Sunday, August 22, 2021

Sebagai Pengembara Dan Yatim Piatu Spirituil...

 

Photo credit: waterfall in Iceland by Jonathan Larson via unsplash.com. 

 

 

Sebagai Pengembara Dan Yatim Piatu Spirituil – Berusaha Kembali Ke Sumber Air 

https://onepeterfive.com/wanderers-and-spiritual-orphans-return-to-the-fountain/?utm_source=feedburner&utm_medium=feed&utm_campaign=Feed%3A+Onepeterfive+%28OnePeterFive%29

 

Nathaniel Richards August 20, 2021 

 

 

Selama bertahun-tahun ini saya merasa menjadi seperti seorang pengembara Katolik. Sambil terus mencari jiwa yang sepemikiran dengan saya dalam perjalanan kehidupan ini, saya telah mengamati bahwa sebagian besar umat Katolik tradisional juga adalah pengembara. Kita, sebagai umat tradisionil, sedang mengembara, saya pikir begitu, karena ketika kita mengamati realitas gerejawi yang nampak nyata, kita melihat bahwa tidak banyak orang lain yang blak-blakan mengenai hal-hal yang paling kita sayangi di hati kita. Oleh karena itu, kita berjalan secara online, dalam bentuk blog dan podcast, dan menemukan komunitas orang-orang yang juga dihukum karena iman mereka.

 

Di sini orang menemukan banyak pemimpin awam yang bekerja keras melewati krisis di dalam Gereja dan melakukan yang terbaik untuk bisa bertahan. Kita juga menemukan banyak berita negatif beredar di media sosial. Di sinilah internet bisa membuat kita terjerumus ke dalam sifat penasaran. Namun terlalu banyak berita negatif dan politik dalam Gereja dapat melemahkan iman seseorang. Jika seseorang mulai mengembara lebih jauh ke dalam hal ini dan termakan olehnya, ia bahkan mungkin mulai meragukan imannya. Secara sederhana: keyakinan seperti itu adalah bom waktu yang, ketika diledakkan, akan memastikan kehancuran spiritual.

 

Dengan rasa ingin tahu, mengamati sifat buruk utama yang mengubah umat Katolik menjadi pengembara, Dom Lorenzo Scupoli mencatat dalam bukunya Pertempuran Spiritual:

 

Kita harus mengendalikan pikiran kita dan tidak membiarkan ia berkeliaran tanpa tujuan. Pikiran kita harus menjadi tidak peka terhadap proyek-proyek duniawi, terhadap gosip, terhadap pencarian berita yang terburu-buru. Ketidakpedulian kita terhadap urusan dunia ini haruslah memberi pikiran kita kualitas seperti mimpi (bab 9).

 

Tidak satu pun dari kemarahan dan skandal dalam berita, akan memberi dasar yang baik bagi kehidupan rohani kita. Semua itu adalah mimpi buruk, substansi dari apa yang akan memudar. Lebih jauh, semakin kita terlibat dengan hal-hal di luar kendali kita sebagai umat Katolik, akan membiarkan amarah menguasai kita, dan semakin dekat kita dengan membuat sebuah kapal karam iman (lht. I Tim 1:19). Seperti yang dikatakan St. Paulus kepada St. Timotius, bahwa hal-hal yang diperlukan untuk menghindari malapetaka seperti itu adalah iman dan hati nurani yang baik (I Tim 1:19). Jika kita tidak memiliki iman kepada Tuhan Yang Mahakuasa bahwa Dia akan menjaga jiwa kita dari kehancuran, serta memiliki hati nurani yang baik dengan cara sering mengunjungi sumber-sumber rahmat yang diberikan kepada kita oleh Kristus dalam Sakramen-sakramen, mengapa kita repot-repot menyebut diri kita Katolik?

 

Saya tidak mengatakan kita harus mengabaikan semua berita. Kita hanya perlu bertanya: apa yang benar-benar diperlukan? Iman, harapan, dan amal kasih harus ada dalam jiwa kita untuk bisa masuk Surga. Kebajikan teologis ini tidak tumbuh dalam iklim kekhawatiran atau kemarahan yang terus-menerus tentang berita-berita utama terbaru. Tanpa kasih, kebajikan terbesar, kita bukanlah apa-apa (1 Kor 13:2, 13). Kita tidak bisa secara tiba-tiba menjadi lebih dermawan jika kita terus-menerus asyik berdebat tentang cara yang salah dalam melakukan sesuatu sebagai seorang Katolik. Jika kita terjebak dalam pikiran kita, kita akan segera melupakan hal-hal yang sedang diusahakan untuk dilakukan dan benar ... yang akan membuat pertahanan kita menjadi tidak berharga untuk melestarikan hal-hal yang diusahakan dan benar itu tadi.

 

Kita, umat Katolik tradisional, selalu haus akan pengembaraan kita. Tidak ada jalan lain di sekitarnya. Air yang telah kita minum membuat kita menginginkannya lebih banyak — kita telah menjadi sekering gurun gerejawi yang ingin kita beri irigasi.

