PASTOR LINUS
CLOVIS: THE ‘FRANCIS EFFECT’ SEDANG
MEMBUNGKAM USKUP-USKUP, IMAM-IMAM DAN UMAT AWAM
Fr. Linus Clovis of Family Life
InternationalSteve Jalsevac/ LifeSite
Editor’s note:
Father Linus Clovis of Saint Lucia gave the following address at the Rome Life
Forum on May 9, 2015.
22 Mei 2015 (LifeSiteNews.com) – Suatu krisis adalah sebuah masa sulit
atau masa bahaya. Secara medis, ini adalah titik balik dari perjalanan penyakit
saat terjadi perubahan penting, yang mengindikasikan pemulihan atau kematian.
Uskup Athanasius Schneider telah
mengidentifikasi adanya empat kali krisis besar di dalam Gereja: Arianisme, Skisma Barat, Reformasi dan
Modernisme. Yang terakhir ini, Modernisme, yang telah lama dihadapi oleh Gereja
Katolik selama lebih dari satu abad, kini ia telah berhasil menusukkan cengkeramannya
di dalam Gereja Katolik sejak penutupan Konsili Vatikan II. St. Pius X
menyebutnya sebagai sintesis dari semua
ajaran sesat.
Selama setengah abad terakhir ini, sebagian
besar umat Katolik, yang mempercayakan diri mereka kepada pemeliharaan para
klerus, telah tidur nyenyak sampai saat ini, saat mereka dibangunkan secara kasar
oleh alarm yang didengungkan oleh Sinode Luar Biasa 2014 tentang Keluarga. Sebuah
masa depan dari Jerome yang meratap karena "saat mereka terbangun, mereka
mengerang karena mendapati dirinya telah menjadi kaum modernis." Drama
Sinode 2014 telah terpampang di media massa dimana ada kardinal yang melawan kardinal,
uskup melawan uskup, dan wali gereja dari sebuah negara bertentangan dengan
wali gereja dari negara yang lain, dan karenanya kejadian itu merupakan pemenuhan
harfiah dari nubuatan yang disampaikan oleh Bunda Maria di Akita pada tanggal
13 Oktober 1973: "Karya iblis akan menyusup ke dalam Gereja sedemikian
rupa sehingga orang akan melihat adanya kardinal melawan kardinal, dan uskup
melawan uskup. Imam-imam yang menghormati aku akan dicemooh dan ditentang oleh sesama
mereka ... Gereja akan dipenuhi oleh orang-orang yang mau menerima kompromi."
Dari video
sambutan pastor Clovis dalam acara Rome Life Forum:
Tiba-tiba, ada beberapa gembala mulai berbicara
dengan suara yang aneh. Dengan terheran-heran, cardinal Timothy Dolan,
mengomentari ‘munculnya’ bintang sepak bola dari perguruan tinggi
"gay", dan berkata kepada NBC "Meet the Press": "Bagus buat dia... saya tidak akan
menghakimi dia .... Tuhan memberkati dia. Saya tidak berpikir, lihat, Alkitab
yang sama yang memberitahu kita, yang mengajarkan kita dengan baik tentang
kesucian dan kesetiaan dan pernikahan, ia juga memberitahu kita untuk tidak
menilai orang lain. Jadi saya akan mengatakan 'Bravo' buat dia."
Dengan pernyataan dan tindakan semacam itu oleh
uskup yang terkemuka dan memegang jabatan penting, yang dimahkotai dengan semboyan
pontifical "siapakah saya ini hingga layak menghakimi," (“who am I to judge”
– yang diucapkan oleh pemimpinnya, PF),” maka para uskup, imam, dan bahkan umat
awam yang tradisional, yang percaya akan ajaran Yesus Kristus yang benar, akan
merasa dilucuti dan dipukuli. Bagaimanapun, dalam upaya untuk mempertahankan ajaran
moral dan aturan tradisional Gereja Katolik, mereka akan dituduh sebagai ‘lebih
Katolik daripada paus’. Begitulah proses pelucutan senjata atas para klerus dan
hirarki ini merupakan ‘the Francis Effect.’
