GEMBALA
YANG SESAT
BAGAIMANA
PAUS FRANCIS SEDANG MENYESATKAN KAWANANNYA
BAB TUJUH
Sekutu Dan Musuh
Pada 2016, ketika perdebatan tentang Amoris
Laetitia semakin intensif, garis-garis perpecahan yang jelas telah terlihat di
dalam Gereja Katolik. Para kritikus Paus lebih banyak bicara blak-blakan, dan
pembela-pembelanya lebih ketus dalam menanggapi.
Pada bulan Oktober, Insider Vatikan menerbitkan sebuah artikel yang meresahkan oleh
jurnalis Italia, Giacomo Galeazzi dan Andrea Tornielli, di bawah tajuk utama
yang menghasut: “Katolik yang Anti-Francis tetapi Cinta Putin.” “Serangan
terhadap Francis bersifat global,” mereka memperingatkan dengan terengah-engah.
Memperlakukan kelompok dan individu dengan ide dan prioritas yang sangat
berbeda seolah-olah mereka membentuk front persatuan oposisi terhadap kepausan,
para penulis itu menggambarkan siapa pun yang mempertanyakan pernyataan-pernyataan
publik oleh Francis bukan sebagai kritik yang loyal tetapi sebagai
"musuh."
Galeazzi dan Tornielli adalah wartawan yang
dihormati untuk La Stampa dengan
sumber-sumber yang kuat dan terpercaya, Tornielli khususnya menikmati akses yang
luas kepada orang-orang dalam di Vatikan milik Francis. Sementara mereka tidak biasa
cenderung berbicara pada sensasionalisme, maka tuduhan bahwa para pengkritik
paus lebih mendukung orang kuat Rusia daripada Vikaris Kristus, mungkin
mencerminkan apa yang mereka dengar dari kontak mereka di dalam Vatikan. Jika
demikian, maka beberapa orang di sekitar Francis menjadi percaya bahwa paus
adalah target dari sebuah konspirasi pemula. Setelah mengadopsi gaya paranoid,
mereka melihat musuh di mana pun berada melakukan perlawanan terhadap agenda
mereka. Atau lebih buruk lagi, mereka hanya merasa berguna, untuk tujuan
Machiavellian mereka sendiri, untuk menyiarkan teori konspirasi.
Francis, tentu saja, memiliki para pengkritiknya,
seperti halnya tokoh masyarakat lainnya, tetapi artikel the Vatican Insider (Orang Dalam Vatikan)
tidak bisa mengenali siapa saja mereka itu. Analisis semacam itu mengabaikan beberapa
perbedaan tidak hanya dalam sikap mereka (beberapa ada yang bersikap keras dan
bermusuhan, yang lain bersikap hati-hati dan tetap menghormati), tetapi juga
dalam resep-resep mereka, yang seakan telah runtuh di bawah beratnya sendiri. Setelah
menyampaikan adanya sebuah konspirasi, Galeazzi dan Tornielli mengutip sosiolog
Massimo Introvigne yang mengatakan bahwa upaya melawan Francis "tidak
berhasil karena mereka tidak disatukan." Memang, tidak. Seseorang yang
khawatir tentang konsekuensi pastoral Amoris Laetitia tidak akan mungkin
menolak sikap atau keputusan KV II tentang kebebasan beragama. Seseorang yang
memiliki keraguan tentang kebijakan perbatasan negara yang terbuka, tidak perlu
terlalu lama untuk merindukan kembalinya Benediktus XVI. Konspirasi ada di
benak Galeazzi dan Tornielli — dan mungkin juga berasal dari sumber-sumber
mereka di dalam Vatikan.
Entri yang paling aneh dalam daftar
"musuh" kepausan yang diidentifikasi oleh Orang Dalam Vatikan mungkin
adalah umat Katolik Cina yang khawatir tentang keadaan negosiasi antara Vatikan
dan Beijing. Negosiasi itu (antara Vatikan dan Cina) dirancang, dari sudut
pandang Vatikan, untuk mengakhiri perpecahan Gereja di Cina, antara Gereja
"resmi" yang diakui oleh pemerintah dan Gereja "bawah
tanah" yang tidak menikmati perlindungan hukum dan tunduk pada pembatasan
dan ancaman oleh pemerintah. (Dalam prakteknya garis antara kedua kelompok itu
sering kabur, tetapi pembagian itu memang nyata.) Sulit untuk melihat bagaimana
umat Katolik Cina ini dapat dianggap sebagai "musuh" Bapa Suci,
karena Francis hanya membuat beberapa komentar yang sangat hati-hati tentang
negosiasi yang dilakukannya dengan pemerintah Cina. Namun demikian, ada seseorang
di dalam Vatikan tampaknya tidak merasa senang.
Negosiasi Vatikan dengan Cina dirahasiakan, dan
tidak ada sikap resmi yang diumumkan kecuali dalam istilah-istilah yang paling
umum. Mengapa upaya mendesak para negosiator untuk memperhatikan keprihatinan umat
Katolik Cina yang telah sangat menderita karena iman mereka, dipandang sebagai
tanda penentangan, kecuali jika para negosiator itu siap untuk menjual
kepentingan Gereja bawah tanah? Dan mengapa kehati-hatian seperti itu dipandang
sebagai penentangan terhadap paus, yang belum berbicara mengenai masalah ini
dan agaknya tidak diberikan perjanjian untuk menyetujui atau menolak, kecuali
para negosiator membungkus diri mereka sendiri dalam jubah otoritas kepausan?
Pastor Bernardo Cervellera, direktur pelayanan the
Church's AsiaNews, yang telah bekerja melayani di Cina sebelum
dinyatakan sebagai persona non grata
di sana, muncul dalam daftar musuh Orang Dalam Vatikan. Menanggapi dengan
esainya sendiri, “The ‘Enemies’ of Pope Francis,” dia membela perhatian bahwa agensinya telah membayar kepada
umat Katolik yang bertindak di luar hukum di Tiongkok:
Jika saya adalah paus Francis, saya akan
menghargai para Kardinal saya yang memberi tahu saya tentang masalah yang
dialami orang-orang Kristiani di Cina. . . yang sangat banyak dipinggirkan, sebagai
wajah Kristus yang menderita, yang merupakan bagian dari kawanan domba saya dimana
bagi mereka saya harus memberikan hidup saya. . . . Namun sayangnya, paus
Francis hanya memiliki sedikit sekali teman sekaliber ini.
Paus, kata Pastor Cervellera, “tidak membutuhkan
para pembela yang terbuka.” Dia juga sangat tidak membutuhkan para pendukung
yang akan menolak semua kritikus yang bersikap bermusuhan dan menganggap semua
keberatan tentang pernyataan dan inisiatif kepausan dimotivasi oleh permusuhan.
Pastor Cervellera menulis sebagai kesimpulan keras untuk membela dirinya, “Anda
juga dapat mengkhianati seseorang yang terlalu banyak bertepuk tangan bagi Anda.”
Mafia St. Gallen
Setiap pemimpin yang kuat di lembaga mana pun,
memiliki risiko atau bahaya bahwa dirinya akan menjadi tawanan dari Praetorian
Guard-nya sendiri (pengawal kepercayaan), asisten terpercaya yang hanya memberi
tahu apa yang ingin dia dengar (atau apa yang mereka ingin dia dengar) dan menyingkirkan
semua suara sumbang. Bagi Francis, resiko atau bahaya itu tampaknya muncul
bahkan sebelum pemilihannya.
Akhir tahun 2015, dalam biografi resmi tentang kardinal
Godfried Danneels, dari Belgia, Jürgen Mettepenningen dan Karim Schelkens
mengungkapkan dalam karya mereka bahwa komplotan kardinal "progresif"
telah mulai bermanuver untuk pemilihan Jorge Bergoglio jauh sebelum konklaf
2013. Kelompok ini telah terbentuk beberapa tahun sebelumnya, selama masa
kepausan Yohanes Paulus II, untuk membahas bagaimana melawan apa yang mereka
lihat sebagai pengaruh yang tidak sehat dari Kardinal Joseph Ratzinger. Bersama
kardinal Danneels, kelompok itu termasuk almarhum Carlo Martini dari Milan, bekas
orang dalam Vatikan, Achille Silvestrini, Cormac Murphy-O'Connor Inggris, dan dua
orang Jerman Karl Lehmann dan Walter Kasper.
