN API PENYUCIAN
dari ‘THE WAY OF DIVINE LOVE’ oleh JOSEFA MENENDEZ
Laporan berikut ini berasal dari catatan
harian Sr. Josefa Menendez, yang ada di dalam buku ‘The Way of Divine Love’. Kesaksiannya benar-benar
menakutkan, membangunkan dan membuka mata dunia yang telah terpisah jauh dari Tuhan dan Juruselamat, hingga dunia tidak tahu lagi benar dan salah. Semoga tangisan dari jiwa-jiwa itu menyalakan api di dalam hati anda untuk mencari Tuhan, untuk berdoa dan menjadi
pengantara bagi saudara-saudari anda dan menjauhkan anda dari bujuk rayu dunia yang telah menuntun banyak orang kepada
tangan setan.
Neraka !
Berikut ini adalah beberapa catatan dari Sr.
Josefa tentang neraka. Dia menulis dengan diam-diam mengenai masalah ini. Dia menulis
hanya untuk melaksanakan kehendak Tuhan. Bunda Maria berkata kepadanya pada
tanggal 25 Oktober 1922: "Segala sesuatu yang diijinkan oleh Yesus agar
kamu bisa melihatnya dan mengalami penderitaan dan siksaan neraka, adalah agar
kamu menceritakannya kepada para atasanmu (dan akhirnya diterbitkan bagi dunia
setelah kematian Josefa). Jadi, lupakanlah dirimu sendiri sepenuhnya, dan pikirkanlah
kemuliaan Hati Yesus dan keselamatan jiwa-jiwa."
Berkali-kali Sr.Josefa tinggal di dalam siksaan
yang terbesar dari neraka, yang berupa ‘ketidakmampuan jiwa untuk mengasihi’.
Salah satu jiwa-jiwa terkutuk disana berteriak: "Inilah siksaanku ... bahwa
aku ingin mengasihi tetapi tidak bisa; hingga tak ada lagi yang tersisa dalam
diriku selain kebencian dan putus asa. Seandainya ada salah satu dari kita disini
bisa melakukan satu saja tindakan kasih... maka tempat ini bukan lagi menjadi
neraka…. Tetapi kami tidak bisa melakukan hal itu … kami terus menerus hidup di
dalam kebencian dan kedengkian ... " (23 Maret 1922)
Salah satu jiwa malang lainnya yang ada
disana berkata: “Siksaan kami yang terbesar disini adalah bahwa kami tak bisa
mengasihi Dia karena kami terikat untuk selalu membenci. Oh betapa kami sangat
haus akan kasih dan ingin sekali mengasihi… kami dikuasai oleh perasaan itu…
tetapi sudah terlambat… Kamupun akan merasakan kehausan yang sangat menyiksa
ini tetapi kamu hanya bisa membenci saja… merasa jijik… dan rindu akan
jiwa-jiwa yang musnah lainnya… tak ada yang bisa kami lakukan sekarang… (March 26th, 1922)
Kutipan berikut ini ditulis demi ketaatan,
meski hal itu amat menyiksa bagi kerendahan hati Josefa, sebagai seorang biarawati:
“Setiap hari, ketika aku diseret menuruni neraka dimana iblis-iblis memerintah
mereka untuk menyiksa aku, tetapi mereka menjawab: ‘Kami tak bisa, karena
seluruh anggota tubuhnya telah mengalami penyiksaan bagi Dia…’ (Kemudian mereka
menghujat nama Tuhan kita) …. Kemudian iblis memerintahkan mereka untuk
memberiku cairan belerang panas … dan sekali lagi jawabannya terdengar: ‘Dia
telah menderita kehausan secara sukarela…’ Kemudian terdengar perintah lainnya:
‘Carilah beberapa bagian dari tubuhnya yang telah dipuaskan dan merasakan
sukacita.’
“Aku juga merasakan bahwa ketika mereka
membelenggu aku dan membawaku menuruni lembah neraka, tetapi mereka tak bisa
mengikat aku pada tempat-tempat dimana aku memakai benda-benda sakramental
sebagai silih (misalnya rosario atau skapulir). Aku menulis semua ini demi
ketaatan.” (April 1st. 1922)
Sr.Josefa juga mencatat adanya berbagai kutukan
dan tuduhan terhadap diri mereka sendiri: “Beberapa ada yang menjerit karena
rasa sakit pada tangan mereka. Mungkin mereka itu dulu adalah pencuri, karena
aku mendengar mereka berkata ‘… dimanakah jarahan kita? Tangan-tangan terkutuk…
Mengapa aku ingin memiliki sesuatu yang bukan milikku…? karena aku hanya bisa
memiliki benda-benda itu dalam beberapa hari saja… ?’