Paus
Umat Katolik memang mengasihi paus, siapa pun
dia, dan dari manapun dia berasal, karena dia selalu mewakili tanda dan
kehadiran Kristus yang nyata di dunia ini. Bahkan sebelum Bunda Maria meminta kepada
anak-anak di Fatima untuk berdoa bagi Bapa Suci, dan permintaan ini diulangi di
Akita pada tanggal 13 Oktober 1973, dengan mengatakan "berdoalah yang banyak
bagi paus, para uskup dan imam-imam," umat Katolik telah berdoa bagi
mereka setiap hari, dan tidak hanya melihat dia (paus) untuk mendapatkan sosok pemimpin,
tetapi juga menganggap dia sebagai fondasi yang kokoh dan pasti dimana otoritas
ajaran Gereja dibangun. Bagi umat Katolik, kemurnian ajaran Kristus sangatlah
penting sehingga lebih mudah bagi mereka untuk menerima kemungkinan bahwa
'paus' tidak mungkin salah, meskipun pada kenyataannya (saat ini) paus telah
menjadi guru kesesatan.
Katekismus Gereja Katolik (CCC) mengajarkan
bahwa "Injil diwariskan dengan dua cara: secara lisan (Tradisi Suci) dan secara tertulis (Kitab Suci) dan ia
terus diwartakan melalui suksesi apostolik (Magisterium)." Ia mendefinisikan
Kitab Suci sebagai "perkataan Tuhan sebagaimana ia ditulis di bawah hembusan
Roh Kudus," dan akibatnya, dengan diilhami oleh Tuhan, ia adalah "bermanfaat
bagi pengajaran, untuk memberikan teguran, untuk melakukan koreksi, dan untuk
pelatihan di dalam hal kebenaran. Di dalam paragraf 81, Katekismus menegaskan
bahwa "Oleh Tradisi Suci Sabda Allah, yang oleh Kristus Tuhan dan Roh Kudus
dipercayakan kepada para rasul, dan bahwa hal itu disampaikan kepada para
uskup, sebagai penerus dari para rasul sehingga, dengan diterangi oleh Roh Kebenaran,
mereka dapat dengan setia memelihara, menjelaskan, dan menyebarkannya kemana-mana
melalui khotbah mereka."
Di dalam surat-suratnya, St. Paulus bersikeras
bahwa dia tidaklah menciptakan doktrin baru, dan dia juga tidak menyimpang dari
apa yang telah dia terima. Mengenai Ekaristi, khususnya, dia menyatakan: "Sebab apa yang telah kuteruskan
kepadamu, telah aku terima dari Tuhan, yaitu bahwa Tuhan Yesus, pada malam
waktu Ia diserahkan, mengambil roti ..." (1 Kor. 11:23), Dan dia
kemudian memperingatkan dalam ayat 29 bahwa "Karena
barangsiapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman
atas dirinya." Bahkan dengan lebih tegas lagi, ia mengatakan kepada
orang-orang Galatia bahwa ada beberapa orang yang ingin memutarbalikkan Injil
Kristus, maka "Tetapi sekalipun kami atau seorang malaikat dari sorga yang
memberitakan kepada kamu suatu injil yang berbeda dengan Injil yang telah kami
beritakan kepadamu, terkutuklah dia." (Gal.1: 8).
Berkenaan dengan Magisterium atau kuasa Pengajaran
Gereja, Katekismus pada paragraf 85 menyatakan bahwa "tugas menafsirkan
secara otentik Sabda Allah yang tertulis atau diturunkan itu, dipercayakan
hanya kepada Wewenang Mengajar Gereja yang hidup, yang kewibawaannya
dilaksanakan atas nama Yesus Kristus." Karena Gereja menjalankan
wewenangnya atas nama Yesus Kristus, maka "tugas penafsiran telah
dipercayakan kepada para uskup dalam persekutuan dengan penggantinya Petrus,
Uskup Roma." Katekismus paragraf 86 melanjutkan dengan menunjukkan bahwa
"Wewenang Mengajar itu tidak berada di atas Sabda Allah, melainkan
melayaninya, yakni dengan hanya mengajarkan apa yang diturunkan saja, sejauh
Sabda itu, karena perintah ilahi dan dengan bantuan Roh Kudus, didengarkannya
dengan khidmat, dipelihara dengan suci, dan diterangkannya dengan setia; dan
itu semua diambilnya dari satu perbendaharaan iman itu, yang diajukannya untuk
diimani sebagai hal-hal yang diwahyukan oleh Allah".