Setelah mempublikasikan biografinya, Danneels
menyebut kelompok ini sebagai sebuah "klub mafia," sebuah pilihan
kata-kata yang tidak bijaksana yang mengesankan klub itu sebagai konspirasi
jahat, bukannya pertemuan sederhana para uskup yang berpikiran sama. Tetapi para
penulis biografi itu melangkah lebih jauh dan melaporkan bahwa anggota kelompok
– yang dijuluki sebagai "mafia St. Gallen”ini, nama yang merujuk pada sebuah
kota di Swiss tempat mereka secara rutin bertemu — telah bekerja melawan
Kardinal Ratzinger selama konklaf 2005 dan, setelah kegagalan mereka
menghentikan pemilihan Ratzinger, mereka mulai merencanakan kampanye untuk memilih
Bergoglio pada konklaf berikutnya.
Jika laporan itu akurat, itu akan menjadi
skandal besar. Aturan konklaf kepausan termasuk perintah moral yang tegas menolak
adanya lobi-lobi, dan Yohanes Paulus II telah menetapkan hukuman ekskomunikasi
bagi setiap uskup yang berusaha mempengaruhi pemilihan kardinal lainnya. Ketika
implikasi dari laporan itu ditunjukkan, Mettepenningen dan Schelkens mundur,
mengatakan bahwa niat mereka telah disalahpahami. Mafia St. Gallen tidak
membentuk blok lobi selama konklaf 2005, kata mereka sekarang, dan tak lama
setelah pemilihan Benediktus XVI, kelompok itu telah menghentikan pertemuan
mereka.
Tetapi jika versi cerita ini akurat, itu
benar-benar bukanlah cerita sama sekali. Pertemuan beberapa orang kardinal
untuk membahas keprihatinan mereka tentang urusan Vatikan akan menjadi
peristiwa sehari-hari. Mengapa kedua penulis itu mau repot-repot
menyebutkannya? Mengapa Danneels membuat referensi aneh, dengan ringan hati, kepada
"klub mafia"? Para penulis biografi itu telah bekerja sama dengan
Danneels, yang kehadirannya di pesta peluncuran bukunya telah menandakan
persetujuannya atas karya tersebut. Jadi, sepertinya tidak mungkin bahwa
penulis sepenuhnya keliru tentang sifat dan tujuan dari kelompok St. Gallen.
Kemudian lebih banyak bahan bakar ditambahkan kepada
api. Dalam biografi Francis, Austen Ivereigh menulis bahwa Kardinal
Murphy-O'Connor, yang pernah menjadi penasihat dekat Ivereigh, telah diminta
oleh para kardinal “progresif” untuk mendukung Bergoglio serta rencana untuk
mempromosikan pencalonannya pada konklaf 2013. Murphy-O'Connor, yang saat itu berusia
di atas delapan puluh dan dengan demikian tidak memenuhi syarat untuk
berpartisipasi dalam pemilihan kepausan, mendekati kardinal Argentina itu sebelum
konklaf dan menjanjikan persetujuannya untuk mendukung rencana tersebut.
Seperti yang dilaporkan Ivereigh:
Jika dia mau, dia mengatakan bahwa dia percaya
bahwa pada saat krisis di dalam Gereja ini, tidak ada kardinal yang bisa
menolak jika diminta. Murphy-O'Connor dengan sadar memperingatkannya untuk
"berhati-hati," dan sekarang gilirannya, dan diberi tahu "capisco" - "Saya
mengerti."
Pernyataan "Capisco"
itu mengacu kepada kemungkinan bahwa Bergoglio menyadari ada suatu langkah yang
sedang dilakukan untuk mempromosikan pemilihan dirinya dan menyetujui kampanye
itu — yang, sekali lagi, akan menjadi pelanggaran berat terhadap aturan hukum kanon
yang mengatur pemilihan kepausan. Dan meskipun kampanye itu mungkin tidak
diorganisir oleh mafia St. Gallen, para pemeran tokoh — para wali gereja Eropa yang
“progresif” yang diwakili oleh Kardinal Murphy-O'Connor — tampak sangat mirip
sikapnya. Dengan persetujuan satu kata, Kardinal Bergoglio tampaknya
menempatkan dirinya di tangan para konspirator, dan menunjukkan bahwa dia siap
untuk bertindak di bawah arahan mereka.
Seorang uskup senior lainnya berbicara secara
terbuka tentang keterlibatannya dalam kampanye mafia St. Gallen. Kardinal
Theodore McCarrick, pensiunan uskup agung Washington, D.C., yang juga terlalu
tua untuk berpartisipasi dalam konklaf 2013, tetapi dia bertemu dengan para
kardinal lainnya di “sidang umum” yang mendahului pemilihan paus. Dalam sebuah
pidato yang cukup mengejutkan, dia berkata terus terang kepada para siswa di
Universitas Villanova pada Oktober 2013, dimana kardinal tua itu menceritakan segala
persiapan untuk pemilihan paus.
“Sebelum konklaf, tidak ada orang yang mengira
bahwa ada peluang bagi Bergoglio,” McCarrick memberi tahu kepada para mahasiswa
yang hadir. Tetapi kemudian pada suatu malam dia menerima kunjungan dari
”seorang pria Italia yang sangat menarik dan berpengaruh,” yang meminta
bantuannya. Tamu misterius itu sangat memuji Bergoglio, mengatakan bahwa
kardinal Argentina itu akan membawa reformasi kedalam Gereja, dan mendesak
McCarrick: “Bicaralah dengannya.” Ketika dia menceritakan kisah yang menarik
ini kepada audiens Villanova, McCarrick mengatakan bahwa dia telah memberikan
jawaban yang tidak mengikat. Namun, ketika gilirannya tiba untuk berbicara
kepada sidang umum, dia mendesak pemilihan seorang kardinal dari Amerika Latin
(untuk menjadi paus).
Mungkin tidak ada konspirasi aktif atau kampanye
terlarang untuk pemilihan Bergoglio. Mungkin tiga kardinal yang berbeda —
Danneels, Murphy-O'Connor, dan McCarrick — membesar-besarkan peran mereka
sendiri dalam proses demi menciptakan cerita yang bagus. Tetapi bisa ada
sedikit keraguan bahwa sekelompok uskup liberal melihat seorang kardinal
Argentina sebagai harapan terbaik mereka untuk melakukan perubahan-perubahan di
dalam Gereja. Mereka mendorong pencalonan Bergoglio, dan paus baru nanti, orang
luar yang sekarang ditempatkan di posisi teratas di Vatikan, cukup dimengerti
akan cenderung untuk mencari nasihat kepada orang-orang yang sama. Sebelum
pemilihannya, Bergoglio, sosok yang tidak dikenal di Roma, belum diidentifikasi
sebagai pemimpin blok progresif di Kolese para Kardinal. Sekarang, dia muncul
dari konklaf sebagai paus Roma, dan seiring waktu berlalu semakin jelas bahwa dia
bermaksud untuk melaksanakan program yang disukai oleh para uskup yang
mempromosikan pemilihannya.
Intoleransi Terhadap Kritik
Jika paus yang baru terpilih melihat anggota
mafia St. Gallen sebagai sekutu alaminya, maka dia juga dapat dengan mudah
dibujuk untuk melihat saingan mafia St. Gallen di dalam Kuria Romawi sebagai
saingannya juga. Dalam beberapa bulan setelah pemilihannya, Francis telah
memindahkan Kardinal Mauro Piacenza dari jabatannya sebagai prefek Kongregasi
Klerus, dan menjadikannya kepala Lembaga Apostolic Penitentiary, di mana dia akan memiliki pengaruh yang
lebih kecil. Kardinal Raymond Burke, seorang pembela tradisi yang blak-blakan
yang akan menjadi pemain kunci dalam presentasi dubia, telah dikeluarkan dari
Kongregasi Para Uskup — badan yang merekomendasikan penugasan keuskupan di
seluruh dunia — dan kemudian diberhentikan dari jabatannya sebagai prefek
Signatura Apostolik. Kardinal Amerika itu diberi peran seremonial sebagai pastor
untuk para Ksatria Malta — dan kemudian, berbulan-bulan kemudian, bahkan tugas itu
dilucuti dari otoritas kecil yang dimiliki sebelumnya.
