Thursday, August 26, 2021

Mafia St. Gallen Dan Misa Latin

 

Photo credit: St. Gallen Cathedral by Shino via unsplash.com.

 

 

 

Mafia St. Gallen Dan Misa Latin 

https://onepeterfive.com/the-st-gallen-mafia-and-the-latin-mass/?utm_source=feedburner&utm_medium=feed&utm_campaign=Feed%3A+Onepeterfive+%28OnePeterFive%29

 

By Julia Meloni August 24, 2021 

 

 

Julia Meloni

 

Julia Meloni adalah penulis buku The St. Gallen Mafia (TAN, 2021). Dia menulis dari Pacific Northwest. Dia memegang gelar sarjana dalam bahasa Inggris dari Yale dan gelar master dalam bahasa Inggris dari Harvard.

 

***

 

Sekitar satu dekade yang lalu, di sebuah gereja Barat Daya di bagian kota yang kumuh, saya mengikuti Misa Latin untuk pertama kalinya.

 

Dari bangku belakang, saya melihat sekilas ada sesuatu yang indah, sempurna. Melihat imam merayakannya dengan sangat khusyuk, rasanya saya seperti diceburkan ke dalam koreografi surgawi dari Kitab Wahyu. Misa Latin pertama saya itu melampaui pemahaman saya, tetapi secara intuitif saya memahami satu hal: berlutut untuk menghormati Kanon Roma yang mistis, saya tahu jiwa saya ingin larut dalam ibadah itu.

 

Saya hidup dalam lingkungan ‘cahaya musim panas’ yang penuh semangat dari Summorum Pontificum Paus Benediktus XVI, yaitu teks kepausan 2007 yang memanjakan penggunaan Misa Latin Tradisional. Di bawah cahaya matahari yang cerah itu, saya sama sekali tidak menyadari adanya "bom atom" yang akan datang.

 

* * *

 

Untuk lebih memahami ‘bahan peledak’ yang diluncurkan paus Francis terhadap Misa Latin melalui surat Traditionis Custodes-nya bulan lalu, ada baiknya untuk menceritakan sebuah kisah tentang teman baik paus, mendiang Kardinal Cormac Murphy-O'Connor.

 

Pada tahun 1950, Murphy-O'Connor adalah seorang remaja putra yang belajar di Roma untuk menjalani hidup bakti imamat. Pada tanggal 1 November, dia berada di gereja St. Petrus untuk mengikuti pernyataan dogma Maria Diangkat ke Surga, yang dilakukan oleh Paus Pius XII. Berbicara tentang Misa khusus undangan di Basilika Santo Petrus itu, Murphy-O'Connor melihat "perayaan yang luar biasa." Misa ini — katanya dalam memoarnya, adalah laksana sebuah musim semi di Inggris,

 

Dalam banyak hal, untuk menggambarkan kehidupan Gereja Katolik pada tahun-tahun sebelum Konsili Vatikan II: merasa nyaman dengan kepastiannya, merasa penuh kemenangan dan melihat ke dalam intinya, dan dengan tegas menentang dekadensi moral serta 'keduniawian' di luar sana.

 

Sesuatu yang bercokol di dalam hati Murphy-O'Connor saat itu tidaklah nyaman. Memoarnya mencoba merangkumnya: “Katolikisme pra-Vatikan II” ini — skapulir dan pemujaan para santo, puasa dari tengah malam dan puasa daging / ikan pada hari Jumat, rosario dan devosi Jumat Pertama. Tetapi di atas segalanya, yang luar biasa, katanya, Misa “dalam bahasa Latin, dengan imam membelakangi umat.”

 

Seiring waktu berlalu. KV II terjadi. “Secara bertahap, perayaan Misa dalam bahasa Inggris dengan imam menghadap umat, bukan membelakangi mereka, menjadi norma yang wajar,” kata memoar Murphy-O'Connor itu.

 

Seperti kereta api yang tak terhindarkan jalannya, revolusi liturgi terus melaju, meninggalkan Misa Latin hingga jauh di belakang.

 

Namun pada 27 Juni 2007, Murphy-O'Connor, yang saat itu sudah menjadi seorang kardinal, menghadiri pertemuan yang menentukan.

 

Pertemuan itu diadakan oleh Paus Benediktus XVI, dan tujuannya adalah untuk mempersiapkan sekelompok uskup terpilih untuk segera merilis Summorum Pontificum, teksnya mendukung proliferasi Misa Latin yang lebih luas.

 

Setelah pertemuan yang berlangsung tenang, seorang kardinal menulis di blog tentang hal itu dan memposting foto para peserta yang tersenyum. Di barisan belakang adalah Murphy-O'Connor, mantan pemain rugby yang bertubuh tinggi, terlihat ramah.

 

Anda tidak dapat merasakan suasana saat itu hanya dari foto saja, tetapi Murphy-O'Connor terkunci dalam pertempuran yang lebih besar dengan Benediktus tentang arah perjalanan Gereja. Karena Murphy-O'Connor pernah menjadi anggota mafia St. Gallen, yaitu kelompok rahasia para klerus reformis yang sering bertemu di Swiss untuk berkomplot melawan program restorasi Kardinal Joseph Ratzinger. Sebelum konklaf 2005, dengan minuman gin dan tonik, Murphy-O'Connor memberikan petunjuk kepada juru bicaranya tentang minat kelompok itu untuk memilih Kardinal Jorge Mario Bergoglio menjadi paus.

 

Diduga, mafia St.Gallen itu berhenti bertemu sekitar tahun 2006, momentumnya hilang dengan terpilihnya Ratzinger tahun 2005 sebagai Paus Benediktus XVI. Pada awal 2007, Benediktus merilis Sacramentum Caritatis, dan menutup agenda mafia itu yang berniat untuk memberi ijin bagi mereka yang bercerai dan menikah lagi secara sipil, untuk menerima Komuni.