Magisterium memiliki wewenang untuk mengikat
secara definitif hati nurani umat beriman sehubungan dengan masalah iman atau
moral dan melakukannya dengan definisi dogmatis, seperti yang dijelaskan dalam
paragraf 88: "Wewenang Mengajar Gereja menggunakan secara penuh otoritas
yang diterimanya dari Kristus, apabila ia mendefinisikan dogma-dogma, artinya
apabila dalam satu bentuk yang mewajibkan umat Kristen dalam iman dan yang
tidak dapat ditarik kembali, ia mengajukan kebenaran-kebenaran yang tercantum
di dalam wahyu ilahi atau secara mutlak berhubungan dengan kebenaran-kebenaran
demikian."
Magisterium Kepausan, menurut ajaran Konsili Vatikan
I (D. 3070), tidak didirikan untuk menciptakan doktrin baru melainkan untuk
menjaga dan mewariskan dengan setia kebenaran-kebenaran iman yang dipercayakan
oleh Kristus kepada para Rasul-Nya: "Roh Kudus tidak dijanjikan kepada
penerus Petrus untuk mengungkapkan, melalui ilham-Nya, sebuah doktrin baru, tetapi
untuk secara hati-hati menjaga dan memberitahukan kesetiaan, dengan
bantuan-Nya, pewahyuan yang disampaikan oleh para Rasul, yaitu sebagai kekayaan
iman."
Sementara umat
beriman berhutang ketaatan kepada paus sebagai Wakil Kristus, maka paus sendiri
juga berhutang ketaatan kepada Firman dan Tradisi Apostolik, dan dengan melakukan hal ini maka paus
akan memudahkan umat beriman dalam ketaatan mereka kepadanya. Dalam dunia ini
ada hal yang sama dengan itu "Lama
sekali Israel tanpa Allah yang benar, tanpa ajaran dari pada imam dan tanpa
hukum" (2 Tawarikh 15: 3), maka
paus harus bijaksana dan jelas dalam ajarannya sehingga orang-orang yang mendengarnya
dapat menghindari jerat kematian: “Awasilah
dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu. Bertekunlah dalam semuanya itu, karena
dengan berbuat demikian engkau akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang
mendengar engkau.” (1 Tim. 4:16). Paus Feliks III, yang tinggal di dunia yang bermusuhan
dengan pesan Injil, melihat perlunya mengoreksi kesalahan dan menguatkan
kebenaran, dengan mengatakan bahwa kesalahan yang tidak ditolak berarti ia disetujui;
sebuah kebenaran yang tidak dipertahankan, berarti ia ditindas.
Paus Francis
Dalam tahun pertama masa kepausannya, Paus
Fransiskus telah berhasil membingungkan dan mengacaukan umat Katolik yang
paling tidak kritis sekalipun, yang berusaha keras untuk menutup mata mereka
terhadap ambiguitas dalam perkataan dan tindakannya. Kenyataan bahwa musuh bebuyutan
dari Gereja (kelompok Freemason) sangat menghormatinya, hal ini telah
menimbulkan kekhawatiran pada banyak orang, paling tidak, karena Tuhan sendiri
telah memperingatkan bahwa "Jikalau
dunia membenci kamu, ingatlah bahwa ia telah lebih dahulu membenci Aku dari
pada kamu. Sekiranya kamu dari dunia, tentulah dunia mengasihi kamu sebagai
miliknya. Tetapi karena kamu bukan dari dunia, melainkan Aku telah memilih kamu
dari dunia, sebab itulah dunia membenci kamu. Ingatlah apa yang telah Kukatakan
kepadamu: Seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya. Jikalau mereka
telah menganiaya Aku, mereka juga akan menganiaya kamu; jikalau mereka telah
menuruti firman-Ku, mereka juga akan menuruti perkataanmu. (Yoh. 15:18-20).
Keprihatinan umat Katolik semakin meningkat
sebanding dengan kepekatan kabut yang menutupi sikap yang sebenarnya dari paus terhadap
isu-isu penting. Dilaporkan bahwa ketika dia menjabat sebagai Uskup Agung di
Buenos Aires, nampaknya dia ingin dikasihi oleh semua orang dan untuk
menyenangkan semua orang, maka dia pernah mengirimkan dua macam sinyal campuran dan sekaligus bertentangan, "Suatu
hari dia berpidato di TV yang isinya menentang dan melawan aborsi, dan esok
harinya, di acara TV yang sama, dia memberkati para aktivis feminis yang
pro-aborsi di Plaza de Mayo; dia juga memberikan pidato yang indah dalam melawan
kaum FreeMason dan beberapa jam kemudian, nampak dia makan dan minum bersama
mereka di dalam pertemuan Rotary Club setempat." St. Yohanes mencatat
bahwa beberapa dari pengikut Kristus adalah orang-orang Farisi: "Namun banyak juga di antara pemimpin yang
percaya kepada-Nya, tetapi oleh karena orang-orang Farisi mereka tidak
mengakuinya berterus terang, supaya mereka jangan dikucilkan. Sebab mereka
lebih suka akan kehormatan manusia dari pada kehormatan Allah. (Yoh. 12:42-43).