Piacenza dan Burke setidaknya mempertahankan
peringkat mereka sebagai kardinal. Di luar Roma, para uskup lainnya telah digusur
sama sekali. Dalam waktu delapan belas bulan sejak kedatangannya ke Tahta
Petrus, Francis telah menerima pengunduran diri Uskup Rogelio Livieres Plano di
Paraguay, Mario Oliveri di Italia, Franz-Peter Tebartz-van Elst di Jerman, dan
Robert Finn di Amerika Serikat. Masing-masing uskup ini mengundurkan diri di
bawah tekanan, setelah mereka dituduh melakukan kesalahan pribadi atau
penyimpangan administratif. Tetapi apakah ini suatu kebetulan bahwa mereka
semua dianggap sebagai kaum konservatif? John Allen dari Crux memperhatikan adanya ketidakseimbangan ideologis dalam daftar
uskup yang digulingkan itu. Dalam sebuah kolom dengan judul provokatif "Apakah Paus Fransiskus memiliki daftar
musuh?" dia berkomentar bahwa bahkan jika paus hanya menegakkan
disiplin Gereja tanpa memperhatikan pandangan para uskup yang muncul dalam
bidikannya, mungkin lebih bijak untuk memberikan sebuah penjelasan atas
pemberhentian mereka. "Jika tidak, risikonya adalah bahwa sebagian besar
Gereja dapat menyimpulkan bahwa jika paus melihat mereka sebagai musuh, tidak
ada alasan kuat mengapa mereka pun tidak melihat paus dengan cara yang sama:
sebagai musuh."
Anehnya, banyak rekan Bergoglio dalam ordo
Jesuit juga memandangnya sebagai musuh. Dia tidak populer sebagai provinsial
Yesuit di Argentina, dan dia dipandang bertindak sewenang-wenang dan otoriter
terhadap kritik yang dia sendiri akui sah-sah saja. Setelah masa jabatannya
sebagai provinsial, dia diberi tugas rutin — secara efektif dikirim ke
pengasingan institusional — hingga 1992, ketika Kardinal Antonio Quarracino
dari Buenos Aires mengatur agar dia diangkat menjadi uskup auksilier. Setelah dia
menjadi kardinal dan melakukan perjalanan ke Roma secara teratur untuk menghadiri
berbagai pertemuan, Bergoglio menghabiskan sedikit waktu di markas Jesuit. Keputusannya
untuk memakai nama Francis pada pemilihannya sebagai paus, seolah dia berbicara sebagai seorang Fransiskan, bukannya
membela kepekaan ordo Jesuit.
Namun, dalam jabatan kepausan, Francis segera
menyelimuti dirinya dengan para pembantu Jesuit, terutama Antonio Spadaro.
Mungkin dia merasa perlu membangun aliansi strategis untuk melaksanakan program
reformasi yang dia (dan pendukungnya St. Gallen) anggap sebagai tujuan dari kepausannya.
Dia mulai sering bertemu Pastor Adolfo Nicolas, yang hingga 2017 adalah
superior jenderal Jesuit, dan dia memulai sebuah program yang pasti akan
menyenangkan mayoritas yang condong ke arah kiri dalam the Society of Jesus.
Untuk seorang paus yang tunduk kepada perubahan,
maka para Jesuit akan menjadi benteng pertahanannya. Dan Francis sangat ingin perubahan.
Pastor Nicolas mengenang bahwa dalam sebuah pembicaraan tentang kemungkinan
pengunduran diri paus yang lain, Francis mengatakan kepadanya, “Saya meminta kepada
Tuhan yang baik untuk memanggil saya begitu laju perubahan itu sudah tidak
dapat dibalikkan.” Perlawanan terhadap agenda semacam itu tentu tidak bisa
dihindari, tetapi Nicholas mencatat bahwa “bagi saya, jelas bahwa kritik-kritik
itu tidak bisa mengganggunya."
Namun seiring berjalannya waktu, Francis menjadi
semakin keras, bahkan menghina, dalam ucapan-ucapannya di depan umum. Dalam
homilinya pada sebuah Misa harian, dia mencela “orang-orang Parisi,” “para doktor
hukum,” dan semua yang bersikap “kaku” dalam penafsiran mereka tentang ajaran
Gereja. Dalam bahasa yang tidak pernah diharapkan seorang pun dari seorang Paus
Roma, dia mencela "uskup karier," "sourpuss," "imam
yang menyemburkan berhala," "pengadu moralistik," dan
"orang yang tanpa pengetahuan: penghancur nyata." Beberapa anggota
kawanan, menjadi jelas, khususnya yang berada di bawah kulit kepausan — sebagai
orang “Kristen yang dibintangi,” “gelembung Kristen,” “orang Kristen pemakaman
yang berwajah panjang dan sedih,” dan “Kristen parrot.” Dalam sebuah teguran
yang keras, dia menuduh para jurnalis yang melaporkan konflik dan skandal dalam
Gereja sebagai "coprophilia" ("ketertarikan abnormal terhadap
masalah kotoran"). Jarang sekali paus mengidentifikasi orang yang menjadi
sasaran kemarahannya dengan menyebut namanya, tetapi dari frekuensi serangannya
terhadap orang-orang Kristen yang “kaku”, tampak jelas bahwa dia berbicara
tentang mereka yang tidak mau menerima ajakannya untuk melakukan perubahan di dalam
Gereja.
Penggambaran Injil tentang konfrontasi Kristus
yang sering terjadi dengan orang-orang Parisi dan ahli hukum Taurat membuat hal
itu menjadi buah bibir di kalangan umat Kristiani untuk menyebut mereka sebagai
legalisme yang munafik, tetapi mereka tetap merupakan tokoh penting dalam
tradisi Yahudi. Kebiasaan Francis untuk menggunakan istilah yang meremehkan
"orang Parisi" dan "ahli hukum Taurat" akhirnya mengundang
protes keras dari seorang rabbi Italia, Giuseppe Laras, yang mengeluh bahwa istilah
itu meremehkan iman Yahudi dan mencerminkan pengaruh Marcionisme, bidaah abad
kedua yang menolak Perjanjian Lama dan menyangkal bahwa Allah yang keras dari
orang-orang Ibrani adalah Tuhan yang sama dengan Allah yang penuh belas kasihan
dari Perjanjian Baru. Mengamati bahwa sejak Vatikan II, berbagai pernyataan
resmi Gereja telah mencerminkan apresiasi yang besar terhadap warisan Yudaisme,
maka Laras berseru, “Sayang sekali bahwa mereka harus dikontradiksikan setiap
hari oleh berbagai homili paus Francis!”
Tidak ada yang mengatakan bahwa Francis
sebenarnya adalah anti-Semit, tetapi karena dia tidak pernah mengidentifikasi
target tuduhannya, banyak orang mengira dia berbicara tentang anti-Semit dan dia melawan. Francis telah
mengembangkan gaya yang aneh, hingga dia muncul sebagai bahan omelan orang
banyak. Retorikanya sangat bertentangan dengan pernyataan publiknya tentang
perlunya "mendampingi" orang berdosa, untuk mentolerir perbedaan
pendapat, untuk menjangkau para pengikut baru. Dalam khotbahnya sendiri, dia berkata
kasar terhadap para pendengarnya, lebih banyak mencela dari pada membesarkan
hati.
Dalam sebuah homili yang berkesan, disampaikan
pada Mei 2017, Francis berpendapat bahwa perhatian yang berlebihan terhadap
doktrin adalah tanda dari ideologi, bukan iman. Dengan merenungkan bacaan
Alkitab hari itu, dari Kisah Para Rasul, yang menceritakan perdebatan dalam menegakkan
Hukum Musa tentang orang Kristen bukan Yahudi, paus mengatakan bahwa
"kebebasan Roh" telah memimpin para murid untuk membuat kesepakatan. Namun
perselisihan itu, katanya, disebabkan oleh “kecemburuan, perebutan kekuasaan,
tipu daya tertentu, yang ingin mendapat untung dan membeli kekuasaan,” godaan
yang harus selalu dijaga oleh Gereja.
