ALASAN TERBESAR
MENGAPA IMAM-IMAM BERSIKAP DIAM DI HADAPAN KEMEROSOTAN MORAL SAAT INI
oleh Uskup Charles Pope
June 30, 2017 (Archdiocese of Washington) – 30
Juni 2017 (Archdiocese of Washington) -
Salah satu keprihatinan paling konsisten yang diungkapkan baik oleh pembaca
saya maupun oleh peserta dalam berbagai ceramah yang saya berikan, adalah adanya
sejumlah besar klerus yang suam-suam kuku dan bermasalah. Kami, para klerus,
telah banyak membebani umat kami, namun sebagian besar mereka sangat sabar dan
mengasihi kami terlepas dari segala kelemahan dan keanehan tingkah laku kami.
Sebagian
besar umat sangat prihatin terhadap sikap diam dan / atau ketidakjelasan sikap para
klerus dalam menghadapi krisis moral yang mengerikan dalam budaya kita saat ini.
Paling banter, banyak mimbar kotbah tetap diam atau penuh dengan omongan yang abstrak
dan bersifat umum. Dan yang paling buruk, beberapa mimbar kotbah dan ajaran klerus
penuh berisi kesalahan atau ketidakjelasan langsung yang (disengaja atau tidak)
telah menyesatkan dan membingungkan umat beriman.
Tentu
saja, ada banyak pengecualian atas masalah ini. Ada banyak imam yang baik yang
bekerja keras, mengajar dengan berani dan jelas, dengan penuh kasih dan
semangat. Namun, masalahnya (krisis moral dan iman) memang cukup luas sehingga hal
itu menjadi perhatian sebagian besar umat beriman.
Kardinal Robert Sarah, dalam buku terbarunya The Power of Silence Against the Dictatorship
of Noise, menyajikan analisis mendalam tentang masalah
dan penyebabnya. Dia menceritakan bahwa masalah krisi moral dan iman ini adalah
karena kurangnya keheningan doa dari banyak imam, yang tidak memiliki banyak waktu
untuk berdoa, apalagi merenungkan dan melakukan kontemplasi yang dalam. Kardinal
Robert Sarah memulai dengan merujuk kepada pastor Henri Nouwen, yang pernah
berkata, “Keheningan adalah disiplin dimana semangat akan Allah di dalam hati dipelihara
dan terus dihidupkan ... Terutama kita (imam-imam), yang ingin bersaksi atas
kehadiran Roh Allah di dunia, perlu mempertahankan semangat ini dengan sangat
hati-hati ... [Namun] banyak sekali utusan (imam-imam) yang telah menjadi loyo...
di mana api Roh Allah telah padam dalam dirinya, dan dari mereka itu tidak
banyak yang bisa dipancarkan kecuali gagasan dan perasaan mereka sendiri yang
membosankan dan kerdil; ... Seolah-olah (mereka sendiri) tidak yakin bahwa Roh
Allah dapat menyentuh hati manusia [dikutip dalam The Power of Silence, hlm. 77].
Berikut
ini ada dua pemikiran penting. Pertama,
seorang imam yang tidak terbiasa untuk berdoa hening dan mendengarkan suara
Tuhan, dia akan hanya mendengar suara dari dunia ini dan meniru
slogan-slogannya dan seringkali juga gagasan-gagasan duniawi yang tidak jelas.
Suara Kristus dan terang Injil menjadi redup, dan pikirannya berpusat kepada
hal-hal yang sia-sia dan gagasan-gagasan duniawi. Secara bertahap, dia akan "menjadi
pribumi," dengan mengambil pikiran dunia, gagasan-gagasan daging, dan
bahkan doktrin-doktrin setan.
Kedua, seorang imam dapat menjauh dari "bisikan
hening suara Tuhan." Dia bisa mulai kehilangan kepercayaan akan kuasa rahmat
Allah yang bisa menyentuh dan merubah hati manusia. Khotbah yang bersemangat berakar
dalam keyakinan tentang kebenaran yang diwartakan dan kuasa rahmat untuk melaksanakan
apa yang disampaikan oleh Sabda Tuhan. Memang benar bahwa ajaran Tuhan sering
kali menantang umat beriman, namun hal ini tidak menghalangi Kristus, yang
mengetahui kuasa dari rahmat, tidak ragu untuk menunjuk kepada kebenaran yang tertinggi
dan dengan sungguh memanggil umat beriman untuk percaya akan rahmat dan belas
kasihan-Nya agar bisa sampai kepada kebenaran tertinggi itu! Tanpa doa yang tekun,
maka kita (imam-imam) akan kehilangan kepercayaan kepada Tuhan dan kepada umatNya.