Jiwa-jiwa lainnya ada yang mengutuki lidah
mereka, mata mereka … dan segala sesuatu dengan apa dia berbuat dosa… ‘Tubuhku,
sekarang kamu harus membayar harga dari kesenangan yang kau berikan kepadaku…
dan kamu melakukan hal itu atas kehendak bebasmu sendiri…’ (April 2nd. 1922).
“Nampak bagiku bahwa sebagian besar mereka mengutuki
dirinya sendiri atas dosa-dosa ketidak-murnian, pencurian, atau karena mereka
berdagang secara tidak jujur. Sebagian besar dari jiwa-jiwa terkutuk itu berada
di dalam neraka karena dosa-dosa ini.” (April 6th, 1922)
“Aku (Sr.Josefa) melihat banyak sekali
orang-orang duniawi yang terjatuh ke dalam neraka, dimana tak ada kata yang
bisa menggambarkan atau menjelaskan jeritan mereka yang mengerikan dan
menakutkan itu: ‘Terkutuk selamanya… aku telah menipu diriku sendiri… aku
tersesat dan musnah… aku berada disini selamanya… Tak mungkin ada keringanan…
sebuah kutukan atas diriku…’
“Beberapa ada yang mengutuki dan menyalahkan
orang lain atau segala kesempatan yang diterimanya, dimana semua mereka
menyesali dan menyalahkan berbagai kesempatan yang mendatangkan kutukan bagi
mereka.” (Sept. 1922)
“Hari ini aku (Sr.Josefa) melihat sejumlah
besar orang-orang yang terjatuh ke dalam lembah yang berapi-api… nampaknya
mereka adalah orang-orang duniawi serta ada satu iblis yang berteriak keras
penuh kemarahan: ‘Dunia telah matang bagiku… aku tahu bahwa cara terbaik untuk
mencengkeram jiwa-jiwa adalah menyulut keinginan mereka akan kesenangan dan
kenikmatan… Menempatkan aku sebagai yang pertama… menempatkan aku di hadapan
yang lain-lainnya… tak ada kerendahan hati bagiku… biarlah aku menikmatinya
bagi diriku sendiri… hal-hal seperti ini akan memberiku kemenangan… dan mereka
akan tumbang ke dalam neraka.’ (Oct. 4th, 1922)
“Aku mendengar ada suatu iblis, dimana dari
cengkeramannya ada satu jiwa manusia yang terlepas, dan iblis itu terpaksa
mengakui kelemahannya. ‘Menakutkan semuanya… bagaimana bisa ada begitu banyak
yang terlepas dariku? Mereka adalah milikku’ (dan iblis itu mengoceh tentang
dosa-dosa mereka)… ‘Aku sudah bekerja keras, tapi mereka lolos dari jari
jemariku… Mesti ada seseorang yang menderita dan bersilih bagi mereka’ “(Jan 15th, 1923)
Sr.Josefa menulis: “Malam ini aku tidak pergi
ke neraka, tetapi aku dibawa ke suatu tempat dimana semuanya nampak kabur,
namun di bagian tengah nampak suatu bara api berwarna merah. Mereka
menelentangkan aku dan mengikat aku hingga aku tak bisa bergerak sedikitpun juga.
Di sekitarku ada tujuh atau delapan orang. Tubuh mereka hitam, tak berpakaian.
Aku melihat mereka dari pantulan api. Lalu mereka duduk dan saling berbicara.
Ada satu yang berbicara: ‘Kita harus berhati-hati agar tidak sampai diketahui,
karena kita dalam keadaan yang mudah dilihat.’ Lalu iblis menjawab: Menyusuplah
dan timbulkan kecerobohan dalam diri mereka… tetapi tetaplah kamu berusaha agar
tidak diketahui… hingga mereka menjadi tidak berperasaan dan kamu akan bisa
mendorong mereka kepada kejahatan. Godailah orang-orang yang lain kepada
ambisi-ambisi pribadi, agar mereka mementingkan dirinya sendiri, agar mereka
mengejar kekayaan tanpa bekerja, apakah itu melanggar hukum maupun tidak.
