Photo credit: St. Gallen Cathedral by Shino via unsplash.com.
Mafia St. Gallen Dan Misa Latin
By Julia Meloni August 24, 2021
Julia Meloni adalah penulis buku The St. Gallen Mafia (TAN, 2021). Dia
menulis dari Pacific Northwest. Dia memegang gelar sarjana dalam bahasa Inggris
dari Yale dan gelar master dalam bahasa Inggris dari Harvard.
***
Sekitar satu dekade yang lalu, di sebuah gereja
Barat Daya di bagian kota yang kumuh, saya mengikuti Misa Latin untuk pertama
kalinya.
Dari bangku belakang, saya melihat sekilas ada sesuatu
yang indah, sempurna. Melihat imam merayakannya dengan sangat khusyuk, rasanya saya
seperti diceburkan ke dalam koreografi surgawi dari Kitab Wahyu. Misa Latin
pertama saya itu melampaui pemahaman saya, tetapi secara intuitif saya memahami
satu hal: berlutut untuk menghormati Kanon Roma yang mistis, saya tahu jiwa
saya ingin larut dalam ibadah itu.
Saya hidup dalam lingkungan ‘cahaya musim panas’
yang penuh semangat dari Summorum
Pontificum Paus Benediktus XVI, yaitu teks kepausan 2007 yang memanjakan penggunaan
Misa Latin Tradisional. Di bawah cahaya matahari yang cerah itu, saya sama
sekali tidak menyadari adanya "bom
atom" yang akan datang.
* * *
Untuk lebih memahami ‘bahan peledak’ yang
diluncurkan paus Francis terhadap Misa Latin melalui surat Traditionis Custodes-nya bulan lalu, ada baiknya untuk menceritakan
sebuah kisah tentang teman baik paus, mendiang Kardinal Cormac Murphy-O'Connor.
Pada
tahun 1950, Murphy-O'Connor adalah seorang remaja putra yang belajar di Roma untuk
menjalani hidup bakti imamat. Pada tanggal 1 November, dia berada di gereja St.
Petrus untuk mengikuti pernyataan dogma Maria Diangkat ke Surga, yang dilakukan
oleh Paus Pius XII. Berbicara tentang Misa khusus undangan di Basilika Santo
Petrus itu, Murphy-O'Connor melihat "perayaan yang luar biasa." Misa
ini — katanya dalam memoarnya, adalah laksana sebuah musim
semi di Inggris,
Dalam banyak hal, untuk menggambarkan kehidupan
Gereja Katolik pada tahun-tahun sebelum Konsili Vatikan II: merasa nyaman
dengan kepastiannya, merasa penuh kemenangan dan melihat ke dalam intinya, dan
dengan tegas menentang dekadensi moral serta 'keduniawian' di luar sana.
Sesuatu yang bercokol di dalam hati Murphy-O'Connor
saat itu tidaklah nyaman. Memoarnya mencoba merangkumnya: “Katolikisme
pra-Vatikan II” ini — skapulir dan pemujaan para santo, puasa dari tengah malam
dan puasa daging / ikan pada hari Jumat, rosario dan devosi Jumat Pertama.
Tetapi di atas segalanya, yang luar biasa, katanya, Misa “dalam bahasa Latin,
dengan imam membelakangi umat.”
Seiring waktu berlalu. KV II terjadi. “Secara
bertahap, perayaan Misa dalam bahasa Inggris dengan imam menghadap umat, bukan
membelakangi mereka, menjadi norma yang wajar,” kata memoar Murphy-O'Connor itu.
Seperti kereta api yang tak terhindarkan
jalannya, revolusi liturgi terus melaju, meninggalkan Misa Latin hingga jauh di
belakang.
Namun pada 27 Juni 2007, Murphy-O'Connor, yang
saat itu sudah menjadi seorang kardinal, menghadiri pertemuan yang menentukan.
Pertemuan itu diadakan oleh Paus Benediktus
XVI, dan tujuannya adalah untuk mempersiapkan sekelompok uskup terpilih untuk
segera merilis Summorum Pontificum,
teksnya mendukung proliferasi Misa Latin yang lebih luas.
Setelah pertemuan yang berlangsung tenang,
seorang kardinal menulis
di blog tentang hal itu dan memposting foto para
peserta yang tersenyum. Di barisan belakang adalah Murphy-O'Connor,
mantan pemain rugby yang bertubuh tinggi, terlihat ramah.
Anda tidak dapat merasakan suasana saat itu
hanya dari foto saja, tetapi Murphy-O'Connor terkunci dalam pertempuran yang
lebih besar dengan Benediktus tentang arah perjalanan Gereja. Karena Murphy-O'Connor pernah menjadi anggota
mafia St. Gallen, yaitu kelompok rahasia para klerus reformis yang sering bertemu
di Swiss untuk berkomplot melawan program restorasi Kardinal Joseph Ratzinger.
Sebelum konklaf 2005, dengan minuman gin dan tonik, Murphy-O'Connor memberikan
petunjuk kepada juru bicaranya tentang minat kelompok itu untuk memilih
Kardinal Jorge Mario Bergoglio menjadi paus.
Diduga, mafia
St.Gallen itu berhenti bertemu sekitar tahun 2006, momentumnya hilang dengan
terpilihnya Ratzinger tahun 2005 sebagai Paus Benediktus XVI. Pada awal 2007,
Benediktus merilis Sacramentum Caritatis,
dan menutup agenda mafia itu yang berniat untuk memberi ijin bagi mereka yang
bercerai dan menikah lagi secara sipil, untuk menerima Komuni.