Secara
perlahan, seperti yang ditulis oleh Nouwen, semangat spirituil seorang imam akan
menjadi dingin dan keadaan mati rasa dari dunia ini akan memadamkan sukacitanya,
semangatnya, kepercayaan diri dan kasihnya. Tuntutan dari Injil nampak tidak
beralasan lagi baginya atau bahkan tidak mungkin dilaksanakan olehnya. Dan
karena dia memandang Injil sebagai sesuatu yang terlalu menantang, terlalu
sulit, dia menjadi ragu untuk mewartakannya. Sementara kobaran semangat dalam dirinya
semakin redup, dia cenderung bertindak melemahkan pesan Injil, membawa pesan
itu ke dalam kebingungan dari penafsiran abstrak dan generalisasi, atau
langsung menolak kebenaran-kebenaran Injil yang lebih keras lagi.
Kardinal
Sarah memperingatkan para imam tentang kecenderungan seperti ini beserta akibatnya:
Tentu
saja Kristus sangat bersedih melihat dan mendengar para imam dan uskupNya, yang
seharusnya melindungi integritas ajaran Injil dan ajaranNya, justru mereka memperbanyak
kata-kata dan tulisan yang melemahkan ketegasan ajaran Injil dengan pernyataan
mereka yang membingungkan dan ambigu. Tidaklah mudah untuk mengingatkan para
imam dan uskup yang seperti ini mengenai Sabda Yesus yang cukup keras:
"Sebab itu Aku berkata kepadamu bahwa setiap dosa dan penghujatan akan
diampuni, tetapi penghujatan terhadap Roh tidak akan diampuni ... baik disini
maupun di masa yang akan datang . Karena dia melakukan dosa yang kekal
"[Ibid., Hlm. 77-78].
Begitulah,
seperti yang dikatakan oleh pastor Nouwen dan Kardinal Sarah, bahwa para imam
yang membiarkan kobaran api Allah menjadi redup dan tidak lagi mempercayai Allah
atau umatNya, mereka berdosa terhadap Roh Kudus. Mereka melakukan hal itu karena
mereka meragukan atau bahkan menolak kuasa rahmat yang bisa melaksanakan tuntutan
Injil. Sanjungan manusia dan pandangan duniawi lebih disukai daripada dorongan
Roh Kudus untuk mewartakan Injil dengan jelas, penuh kasih, dan tanpa kompromi.
Kelemahan manusia dijadikan alasan untuk tidak melaksanakan apa yang
diharapkan. Roh Kudus diabaikan dan dianggap sebagai tidak relevan atau tidak
mampu untuk menyempurnakan umat Allah. Ini adalah dosa melawan Roh Kudus dan merupakan
akhir yang menyedihkan bagi seorang imam, terutama orang yang secara langsung
menyesatkan umat Allah dan semakin meneguhkan mereka dalam perbuatan dosa dan
kesalahan.
Karena itu, saya meminta kepada seluruh umat
beriman agar sering berdoa bagi para imam dan uskup. Dalam kelemahan manusiawi
kita, maka kita, para klerus bisa berjalan menjauhi doa. Dari situlah, semangat
akan Allah yang berkobar-kobar dan sukacita akan kebenaran bisa digantikan oleh
pemikiran duniawi dan kurangnya kepercayaan dalam mewartakan tanpa kompromi. Kemudian
dengan dilakukannya kompromi, segala sesuatunya menjadi semakin memburuk.
Dalam
bukunya, Kardinal Sarah merujuk kepada doa permohonan dari St. Agustinus, dan
saya akan menyampaikan hal itu juga disini:
Bukanlah niatanku untuk menyia-nyiakan hidupku melalui
kesombongan gerejawi. Aku berpikir mengenai sebuah hari dimana nanti aku harus
melakukan pertanggung-jawaban atas kawanan domba yang telah dipercayakan kepadaku
oleh Sang Pangeran dari semua pastor. Tolong, pahamilah ketakutanku ini, karena
ketakutanku ini sangat besar. [hlm. 79].
Tu es Sacerdos in Aeternum by Vivaldi:
Reprinted with permission from the Archdiocese of Washington's blog.
Silakan melihat artikel
lainnya disini : http://devosi-maria.blogspot.co.id/
No comments:
Post a Comment