Photo credit: waterfall in Iceland by Jonathan Larson via unsplash.com.
Sebagai Pengembara Dan Yatim Piatu Spirituil – Berusaha Kembali Ke Sumber Air
Nathaniel Richards August 20, 2021
Selama bertahun-tahun ini saya merasa menjadi seperti
seorang pengembara Katolik. Sambil terus mencari jiwa yang sepemikiran dengan saya
dalam perjalanan kehidupan ini, saya telah mengamati bahwa sebagian besar umat
Katolik tradisional juga adalah pengembara. Kita, sebagai umat tradisionil, sedang
mengembara, saya pikir begitu, karena ketika kita mengamati realitas gerejawi yang
nampak nyata, kita melihat bahwa tidak banyak orang lain yang blak-blakan mengenai
hal-hal yang paling kita sayangi di hati kita. Oleh karena itu, kita berjalan secara
online, dalam bentuk blog dan podcast, dan menemukan komunitas orang-orang yang
juga dihukum karena iman mereka.
Di sini orang menemukan banyak pemimpin awam yang
bekerja keras melewati krisis di dalam Gereja dan melakukan yang terbaik untuk bisa
bertahan. Kita juga menemukan banyak berita negatif beredar di media sosial. Di
sinilah internet bisa membuat kita terjerumus ke dalam sifat penasaran. Namun terlalu
banyak berita negatif dan politik dalam Gereja dapat melemahkan iman seseorang.
Jika seseorang mulai mengembara lebih jauh ke dalam hal ini dan termakan olehnya,
ia bahkan mungkin mulai meragukan imannya. Secara sederhana: keyakinan seperti
itu adalah bom waktu yang, ketika diledakkan, akan memastikan kehancuran
spiritual.
Dengan rasa ingin tahu, mengamati sifat buruk
utama yang mengubah umat Katolik menjadi pengembara, Dom Lorenzo Scupoli
mencatat dalam bukunya Pertempuran
Spiritual:
Kita
harus mengendalikan pikiran kita dan tidak membiarkan ia berkeliaran tanpa
tujuan. Pikiran kita harus menjadi tidak peka terhadap proyek-proyek duniawi,
terhadap gosip, terhadap pencarian berita yang terburu-buru. Ketidakpedulian
kita terhadap urusan dunia ini haruslah memberi pikiran kita kualitas seperti
mimpi (bab 9).
Tidak satu pun dari kemarahan dan skandal dalam
berita, akan memberi dasar yang baik bagi kehidupan rohani kita. Semua itu adalah
mimpi buruk, substansi dari apa yang akan memudar. Lebih jauh, semakin kita
terlibat dengan hal-hal di luar kendali kita sebagai umat Katolik, akan membiarkan
amarah menguasai kita, dan semakin dekat kita dengan membuat sebuah kapal karam iman (lht. I Tim
1:19). Seperti yang dikatakan St. Paulus kepada St. Timotius, bahwa hal-hal
yang diperlukan untuk menghindari malapetaka seperti itu adalah iman dan hati
nurani yang baik (I Tim 1:19). Jika kita tidak memiliki iman kepada Tuhan Yang
Mahakuasa bahwa Dia akan menjaga jiwa kita dari kehancuran, serta memiliki hati
nurani yang baik dengan cara sering mengunjungi sumber-sumber rahmat yang
diberikan kepada kita oleh Kristus dalam Sakramen-sakramen, mengapa kita
repot-repot menyebut diri kita Katolik?
Saya tidak mengatakan kita harus mengabaikan
semua berita. Kita hanya perlu bertanya: apa yang benar-benar diperlukan? Iman, harapan, dan amal kasih harus ada
dalam jiwa kita untuk bisa masuk Surga. Kebajikan teologis ini tidak tumbuh
dalam iklim kekhawatiran atau kemarahan yang terus-menerus tentang berita-berita
utama terbaru. Tanpa kasih, kebajikan terbesar, kita bukanlah apa-apa (1 Kor
13:2, 13). Kita tidak bisa secara tiba-tiba menjadi lebih dermawan jika
kita terus-menerus asyik berdebat tentang cara yang salah dalam melakukan
sesuatu sebagai seorang Katolik. Jika kita terjebak dalam pikiran kita, kita
akan segera melupakan hal-hal yang sedang diusahakan untuk dilakukan dan benar
... yang akan membuat pertahanan kita menjadi tidak berharga untuk melestarikan
hal-hal yang diusahakan dan benar itu tadi.
Kita, umat Katolik tradisional, selalu haus
akan pengembaraan kita. Tidak ada jalan lain di sekitarnya. Air yang telah kita
minum membuat kita menginginkannya lebih banyak — kita telah menjadi sekering
gurun gerejawi yang ingin kita beri irigasi.