 

Kemudian, dengan dirilisnya Summorum Pontificum pada Juli 2007, Benediktus rupanya kembali berjaya. Setelah publikasi teksnya, seorang ‘vaticanista’ (pecinta segala sesuatu yang keluar dari Vatikan) melaporkan komentar positif dan suportif dari Murphy-O'Connor serta alumni St. Gallen lainnya.


Tetapi seperti yang diungkapkan oleh media, Murphy-O'Connor sebenarnya secara pribadi mendesak Benediktus untuk tidak mengeluarkan Summorum Pontificum. Segera setelah teks itu dirilis, Kardinal Carlo Maria Martini, sang pemimpin mafia, secara terbuka menyerang isi dokumen Benediktus itu — dan mengatakan kepada media mengapa, pada prinsipnya, dia menolak untuk melaksanakan Misa Latin.

 

Pada November 2007, Uskup Agung Malcolm Ranjith dari Kongregasi untuk Ibadat Ilahi mengecam “ketidaktaatan” terhadap Summorum Pontificum. Menurut Catholic News Agency, pejabat Vatikan itu secara khusus menanggapi kekeliruan teks Benediktus dari Murphy-O'Connor dan salah satu anak didiknya, Uskup Arthur Roche.

 

 

* * *

 

Beberapa minggu kemudian, Murphy-O'Connor menjadi tuan rumah, di Ruang Tahta kediaman Uskup Agungnya, untuk sebuah acara yang dipahami oleh berbagai pengamat Vatikan sebagai serangan baru terhadap proyek liturgi Benediktus.

 

Acara itu adalah sebuah presentasi buku Reformasi Menantang: Mewujudkan Visi Pembaruan Liturgi. Buku itu ditulis oleh Uskup Agung Piero Marini — sekretaris pribadi dari Uskup Agung Annibale Bugnini yang terkenal itu — dan buku itu mendokumentasikan karya Bugnini dan yang lainnya dalam upaya untuk mengubah liturgi Katolik.

 

“Marini mungkin dianggap sebagai pendukung utama reformasi progresif dalam liturgi Katolik,” jelas vaticanista John Allen. Allen menekankan bahwa, selama masa Paus Yohanes Paulus II, Marini bertanggung jawab atas liturgi di mana ditampilkan "para penari pribumi yang berputar-putar di atas catwalk" dan ditampilkan pula seorang dukun wanita yang "melakukan pengusiran setan" atas para pejabat tinggi Gereja.

 

Menurut John Allen, pada presentasi tahun 2007 di Throne Room, Murphy-O'Connor memuji Marini, memuji "kehati-hatian dan penghormatannya yang besar" dalam liturgi. Marini, sementara itu, menyoroti peran kepausan dalam memungkinkan terjadinya revolusi liturgi. Roche, anak didik yang membantu Murphy-O'Connor salah mengartikan makna Summorum Pontificum dari Benediktus, juga hadir untuk acara tersebut.

 

Jika Anda ingin melihat sekilas masa depan yang dibayangkan dan diinginkan oleh kaum revolusioner ini untuk Gereja kita, semua itu ada di sana, di ruangan itu, saat itu.

 

Murphy-O'Connor melanjutkan usahanya sebagai ‘pencetak raja’ untuk pemilihan 2013 Bergoglio sebagai paus Francis. Paus yang baru, menurut buku Pope Francis: The Struggle for the Soul of Catholicism karya Paul Vallely, telah “membatasi” dan “menghambat” Misa Latin di Argentina. Kemudian paus Francis “memfungsikan kembaliMarini, seorang ahli liturgi yang amat kontroversial — dan menunjuk Roche, anak didik Murphy-O’Connor, sebagai kepala Kongregasi untuk Ibadat Ilahi yang telah dirubah perannya. Murphy-O'Connor tidak sempat hidup untuk melihatnya, keburu dia dipanggil Tuhan. Tetapi pada 16 Juli 2021, paus Francis mengarahkan ‘anak panah’ Traditionis Custodes-nya langsung ke jantung Misa Latin.

 

Menurut salah satu inspirator teks Traditionis Custodes, permainan akhir dari kaum revolusioner Gereja ini adalah berupa lenyapnya secara total liturgi lama.

 

* * *

 

Sementara itu, 15 Agustus 2021, dan saya menghadiri Misa Biasa pagi untuk menghormati Kenaikan Bunda Maria ke Surga.

 

Seorang pastor dalam homilinya menyamakan Maria dengan Tabut Perjanjian yang misterius. Cahaya bulan Agustus yang tebal mengalir masuk. Pastor itu melakukan ‘koreografi dari dunia lain yang amat mulia’ saat kami semua berlutut. Kemudian keheningan yang luar biasa menguasai kita selama Kanon Romawi dilaksanakan, diselingi oleh raungan dan tangisan bayi. Tidak ada rencana manusia yang bisa menghancurkan apa yang saya lihat di gereja itu. Terlalu kuat untuk binasa dan terlalu indah untuk mati. Ternyata saya masih bisa mengikuti Misa Latin meski paus Francis menghambat atau melarangnya. Misa Latin akan tetap hidup, selamanya!

 

 

--------------------------

 

Silakan melihat artikel lainnya di sini:

 

Giselle Cardia 24, 27 Juli & 3, 7, 11 Agustus 2021

Enoch, 10 Agustus 2021

Pedro Regis, 5161 – 5165

LDM, 15 Agustus 2021

Enoch, 16 Agustus 2021

Sebagai Pengembara Dan Yatim Piatu Spirituil...

LDM, 22 Agustus 2021