Pastor Kevin
Cusick:
AMORIS LAETITIA SUNGGUH TIDAK JELAS, DAN
TIDAK BISA DILANJUTKAN
August 7, 2017 (Wanderer Press)
— Umat Katolik tidak pernah dan tidak akan
pernah berharap untuk bernegosiasi dengan melewati ladang ranjau dari musuh
dalam upaya pencarian kebenaran di tangan gembala Gereja. Yang namanya ajaran
haruslah bersifat jelas, konsisten dan tidak ambigu. Tetapi Amoris Laetitia
(AL) ini tidak seperti itu.
Amoris Laetitia tidak bisa direkomendasikan untuk
dibaca oleh semua umat karena dokumen itu tidak aman bagi iman mereka. Sebagai
dokumen pengajaran Katolik, maka ia tidak akan bisa berkelanjutan dan suatu hari nanti ia
haruslah banyak diedit dan dikoreksi dengan ketat agar bisa menjadi penolong yang
andal bagi jiwa-jiwa.
Kita mendapati diri kita dalam situasi
disorientasi (kebingungan) di mana untuk pertama kalinya sebuah dokumen
pengajaran kepausan dari jajaran tertinggi Gereja digunakan untuk memperkenalkan
teori-teori murahan para teolog yang tidak layak dipercaya yang berdiri di
jajaran para pensiunan kardinal dan calon-calon episkopal yang ditolak dari
Argentina dimana karyanya yang terkenal antara lain berjudul "The Art of
Kissing." (‘seni berciuman’)
Tentu saja saya mendukung setiap item yang
tidak dapat salah dari dokumen iman dan moral Katolik. Hal ini memang tanpa dipertanyakan.
Tapi saya harus menolak setiap
pernyataan yang bertentangan secara langsung dengan ajaran ilahi dari Tuhan dan
Juruselamat kita Yesus Kristus. Setiap uskup dan anggota dari Gereja yang
Satu, Kudus, Katolik, dan Apostolik haruslah melakukan hal yang sama.
Karena alasan inilah maka saya, dengan menyesal,
harus mengatakan bahwa saya akan merekomendasikan Familiaris Consortio sebagai dokumen kepausan ortodoks terkini di
antara pernyataan baru-baru ini, dimana dalam
Familiaris Consortio itu orang dapat
mencari pengajaran yang jelas dan benar tentang pernikahan dan keluarga.
Beberapa orang mungkin menolak saya dengan mengatakan
bahwa ada banyak hal yang baik di dalam AL. Dan dalam hal ini saya setuju.
Tetapi saya harus menyatakan bersama banyak orang lainnya bahwa nilai dari
suatu jiwa dan karya keselamatan yang benar tidak boleh diganggu dan diancam
oleh dokumen yang ambigu dan salah (Amoris Laetitia) yang tidak sesuai dengan
ajaran Katolik yang bersifat kekal.
Beberapa orang mungkin bereaksi terhadap
komentar saya ini dengan rasa ngeri, seolah-olah menurut mereka, saya mau menempatkan
diri saya di luar lingkaran umat Katolik yang memiliki reputasi baik. Disini saya
menanggapi dengan mengingatkan mereka bahwa sepanjang sejarah, dimulai dengan
Santo Paulus dulu (ketika St.Paulus menegur Paus saat itu - St.Petrus, lihat
Gal.2:11) hingga dilanjutkan sampai St. Catherine dari Siena, maka hal ini sudah
ada di dalam tradisi Katolik, dan hal ini sepenuhnya sesuai dan perlu dan yang
paling masuk akal bagi Gereja, untuk menyampaikan kritik terhadap salah satu atau
semua pemimpin kita, termasuk Paus.
Hal ini terutama adalah tanggung jawab para
uskup kita, dan tiga kardinal yang masih hidup yang telah menandatangani dubia,
mereka masih berada dalam batas tradisi suci ini. Banyak klerus lainnya yang berdiam
diri saja. Banyak yang menyusun sensus
fidelium, tanpa ada suara atau keberanian untuk berdiri bersama para
kardinal pengusung dubia itu.