Para murid Yesus yang bersikeras menegakkan
Hukum Musa, kata paus, adalah "fanatik." Mereka "bukanlah orang yang
beriman; mereka telah dijejali dengan ideologi.” Dengan demikian, tampaknya Francis
berpendapat bahwa para pemimpin Gereja awali yang tidak setuju dengan St. Paul
tentang penegakan Hukum Musa — termasuk St. Yakobus dan, di hadapan Konsili
Yerusalem, yang menyelesaikan pertanyaan itu, nampak bahwa St. Petrus sendiri “bukanlah
orang yang beriman.” Catatan Alkitab tentang konsili itu tidak memberi bukti
bahwa mereka yang bertolak belakang dengan pertanyaan itu memberikan penilaian
yang keras terhadap satu sama lain. Mereka bertemu, berdebat keras tentang
suatu hal yang belum jelas, dan dengan bantuan Roh Kudus mereka mencapai
keputusan yang menyelesaikan perbedaan mereka. Francis mengakui bahwa adalah
“tugas Gereja untuk mengklarifikasi doktrin,” seperti yang dilakukan para rasul
dalam Konsili Yerusalem. Tetapi dia tidak mengakui bahwa para pengkritiknya di
dalam hierarki menyerukan klarifikasi yang sama sehubungan dengan pengajaran
kepausan Amoris Laetitia tentang pernikahan dan Ekaristi.
Kepribadian Yang Bermasalah?
Selama kunjungannya ke Amerika Serikat pada
tahun 2015, dalam pidatonya di hadapan para uskup di negara itu, Paus Francis
berkata:
Bahasa yang keras dan memecah belah tidak cocok
dengan lidah seorang pastor, hal itu tidak memiliki tempat di hatinya; meskipun
tampaknya untuk sesaat hal itu seolah menang, hanya kebaikan dan kasih yang
abadi yang akan benar-benar meyakinkan.
Kalimat itu merangkum nasihat yang konsisten dari
Francis kepada para pemimpin Gereja: permohonan belas kasih, toleransi,
kesediaan untuk mendengarkan, dan keengganan untuk menghakimi. Dan persepsi
yang populer adalah bahwa paus Francis hanyalah wali gereja semacam itu: baik
hati, bersuara lembut, suka berbicara, menyatukan daripada memecah belah. Namun,
bahkan pembacaan sepintas tentang homili harian Paus mengungkapkan retorika
yang keras, teguran yang menyengat, dan pengaduan kemarahan seperti yang belum
pernah kita dengar dari para Paus Roma selama beberapa generasi sebelumnya.
Apakah khotbah semacam ini, dengan penekanannya kepada
hal-hal yang negatif dan sikap intoleransi terhadap oposisi, merupakan tanda
dari kepribadian yang bermasalah atau setidaknya, melewati batas? Francis telah
mengakui kepada beberapa orang yang melakukan wawancara dengannya bahwa pada
dasarnya dia memang impulsif. Dan gaya manajemennya menegaskan penilaian itu.
Dalam momen keterusterangan yang jarang terjadi, mantan juru bicara paus,
Pastor Federico Lombardi, mengakui masalah itu pada Juli 2015. "Tidak ada orang
yang bisa tahu semua apa yang dia lakukan," kata Lombardi. “Sekretaris
pribadinya bahkan tidak tahu. Saya bisa mengatakan: Satu orang tahu satu bagian
dari jadwalnya, dan orang yang lain tahu bagian lainnya.” Dengan kata lain,
tidak ada pengaturan yang jelas dari jadwal kepausannya. Francis selalu menimbulkan
kebingungan, jika bukan dikatakan sebagai kekacauan, kepada para stafnya.
Bagaimana ini bisa dijelaskan? Apakah itu merupakan bukti dari gangguan kepribadian
paus Francis? Atau apakah dia mendapati dirinya keluar dari kedalaman pribadinya?
Hipotesa yang terakhir mungkin membantu menjelaskan mengapa paus Francis sangat
bergantung pada lingkaran sekutu-sekutu tepercaya sambil menunjukkan toleransinya
yang semakin berkurang terhadap kritik yang jelas, nyata dan terus terang.
Sejak awal masa kepausannya, Francis tidak
menunjukkan kesabaran terhadap para pejabat Kuria Roma yang mempertanyakan
kebijakannya. Ketika ketegangan meningkat, maka semangat kerja merosot di
kantor Vatikan. Laporan-laporan yang beredar di media Italia — terlalu banyak
untuk diabaikan — tentang anggota staf yang dipanggil di hadapan paus untuk
ditegur karena komentar yang tidak dijaga dalam percakapan pribadi. Paus
menuntut pemecatan langsung tiga orang klerus pada staf Kongregasi untuk Ajaran
Iman, dan dengan marah dia menolak untuk memberikan penjelasan dan bersikeras
bahwa dia memiliki wewenang untuk menegakkan kepatuhan. Para psikolog secara diam-diam
mulai berspekulasi bahwa keributan yang sering ditunjukkan paus Francis menunjukkan
adanya keresahan pribadi.
Bahkan ketika Francis mengecam para pengkritiknya,
dia mengatakan kepada pewawancara bahwa dirinya sama sekali tidak terganggu
oleh kritikan — dan dia menyambut adanya ketidaksepakatan yang jujur. Di sini
juga, kontras antara tindakan paus dan pernyataan publiknya menimbulkan banyak pertanyaan.
Apakah dia menolak untuk mengakui kenyataan dari situasinya? Apakah dia masuk kedalam
gaya otoriter yang telah menandai masa jabatannya dahulu sebagai provinsial
Yesuit? Apakah dia hidup dengan membawa ketegangan khusus tentang perannya
sebagai penerus St. Peter — atau mungkin dia terlibat dengan konflik yang
berlangsung lebih lama sebelumnya?
Dalam sebuah wawancara panjang yang diterbitkan
pada bulan September 2017, Francis mengungkapkan kepada sosiolog Prancis,
Dominique Wolton, bahwa setiap minggu dia telah menemui seorang psikoanalis,
selama enam bulan, ketika dia berusia empat puluh dua tahun. Sesi-sesi pertemuan
itu telah "banyak membantu saya pada suatu saat dalam hidup saya,"
kata paus, dan menambahkan bahwa pada saat itu dia "perlu mengklarifikasi berbagai
hal." Mungkin tidak mengherankan, sesi-sesi konsultasi dengan psikoanalis
itu berlangsung menjelang akhir masa kesulitannya sebagai provinsial Jesuit di
Argentina. Francis mengatakan kepada Wolton bahwa dia tidak lagi menderita
kecemasan yang membuatnya mencari bantuan konsultasi, tetapi dia mengatakan
bahwa dia menolak untuk tinggal di istana apostolik "karena alasan
kejiwaan." Dia mengatakan kepada pewawancara: "Saya tidak bisa hidup
sendiri, apakah kamu mengerti?"
Sebagai seorang imam muda, pastor Bergoglio
sangat senang dengan umat Katolik yang saleh. Tetapi dua keponakannya bersaksi
bahwa ketika mereka masih sangat muda, paman mereka, Jorge, telah mendorong
mereka untuk menggunakan kata-kata kotor, untuk menyusahkan orang tua mereka.
Saudara perempuannya ingat bahwa suatu ketika, ketika pastor Bergoglio sedang
berkhotbah di dalam Misa, keponakan kecilnya mengucapkan “kata yang sangat
buruk,” dan paus masa depan itu, Bergoglio, “tidak bisa berhenti tertawa.”
Mungkin insiden-insiden itu dapat dilupakan
dengan alasan hal itu sebagai kenakalan anak muda, tetapi Bergoglio saat itu benar-benar
telah dewasa — bahkan, dia adalah Vikaris Kristus — ketika dia melemahkan
semangat seorang anak laki lain dalam perbuatan kesalehan. Matthew Schmitz
menceritakan kejadian itu untuk media First
Things:
Dia melakukan kunjungan ke gua-gua di Vatikan,
di mana makam para pendahulunya, orang kudus maupun bidaah, Petrus dan
Honorius, diletakkan. Dengan kamera terus merekam, dia berhenti untuk menyambut
para pengunjung tempat itu yang sudah menunggu antre di pintu masuk. Di situ dia
memperhatikan seorang putra altar yang tangannya dalam posisi mengatup di depan
dada dengan sikap hormat. Francis mulai menggodanya, “Apakah tanganmu terikat?
Sepertinya tanganmu terikat erat satu sama lain," katanya sambil memisahkan
tangan itu. Ketika Francis turun ke makam, bocah itu mengembalikan tangannya
kepada sikap mengatup dan hormat seperti semula.
Mungkinkah ada beberapa konflik internal yang bisa
menjelaskan sikap intoleransi Francis terhadap kritik dan ketidaksabarannya terhadap
kesalehan? Apakah rasa jijiknya kepada para "doktor hukum" (ahli
taurat) bisa meredakan ketegangannya yang tidak pernah terselesaikan dengan
hukum Gereja? Satu jawaban potensial untuk pertanyaan-pertanyaan itu, yang
cukup menarik, terkait dengan dirinya sebagai paus Yesuit pertama.
