Mengapa
Yesus Tidak Membasuh Kaki Ibu-Nya?
Dear All,
Paskah sudah kita lalui dan tahun ini
Tri Hari Suci diwarnai oleh sesuatu yang baru, khususnya pada Perayaan Kamis
Putih, bagian upacara pembasuhan kaki. Di beberapa gereja (tidak semua), kita
melihat adanya beberapa wanita yang ikut duduk di barisan para pria yang akan
dibasuh kakinya. Bahkan ada gereja yang memilih 12 ibu-ibu tanpa seorang bapak
pun..! Mungkin pemandangan ini membuat sebagian orang bertanya-tanya. Tapi
sesungguhnya tidak ada yang salah dengan hal itu.
Paus Francis telah mengeluarkan
ketetapan yang mengubah norma dalam ritual pembasuhan kaki pada Perayaan Kamis
Putih. Keputusan yang diterbitkan pada Januari 2016 itu antara lain berbunyi:
“Para Pastor dapat memilih sekelompok umat beriman yang mewakili setiap
bagian dari Umat Allah. Kelompok ini bisa terdiri dari pria dan wanita,
dan idealnya dari kaum muda dan tua, sehat dan sakit, para klerus, orang-orang
yang telah dikonsekrasikan serta kaum awam”. (pope_changes_holy_thursday_decree)
Paus sendiri pada perayaan Kamis Putih
yang lalu membasuh kaki 12 pengungsi yang terdiri dari sejumlah pria dan wanita
dari berbagai agama termasuk Muslim, Kristen dan Hindu. Hal ini pun tidak
salah, karena sudah diantisipasi dalam ketetapan baru di atas yang tidak
menyebutkan harus Katolik, melainkan hanya “umat beriman yang mewakili umat
Allah”, tidak spesifik Katolik. Maka sesuai ketetapan baru tersebut, apa
yang dilakukan Paus adalah sah-sah saja, walaupun mungkin ada yang mengatakan
bahwa “umat beriman” di situ seharusnya dibaca “umat Katolik”, karena ritual
itu ada dalam Gereja Katolik. Tapi pada kenyataannya, kalimat itu tidak
berbunyi demikian, apa boleh buat.
Dengan menetapkan norma baru terkait
ritual pembasuhan kaki dalam Perayaan Perjamuan Terakhir Yesus, ada kesan bahwa
makna yang terkandung dalam isyarat simbolis pembasuhan kaki itu menjadi kabur,
surut, atau bahkan berubah. Mengapa dulu Yesus hanya memilih keduabelas
rasul-Nya yang semuanya adalah laki-laki? Mengapa Yesus tidak membasuh kaki
Ibu-Nya? Atau memilih dari beberapa wanita yang setia mengikuti Dia...? Mengapa
Yesus juga tidak memilih beberapa dari murid laki-laki lainnya di luar 12
rasul-Nya?
Berikut ini saya petik beberapa bagian
dari tulisan Dr._Leroy_Huizenga yang
kiranya dapat memberikan pemahaman atau mengingatkan kita akan makna
sesungguhnya dari ritual pembasuhan kaki itu. Dalam ulasannya yang berjudul “Holy
Thursday, Footwashing, and the Institution of the Priesthood”, yang
dimuat di Catholic World Report pada tanggal 16 April 2014, Dr. Huizenga antara
lain menulis:
“.....
adegan pembasuhan kaki di Injil Yohanes tidak hanya dimaksudkan sebagai contoh
teladan kerendahan hati dalam pelayanan, tetapi terutama, sebagai catatan
institusi imamat Kristen, dan dengan demikian menjadi dasar biblis dari
Sakramen Tahbisan Suci .....”
“Apa
yang sering dilupakan adalah bahwa para rasul memiliki kedudukan yang khusus
dan istimewa. Mereka bukan sekedar murid-murid yang sama seperti semua orang
Kristen lainnya yang menjadi murid Yesus ; mereka unik. Yesus memilih dua belas
dari mereka karena suatu alasan, yaitu untuk menunjukkan bahwa Gereja yang akan
mereka pimpin kelak akan melanjutkan karya penebusan dari dua belas suku Israel
di dunia. Dalam pemahaman Gereja Katolik (dan Orthodox), para rasul adalah
imam-imam dan uskup-uskup yang pertama, dan dengan demikian apa yang Yesus
katakan kepada mereka dan lakukan bersama mereka, bisa jadi bukanlah teladan
langsung yang relevan untuk semua orang Kristen. Misalnya, ketika Yesus
memberikan kunci kerajaan surga hanya kepada Petrus (Matius 16), hal itu tidak
berarti bahwa setiap orang Kristen memiliki kunci kerajaan surga dan memiliki
kuasa untuk mengikat dan melepaskan.”