Begitulah Amoris Laetitia adalah campuran antara
yang baik dengan yang buruk, seperti kehidupan ini sendiri, tapi seharusnya ia tidak
bisa dianggap sebagai dokumen pengajaran Gereja, karena ia adalah cermin untuk
mempertahankan kehidupan kontemporer. Kita sudah tahu betul bahwa manusia memiliki
kelemahan dan berbuat dosa. Justru karena alasan inilah maka Gereja seharusnya
berbicara di dalam kebenaran dan konsistensi, bukannya dengan suara-suara dunia
modern beserta segala kesesatannya. Bila campuran itu (baik dan buruk) ditawarkan
melalui sebuah dokumen Gereja yang juga berisi ajaran sesat, maka jika ada gembala
yang tidak bereaksi dengan berbicara membela domba-dombanya, maka dia telah menyatakan
dirinya sebagai musuh Kristus.
Sebagai contoh dari item-item dalam AL yang membutuhkan
koreksi, agar memungkinkan untuk sepenuhnya mendukung AL sebagai dokumen
pengajaran yang berkelanjutan, daripada sekedar komentar mengenai manusia modern,
pada nomor 297 paus menulis:
"Tak seorangpun
yang akan dihukum selamanya, karena itu bukanlah logika dari Injil ! Di sini saya tidak hanya berbicara
tentang orang yang bercerai dan menikah lagi, tapi juga semua orang, dalam
situasi apa pun yang mereka hadapi.”
Dengan mengatakan hal seperti itu, bagaimanapun
juga, akan menempatkan seseorang pada kontradiksi langsung dengan ajaran Yesus
Kristus, yang mengajarkan bahwa tubuh dan jiwa dapat dicampakkan ke dalam
Gehenna jika seseorang mati dalam keadaan menolak Dia. Seseorang tidak bisa
menolak ajaran Gereja yang menetap sesuai dengan Firman Kristus dalam Injil
bahwa hukuman kekal adalah kemungkinan yang radikal bagi setiap manusia.
Berikut ini adalah komentar dari kanonis Edward
Peters dalam blognya bahwa didalam kacamata Hukum Allah tentang masalah ini:
"Dalam AL 297, Fransiskus menulis: 'Tidak ada yang bisa
dihukum selamanya, karena itu bukanlah logika dari Injil!' Tetapi sebaliknya,
justru logika Injil mengatakan bahwa seseorang bisa dihukum selamanya. Lihat CCC
[Katekismus Gereja Katolik] 1034-1035. Jika seseorang bermaksud mengatakan
bahwa tidak ada yang bisa 'dikutuk selamanya' oleh otoritas duniawi, maka dia boleh
mengatakan hal itu. Tetapi, tentu saja, menolak memberikan Komuni Kudus kepada orang-orang
yang melakukan 'perzinahan secara jelas dan menetap', ini bukanlah 'kutukan'
sama sekali, maka maksud dari perkataan paus Francis itu menjadi tidak jelas."
1034. Yesus
beberapa kali berbicara tentang "gehenna", yakni "api yang tidak
terpadamkan", yang ditentukan untuk mereka, yang sampai akhir hidupnya
menolak untuk percaya dan bertobat, tempat jiwa dan badan sekaligus dapat
lenyap. Dengan pedas, Yesus menyampaikan bahwa Ia akan "menyuruh
malaikat-malaikat-Nya", yang akan mengumpulkan semua orang, yang telah
menyesatkan orang lain dan telah melanggar perintah Allah, dan... mencampakkan
mereka ke dalam dapur api; di sanalah terdapat ratapan dan kertakan gigi"
(Mat 13:41-42), dan bahwa Ia akan mengucapkan keputusan pengutukan:
"Enyahlah daripada-Ku, hai kamu orang-orang terkutuk, enyahlah ke dalam
api yang kekal" (Mat 25:41).
1035. Ajaran
Gereja mengatakan bahwa ada neraka, dan bahwa neraka itu berlangsung sampai
selama-lamanya. Jiwa orang-orang yang mati dalam keadaan dosa berat, masuk
langsung sesudah kematian ke dunia orang mati, di mana mereka mengalami siksa
neraka, "api abadi". Penderitaan neraka yang paling buruk adalah
perpisahan abadi dengan Allah; hanya di dalam Dia manusia dapat menemukan
kehidupan dan kebahagiaan, karena untuk itulah ia diciptakan dan itulah yang ia
rindukan.