Namun ada Satu yang mengiklankan Diri-Nya dengan
jenis ‘air yang lain’ yang musti kita minum: "Barangsiapa minum air ini, ia akan haus lagi, tetapi barangsiapa
minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk
selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata
air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang
kekal." (Yoh 4:13-14).
Saudara-saudariku, kita harus minum air ini,
yang hanya dapat diberikan oleh Tuhan kita Yesus Kristus. Kita harus kembali ke
Sumber Air yang bisa menyelamatkan kita. Kita harus kembali kepada Allah, yang
memiliki firman hidup yang kekal (Yoh 6:69). Yesus berkata kepada kita: “Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku
tidak akan berlalu.” (Mat 24:35). Maka
kita harus mengindahkan firman-Nya. Kita harus minum dari Sumber Air. Itulah yang
mempertahankan kehidupan jiwa kita.
Namun, kita membutuhkan bantuan untuk menemukan
Sumber Air itu dalam keletihan dan kepenatan kita.
Tentang sumber air ini adalah bahwa, meskipun
ada sumbernya — dan memang, untuk kehidupan rohani kita, Yesus Kristus adalah
Sumbernya — dimana air yang memancar dari sumbernya sering kali mengalir secara
berkelok-kelok melalui tanah, dan melengkung ke sana-sini. Saya percaya bahwa,
dalam perjalanan peziarah kita menuju Firdaus, tikungan-tikungan dalam perjalanan
aliran air ini adalah pekerjaan orang-orang kudus yang digunakan Tuhan untuk
menjaga kita dari kehancuran rohani. Dengan merenungkan tulisan-tulisan suci,
otobiografi, dan sebagainya, kita dapat melihat bagaimana Kristus memuaskan
dahaga para pengembara rohani di masa lalu, di zaman dengan begitu sedikit bapa
penasihat rohani tersedia saat itu, Saya telah menemukan bantuan rohani yang besar
dalam karya orang-orang kudus ini, yang terus bertindak sebagai bapa penasihat spirituil
kita ketika kita merasa seperti yatim piatu secara rohani. Karena itu membaca dan
merenungkan biografi dan tulisan orang-orang kudus itu, sangatlah penting.
Oleh
karena itu, ketika kita membaca "buku-buku spiritual klasik" hal itu seolah-olah
kita memperkuat diri kita dengan banyak inspirasi — terutama dari kehidupan Kristus,
dan mempelajari cara-cara Kristus menolong para nenek moyang kita dulu. Tidak seperti para reformator Protestan yang menggunakan pendekatan ad fontes, umat Katolik tradisional mendapat keuntungan karena kita menjaga
warisan iman dan tradisi kita dalam konteks yang benar. Kita tidak hanya
mengutip para Bapa Gereja untuk mendukung gagasan teologis apa pun yang kita
miliki, missalnya dalam hal pembenaran atas sesuatu, kita mencari, dengan bantuan
rahmat Tuhan, untuk menghayati dan mengakui iman yang sama seperti yang
dihayati oleh para Bapa Gereja. Hal itu berarti bahwa kita bisa berpegang
pada Misa dari segala abad dalam Ritus Latin (dan semua Ritus Apostolik Gereja
Universal), kita berdoa bagaimana nenek moyang kita berdoa, dan menghidupkan
dalam tindakan kita apa yang diyakini nenek moyang kita. Spiritualitas klasik
membawa kita kepada Sumber Air menurut kebijaksanaan tradisi, bukan menurut trend
terbaru dan ide-ide populer yang berasal dari manusia dan dunia. Seluruh
keberadaan kita harus menyatakan: “Credo in unum Deum!” (Aku percaya akan satu Allah!)
Itu adalah pesan kita. Hanya ada satu Allah,
Allah Tritunggal. Dia telah menyatakan Diri-Nya melalui Putra-Nya, Yesus Kristus,
dan memberi kita Roh-Nya untuk menghidupkan keberadaan kita. Tuhan Yesus adalah
Sumber Air yang memancar menuju hidup yang kekal sehingga kita dapat hidup di dalam
Tritunggal. Ayo, mari kita beribadah. Ayo, mari kita memuja. Minumlah, dan
jangan pernah haus lagi.
Dengan mengkonsumsi dan menghargai buku-buku
besar dari tradisi spiritual kita, saya berharap bahwa sebagai umat Katolik
kita dapat kembali kepada Yesus Kristus, Sang Sumber Air. Mari kita kembali kepada-Nya
tanpa menunda-nunda!
------------------------------
Silakan membaca artikel lainnya di sini:
Paus
Yang Mematahkan Punggung Unta
Giselle
Cardia 24, 27 Juli & 3, 7, 11 Agustus 2021