Sulutlah nafsu sexualitas dan kasih akan kenikmatan. Buatlah kebusukan
membutakan mereka…’ (kemudian terdengar mereka mengucapkan kata-kata cabul).
‘Dan kepada yang lain-lainnya, masuklah ke dalam hati mereka… kamu tahu
kecenderungan hati mereka… buatlah mereka mengasihi… mengasihi nafsu-nafsu…
berusahalah mengerjai mereka secara menyeluruh… jangan beristirahat… jangan
mengasihani mereka… ; dunia harus mampus dan terkutuk… jangan biarkan jiwa-jiwa
itu terlepas dariku…’
Dari saat ke saat para pengikut setan menjawab:
‘Kami adalah hambamu… kami akan selalu mematuhi engkau … meski banyak sekali
permusuhan diarahkan kepada kami, tetapi kami akan bekerja siang dan malam.
Kami mengakui kuasamu !’
Mereka semua berbicara bersama-sama dan dia,
yang merupakan setan itu sendiri, perkataannya penuh dengan segala kengerian.
Di kejauhan aku mendengar suatu keramaian dari sebuah pesta, suara-suara
dentingan gelas dan piring … dan dia berteriak: ‘Biarlah mereka dijejali dengan
makanan ! Hal itu akan semakin memudahkan kita… Biarlah mereka terus berpesta
pora. Karena kasih akan kenikmatan merupakan pintu masuk dimana kamu bisa
meraih mereka…’ Setan itu menambahkan penekanan kepada kalimatnya hingga
terdengar sangat mengerikan dimana ia tak bisa kutuliskan atau kukatakan.
Kemudian diriku terasa diselimuti oleh asap dan mereka segera menghilang. (Feb. 3rd. 1923)
“Setan meratapi lepasnya suatu jiwa dari
cengkeramannya: ‘Penuhilah jiwanya dengan rasa takut, doronglah dia kepada
keputus-asaan. Semua akan terlepas dariku jika mereka menaruh kepercayaannya
kepada kerahiman… (disini dia menggunakan kata penghujatan untuk menunjukkan
Allah kita). Aku kehilangan… tetapi jangan… buatlah dia putus asa. Jangan
tinggalkan dia untuk sesaat sekalipun. Lebih dari semuanya, buatlah dia merasa
putus asa.’ Kemudian terdengar neraka menggemakan suaranya yang hiruk pikuk dan
ketika pada akhirnya setan mencampakkan aku keluar dari lembah itu, dia terus
mengancam aku. Diantaranya dia berkata: ‘Mungkinkah bahwa makhluk lemah seperti
ini memiliki kuasa yang lebih besar daripada aku, karena aku adalah sangat
kuat… aku harus menyembunyikan kehadiranku, aku harus bekerja dari dalam gelap.
Dari setiap sudut aku bisa menggodai mereka… mendekatlah kepada telinga… melalui
halaman-halaman dari sebuah buku… dari bawah tempat tidur… beberapa ada yang
tidak memperhatikan aku … tetapi aku akan terus berbicara dan berbicara
kepadanya… dan melalui hasutan-hasutanku beberapa akan masuk ke dalam hati
mereka… Ya, aku harus bersembunyi di tempat-tempat yang tak terduga’ “(Feb. 7-8, 1923)
Sr.Josefa ketika kembali dari neraka,
mengatakan: “Aku melihat beberapa jiwa terjatuh kedalam neraka, dan diantaranya
ada anak berusia 15 tahun, yang mengutuki orang tuanya karena mereka tidak
mengajari dia takut akan Allah, atau mengajari bwh neraka itu ada. Hidupnya di
dunia cukup singkat, tetapi penuh dengan dosa, karena dia menyerah kepada
keinginan dan nafsu-nafsu jasmani untuk memuaskan dirinya. Terutama anak itu
membaca buku-buku yang buruk. (March 22nd. 1923)
Dia menulis lagi: “… jiwa-jiwa itu terus
mengutuki dan menyalahkan panggilan hidup yang mereka terima, namun mereka
tidak mau menjalaninya… panggilan hidup yang terlepas dari mereka, karena
mereka tidak bersedia menjalani hidup tersembunyi dan mati raga… “.