Meluruskan suatu keadaan yang tidak benar dalam
Gereja Katolik, seperti menginstruksikan seseorang yang menikah kembali secara
sipil, setelah pernikahan Katolik pertama, agar dia tidak menerima Komuni Kudus,
atau bahkan pemberlakuan exkomunikasi terhadap orang itu, ini adalah sarana
untuk memanggil orang-orang yang bersalah agar kembali kepada penyatuan dengan
Tuhan di dalam satu Gereja yang benar. Hal ini karena Gereja bukanlah
masyarakat atau klub yang eksklusif sehingga koreksi semacam itu bisa diterapkan
dan dianggap sebagai hal yang serius. Para gembala Gereja, yang melayani hanya
demi nama dan kuasa Yesus Kristus sebagai satu-satunya Juruselamat, telah berhutang
kepada kemanusiaan dan juga kepada Dia yang mereka layani dengan setia dan secara
konsisten, hendaknya menerapkan semua solusi yang bisa diberikannya untuk
memperbaiki mereka yang bersalah dan membawa mereka kembali menuju "pelabuhan
kebenaran dan kesatuan iman."
Di sini Bapa Suci meminta agar pengecualian
khusus dibuat dalam satu kasus untuk tidak lagi menyebut dosa dengan namanya (dengan
kata lain tidak perlu menyebut perbuatan itu sebagai dosa):
"Tidak dapat dikatakan bahwa semua orang yang
berada dalam situasi 'hidup menyimpang’ (misalnya homosex, atapun kumpul kebo,
atau hidup berzinah) kemudian menyebut mereka sebagai hidup dalam keadaan dosa
berat dan dia tidak memiliki rahmat yang menguduskan" (AL, 301).
Iman dan moral, sebenarnya sederhana saja. Seseorang
hanya berbuat benar atau melakukan kesalahan. Adalah peran Gereja untuk
menginformasikan kebenaran kepada hati nurani seseorang sehingga orang itu bisa
memiliki kemampuan untuk memeriksa diri mereka sendiri di dalam terang ajaran itu.
Gereja tidak akan pernah, dalam keadaan apapun, merubah kebenaran dan dengan
demikian menjauhkan jiwa-jiwa dari sarana yang mereka butuhkan dari Tuhan untuk
mengetahui yang baik dan yang benar, dan dengan demikian jiwa itu akan mengejarnya
sambil menolak dosa demi keselamatan kekal.
Di sini tanggapan kasih yang paling besar yang bisa
diberikan kepada Tuhan tidak lagi diukur dengan standar kekudusan dari Allah, tetapi
dengan berbagai ukuran yang dapat ditentukan sendiri oleh manusia (dengan mengabaikan
peranan Allah):
". . . agar seseorang bisa mengenali secara
tulus dan jujur tentang apa jawaban saat ini yang paling layak yang bisa
diberikan kepada Tuhan, dan dengan cara datang kepada Tuhan dengan rasa aman secara
moral, bahwa itulah yang diminta oleh Tuhan sendiri di tengah kompleksitas dari
keterbatasan seseorang. . . . "(AL, n. 303).
Uskup Athanasius Schneider mengangkat masalah
ketidakhadiran yang jelas dari ajaran Kristus di dalam AL:
"Jika kita menganalisa pernyataan-pernyataan
tertentu di dalam AL dengan kejujuran intelektual dalam konteksnya yang tepat, maka
kita menghadapi kesulitan saat mencoba menafsirkannya sesuai dengan doktrin
tradisional Gereja. Hal ini disebabkan karena (di dalam AL itu) tidak ada pernyataan
yang jelas dan tegas tentang doktrin dan praktik Gereja yang menetap, yang
didasarkan kepada Firman Allah." (baca Uskup
Schneider," Amoris Laetitia: Suatu kebutuhan untuk mendapatkan klarifikasi
guna menghindari kebingungan yang meluas.").
Dengan beberapa
perubahan, sebenarnya AL dapat menjadi apa yang kita harapkan dari dokumen kepausan yang berasal dari otoritas
pengajaran tertinggi Gereja: sebuah
"penegasan yang
jelas dan eksplisit atas doktrin dan praktik Gereja yang menetap."
Pastor Kevin Cusick adalah mantan perwira Angkatan Darat yang
ditahbiskan sebagai imam pada tahun
1992 dan bertugas sebagai imam militer.
Dia sekarang menjadi imam di Gereja
St. Francis de Sales di Benedict, Maryland.
Silakan melihat artikel
lainnya disini : http://devosi-maria.blogspot.co.id/
No comments:
Post a Comment