“Sesuatu
yang lebih dari sekadar contoh teladan tersirat di Yohanes 13. Pembasuhan kaki
para murid oleh Yesus memiliki makna imamat ; Yesus membentuk imamat .....”
“.....
Singkatnya, di Yohanes 13, kita mendapati bahwa para rasul menerima status
baru, yaitu status imam, seperti yang dijelaskan secara paralel oleh ayat-ayat
tentang imamat dalam Perjanjian Lama. Jika laki-laki dan wanita modern
bertanya-tanya mengapa Gereja Katolik memiliki imamat yang semuanya adalah
laki-laki, yang memakai jubah dan mempersembahkan kurban Ekaristi di
gereja-gereja yang menyerupai Bait Allah, itu karena Perjanjian Lama memiliki
imamat yang semuanya adalah laki-laki, yang memakai jubah dan mempersembahkan
kurban di Kenisah dan Bait Allah.”
(Untuk
mengetahui lebih lanjut detail uraian Dr. Huizenga, silahkan menuju ke
link Dr._Leroy_Huizenga)
Sebagai tambahan, di bawah ini saya
sajikan pula pendapat dari seorang biarawati mengenai pembasuhan kaki oleh Paus
pada Kamis Putih yang lalu, serta fenomena gereja modern yang ingin
meningkatkan peranan wanita di dalam liturgi Ekaristi.
“Perempuan?
Jika begitu, mengapa Yesus dulu tidak membasuh kaki Maria?
Muslim?
Protestan? Jika demikian, mengapa Yesus dulu tidak membasuh kaki para imam
kepala dan ahli-ahli taurat, wakil dari agama-agama Yahudi, atau kaum Yunani?
Perjamuan
Malam Terakhir adalah saat menentukan bagi dibangunnya Gereja, dengan penetapan
Ekaristi sebagai puncak segala kegiatan kristen dan sumber hidup dari hidup
kristen itu sendiri. Karena merupakan hari penetapan Ekaristi, maka Perjamuan
Malam Terakhir Yesus di Senakel itu menyangkut imamat. Dan jika menyangkut
imamat, maka secara yuridis telah ditetapkan secara sangat jelas sejak semula,
yakni tidak dapat melibatkan perempuan. Hal ini dilakukan Yesus bukan untuk
merendahkan martabat perempuan di mata laki-laki. Yesus tidak mengikutsertakan
Ibu-Nya, karena halnya memang menyangkut tugas imamat yang hanya boleh diemban
oleh laki-laki.
Setiap
jenis kelamin membawa karakteristik dan kecenderungannya masing-masing. Yesus
tahu bahaya apa yang akan menimpa Gereja jika perempuan dilibatkan dalam
keimamatan. Perempuan, dipandang dari struktur fisiknya saja, tidak dapat
ditempatkan sebagai figur yang dapat melindungi kaum yang lemah. Selain itu, dari
struktur fisiknya, perempuan bukannya akan dipandang indah ketika merayakan
Ekaristi, melainkan justru ada bahaya akan menjadi "ajang komersiil".
Itulah sebabnya mengapa kita menyebut Allah bukan dengan sebutan
"Ibu", kendati pada kenyataannya Allah tidaklah memiliki jenis
kelamin. Kita memanggil-Nya Bapa, karena seorang bapa, sebagai figur laki-laki,
memiliki potensi melindungi, menyelenggarakan dan menyelamatkan. Untuk itulah
tugas imamat juga tidak dapat diemban oleh kaum perempuan, yang secara kodrati tidak
memiliki kestabilan psikologis sebagai konsekuensi dari hormon yang terikat
pada siklus periodik. Kondisi psikologis semacam ini dapat menjadi penghalang
dalam situasi-situasi tertentu.
Para wanita
pembaca Kitab Suci dan Mazmur saja kerapkali dapat membuat konsentrasi umat
buyar, manakala mereka tidak mengenakan pakaian sepantasnya. Apa boleh buat?