(March 18, 1922)
Pada sebuah kesempatan ketika aku berada di dalam
neraka aku melihat banyak sekali imam-imam, kaum religius dan para biarawati,
yang menyalahkan dan mengutuki sumpah kesetiaan mereka, ordo mereka, para
atasan mereka, serta segala sesuatu yang memberi terang dan rahmat kepada
mereka agar mereka tidak sampai musnah seperti itu… Aku juga melihat ada
beberapa orang uskup. Ada satu uskup yang mengutuki dirinya sendiri karena dia
telah menggunakan harta milik Gereja secara tidak sah…” (Sept. 28, 1922)
“Imam-imam juga banyak yang mendatangkan
kutukan melalui lidah mereka yang telah dikonsekrasikan, melalui jari mereka
yang memegang Tubuh Suci dari Tuhan kita (Ekaristi), melalui absolusi yang
mereka berikan kepada peniten sementara dia sendiri kehilangan jiwanya, dan
melalui berbagai kesempatan lain hingga mereka jatuh ke dalam neraka.” (April
6th, 1922)
“Seorang imam berkata :’Aku minum racun, karena
aku menggunakan uang yang bukan milikku… uang itu diserahkan kepadaku untuk
keperluan mengadakan Misa Kudus yang ternyata tidak kulakukan’. Ada lagi imam
lainnya yang mengakui bahwa dirinya menjadi anggota dari sebuah perkumpulan
rahasia yang mengkhianati Gereja dan agama, dan dia disuap untuk berkomplot
melakukan berbagai pencemaran yang besar. Imam lainnya lagi mengatakan bahwa
dirinya dikutuk karena membantu perbuatan tercemar dimana setelah itu,
seharusnya, dia tidak boleh merayakan Misa Kudus… dia melakukan hal itu selama
lebih dari tujuh tahun.”
Sr.Josefa mengatakan bahwa ada sejumlah besar
kaum religius masuk kedalam api neraka karena dosa-dosa yang melawan kemurnian,
pemakaian barang milik komunitas secara tidak benar…. karena perbuatan yang
melawan kemurahan hati (misalnya iri hati, benci, antipati, dan sebagainya),
karena kemalasan dan kelambanan, juga
karena berbagai kesenangan yang membuat dirinya terdorong kepada dosa-dosa yang
lebih besar… karena pengakuan dosa yang tidak baik hanya untuk mencari pujian
dari orang lain, karena kurangnya ketulusan dan keberanian, dan sebagainya…
Neraka Tempat Bagi
Jiwa-Jiwa Yang Telah Dikonsekrasikan
Berikut ini adalah catatan dari Sr.Josefa
mengenai ‘neraka bagi jiwa-jiwa yang telah dikonserasikan’ (Sept, 4th, 1922)
“Meditasi hari ini adalah mengenai penghakiman
pribadi atas jiwa-jiwa kaum religius. Aku tak mampu membebaskan pikiranku dari
ingatan akan hal itu, disamping adanya rasa tertekan yang kualami. Tiba-tiba
aku merasa diriku diikat dan dikuasai oleh beban kehancuran yang sangat. Dalam
sesaat aku melihat lebih jelas daripada sebelumnya betapa menakjubkan kesucian
Allah serta betapa menjijikkan dosa itu bagiNya.
“Dalam sekejap aku melihat seluruh kehidupanku
sejak pengakuan dosa pertamaku dulu hingga saat ini. Semuanya hadir secara
jelas di hadapanku: dosa-dosaku, rahmat yang telah kuterima, saat pertama kali
aku memasuki biara, jubahku sebagai novis, kaul kekalku, bacaan-bacaan rohani
yang kubaca, saat-saat aku berdoa, nasihat-nasihat yang diberikan kepadaku,
semua pertolongan yang kuterima dalam kehidupan religiusku. Tidak mungkin
bagiku untuk menceritakan kebingungan dan rasa malu dari sebuah jiwa saat itu,
ketika jiwa itu menyadari: ‘Semuanya telah hilang, dan aku dikutuk selamanya.’