 

Namun ada Satu yang mengiklankan Diri-Nya dengan jenis ‘air yang lain’ yang musti kita minum: "Barangsiapa minum air ini, ia akan haus lagi, tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal." (Yoh 4:13-14).

 

Saudara-saudariku, kita harus minum air ini, yang hanya dapat diberikan oleh Tuhan kita Yesus Kristus. Kita harus kembali ke Sumber Air yang bisa menyelamatkan kita. Kita harus kembali kepada Allah, yang memiliki firman hidup yang kekal (Yoh 6:69). Yesus berkata kepada kita: “Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku tidak akan berlalu.” (Mat 24:35). Maka kita harus mengindahkan firman-Nya. Kita harus minum dari Sumber Air. Itulah yang mempertahankan kehidupan jiwa kita.

 

Namun, kita membutuhkan bantuan untuk menemukan Sumber Air itu dalam keletihan dan kepenatan kita.

 

Tentang sumber air ini adalah bahwa, meskipun ada sumbernya — dan memang, untuk kehidupan rohani kita, Yesus Kristus adalah Sumbernya — dimana air yang memancar dari sumbernya sering kali mengalir secara berkelok-kelok melalui tanah, dan melengkung ke sana-sini. Saya percaya bahwa, dalam perjalanan peziarah kita menuju Firdaus, tikungan-tikungan dalam perjalanan aliran air ini adalah pekerjaan orang-orang kudus yang digunakan Tuhan untuk menjaga kita dari kehancuran rohani. Dengan merenungkan tulisan-tulisan suci, otobiografi, dan sebagainya, kita dapat melihat bagaimana Kristus memuaskan dahaga para pengembara rohani di masa lalu, di zaman dengan begitu sedikit bapa penasihat rohani tersedia saat itu, Saya telah menemukan bantuan rohani yang besar dalam karya orang-orang kudus ini, yang terus bertindak sebagai bapa penasihat spirituil kita ketika kita merasa seperti yatim piatu secara rohani. Karena itu membaca dan merenungkan biografi dan tulisan orang-orang kudus itu, sangatlah penting.

 

Oleh karena itu, ketika kita membaca "buku-buku spiritual klasik" hal itu seolah-olah kita memperkuat diri kita dengan banyak inspirasi — terutama dari kehidupan Kristus, dan mempelajari cara-cara Kristus menolong para nenek moyang kita dulu. Tidak seperti para reformator Protestan yang menggunakan pendekatan ad fontes, umat Katolik tradisional mendapat keuntungan karena kita menjaga warisan iman dan tradisi kita dalam konteks yang benar. Kita tidak hanya mengutip para Bapa Gereja untuk mendukung gagasan teologis apa pun yang kita miliki, missalnya dalam hal pembenaran atas sesuatu, kita mencari, dengan bantuan rahmat Tuhan, untuk menghayati dan mengakui iman yang sama seperti yang dihayati oleh para Bapa Gereja. Hal itu berarti bahwa kita bisa berpegang pada Misa dari segala abad dalam Ritus Latin (dan semua Ritus Apostolik Gereja Universal), kita berdoa bagaimana nenek moyang kita berdoa, dan menghidupkan dalam tindakan kita apa yang diyakini nenek moyang kita. Spiritualitas klasik membawa kita kepada Sumber Air menurut kebijaksanaan tradisi, bukan menurut trend terbaru dan ide-ide populer yang berasal dari manusia dan dunia. Seluruh keberadaan kita harus menyatakan: “Credo in unum Deum!” (Aku percaya akan satu Allah!)

 

Itu adalah pesan kita. Hanya ada satu Allah, Allah Tritunggal. Dia telah menyatakan Diri-Nya melalui Putra-Nya, Yesus Kristus, dan memberi kita Roh-Nya untuk menghidupkan keberadaan kita. Tuhan Yesus adalah Sumber Air yang memancar menuju hidup yang kekal sehingga kita dapat hidup di dalam Tritunggal. Ayo, mari kita beribadah. Ayo, mari kita memuja. Minumlah, dan jangan pernah haus lagi.

 

Dengan mengkonsumsi dan menghargai buku-buku besar dari tradisi spiritual kita, saya berharap bahwa sebagai umat Katolik kita dapat kembali kepada Yesus Kristus, Sang Sumber Air. Mari kita kembali kepada-Nya tanpa menunda-nunda!

 

------------------------------

 

Silakan membaca artikel lainnya di sini:

 

LDM, 9 Agustus 2021

Paus Yang Mematahkan Punggung Unta

Giselle Cardia 24, 27 Juli & 3, 7, 11 Agustus 2021

Enoch, 10 Agustus 2021

Pedro Regis, 5161 – 5165

LDM, 15 Agustus 2021

Enoch, 16 Agustus 2021