Ketika seorang Jesuit melakukan sumpah profesinya
yang khusyuk, dia berjanji bahwa dia tidak akan mencari atau menerima jabatan otoritas
apa pun di dalam Gereja kecuali dia diperintahkan, di bawah kepatuhan, untuk melakukannya.
Sumpah ini, dilembagakan untuk menghilangkan kekhawatiran bahwa Serikat Yesus (Jesuit)
merencanakan untuk berkuasa dan mengendalikan, setidaknya sumpah itu merupakan
hambatan teoretis bagi setiap Jesuit untuk menerima penunjukan sebagai uskup. Tetapi
para Jesuit juga berjanji untuk taat kepada Paus Roma, sehingga ketika paus
meminta seorang imam Yesuit untuk menjadi seorang uskup, maka imam itu dapat
menerimanya begitu saja bahwa dia dipanggil kepada jabatan itu di bawah
kepatuhan. Bagaimanapun, banyak Jesuit, seperti Pastor Bergoglio, telah
menerima penunjukan sebagai uskup, mungkin atas dasar itu.
Begitu dia menjadi uskup, maka seorang Jesuit merasa
dibebaskan dari sumpah ketaatannya, dan dia tidak lagi bertanggung jawab kepada
atasan Jesuit-nya atas keputusannya sebagai uskup. Jadi kardinal Jesuit tidak
berkewajiban untuk mengikuti keinginan provinsialnya ketika dia ikut memilih
dalam konklaf kepausan. Tetapi posisi Bergoglio sebagai Jesuit yang terpilih
pada konklaf sepenuhnya tidak pernah terjadi sebelumnya. Dia bersumpah,
bertahun-tahun sebelumnya, bahwa dia tidak akan menerima kenaikan jabatan kecuali
di bawah kepatuhan. Sekarang dia ditawari kenaikan jabatan, tetapi karena dia
tidak bertanggung jawab lagi kepada atasan Jesuit mana pun dan tidak ada paus
yang sedang berkuasa akan memerintahnya, maka dia tidak lagi berada di bawah
kepatuhan. Begitulah Francis menyelesaikan teka-teki dengan menerima pemilihan,
jelas - mungkin dengan alasan bahwa pemilihan konklaf merupakan indikasi
kehendak Tuhan, yang harus dia patuhi. Tetapi mungkinkah ada pertanyaan yang
tersisa di benaknya, atau di dalam hati nuraninya, tentang keputusan itu, yang
ikut berkontribusi pada ketegangan yang telah dia perlihatkan selama ini?
“USKUP BANDARA” DAN “BAU DOMBA”
Apakah itu adalah gaya administrasi yang aneh
atau kekhasan kepribadian yang membuat Francis begitu keras kepada para
pengkritiknya, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa dia setia kepada
sekutu-sekutunya. Bahkan, menjadi jelas bahwa paus ini memilih rekan-rekannya
sendiri lebih berdasarkan kesetiaan pribadi daripada ketajaman teologis atau
kinerja pastoral mereka. Di antara para uskup yang telah dia pilih sebagai
penasihat terdekatnya, beberapa telah memperlihatkan ciri-ciri yang sering dia
kecam dalam pernyataan-pernyataan publiknya.
Ambil contoh misalnya, para pemimpin Dewan
Kardinal, yang dia dirikan untuk menasihatinya tentang reformasi Vatikan. Orang
yang ditunjuk sebagai koordinator kelompok berpengaruh ini adalah kardinal
Honduras, Oscar Rodríguez Maradiaga, yang pernah menolak pengaduan terhadap
klerus sehubungan dengan tindak pelecehan seksual dan menuduh aduan itu sebagai
ciptaan media Amerika — yang menurutnya, dikendalikan secara tidak proporsional
oleh kepentingan Yahudi. (Dia kemudian meminta maaf atas pernyataan itu.)
Setelah kudeta di Honduras pada tahun 2009, Maradiaga menyulut perpecahan di dalam
Gereja dengan secara vokal mendukung rezim baru — “lembaga-lembaga demokrasi
telah tiba,” dan dia menyatakan — bahkan ketika Organisasi Negara-negara
Amerika memberlakukan sanksi terhadap negara itu, dan para pemimpin ordo
Dominikan dan Yesuit di Honduras setuju bahwa kudeta itu tidak konstitusional.
Kardinal Maradiaga belumlah menjadi pastor yang
sukses di tempat asalnya. Ketika dia diangkat menjadi uskup agung Tegucigalpa
pada tahun 1993, lebih dari 75 persen penduduk Honduras beragama Katolik. Saat
ini umat Katolik disana kurang dari 50 persen dari populasi. Dengan tingkat
kejahatan kekerasan kira-kira sepuluh kali lipat dari Chicago dan lima kali lipat
dari Republik Demokratik Kongo dan Republik Afrika Tengah (dua negara yang
selalu berada dalam cengkeraman perang saudara), Honduras adalah negara yang
sangat membutuhkan kepemimpinan spiritual. Namun Maradiaga telah menjadi
lambang "uskup bandara" yang dikecam Francis, karena dia sering terbang
ke seluruh dunia untuk menyampaikan pidato daripada memelihara kawanannya.
Ditempatkan sebagai kepala pusat kekuasaan baru di
Vatikan, Maradiaga dengan cepat menunjukkan kesetiaannya kepada Francis sambil dengan
merendahkan orang-orang yang dianggap sebagai penentang agenda paus. Ditanya
tentang empat kardinal yang mengajukan dubia, dia menjawab, "Saya pikir,
pada awalnya, bahwa mereka belum membaca Amoris Laetitia, sayang sekali, sebab itu
(Amoris Laetitia) adalah kebenaran." Dia mengejek keempat kardinal itu
sebagai "sudah dalam masa pensiun," dan dia menuduh mereka terlibat
dalam "sebuah Parisi-isme baru" dan menganggap "bahwa mereka
bertanggung jawab atas doktrin Gereja." Dan dengan kesombongan serta keangkuhan,
Maradiaga mengumumkan rencana besar bagi kepausan: "Paus ingin membawa pembaruan
Gereja ini: "… ke titik di mana hal itu tidak bisa dirubah."
Uskup Honduras itu menyatakan penghinaannya
terhadap para pengkritik paus dengan lebih berani lagi dalam wawancara panjang,
yang diterbitkan pada 2017, yang menunjukkan serangan pribadi yang memukau
terhadap Kardinal Raymond Burke. Dia menganggap orang Amerika itu sebagai
"orang miskin" yang pemikirannya "tidak perlu dikomentari lebih
lanjut," dan menunduh Burke telah mengobarkan perbedaan pendapat dengan cara
mengajukan pertanyaan tentang Amoris Laetitia. "Apa maksudnya mempublikasikan
tulisan-tulisan yang melawan paus?" Maradiaga bertanya, dan dia menghubungkan
kekhawatiran Burke dengan ambisi yang tak kesampaian dan kecewa: "Kardinal
yang mengusung (dubia) ini adalah orang yang kecewa, karena dia menginginkan
kekuasaan dan dia kehilangan kekuasaan itu."
Anggota kunci lainnya dari Dewan Kardinal,
Reinhard Marx dari Munich, presiden konferensi para uskup Jerman, seperti halnya
Maradiaga, telah ikut memimpin keruntuhan Gereja di keuskupannya sendiri.
Populasi Katolik yang dipimpin oleh Marx telah menurun hampir seratus ribu
sejak pengangkatannya pada tahun 2007, dan keuskupan agungnya hanya memiliki
satu calon imam baru untuk tahbisan imamat pada tahun 2017.
Namun, ada alasan lain yang lebih kuat untuk merasa
khawatir akan perspektif Kardinal Marx. “Selalu ada bahaya kebusukan di dalam
Gereja,” kata Francis memperingatkan ketika dia mengunjungi para uskup Jerman pada
bulan November 2015. “Hal ini terjadi ketika Gereja, alih-alih mengabdikan diri
untuk iman kepada Tuhan kita, di dalam Pangeran Damai, di dalam sukacita, di
dalam keselamatan, justru Gereja di Jerman didominasi oleh uang dan kekuasaan.”
Tidak ada tempat lain di mana Gereja Katolik memiliki begitu banyak uang,
begitu banyak kekuatan (apakah ini mengejutkan?) — namun memiliki masa depan
yang sangat berbahaya seperti di Jerman.
