Volume
2 : Misteri Kerahiman Allah
Bab 29
Keringanan bagi
jiwa-jiwa suci
Sedekah
Raban-Maur dan Edelard
di biara Fulda
Marilah kita membicarakan cara terakhir yang amat kuat untuk meringankan
jiwa-jiwa suci di Api Penyucian, yaitu dengan memberikan sedekah. Doktor
Gereja, St.Thomas, menganjurkan kita untuk memberikan sedekah sebelum kita
berpuasa dan berdoa, jika dia harus menjawab pertanyaan mengenai cara penebusan
dosa bagi kesalahan pada masa yang lalu. “Sedekah”, katanya, “memiliki
keutamaan yang lebih lengkap, kepuasan yang lebih besar dari pada doa, dan doa
adalah lebih lengkap dari pada puasa. Begitulah hamba-hamba Allah dan para
kudus yang agung telah memilih tindakan sedekah sebagai cara yang pokok untuk
menolong orang yang meninggal. Diantara mereka itu adalah Uskup Raban-Maur di
Fulda, abad 10, dan setelah itu adalah Uskup Agung di Mayence.
Pastor Trithemius, seorang penulis terkenal dari ordo St.Benedictus, telah
banyak memberikan sedekah bagi kepentingan orang yang meninggal. Dia membuat
aturan bahwa jika ada seorang religius yang meninggal, maka jatah makanannya
akan dibagikan kepada orang-orang miskin selama 30 hari, agar jiwa orang yang
meninggal itu bisa diringankan oleh tindakan sedekah itu. Terjadilah pada tahun
830 bahwa biara di Fulda itu diserang oleh suatu wabah penyakit yang menyerang
sebagian besar religius disitu. Raban-Maur dengan penuh semangat dan kemurahan
hati bagi jiwa-jiwa orang yang meninggal itu, memanggil Edelard, juru bicara
biara itu, dan mengingatkan dia akan aturan yang ditetapkan mengenai sedekah
bagi orang yang meninggal. “Perhatikanlah baik-baik”, katanya, “agar institusi
kita ini tetap patuh, dan agar orang-orang miskin tetap bisa diberi makan
selama sebulan penuh dengan jatah makanan dari saudara-saudara kita disini yang
meninggal”.
Edelard ternyata tidak mematuhi hal itu dan dia tak memiliki kemurahan hati
untuk melakukannya, dengan alasan bahwa pemberian itu bersifat berlebihan, dan
bahwa dia harus menghemat makanan didalam biara itu. Tetapi sesungguhnya karena
dia terpengaruh oleh sifat keserakahan secara diam-diam. Dan dia tidak mau
membagikan makanan seperti yang diperintahkan. Begitulah Tuhan tidak membiarkan
tindakan ini tanpa hukuman.
Sebulan telah berlalu, ketika pada suatu sore, setelah komunitas itu beristirahat,
dia berjalan melintasi sebuah ruangan khusus dengan membawa sebuah lampu di
tangannya. Betapa terkejutnya dia ketika pada saat seharusnya ruangan itu dalam
keadaan kosong dan gelap, ternyata dia mendapati disitu ada banyak sekali
religius yang berkumpul. Rasa terkejutnya itu berubah menjadi rasa takut ketika
dia memperhatikan mereka dengan baik-baik. Dia mengenali mereka sebagai para
anggota religius disitu yang telah meninggal. Ketakutan menguasai dirinya.
Pembuluh darahnya menjadi dingin seperti es dan membuatnya terpaku berdiri
seperti patung. Salah satu dari orang-orang yang meninggal itu berkata
kepadanya dengan nada mempersalahkan :”Makhluk yang malang, mengapa kamu tidak
mau membagikan sedekah yang berguna untuk meringankan penderitaan jiwa-jiwa
saudaramu yang meninggal ? Mengapa kamu meluputkan kami dari pertolongan itu
ditengah siksaan Api Penyucian ini ? Dari sejak saat ini terimalah hukuman atas
keserakahanmu itu. Pemurnian lain yang lebih mengerikan telah dipersiapkan
bagimu, dimana setelah hari ketiga kamu akan hadir dihadapan Allahmu”.