Kemudian, dengan dirilisnya Summorum Pontificum pada Juli 2007,
Benediktus rupanya kembali berjaya. Setelah publikasi teksnya, seorang ‘vaticanista’
(pecinta segala sesuatu yang keluar dari Vatikan) melaporkan komentar positif
dan suportif dari Murphy-O'Connor serta alumni St. Gallen lainnya.
Tetapi seperti yang diungkapkan oleh media,
Murphy-O'Connor sebenarnya secara pribadi mendesak
Benediktus untuk tidak mengeluarkan Summorum
Pontificum. Segera setelah teks itu dirilis, Kardinal Carlo Maria Martini, sang
pemimpin mafia, secara terbuka menyerang isi dokumen Benediktus itu — dan mengatakan
kepada media mengapa, pada prinsipnya, dia menolak
untuk melaksanakan Misa Latin.
Pada November 2007, Uskup Agung Malcolm Ranjith
dari Kongregasi untuk Ibadat Ilahi mengecam “ketidaktaatan”
terhadap Summorum Pontificum. Menurut
Catholic News Agency, pejabat Vatikan
itu secara khusus menanggapi kekeliruan teks Benediktus dari Murphy-O'Connor
dan salah satu anak didiknya, Uskup Arthur Roche.
* * *
Beberapa minggu kemudian, Murphy-O'Connor
menjadi tuan rumah, di Ruang Tahta kediaman Uskup Agungnya, untuk sebuah acara
yang dipahami oleh berbagai pengamat Vatikan sebagai serangan
baru terhadap proyek liturgi Benediktus.
Acara itu adalah sebuah presentasi buku Reformasi Menantang: Mewujudkan Visi
Pembaruan Liturgi. Buku itu ditulis oleh Uskup Agung Piero Marini — sekretaris
pribadi dari Uskup Agung Annibale
Bugnini yang terkenal itu — dan buku itu mendokumentasikan karya
Bugnini dan yang lainnya dalam upaya untuk mengubah liturgi Katolik.
“Marini mungkin dianggap sebagai pendukung
utama reformasi progresif dalam liturgi Katolik,” jelas
vaticanista John Allen. Allen menekankan bahwa, selama masa Paus Yohanes Paulus
II, Marini bertanggung jawab atas liturgi di mana ditampilkan "para penari
pribumi yang berputar-putar di atas catwalk" dan ditampilkan pula seorang
dukun wanita yang "melakukan pengusiran setan" atas para pejabat
tinggi Gereja.
Menurut John Allen, pada presentasi tahun 2007
di Throne Room, Murphy-O'Connor memuji Marini, memuji "kehati-hatian dan
penghormatannya yang besar" dalam liturgi. Marini, sementara itu,
menyoroti peran kepausan dalam memungkinkan terjadinya revolusi liturgi. Roche,
anak didik yang membantu Murphy-O'Connor salah mengartikan makna Summorum Pontificum dari Benediktus,
juga hadir untuk acara tersebut.
Jika
Anda ingin melihat sekilas masa depan yang dibayangkan dan diinginkan oleh kaum
revolusioner ini untuk Gereja kita, semua itu ada di sana, di ruangan itu, saat
itu.
Murphy-O'Connor melanjutkan usahanya sebagai ‘pencetak
raja’ untuk pemilihan 2013 Bergoglio sebagai paus Francis. Paus yang
baru, menurut buku Pope Francis: The Struggle
for the Soul of Catholicism karya Paul Vallely, telah “membatasi” dan
“menghambat” Misa Latin di Argentina. Kemudian paus Francis “memfungsikan
kembali” Marini, seorang ahli liturgi yang amat kontroversial — dan
menunjuk Roche, anak didik Murphy-O’Connor, sebagai kepala Kongregasi untuk
Ibadat Ilahi yang telah dirubah
perannya. Murphy-O'Connor tidak sempat hidup untuk melihatnya, keburu
dia dipanggil Tuhan. Tetapi pada 16 Juli 2021, paus Francis mengarahkan ‘anak panah’
Traditionis Custodes-nya langsung ke jantung
Misa Latin.
Menurut salah satu inspirator teks Traditionis Custodes, permainan akhir
dari kaum revolusioner Gereja ini adalah berupa lenyapnya secara total liturgi
lama.
* * *
Sementara itu, 15 Agustus 2021, dan saya
menghadiri Misa Biasa pagi untuk menghormati Kenaikan Bunda Maria ke Surga.
Seorang pastor dalam homilinya menyamakan Maria
dengan Tabut Perjanjian yang misterius. Cahaya bulan Agustus yang tebal
mengalir masuk. Pastor itu melakukan ‘koreografi dari dunia lain yang amat
mulia’ saat kami semua berlutut. Kemudian keheningan yang luar biasa menguasai
kita selama Kanon Romawi dilaksanakan, diselingi oleh raungan dan tangisan
bayi. Tidak ada rencana manusia yang bisa menghancurkan apa yang saya lihat di
gereja itu. Terlalu kuat untuk binasa dan terlalu indah untuk mati. Ternyata saya
masih bisa mengikuti Misa Latin meski paus Francis menghambat atau melarangnya.
Misa Latin akan tetap hidup, selamanya!
--------------------------
Silakan melihat artikel lainnya di sini:
Giselle
Cardia 24, 27 Juli & 3, 7, 11 Agustus 2021
Sebagai
Pengembara Dan Yatim Piatu Spirituil...