Francis merindukan "Gereja yang miskin, dan
bagi orang yang miskin." Dia tidak akan bisa menemukan Gereja seperti itu
di Jerman. Jika seorang warga negara Jerman terdaftar sebagai anggota sebuah
kongregasi religius, pemerintah akan memungut “pajak gereja” darinya — sebagai biaya
tambahan untuk pajak penghasilan regulernya, yang akan diteruskan ke gereja
tempat dia terdaftar. Pajak telah membuat Gereja Katolik di Jerman sangat kaya,
tetapi kekayaan itu datang langsung dari pemerintah dan hanya secara tidak
langsung dari umat beriman. Maka potensi korupsi — yang membengkokkan kebijakan
Gereja untuk memastikan kelancaran dalam berurusan dengan pemerintah — jelas.
Dan untuk mengatakan bahwa dana Gereja datang
secara tidak langsung dari "umat beriman" adalah sama dengan
menggunakan istilah itu secara longgar. Siapa pun yang terdaftar sebagai
anggota gereja, apakah dia pernah muncul atau tidak di Gereja, harus membayar
pajak gereja. Oleh karena itu pendapatan Gereja Katolik, tergantung pada jumlah
orang Jerman yang terdaftar sebagai orang Katolik. Jika angka itu turun, begitu
juga pendapatan Gereja. Karena itu, para uskup selalu memandang curiga pada
umat Katolik yang tidak mendaftarkan diri mereka pada gereja setempat. Hirarki Gereja
di Jerman bahkan telah bergerak untuk menolak memberikan Sakramen-sakramen kepada
umat Katolik yang tidak terdaftar.
Aturan yang memaksa umat beriman di Jerman untuk
mendaftar, dan dengan demikian membayar pajak gereja, pada ujungnya dapat
bertentangan dengan keinginan para uskup Jerman untuk membentuk sebuah Gereja “yang
ramah.” Pada 1960-an, sekitar 50 persen umat Katolik yang terdaftar di negara
itu menghadiri Misa pada hari Minggu; namun hari ini angkanya menjadi 10
persen. Ini adalah hasil dari eksodus massal dari bangku-bangku gereja. Dengan
pajak gereja yang merayap naik, umat Katolik yang tidak aktif menyadari bahwa
mereka dapat menghemat uang dengan mengeluarkan diri mereka dari daftar umat
Katolik. Setiap tahun sejak 2012, ada lebih dari seratus ribu umat Katolik
Jerman telah mengambil langkah itu.
Meskipun demikian, kekayaan finansial Gereja di
Jerman tetap sangat besar. Pajak gereja menghasilkan lebih dari lima miliar
euro setiap tahun, dan tren pendapatan meningkat. Penghasilan besar itu
memungkinkan hierarki Jerman mensponsori berbagai program medis, pendidikan,
dan sosial. Faktanya Gereja Katolik adalah perusahaan terbesar kedua di negara
itu, di belakang urutan pemerintah.
Hirarki Jerman sedang berjuang untuk
mempertahankan sebuah ‘kerajaan pelayanan sosial’ sementara jajaran umat
beriman terus berkurang. Maka, tidak mengherankan jika hierarki gereja Jerman
telah memimpin dalam menyerukan pelonggaran dalam disiplin Gereja. Para uskup
Jerman berargumen bahwa Gereja harus menunjukkan sikap berbelaskasih terhadap umat
Katolik homoseksual, umat Katolik yang bercerai, dan umat Katolik feminis. Apakah
niatan seperti ini dimotivasi oleh keinginan yang jujur untuk membuat semua
orang lebih dekat kepada Tuhan, atau dengan tujuan finansial untuk membuat
orang tetap berada di dalam paroki? Di Gereja Jerman, mungkin sulit untuk
membedakan antara tindakan berbelaskasih atau tindakan mata duitan.
Pemberhentian Kardinal Müller
Pada akhir Juni 2017, sebuah rumor mulai beredar
di Roma bahwa paus berencana untuk memindahkan uskup Jerman lainnya, Kardinal
Gerhard Müller, dari jabatannya sebagai prefek Kongregasi untuk Ajaran Iman. Diangkat
oleh Benediktus XVI, Müller secara umum dianggap sebagai kehadiran kaum konservatif
di Vatikan, terutama ketika dia bersikeras bahwa "Amoris Laetitia harus
ditafsirkan dengan jelas dalam terang seluruh doktrin Gereja." Hubungan pribadinya
dengan Francis tidak akrab, pengaruhnya menurun drastis, dan masa jabatan lima
tahunnya sebagai prefek, yang biasanya akan dilanjutkan lagi, akan berakhir
pada 2 Juli.
Rumor itu terbukti benar. Pada hari terakhir
masa jabatannya, tanpa ada indikasi sebelumnya bahwa penunjukannya tidak akan
diperpanjang dan dalam sebuah situasi yang tampaknya dipermalukan untuknya,
Müller dengan kasar diberitahu bahwa masa jabatannya sebagai prefek telah
berakhir. Paus tidak memberikan penjelasan untuk pemberhentiannya ini dan paus menolak
memberi tahu siapa penggantinya. (Penggantinya ternyata adalah Uskup Agung Luis
Ladaria Ferrer, seorang Jesuit Spanyol yang telah bekerja sebagai bawahan
langsung Müller.)
Sebagai kepala kongregasi di Vatikan yang
ditugasi menjaga integritas doktrin Katolik, Kardinal Müller terperangkap di
tengah-tengah perdebatan tentang Amoris Laetitia. Setelah menyatakan
keraguannya tentang proposal Kasper – dimana keraguan ini diabaikan begitu saja
oleh paus – paus bertindak sebagai prajurit yang setia, bersikeras bahwa
dokumen Amoris Laetitia itu sepenuhnya ortodoks. Meskipun Müller telah
menyuarakan kekecewaan atas perbedaan interpretasi dari nasihat desakan
kerasulan Amoris Laetitia, dengan bersikeras bahwa pengajaran Gereja universal
tidak boleh berbeda dari satu keuskupan kepada keuskupan yang lain, Müller
dengan tegas menolak memberikan dukungan publiknya pada seruan untuk
klarifikasi kepausan. Tampaknya tindakan penyeimbangannya ini tetap tidak
memuaskan Francis.
Bahkan setelah pemecatannya yang kasar ini,
Müller masih terus membela paus, bersikeras – menolak semua bukti yang
sebaliknya - bahwa pemberhentiannya itu adalah masalah administrasi rutin,
bukan karena ketidakcocokan ideologis. "Tidak ada perbedaan antara saya
dengan paus Francis," katanya kepada the
Allgemeine Zeitung dari Mainz. Paus telah memutuskan untuk mengakhiri
praktik memperpanjang tugas di Vatikan secara rutin, katanya, dan, “Saya adalah
orang pertama yang menjalani praktek kebijakan baru ini.” (Bandingkan: Tiga
pejabat Vatikan terkemuka lainnya telah menyelesaikan tugas lima tahunan mereka
dalam beberapa bulan terakhir ini, dan ketiganya tetap berada pada posnya
semula.) Namun, beberapa hari kemudian, Müller masih menyatakan bahwa dirinya
"selalu setia kepada paus dan akan selalu demikian," namun dia mengkritik
cara buruk yang telah diberlakukan atas dirinya: "Saya tidak bisa menerima
cara perlakuan seperti ini.” Mengingat pemecatan yang dilakukan Francis
sebelumnya terhadap para klerus pada staf CDF, Müller mengatakan bahwa para
pemimpin Gereja harus diikat oleh ajaran-ajaran sosial Katolik dalam
memperlakukan karyawan mereka secara bermartabat.
Dalam pemberhentian Kardinal Müller, terjadi
pembalikan peran yang mencolok. Francis tidak bertindak sebagai "jenderal
inkuisitor" Jerman yang tegas, tetapi sebagai paus Argentina yang
tersenyum (yang seharusnya senyuman itu merupakan perwujudan belas kasih) tapi menuntut
persetujuan tanpa keraguan pada otoritasnya. Sekali lagi, disini tindakan paus
berbeda dengan kata-katanya.