Wanita pada umumnya memang senang menjadi pusat perhatian. Sementara menjadi
imam, harus selalu siap memperhatikan. Saya dibuat gusar dalam Pekan Suci ini,
karena pemudi yang bertugas sebagai komentator dalam Perayaan Minggu Palma
hingga Jumat Agung kemarin, mengenakan pakaian yang tidak terlalu sopan menurut
saya, dan dia selalu sibuk merapihkan dirinya di atas Altar. Bayangkan jika
yang demikian itu menjadi imam. Hal ini tak dapat dihindari. Menjadi biarawati
saja terkadang masih terbawa oleh keduniawian. Wanita menjadi imam? Bagaimana
jadinya?
Saya
wanita, dan saya bangga menjadi umat biasa, seorang awam yang adalah religius.
Saya tidak masuk dalam hirarki Gereja, tetapi saya bangga, karena yang
mengangkat martabat saya bukanlah status saya dalam Gereja, melainkan bagaimana
saya menghayati keanggotaan saya sebagai murid Yesus.
Maka
Maria diangkat ke dalam kemuliaan tertinggi melebihi para malaikat, justru
berkat kerendahan hatinya yang besar. Ia bukan imam. Ia seorang wanita, ibu
rumah tangga biasa, namun ia menghayati kewanitaannya secara sangat luar biasa.
Itulah sebabnya mengapa ia disebut "yang berbahagia" di antara para
wanita ... Ia tidak pernah bermimpi menjadi imam. Impiannya hanya satu:
melaksanakan kehendak Allah! Kerendahan hatinya itulah yang mengangkat
martabatnya menjadi Ratu para Malaikat.”
Kemudian, ketika menanggapi soal pembasuhan
kaki wanita, yang dapat dibenarkan karena merupakan tindakan berdasarkan kasih
yang tidak membedakan wanita dari pria, suster menambahkan:
“Setiap
kasus memiliki ruang dan kontrol/remedium/solusi terhadap persoalan yang dapat
terjadi dalam ruang tersebut. Dalam ruang kasih, kita dapat bicara soal
kesamaan martabat antara pria dan wanita. Namun dalam ruang/yurisdiksi imamat,
kita tidak berbicara mengenai kasih, melainkan norma.
Dalam
Perjamuan Malam terakhir, Yesus secara tidak langsung telah menetapkan norma
bagi imamat, yang hanya akan berlaku bagi para pria, yakni para pria yang
dipanggil-Nya secara khusus untuk mengambil bagian dalam imamat Kristus. Kita
semua, umat beriman katolik, termasuk wanita, mengambil bagian dalam imamat
Kristus, tetapi imamat kita bukanlah imamat jabatan, melainkan imamat umum.
Hanya kepada orang-orang tertentu saja Yesus menganugerahkan imamat jabatan.
Berkaitan
dengan ruang kasih, dengan tidak menyertakan Bunda-Nya dalam pembasuhan kaki,
bukan berarti Yesus tidak mengasihi Bunda-Nya. Kasih tidak selalu harus
diungkapkan dengan mempercayakan imamat kepada semua orang, bukan? Imamat itu
karunia yang sangat mulia, yang tidak bisa dianugerahkan kepada semua
orang. Maka, tidak menyertakan wanita dalam pembasuhan kaki, juga bukan
berarti tidak mengasihi wanita yang diciptakan setara dengan pria. Wanita
memiliki kekhasan “indah”nya sendiri, yang lebih sesuai untuk tugas-tugas
keibuan. Dan itu indah, indah sekali! Kesetaraan martabat bukan berarti
kesamaan tugas..!”
Wanita
memiliki "tempat" yang begitu luhur dan agung, tidak hanya dalam tata
kodratinya melahirkan kehidupan, tetapi bahkan lebih dari itu, bahwa dengan
melahirkan kehidupan baru dan mewariskan sifat-sifat baik kepada anak-anaknya,
ia bekerja sama dengan Allah dalam karya penciptaan.
Membawa
sebuah "kehidupan" dalam rahim ... Bukankah tugas ini justru
mengangkat martabat kewanitaan kita ke tingkat kemuliaan yang sangat tinggi?
Rahmat macam apa lagi yang kita tuntut dari Tuhan? Maria dahulu juga membawa
"Kehidupan" itu dalam rahimnya, Kehidupan yang Sejati, Sumber Hidup
itu sendiri. Bukankah sangat indah memiliki tugas sebagai pendukung kehidupan?
Sebagai pembela kehidupan? Sebagai "pembawa" kehidupan dalam
tubuhnya? Wanita dimasukkan dalam tatanan rahmat sebagai mitra kerja Allah
dalam karya penciptaan!!! Betapa indahnya wanita di mata Allah dan di mata
manusia! Tanpa wanita tak ada kehidupan baru!!