“
Seperti pada waktu dia dibawa ke dalam neraka
sebelumnya, Sr.Josefa tidak pernah menyalahkan dirinya sendiri atas dosa
tertentu, yang bisa membawanya menuju bencana seperti itu. Tuhan berkehendak
agar dia merasakan apa saja akibat dari dosa, jika dia pantas untuk menerima
hukuman itu. Sr.Josefa menulis:
“Dalam sesaat aku mendapati diriku berada di
dalam neraka, tetapi aku tidak diseret ke tempat itu seperti sebelumnya. Jiwa-jiwa
terlempar kesana dengan sendirinya, seolah ia bersembunyi dari Allah agar
dengan bebas ia bisa membenci dan menyalahkan Allah.
“Jiwaku terjatuh ke dalam sebuah lembah dimana
bagian dasarnya tak kelihatan karena hal itu amat luas… dalam sekejap aku
mendengar jiwa-jiwa lain mencibir dan senang melihat aku merasakan siksaan
mereka. Sungguh merupakan sebuah kemartiran untuk mendengar sumpah serapah
mengerikan yang datang dari segala penjuru. Tetapi apakah yang bisa
dibandingkan dengan kehausan untuk melontarkan kutukan yang menguasai suatu
jiwa, dan semakin banyak jiwa itu mengutuk semakin besar dia ingin
mengulanginya. Belum pernah aku merasakan hal itu sebelumnya. Sebelumnya jiwaku
merasa tertekan oleh kesedihan ketika mendengar hujatan-hujatan yang mengerikan
itu, tanpa bisa melakukan satupun tindakan kasih. Tetapi hari ini berbeda.
“Aku melihat neraka seperti sebelumnya,
koridor-koridor panjang dan gelap, rongga-rongga, nyala api… aku mendengar
kebencian dan sumpah serapah yang sama, karena meskipun aku tak bisa melihat
wujud jasmani disitu, tetapi siksaan yang ada bisa kurasakan seakan mereka
secara jasmani hadir disitu, dan jiwa-jiwa itu saling mengetahui satu sama
lain. Beberapa ada yang memanggil ‘Halo ! kamu berada disini? Apakah kamu juga
seperti kami? Kami bebas untuk merebut mereka yang telah mengucapkan sumpah
ataupun tidak… tetapi sekarang !’ dan terdengar mereka mengutuki sumpah mereka
dulu.
“Lalu aku merasa didorong untuk menuju salah
satu ruangan yang ada disitu, dan aku terdesak antara papan-papan yang membara
dengan paku-paku tajam dan besi-besi panas membara yang seakan menusuk
dagingku.”
Disini Sr.Josefa mengulangi merasakan berbagai
siksaan dimana tak ada satu bagianpun dari anggota tubuhnya yang terluput: “Aku
merasa seolah mereka mau menarik dan mencopot lidahku, tetapi tidak bisa.
Siksaan ini membuatku menderita hingga terasa mataku seperti copot dari
rongganya. Kurasa hal ini disebabkan karena api yang membakar, membakar… tidak
seujung kuku-pun yang terbebas dari siksaan yang mengerikan ini, dan sepanjang
waktu jiwa-jiwa disitu tak bisa menemukan satu jaripun yang terulur untuk
memberikan kelegaan, atau untuk merubah posisi, karena tubuh nampak seperti
diratakan dan dilipat menjadi dua.
“Suara-suara kebingungan dan penghujatan tak
pernah berhenti sesaatpun juga. Suatu aroma yang busuk dan menjijikkan sangat
menyesakkan dan mencemarkan segalanya, ia terasa seperti daging busuk yang
terbakar bercampur dengan aspal dan belerang… suatu campuran yang tak ada
bandingnya dengan apa yang ada di dunia ini.
“Semua ini kurasakan seperti sebelumnya, dan
meskipun siksaan itu amat menyakitkan, tetapi hal itu masih bisa ditanggung
asalkan jiwa itu berada dalam keadaan damai. Tetapi jiwa disitu sangat
menderita tak terbayangkan. Hingga saat ini ketika aku turun ke dalam neraka,
aku berpikir bahwa diriku telah dikutuk karena aku tidak terlalu memperhatikan
kehidupan spirituilku. Namun kali ini berbeda. Aku menerima sebuah tanda yang
khusus, tanda bahwa aku adalah seorang religius, sebagai suatu jiwa yang telah
mengenal dan mengasihi Allah. Dan disitu ada jiwa-jiwa lain yang memakai tanda
yang sama seperti aku. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa mengenalinya, mungkin
karena adanya hujatan-hujatan tertentu dimana roh-roh jahat serta jiwa-jiwa
terkutuk itu mengumpat mereka. Ada banyak sekali imam disana. Penderitaan yang
khusus ini tak bisa kuceritakan. Hal itu cukup berbeda dari apa yang kualami
sebelumnya, karena jika jiwa-jiwa yang hidup di dunia telah sangat menderita di
dalam neraka, maka jauh lebih buruk lagi siksaan yang dialami oleh kaum
religius. Terus menerus tiga kata ini: Kemiskinan, Kemurnian dan Ketaatan,
tertera pada jiwa kaum religius dengan penyesalan yang sangat pedih.