‘THE FRANCIS
EFFECT’ ADALAH BERUPA PELUCUTAN DAN PEMBUNGKAMAN TERHADAP USKUP-USKUP,
IMAM-IMAM, SERTA UMAT AWAM. BERPEGANG TEGUH KEPADA DOKTRIN KATOLIK DAN MELAKSANAKAN
AJARAN KATOLIK NAMPAKNYA DIANGGAP SEBAGAI TINDAKAN KETIDAK-TAATAN KEPADA PAUS,
TETAPI JIKA KITA MENYETUJUI TINDAKAN PAUS (YANG SESAT) BERARTI KITA MENGKHIANATI
GEREJA.
Atas keprihatinan umat Katolik dan demi kepuasan
dunia, Paus Fransiskus, dengan melalui perkataan dan perbuatannya, telah
menimbulkan banyak kontroversi besar, dan yang paling mengerikan dari hal itu
adalah komentarnya "Siapakah aku ini hingga layak menghakimi?" (“Who am I to judge?”). Kalimat bernada pertanyaan dari paus
ini langsung melemahkan semangat semua orang yang menolak provokasi dari lobi kaum
gay. Disini Bapa Suci telah gagal membuat pembedaan yang diminta, yaitu bahwa
Gereja tidak menghakimi orang-orang, tetapi ia memiliki hak dan kewajiban untuk
menilai perbuatan dan ajaran orang-orang. Gereja tidak pernah memberikan
penilaian atas moral seseorang bahkan orang bidaah besar sekalipun, meskipun ia
harus memperingatkan umat beriman tentang keburukan ajaran mereka. Dalam
suratnya kepada jemaat di Korintus, St. Paulus sendiri memberikan nasihatnya:
"Tetapi yang kutuliskan kepada kamu
ialah, supaya kamu jangan bergaul dengan orang, yang sekalipun menyebut dirinya
saudara, adalah orang cabul, kikir, penyembah berhala, pemfitnah, pemabuk atau
penipu; dengan orang yang demikian janganlah kamu sekali-kali makan
bersama-sama. Sebab dengan wewenang apakah aku menghakimi mereka, yang berada
di luar jemaat? Bukankah kamu hanya menghakimi mereka yang berada di dalam
jemaat? Mereka yang berada di luar jemaat akan dihakimi Allah. Usirlah orang
yang melakukan kejahatan dari tengah-tengah kamu.” (1 Kor. 5: 11-13).
Umat Katolik menjadi semakin khawatir ketika
ucapan paus terasa seperti menyerang kawanan domba, seperti klaim dari paus bahwa
"doktrin atau disiplin justru mengarahkan kita kepada elitisme narsistik dan otoriter" dan dia
juga mengeluh bahwa ada terlalu banyak orang yang berbicara mempermasalahkan kontrasepsi
dan aborsi. Kepada siapakah perkataan paus ini diarahkan, selain kepada
pro-lifers ? (pendukung kehidupan). Vittorio Messori dalam bukunya "The Defense of Every Life"
mengutip ucapan St. Yohanes Paulus II yang mengatakan: "Sulit untuk
membayangkan situasi yang lebih tidak adil (di dalam tindakan aborsi), dan
sangat sulit untuk tidak berbicara tentang masalah ini, karena kita berhadapan
dengan sebuah keharusan yang mendasar dari setiap hati nurani yang baik – yaitu
pembelaan atas hak kehidupan manusia yang tidak berdosa dan tak berdaya.” Sebagian besar umat Katolik dapat bersaksi bahwa generalisasi para pewarta
Injil tidak pernah
membahas masalah kontrasepsi ataupun aborsi. Namun, mengenai hal-hal ini, St.
Paulus menyarankan kepada para pewarta itu "Beritakanlah
firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang
salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran" (2 Tim. 4: 2).