Memecah Kantong-Kantong Perlawanan
Langkah lain dalam hal penggantian personel, pada
beberapa tingkat lebih rendah dalam bagan organisasi Vatikan, adalah penunjukan
Uskup Agung Vincenzo Paglia sebagai presiden Akademi Kepausan untuk Kehidupan. Seperti
ditunjukkan oleh namanya, akademi ini telah menjadi benteng gerakan
pro-kehidupan dan pro-keluarga di dunia sejak didirikan oleh John Paul II pada
tahun 1994. Dengan demikian, kantor tersebut merupakan pos terdepan dari
perlawanan terhadap para pemimpin Katolik progresif yang berusaha untuk
menghapus Gereja dari garis depan "perang budaya." Sekarang profil
itu berubah.
Bagi siapa saja yang mengabdikan diri pada visi
Katolik tentang pernikahan dan keluarga, maka catatan masa lalu Paglia sangatlah
meresahkan. Dia bertanggung jawab dalam menciptakan panduan pendidikan seks
yang mengejutkan yang menampilkan gambar-gambar erotik yang eksplisit, mengajar
anak-anak muda dalam teknik-tehnik seksual, dan mendorong diskusi seksualitas
tanpa merujuk pada ajaran moral Gereja. Paglia juga menjadi tuan rumah
serangkaian seminar menjelang Sinode tentang Keluarga yang sangat condong
mendukung proposal Kasper. Dia telah memuji-muji Marco Pannella, seorang
politisi Italia yang memimpin perjuangan untuk membela hukum yang mendukung perceraian
dan aborsi; Paglia menyebutnya sebagai “seorang lelaki yang memiliki kerohanian
besar” dan “seorang inspirator kehidupan yang baik bagi dunia ini,” yang
kematiannya “merupakan kerugian besar bagi negara ini."
Layanan Berita The LifeSite News
di Kanada kemudian mengungkapkan bahwa ketika menjadi uskup Terni-Narni-Amelia,
Italia, Paglia telah memerintahkan pemasangan mural homoerotik yang sangat
besar di dalam katedralnya. Di antara tokoh-tokoh dalam lukisan aneh ini — satu
di antaranya adalah berupa gambar orang telanjang yang sedang menggeliat — itu adalah
gambar uskup Paglia sendiri, lengkap dengan zucchetto uskupnya.
Perintah paus kepada Paglia bagi jabatan barunya
adalah untuk berfokus pada "tantangan baru mengenai nilai kehidupan."
Paus menjelaskan:
Saya merujuk pada berbagai aspek mengenai
pemeliharaan martabat pribadi manusia dalam berbagai zaman keberadaan, saling
menghormati antar gender dan generasi, mempertahankan martabat setiap manusia,
promosi kualitas hidup manusia yang menyatukan nilai-nilai material dan
spiritual, dengan mengingat 'ekologi manusia' yang otentik, yang membantu
memulihkan keseimbangan asli antara manusia dan seluruh alam semesta.
Yang jelas hilang dari daftar keprihatinan paus
Francis adalah soal aborsi, eutanasia, perceraian, dan kontrasepsi, dimana keprihatinan
itu telah menjadi prioritas selama kepausan Yohanes Paulus II. Tidak adanya
keprihatian itu dalam daftar terutama terlihat oleh umat Katolik Amerika,
karena arahan kepausan bertepatan dengan pengungkapan bahwa klinik-klinik
aborsi menjual jaringan janin untuk mendapatkan keuntungan, sebuah ilustrasi
mengerikan tentang "budaya kematian" yang diperingatkan oleh John
Paul II. Jelaslah bahwa tujuan dari Akademi Kepausan untuk Kehidupan sedang
direvisi.
Sebuah arah yang baru menuntut personel baru
juga. Pada awal 2017, Vatikan mengumumkan bahwa Akademi Kepausan untuk
Kehidupan telah menunda sidang tahunannya. Perlahan-lahan terungkap bahwa
penundaan itu perlu karena akademi itu tidak lagi memiliki anggota selain
presiden baru. Seluruh anggota akademi itu telah diberhentikan. Rencana awal
untuk pertemuan tahunan adalah untuk berfokus pada Donum Vitae, Kongregasi
Doktrin Iman 1987 tentang kehamilan artifisial. Topik itu dibuang, digantikan
oleh semboyan "Pendampingan Kehidupan: Tanggung Jawab Baru di Era
Teknologi."
Di luar batas-batas Vatikan, Francis melestarikan
stempelnya pada konferensi para uskup Italia dengan mengangkat Nunzio Galantino
sebagai sekretaris jenderal, memberinya suara yang berpengaruh dalam urusan
publik Italia. Galantino
segera menunjukkan warna aslinya dengan menyatakan bahwa dia tidak bisa
"menyetujui orang-orang yang tanpa ekspresi berdiri di luar klinik aborsi sambil
mendaraskan doa Rosario." Bahkan
sebelum Sinode untuk Keluarga melakukan pembahasan soal proposal Kasper,
Galantino mengumumkan bahwa dalam pandangan, pasangan dalam "situasi perkawinan
yang tidak teratur" tidak boleh dikecualikan dari Komuni, dengan alasan bahwa
kebijakan abadi Gereja adalah "harga yang tidak adil untuk dibayar, selain
hal itu juga merupakan bentuk diskriminasi."
Pernyataan publik Galantino ini serta pelemahan
Akademi Kepausan untuk Kehidupan, membuat ribuan umat Katolik yang setia merasa
dikhianati. Setelah bertahun-tahun berjuang dengan setia melawan budaya
kematian, diilhami oleh dukungan yang menetap dari Vikaris Kristus, mereka
tiba-tiba menerima teguran, bukannya dorongan dari Roma. Galantino mengatakan
kepada dunia bahwa dia tidak dapat menyatukan dirinya dengan aktivis
pro-kehidupan, dan para aktivis itu pada gilirannya tidak dapat menyatukan diri
mereka dengan kebijakan baru Vatikan di bawah Francis.
Konservatisme Amerika dan "Ekumenisme Kebencian"
Di Amerika Serikat, umat Katolik konservatif
telah lama menjadi pendukung alami dan paling antusias terhadap kepausan.
Meskipun pandangan mereka berbeda dari pandangan para paus tentang pertanyaan sensitiv
tertentu, mereka telah bersekutu pada sebagian besar masalah budaya dan moral
yang menentukan selama lima puluh tahun terakhir. Kini mereka mulai mencurigai
pada awal kepausan Francis bahwa niat baik yang mereka nikmati di bawah Yohanes
Paulus II dan Benediktus XVI semakin berkurang, tetapi pada bulan Juli 2017
menjadi jelas bahwa niat baik Roma telah berubah menjadi antipati ketika La Civiltà Cattolica mempublikasikan
kecaman keras terhadap kaum konservatif Amerika.
Esai itu, yang ditulis oleh Antonio Spadaro,
S.J. dan Marcelo Figueroa, seorang pastor Presbiterian yang menjadi teman dekat
Bergoglio di Buenos Aires, telah mengkhianati dan membuat kekacauan yang serius
dalam isinya, peranan Katolik konservatif dan evangelis dalam politik Amerika. Menurut
Spadaro dan Figueroa, dua kekuatan jahat ini, dengan mengacu pada pandangan
Manichean tentang dunia yang terbagi menjadi kebaikan mutlak dan kejahatan mutlak,
telah bergabung dalam "ekumenisme kebencian," guna mengejar sebuah "kemenangan,
kesombongan dan pendendam, yang sebenarnya kebalikan dari ajaran agama Kristen."
Sifat keangkuhan dan ketidakpedulian esai yang
sangat berbisa ini adalah sangat merepotkan, karena kedekatan para penulisnya
dengan Francis dan posisi yang setengah-resmi dari La Civiltà Cattolica memunculkan anggapan bahwa esai itu
mencerminkan pemikiran paus sendiri.
Merangkul Agenda Sekuler
Pemecatan yang kasar terhadap Müller, kekuasaan
Maradiaga dan Galantino yang besar, nada partisan pahit yang diadopsi oleh
Spadaro dan Figueroa — semuanya menunjukkan arah baru dari kepausan ini:
menjauh dari penekanan pada martabat kehidupan dan integritas keluarga, dan merangkul
segala sesuatu yang lebih populer dari liberalisme sekuler. Vatikan mulai
menyelenggarakan berbagai konferensi untuk mengusulkan pandangan baru soal
pengungsi dan perubahan iklim. Dua kali Francis menjadi tuan rumah pertemuan
"gerakan populer," dengan undangan ditujukan kepada para aktivis
lingkungan, separatis etnis, feminis militan, dan para penggerak organisasi kemasyarakatan
— tetapi bukan untuk para pemimpin pro-kehidupan atau pembela pernikahan
tradisional.