Jadi,
tidak perlu risau hanya karena wanita tidak seharusnya dilibatkan dalam
pelayanan imamat. Wanita sudah memiliki tempatnya sendiri yang begitu indah di
mata Allah. Menjadi rendah hati berarti berani menerima realitas bahwa
"saya" tidak sesuai untuk tugas-tugas tertentu. Menjadi biarawan/wati
itu indah, mulia. Tetapi tidak semua orang cocok menjadi biarawan/wati. Menjadi
guru itu pekerjaan yang mulia. Tetapi tidak semua orang memiliki bakat untuk
itu. Setiap orang ditempatkan sesuai bakat dan potensinya masing-masing.
Demikian pula, menjadi imam itu indah. Tetapi tidak semua orang sanggup
menghayati kehidupan imamat. Rendah hatilah. Kerendahan hati mengangkat jiwa
kita ke Surga. Sebaliknya, dengan setitik kesombongan saja, kita sudah menjalin
persahabatan dengan Neraka!"
Kiranya ulasan dari dua sumber di atas
cukup jelas bagi kita. Gereja Katolik mengadopsi banyak tradisi, yang
dijalankan selama berabad-abad di sepanjang sejarah perjalanannya.
Tradisi-tradisi tertentu, terutama yang berkaitan dengan perbendaharaan iman
dan norma hirarkis, bukan hanya sekedar simbol, melainkan lebih dari itu,
menyiratkan Misteri-misteri Ilahi yang sarat makna, sehingga jika diubah atau
dimodifikasi, maka makna yang terkandung di dalamnya pun ikut bergeser, atau
bahkan berubah.
Sejauh ini Paus Fransiskus selalu
mengedepankan dan menunjukkan sikap kerendahan hati yang memukau dunia. Namun
di sisi lain juga menimbulkan pertanyaan bagi banyak orang yang teguh pada
ajaran dan tradisi asli Gereja, manakala Paus mengubah aturan tersebut, tanpa
memberikan penjelasan dasar teologis yang meyakinkan, karena ketetapan liturgis
yang disusunnya memberi kesan hanya berdasar pada "garis horizontal",
yakni kasih terhadap sesama yang tidak membedakan gender. "Garis
vertikal", yang mengandaikan relasi dengan Allah, dan dengan demikian
tunduk pada hukum dan norma ilahi, seolah-olah dikesampingkan. Banyak orang
dibuat tercengang oleh ketetapan baru itu, sehingga muncul pertanyaan,
"Apakah ini sungguh-sungguh merupakan suatu wujud kerendahan hati
di mata Allah?" Dengan mengubah tradisi tersebut, Paus seolah-olah telah
melakukan “koreksi” atas apa yang telah Yesus tetapkan pada awal perjalanan
hidup Gereja dalam dimensinya yang paling utama, yakni dimensi spiritual.
Seorang murid yang rendah hati sadar
akan “siapa” dirinya, dan “siapa” gurunya. Paus juga adalah murid Kristus yang
– sama dengan murid-murid lainnya – sedang dalam perjalanan untuk menjadi
semakin serupa dengan Sang Guru sekaligus Junjungan dan Tuhannya. Dengan
demikian, dapatkah dibenarkan seorang murid mengubah apa yang telah ditetapkan
oleh Guru, Junjungan dan Tuhannya, agar sesuai dengan maksudnya sendiri, dan
berlutut di depan manusia atas nama kasih, namun seakan mengabaikan ketetapan
ilahi? Bukankah kasih kepada sesama dan kasih kepada Allah mustinya berjalan
beriringan? Bahkan kasih kepada Allah harusnya mendapat tempat yang pertama?!
Kesetiaan dan ketaatan kita sebagai
murid Kristus sangatlah penting agar kita dapat menjadi murid-murid yang rendah
hati, bijaksana, dan "berjalan di belakang Sang Guru", mengikuti-Nya
dan tunduk, taat pada ketetapan-ketetapan-Nya, ketetapan-ketetapan Tuhan kita.
Semoga dapat dijadikan refleksi,
sehingga kita dapat tumbuh menjadi murid-murid Yesus yang kritis, namun juga
konsekuen dalam jalan "kemuridan".
Tuhan memberkati kita semua..! Amin!
Salam,
Lucy
No comments:
Post a Comment