Kasus ‘Kelinci’ terasa sangat menyakitkan bagi
ibu-ibu Katolik di seluruh dunia, terutama mereka yang dengan pengorbanan diri yang
besar, telah melahirkan anak-anak mereka. PF yang pernah berkata “who am I to judge”,
tetapi sekarang mengatakan, "Saya menegur seorang wanita beberapa bulan
yang lalu di sebuah paroki yang hamil delapan kali, dengan tujuh kali bedah Caesar
dan berkata: ‘Apakah anda ingin meninggalkan tujuh anak yatim?' Kalimat ini seolah
mencobai Tuhan! Justru paus Paulus VI berbicara tentang orang tua yang
bertanggung jawab. Tidak puas dengan
menegur wanita itu, dia memperluas tegurannya ke seluruh dunia: "Tuhan
memberi anda metode untuk bertanggung jawab. Beberapa orang berpikir, permisi
jika saya menggunakan kata ini, bahwa agar menjadi orang Katolik yang baik kita
harus bertindak seperti kelinci (maksudnya: memiliki banyak anak). Tidak seperti
itu. Ini adalah tanggung jawab orang tua! Hal ini sudah jelas dan karena itulah
di gereja ada kelompok-kelompok perkawinan, ada para pakar dalam hal ini, ada
pastor-pastor, dan seseorang bisa mencarinya, dan saya tahu ada begitu banyak
jalan keluar yang legal dan yang bisa membantu hal ini."
Dalam iklim pastoral yang sangat penting saat
ini, posisi PF mengenai Humanae vitae,
soal etika seksual Katolik, masih tidak pasti, terutama karena adanya
pembicaraan yang melangkahi apa yang diajarkannya. Yang sama-sama
mengkhawatirkan kita semua adalah keterbukaan PF yang nyata terhadap
'pernikahan gay' dalam bentuk 'perkawinan sipil'. Yang paling meresahkan dari
semuanya adalah dukungan PF secara terbuka kepada Kardinal Kasper yang, pada sinode
2014 lalu menyerukan agar Gereja menerima umat yang bercerai dan menikah lagi, agar
mereka diijinkan menerima Ekaristi tanpa harus membenahi status perkawinan
mereka. Hal ini seolah menusuk umat Katolik dan menyulut kekhawatiran kita tentang
sikap ortodoksi dari paus.
Ucapan-ucapan PF yang ambigu tidak hanya
menimbulkan kekhawatiran tapi juga kebingungan di kalangan umat Katolik, yang sebagian
besar, takut mengkritik atau menilai paus. Tapi di sini, seperti di atas, sebuah
tindakan pembedaan perlu kita lakukan. Bukanlah pribadi paus yang diadili,
melainkan tindakan-tindakannya. Juga harus ditekankan disini bahwa penilaian atas
tindakan-tindakan PF tidak dimaksudkan untuk menimbulkan kemarahan, namun
sebaliknya, hal itu dilakukan karena tindakan-tindakannya telah menjadi penyebab
kemarahan di kalangan umat beriman dan merupakan ancaman terhadap iman mereka.
Penghakiman terhadap paus ini dapat diajukan
atas wewenang St. Paulus yang mengatakan kepada jemaat di Galatia: "Tetapi waktu Kefas datang ke Antiokhia, aku
berterang-terang menentangnya, sebab ia salah. Karena sebelum beberapa orang
dari kalangan Yakobus datang, ia makan sehidangan dengan saudara-saudara yang
tidak bersunat, tetapi setelah mereka datang, ia mengundurkan diri dan menjauhi
mereka karena takut akan saudara-saudara yang bersunat. Dan orang-orang Yahudi
yang lainpun turut berlaku munafik dengan dia, sehingga Barnabas sendiri turut
terseret oleh kemunafikan mereka. Tetapi waktu kulihat, bahwa kelakuan mereka
itu tidak sesuai dengan kebenaran Injil, aku berkata kepada Kefas di hadapan
mereka semua: "Jika engkau, seorang Yahudi, hidup secara kafir dan bukan
secara Yahudi, bagaimanakah engkau dapat memaksa saudara-saudara yang tidak
bersunat untuk hidup secara Yahudi?" (Gal. 2: 11-14).