“Kemiskinan: kamu bebas untuk melakukan sumpah
itu dan kamu telah berjanji ! Mengapa kemudian kamu mencari penghiburan?
Mengapa kamu berpegangan kepada sesuatu yang bukan menjadi milikmu? Mengapa
kamu memberi kesenangan kepada tubuhmu? Mengapa kamu membiarkan dirimu
mempergunakan secara pribadi harta milik komunitasmu?
Tidakkah kamu tahu bahwa kamu tidak memiliki
hak untuk memiliki segala sesuatu? Bahwa secara bebas kamu telah menolak untuk
memakai semuanya itu… Mengapa kamu menggerutu
ketika kamu merasa kekurangan atau kamu merasa
kurang bahagia dibanding orang lain? Mengapa?
“Kemurnian: secara bebas dan dengan pengetahuan
penuh kamu telah bersumpah untuk melakukan keutamaan ini dan menerima segala
akibatnya…. Tetapi kamu terikat kepada dirimu sendiri… kamu menginginkan hal
itu… dan bagaimana kamu melakukan keutamaan itu? Mengapa kamu tidak tetap
berada pada keadaan dimana kamu berhak untuk merasakan kenikmatan dan sukacita?
“Dan jiwa yang tersiksa itu menjawab: ‘Ya, aku
telah bersumpah, aku bebas saat itu untuk melakukannya… sebenarnya aku boleh
untuk tidak mengucapkan sumpah itu, tetapi aku telah mengucapkannya secara
bebas… ‘ Kalimat apakah yang bisa menggambarkan kemartiran dari penyesalan
itu,” demikian tulis Sr.Josefa, “dan setiap saat segala macam cemoohan dan
penghinaan dari jiwa-jiwa terkutuk itu terus berlanjut.
“Ketaatan: Apakah kamu menyadari sepenuhnya
bahwa kamu telah menetapkan dirimu untuk mematuhi Aturan dan Atasanmu di dalam
biara itu? Mengapa kemudian kamu tidak taat kepada Aturan itu? Mengapa kamu mau
menjauhkan dirimu dari kehidupan yang biasa saja? Ingatlah betapa manisnya
Aturan itu ! namun kamu tidak mematuhinya…
dan sekarang”… terdengar seruan-seruan dari setan, “kamu harus mematuhi
kami, bukan untuk sehari saja, atau setahun, atau satu abad, tetapi untuk
selama-lamanya… itu adalah perbuatanmu sendiri… kamu melakukannya secara
bebas…
“Jiwa itu terus menerus ingat betapa dia telah
memilih Allah sebagai Mempelainya, dan bahwa dulu dia pernah mengasihi Dia
diatas segala hal lainnya… dan menurut Allah dia telah menolak segala
kenikmatan dan segala hal yang disukainya di dunia, dan bahwa pada awal dari
kehidupan religiusnya dia telah merasakan segala kemurnian, segala manisnya dan
kekuatan dari kasih ilahi ini, dan semua itu dilakukan dengan sebuah semangat
yang luar biasa … tetapi sekarang dan untuk selamanya dia harus membenci Allah
yang telah memilihnya untuk mengasihi DiriNya.
“Kebencian yang dipaksakan ini telah menguasai
dirinya… dimana tak ada kebahagiaan masa lalunya yang bisa memberikan kelegaan
sedikitpun baginya. Salah satu siksaannya yang terbesar adalah berupa rasa
malu,” demikian tambah Sr.Josefa. “Terasa baginya bahwa segala kutuk yang ada
di sekitarnya terus menerus menghantui dirinya dengan berkata: ‘Kita semua akan
musnah dan kamu tak akan pernah memperoleh pertolongan yang bisa kau nikmati,
hal itu tidaklah mengejutkan kami… tetapi kamu… apa yang tidak kau miliki? Kamu
yang dulu hidup di dalam istana Raja… dan merasakan pesta diantara orang-orang
terpilih.’