Atas perkataan ini Edelard terjatuh seolah tersambar oleh sebuah petir dan
tetap tidak bergerak hingga sesudah tengah malam, pada saat ketika para
religius disitu mulai berdoa malam. Mereka mendapati dia dalam keadaan setengah
mati, dalam keadaan yang sama seperti yang dialami oleh Heliodorus dulu,
setelah dia disiksa oleh para malaikat di bait Allah di Yerusalem. (2 Mach.3).
Edelard lalu dibawa menuju rumah sakit, dimana seluruh usaha perawatan
dilakukan kepadanya, hingga kemudian dia menjadi sadar. Segera setelah dia
mampu berbicara, dihadapan kehadiran Bapa Uksup dan semua anggota religius, dia
bercerita sambil menangis tentang keadaannya yang menyedihkan itu. Dia
menambahkan ceritanya bahwa dia akan meninggal dalam waktu tiga hari kemudian
dan dia meminta Sakramen Perminyakan beserta segala tindakan penyesalannya. Dia
menerima semua itu dengan semangat kesucian dan tiga hari kemudian dia
meninggal, dengan didukung oleh iringan doa-doa dari para saudara religius
disitu.
Misa bagi orang yang meninggal segera saja diadakan dan jatah makanannya
dibagikan kepada orang-orang miskin demi kepentingan jiwanya. Sementara itu
hukumannya belumlah berakhir, dan Edelard menampakkan diri kepada Uskup Raban
dalam keadaan pucat dan lusuh sekali. Tersentuh oleh rasa belas kasih, Raban
menanyakan kepadanya apa yang bisa dia lakukan untuk menolongnya. “Ah”, jawab
Edelard yang malang itu, “meskipun sudah ada doa-doa dari para saudaraku yang
suci disini tetapi aku masih belum bisa memperoleh rahmat pembebasanku hingga
semua saudaraku telah dibebaskan., dimana karena keserakahanku, aku telah
meluputkan mereka dari permohonan yang layak mereka terima. Segala sesuatu yang
diberikan kepada orang-orang miskin demi aku, ternyata tidaklah bermanfaat bagi
diriku, tetapi hal itu sangat bermanfaat bagi para saudaraku itu, dimana hal
seperti ini terjadi atas perintah dari Pengadilan Ilahi. Karena itu aku memohon
kepadamu, oh Bapa Uskup yang terhormat dan murah hati, “tingkatkanlah sedekahmu.
Aku berharap agar melalui sarana yang kuat ini maka kemurahan hati Ilahi akan
berkenan membebaskan kita semua, dimana para saudaraku terlebih dahulu
dibebaskan, baru kemudian diriku sendiri, yang paling tidak layak menerima
kerahiman Allah”.
Raban-Maur meningkatkan pemberian sedekahnya, dan hampir-hampir tak ada
bulan yang terlewatkan, ketika tiba-tiba Edelard muncul kembali. Namun kali ini
dia berpakaian putih dengan dikelilingi oleh berkas cahaya dan penampilannya
nampak penuh sukacita. Dia berterima-kasih kepada Uskup dan seluruh anggota
komunitas itu atas kemurahan hati mereka kepadanya.
Betapa besarnya arti dari informasi sejarah ini ! Pertama-tama, keutamaan
dari pemberian sedekah bagi kepentingan orang yang meninggal nampak jelas
sekali. Lalu kita bisa melihat betapa Tuhan memurnikan, bahkan sejak di dunia
ini, mereka yang karena keserakahannya tidak merasa takut untuk tidak membantu
permohonan bagi orang yang meninggal. Disini aku belum berbicara tentang para
ahli waris yang membalas kejahatan kepada pemberi warisan, dengan cara
melalaikan permohonan bagi para pemberi warisan itu melalui keinginan terakhir
mereka dan surat wasiat dari saudara mereka yang meninggal, sebuah sikap
mengabaikan yang merupakan ketidak-adilan yang sakrilegi. Anak atau saudara,
yang karena alasan yang tidak benar, hanya mengadakan sedikit saja Misa Kudus
bagi mereka, dan tidak mau bersedekah, mereka adalah orang yang tak memiliki
belas kasihan kepada jiwa-jiwa saudaranya yang meninggal, yang mereka biarkan
meratap didalam siksaan-siksaan yang amat mengerikan didalam Api Penyucian. Hal
itu merupakan sifat tidak berterima-kasih yang paling jahat, sebuah hati yang
paling keras yang bertentangan dengan kemurahan hati Kristiani dan yang akan
menghadapi hukumannya, mungkin saja sejak di dunia ini.
No comments:
Post a Comment