Ada juga fakta sejarah bagi penilaian semacam itu
tentang tindakan paus. Saat itu para teolog di Universitas Paris, para kardinal,
uskup, dan raja-raja ramai-ramai menentang paus Yohanes XXII (1316-1334)
ketika, dalam khotbah hari Minggunya, dia secara salah telah mengajarkan bahwa Orang-orang
Terberkahi tidak bisa melihat Tuhan sampai saat setelah Penghakiman Akhir nanti.
Pada abad keenam belas, Melchior Cano, seorang
teolog Spanyol, di dalam Konsili Trent memperingatkan kita agar tidak menaati
paus: "Sekarang dapat dikatakan secara singkat bahwa mereka yang membela
secara membabi buta dan tanpa pandang bulu pada penilaian apa pun dari paus mengenai
setiap masalah yang melemahkan Otoritas Takhta Apostolik, maka mereka tidak usah
mendukungnya, mereka boleh menumbangkannya, dan mereka tidak usah melindunginya ... Petrus tidak membutuhkan
kebohongan kita, dia tidak membutuhkan pujian kita. Di zaman kita, Hukum Canon tahun
1983 juga mengakui hak umat beriman dalam hal ini, dimana hukum itu menyatakan
bahwa "Sesuai dengan pengetahuan,
kompetensi dan keunggulannya, mereka mempunyai hak, bahkan kadang-kadang juga
kewajiban, untuk menyampaikan kepada para Gembala suci pendapat mereka tentang
hal-hal yang menyangkut kesejahteraan Gereja dan untuk memberitahukannya kepada
kaum beriman kristiani lainnya, tanpa mengurangi keutuhan iman dan moral serta
sikap hormat terhadap para Gembala, dan dengan memperhatikan manfaat umum serta
martabat pribadi orang."(§ 212: 3).
Kesimpulan
Gereja saat ini sedang menghadapi tontonan dari
para kardinal dan para uskup yang terlibat dalam konflik terbuka satu sama lain
mengenai doktrin dan tindakan pastoral. Pada Sinode Luar Biasa tentang Keluarga
tahun 2014, para anggota terkemuka dari hierarki Gereja, kecuali beberapa orang,
secara terbuka memperdebatkan penafsiran dan pelaksanaan Firman Tuhan kita
Yesus Kristus untuk mengesahkan dan membenarkan revolusi seksual di dalam Gereja
dengan memberi ijin kepada umat yang bercerai dan menikah lagi secara sipil untuk
menerima Komuni Kudus. Jika hal ini diterima, maka paus Clement VII telah bersalah
dalam perlakuannya terhadap Henry VIII dan reformasi di Inggris tidak perlu
dilakukan. Lebih jauh lagi, mengapa pasangan kumpul kebo dan praktek
homoseksual yang tidak bertobat, tidak boleh menerima Komuni Kudus? Ada sesuatu
yang berbeda dari semua ini: "Semua imam-imam terkemuka itu dan
orang-orang itu telah sangat tidak setia,
dimana mereka mengikuti semua kekejian bangsa-bangsa; dan mereka telah mencemari
rumah Tuhan yang dikuduskan di Yerusalem. Tuhan, Allah dari nenek moyang
mereka, telah mengirimkan banyak sekali utusan kepada mereka, karena Dia sayang
kepada umat-Nya dan tempat kediamanNya. Tetapi mereka terus-menerus
mengolok-olok utusan Tuhan itu, menghinakan segala FirmanNya, dan mengejek para
nabi-nabiNya, sampai murka Tuhan bangkit melawan umat-Nya, sehingga tidak
mungkin lagi ada pemulihan. Oleh karena itu, Dia mendatangkan untuk melawan mereka,
raja-raja Kasdim, yang membunuh pemuda-pemuda mereka dengan pedang di rumah
tempat kudus mereka, dan tidak memiliki belas kasihan pada pemuda atau perawan,
tua atau orang ubanan; Dia menyerahkan mereka semua ke dalam tangannya "(2
Tawarikh 36: 14-17). Saat ini, dengan agama lain yang semakin tumbuh dalam
kekuatannya, mungkinkah di zaman kita sekarang ada obat yang sebanding dengan
yang dibawa oleh raja Kasdim dulu?
‘The Francis effect’ adalah berupa pelucutan dan
pembungkaman terhadap uskup-uskup, imam-imam, serta umat awam. Berpegang teguh
kepada doktrin katolik dan melaksanakan ajaran katolik nampaknya dianggap
sebagai tindakan ketidak-taatan kepada paus, tetapi jika kita menyetujui
tindakan paus (yang sesat) berarti kita mengkhianati gereja. Umat Katolik boleh
bertanya kepada Petrus, "Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi?"