“Semua yang telah kutuliskan,” demikian Sr.Josefa
menulis, “hanyalah sedikit saja dari apa yang diderita oleh jiwa di dalam
neraka, karena tak ada kata yang bisa menggambarkan siksaan yang mengerikan
disana.” (Sept. 4th, 1922)
Ajaran-Ajaran
Mengenai Api Penyucian
Sr.Josefa tak pernah mengunjungi Api Penyucian,
tetapi dia telah melihat dan berbicara dengan sejumlah jiwa-jiwa yang meminta
doa-doanya, dan beberapa dari jiwa itu berkata kepadanya, bahwa karena
penderitaannya maka mereka bisa lolos dari neraka.
Jiwa-jiwa di dalam Api Penyucian, sebagaimana
biasanya, dengan rendah hati telah menyalahkan dirinya sendiri karena berbagai
kesalahan dan karena itu mereka berada di dalam Api Penyucian. Ada suatu jiwa
yang berkata, “… aku menyerah kepada banyak sekali perbuatan yang sia-sia dan
ketika aku hendak menikah, Allah menggunakan segala cara yang keras untuk
menghalangi aku jatuh ke dalam neraka.” (April 10th, 1921)
Jiwa lainnya berkata, “… aku memiliki sebuah
hidup panggilan, tetapi aku tersesat karena membaca buku-buku yang buruk. Aku
juga telah mengabaikan dan menghinakan skapulirku.” (July 27th, 1921)
“Kehidupan religiusku kurang bersemangat… aku
telah menjalani kehidupan religius yang panjang… tetapi aku menghabiskan
tahun-tahun terakhirku untuk lebih memperhatikan kesehatanku daripada mengasihi
Tuhan. Atas kurban yang kau lakukan, aku bisa mengalami kematian yang baik, dan
aku merasa berhutang kepadamu karena bisa bisa terlepas dari tahun-tahun yang
panjang di dalam Api Penyucian yang layak kujalani. Hal yang penting adalah
bukan banyaknya yang mengikuti suatu agama… tetapi banyaknya orang yang
berusaha mencapai keabadian Surga.” (April 7th,
1922)
“… aku telah berada setahun tiga bulan di dalam
Api Penyucian, dan jika bukan karena perbuatan-perbuatan kecil yang kau lakukan
maka aku akan tetap berada di tempat ini lebih lama lagi. Seorang wanita biasa
di dunia memiliki tanggung jawab yang lebih sedikit daripada seorang religius,
dan betapa besarnya rahmat yang diterima oleh kaum religius ini dan betapa
besar kewajiban yang harus ditanggungnya jika dia tidak mendapakan keuntungan
dari mereka... betapa biarawati-biarawati muda berharap agar kesalahan mereka
bisa dihapuskan di tempat ini… suatu lidah yang disiksa secara mengerikan akan
menghapuskan kesalahan mereka terhadap keutamaan keheningan di dalam biara…
suatu tenggorokan yang kering akan menghapuskan dosa yang melawan kemurahan
hati… dan keterbatasan di dalam penjara ini (Api Penyucian) dan keengganan
untuk mematuhi para atasan kita… ! Di dalam ordoku kepuasn-kepuasan itu hanya
sedikit sekali dan kenyamanan lebih sedikit lagi, tetapi seseorang bisa selalu
mengatasi beberapa masalah itu… dan penghinaan yang paling kecil sekalipun
harus dialami dan dipuaskan di tempat ini. Untuk menahan diri dalam hal
penglihatan, untuk menolak segala kepuasan, memang memerlukan usaha yang besar…
dan dsini, di dalam Api Penyucian, mata disiksa oleh ketidak-mungkinan untuk
melihat Allah.” (April 10th, 1922)
“Ada seorang biarawati lainnya yang menyalahkan
dirinya karena berdosa melawan kemurahan hati, dan karena dia menggerutu dengan
terpilihnya seorang atasannya.” (April 12th, 1922)
“… aku telah berada di dalam Api Penyucian
hingga saat ini… karena selama kehidupan religiusku dulu, aku terlalu banyak
berbicara dengan sangat tidak hati-hati. Aku sering mengeluh dan menyampaikan
anggapan-anggapanku sendiri, dan perbuatanku yang kurang bijaksana ini menjadi
penyebab dari kesalahanku yang melawan kemurahan hati dimana para sahabatku,
suster-suster, biasa melakukannya.”
“Marilah semuanya belajar dari hal ini,”
demikian kata Bunda Maria, yang hadir di dalam penampakan itu, “karena ada
banyak sekali jiwa yang terjatuh ke dalam bahaya ini.” Tuhan juga menekankan peringatan
yang sangat penting ini melalui perkataanNya: “Jiwa itu berada di dalam Api
Penyucian karena kesalahannya yang melawan keheningan, karena kesalahan jenis
ini akan menuntun banyak orang untuk: pertama, melanggar Aturan; kedua, sering
terjadi dosa yang melanggar semangat hidup membiara, kesucian pribadi, berbagai
macam keluhan yang sering salah arah diantara para religius, dan semua ini
dilakukan tanpa rasa tanggung jawab hingga banyak sesama religius akan terbawa kepada
kesalahan yang sama. Inilah sebabnya jiwa itu berada di dalam Api Penyucian dan
terbakar oleh keinginan untuk bisa melihat WajahKu.” (Feb 22nd. 1923)
“Aku berada di dalam Api Penyucian karena aku tidak
mempedulikan jiwa-jiwa yang telah dipercayakan kepadaku, dan karena aku tidak
menyadari secara cukup betapa berharganya jiwa-jiwa itu serta hidup panggilan yang
amat berharga dari tugas mereka. (Aug 1922)
“… aku berada di dalam Api Penyucian belum
sampai satu setengah jam untuk melakukan silih karena dosaku yang kurang
percaya akan Allah. Memang, aku sangat mengasihi Dia, tetapi bukannya tanpa
rasa khawatir. Memang benar bahwa penghakiman atas kaum religius sangatlah
keras, karena kami dihakimi bukan oleh Mempelai kami (Yesus), tetapi oleh Allah.
Bagaimanapun juga kepercayaan kami akan kerahimanNya seharusnya tak mengenal
batas, dan kami harus percaya penuh akan kebaikanNya. Betapa banyaknya rahmat yang
sia-sia dan terlewatkan karena para religius tidak cukup percaya akan Allah.” (Sept.
1922)
“… aku berada di dalam Api Penyucian karena aku
tidak memperlakukan jiwa-jiwa yang dipercayakan Yesus kepadaku dengan penuh
perhatian, sebagaimana yang seharusnya kulakukan. Aku membiarkan diriku
dipengaruhi oleh tujuan-tujuan manusia dan tidak memandang mereka di dalam Allah,
seperti yang seharusnya kulakukan dan dilakukan oleh seluruh atasanku. Karena jika
memang benar bahwa semua religius harus memandang atasannya sebagai Pribadi Allah,
maka pihak atasan juga harus melihat Pribadi Allah di dalam diri para
bawahannya.“
“Terima kasih kepada kalian semua yang telah
membebaskan aku dari Api Penyucian… jika saja para biarawati menyadari betapa
jauhnya mereka bisa disesatkan oleh perasaan-perasaan yang tak bisa dikendalikan…
maka betapa kerasnya mereka akan berusaha mengalahkan dirinya sendiri dan menguasai
sifat serta dan nafsu-nafsunya.” (April 1923)
“Api Penyucian yang kualami akan berlangsung
lama, karena aku tidak mau menerima Kehendak Allah atas diriku, atau melakukan
kurban dalam kehidupanku secara memadai selama hidupku. Memang benar, penyakit adalah
merupakan rahmat pemurnian yang besar bagi suatu jiwa. Tetapi yang bersangkutan
haruslah menyadari hal itu, sebab jika tidak, penderitaan itu justru akan bisa membuatnya
tersesat dari kehidupan religius, melupakan sumpahnya akan Kemiskinan, Kemurnian
dan Ketaatan, dan dia lupa bahwa orang yang telah dikonsekrasikan kepada Allah menjadi
jiwa kurban. Allah kita adalah maha kasih, tetapi juga maha adil.” (Nov.
1923)