(Yoh 6:68). Adalah penting bahwa mereka tetap tinggal di Gereja dan tetap
dipersenjatai; jika para gembala telah turun seperti Harun untuk bergabung
dalam Bacchanalia, maka Gereja membutuhkan orang-orang Lewi. “Ketika Musa melihat, bahwa bangsa itu
seperti kuda terlepas dari kandang--sebab Harun telah melepaskannya, sampai
menjadi buah cemooh bagi lawan mereka-- maka berdirilah Musa di pintu gerbang
perkemahan itu serta berkata: "Siapa yang memihak kepada TUHAN datanglah
kepadaku!" Lalu berkumpullah kepadanya seluruh bani Lewi."(Kel.
32: 25-26).
Kristus telah memperingatkan mengenai saat sekarang
ini, dengan mengatakan, "Pada waktu
itu kamu akan diserahkan supaya disiksa, dan kamu akan dibunuh dan akan dibenci
semua bangsa oleh karena nama-Ku, dan banyak orang akan murtad dan mereka akan
saling menyerahkan dan saling membenci. Banyak nabi palsu akan muncul dan
menyesatkan banyak orang. Dan karena makin bertambahnya kedurhakaan, maka kasih
kebanyakan orang akan menjadi dingin. Tetapi orang yang bertahan sampai pada
kesudahannya akan selamat.
"(Mat 24: 9-13).
Gereja sedang menghadapi krisis; sebuah krisis
separah yang ditimbulkan oleh kaum Arian dulu. Penyelesaiannya akan membawa
pemulihan atau kematian. Untuk mendapatkan pemulihan, maka umat Katolik harus tetap
di dalam Gereja dan tetap bersenjata lengkap. Untuk ini, ada lima hal yang
perlu dilakukan:
Pertama, berdoa. Pertempuran itu adalah milik
Tuhan. "Berjaga-jagalah senantiasa sambil berdoa, supaya kamu
beroleh kekuatan untuk luput dari semua yang akan terjadi itu, dan supaya kamu
tahan berdiri di hadapan Anak Manusia." (Luk. 21:36). Maka berdoalah terus
bagi paus seperti gereja awali dulu dengan tak henti-hentinya berdoa bagi Petrus.
Kedua, terus belajar. Umat Katolik harus
mengenal Iman, mengenal Kitab Suci, mengetahui ajaran yang tetap dari Gereja,
dan memahami asas-asas teologi moral. St. Athanasius berdiri sendirian melawan
dunia, oleh karena itu, "Ingatlah
akan pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu.
Perhatikanlah akhir hidup mereka dan contohlah iman mereka. Yesus Kristus tetap
sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya. Janganlah kamu
disesatkan oleh berbagai-bagai ajaran asing."(Ibr 13: 7-9).
Ketiga, wartakanlah Iman dengan mengajar dan
membagikannya di dalam keluarga, dengan menjalankan dan berdoa bersama dan berdoalah
kepada satu sama lain sebagai sebuah keluarga.
Keempat, saling mendukung satu sama lain dan mendukung
semua pembicara dan organisasi Katolik yang sejati dan otentik. Patut dicatat,
ada 500 orang imam yang menandatangani sebuah surat terbuka yang meminta agar ‘Sinode
untuk Keluarga’ yang mempromosikan doktrin Katolik perlu didukung oleh semua
umat Katolik yang peduli.
Kelima, siap untuk menjalani kemartiran.
Dalam Nobis quoque dari Canon Romawi,
kita berdoa: Ya Allah, bagi kami hamba-hambaMu, meskipun kami orang berdosa, tetapi
kami berharap akan belas kasihanMu yang berlimpah; berkenanlah Engkau dengan
murah hati memberikan sebagian dari persekutuan dengan para Rasul dan Martir
KudusMu: dengan Yohanes Pembaptis, Stefanus, Matthias, Barnabas ... dan semua
Orang KudusMu; Akuilah kami, kami mohonkan kepadaMu, ke dalam persekutuan dengan
mereka, tanpa memperhitungkan jasa-jasa kami, tetapi kami mohon pengampunanMu,
melalui Kristus Tuhan kami. Amin.
Find more coverage
from the 2015 Rome Life Forum here.
Silakan melihat artikel
lainnya disini : http://devosi-maria.blogspot.co.id/
No comments:
Post a Comment