Ketika dia ditanya mengapa konferensi Vatikan
tentang perubahan iklim tidak mengundang para pembicara yang mempertanyakan
konsensus populer, dan Uskup Marcelo Sánchez Sorondo, kanselir Akademi Ilmu
Sosial Kepausan, dengan marah menegur reporter yang mengajukan pertanyaan itu. Tidak
ada ilmuwan yang terpandang, kata Sorondo bersikeras, yang akan membantah keyakinan
yang berlaku saat ini bahwa tindakan manusialah yang menyebabkan perubahan
iklim. Membandingkan ajaran paus tentang pemanasan global dengan ajaran Gereja
tentang aborsi, Sánchez Sorondo mengatakan, “penilaian dalam hal ini haruslah
dianggap bersifat magisterial — itu bukanlah sebuah pendapat pribadi.” Pastor
Joseph Fessio, SJ, pendiri Ignatius Press,
menjawab, dalam sebuah wawancara dengan LifeSite
News: “Baik paus maupun Uskup Sorondo tidak dapat berbicara tentang masalah
sains dengan otoritas yang mengikat, hingga saat mereka menggunakan kata
'magisterium' dalam kedua kasus itu sama sekali tidak jelas maksudnya, dan mereka
tidak peduli dalam hal apa pun.” Fessio menambahkan, “Menyamakan sikap kepausan
tentang aborsi dengan sikapnya tentang pemanasan global, adalah lebih buruk
daripada salah; hal itu amat memalukan bagi Gereja.”
Namun Sánchez Sorondo bahkan melangkah lebih
jauh. Dalam perbincangan dengan Stefano Gennarini dari Pusat Keluarga dan Hak
Asasi Manusia, dia mengklaim bahwa satu-satunya penentangan terhadap teori bahwa
‘pemanasan global disebabkan oleh manusia’ muncul dari gerakan Tea Party, dan
dia menambahkan bahwa setiap ilmuwan yang meragukan teori itu, mereka telah dibayar
oleh industri minyak. Sorondo kemudian menyangkal bahwa Perserikatan
Bangsa-Bangsa, yang telah banyak terlibat dalam konferensi perubahan iklim,
telah berperan dalam mempromosikan aborsi dan kontrasepsi. Dalam sebuah
wawancara beberapa bulan kemudian, dia menambahkan bahwa perubahan iklim adalah
penyebab utama dari krisis pengungsi dunia. Mengenai semua poin ini — yang
merupakan masalah fakta, bukan opini — Sánchez Sorondo yang penuh kebobrokan itu
ternyata terbukti salah. Tetapi gaya debatnya, yang menampilkan serangan
terhadap integritas lawan-lawannya, memiliki cap (ciri khas) yang lazim dari
kepausan saat ini.
Seorang Pembuat Aturan Yang Mengabaikan
Hukum
Dan apakah cap (ciri khas) dari kepausan ini?
Jelas bahwa Francis bertekad membawa perubahan kedalam Gereja dan dia tidak
sabar terhadap segala penolakan terhadap perubahan itu. Tetapi dia terpaksa mengkhianati
ketidaksabarannya dengan aturan-aturan yang menghalangi jalannya — bahkan,
cukup aneh, padahal dia memiliki otoritas yang tidak diragukan untuk mengubah
aturan-aturan itu.
Selama beberapa waktu, para ahli liturgi Katolik
berdebat tentang upacara di dalam ritual untuk Kamis Putih di mana imam
membasuh kaki beberapa anggota jemaat, meniru gerakan kerendahan hati dan kasih
Yesus kepada para rasulnya saat Perjamuan Terakhir. Secara tradisional, hanya
laki-laki yang dimasukkan dalam ritual ini, karena bertujuan untuk membangkitkan
ingatan akan para rasul, yang semuanya adalah laki-laki, dan lembaga imamat,
yang juga diperuntukkan bagi pria. Tetapi dalam beberapa tahun terakhir
beberapa umat Katolik berargumen bahwa manfaat untuk melibatkan wanita,
melebihi pentingnya simbolisme itu. Pada saat Francis terpilih, arahan liturgi
resmi Gereja memihak kepada tradisi; hanya laki-laki yang dilibatkan. Francis
mengubah aturan itu. Sebagai gantinya, pada upacara Kamis Putih pertama setelah
diangkat sebagai paus Roma, dia mengabaikan aba-aba dari arahan liturgi dan melibatkan
wanita ke dalam ritual pencucian kaki oleh paus. Baru kemudian, setelah itu,
dia mengeluarkan sebuah arahan liturgi, mengubah aturan hingga dia tidak
dianggap melanggar.
Demikian pula, pada bulan November 2016 paus
mengumumkan bahwa dia memberikan wewenang kepada semua imam Katolik untuk memberikan
absolusi atas dosa aborsi. Sebelumnya, Kode Hukum Canon menetapkan bahwa siapa
pun yang terlibat langsung dalam perbuatan aborsi dikenai hukuman
ekskomunikasi. Di bawah dispensasi baru yang diberikan oleh Francis, dosa dapat
diampuni oleh imam mana pun dalam pengakuan sakramental.(1) Pada konferensi
pers yang memperkenalkan kebijakan baru itu, Uskup Agung Rino Fisichella
menjelaskan bahwa paus telah mengubah bagian yang relevan dari hukum kanon. Namun,
dia belum benar-benar mengubah hukum; kalimat itu masih ada di buku. Tetapi itu
hanya masalah teknis, kata uskup agung: "Hukum kanon adalah bagian dari
seperangkat hukum, dan setiap kali paus memperkenalkan sebuah tindakan yang
mengubah perintah hukum, maka kalimat yang menyangkut tindakan tertentu, perlu
diubah." Memang, ada sebuah kebutuhan untuk menyesuaikan hukum dengan
arahan paus. Sebagai legislator tertinggi untuk Gereja, paus memiliki kekuatan
untuk melakukan perubahan itu, tetapi dia tidak melakukannya. Dia membiarkan hukum
tetap ada pada buku-buku, dan menetapkan kebijakan yang bertentangan dengan
itu. Ini bukan hanya sebuah kasus di mana perubahan dalam Kode Hukum Canon
tertinggal sedikit di belakang arahan kepausan. Setahun sebelumnya, ketika
Tahun Kerahiman Yubileum dimulai, Francis telah memberikan kepada sekelompok
imam khusus, Missionaries of Mercy, wewenang untuk membebaskan dosa-dosa
aborsi. Jadi kebijakan paus dan kalimat dalam hukum kanon telah bertentangan
selama berbulan-bulan.
Di sisi yang lain, seorang Katolik yang
diekskomunikasi dilarang menerima Sakramen-sakramen, termasuk Sakramen Tobat.
Jadi, meskipun seorang imam dapat mengampuni dosa dalam sebuah pengakuan, tetapi
seorang wanita yang melakukan aborsi dan dia tahu bahwa dia diekskomunikasi,
tidak akan dapat membuat pengakuan dosa sakramental. Untungnya dalam banyak
kasus, wanita Katolik yang menyesal karena melakukan aborsi tidak menyadari dan
tidak tahu bahwa mereka telah diekskomunikasi, sehingga mereka tidak ragu untuk
mendatangi Sakramen Tobat dan mencari pengampunan. Tetapi kemudian
wanita-wanita lain, yang telah mencari dan menerima pengampunan sejak jauh hari
sebelumnya, dan tidak menyadari adanya hukuman kanonik seperti itu, sekarang
mungkin bertanya-tanya di mana mereka berdiri. Apakah mereka masih dikucilkan?
Apakah pengampunan dosa yang diterimanya itu valid?
Singkatnya, kegagalan paus Francis untuk
menyinkronkan hukum kanon dengan kebijakan barunya berisiko menimbulkan
kebingungan dan kesusahan yang meluas. Seorang imam yang jengkel, mengomentari
perubahan itu, "Selama beberapa bulan ke depan saya berharap kita akan
menghabiskan banyak waktu di tempat pengakuan dosa dan menjelaskan ajaran
Gereja kepada para wanita tua yang telah melakukan dosa aborsi dan telah diampuni
bertahun-tahun yang lalu."
Kecenderungan Francis untuk mengabaikan
peraturan, bukan mengubahnya, dilakukan justru dengan cara yang tidak terlalu
serius, seperti halnya dia memberi izin kepada sekelompok aktivis untuk menanam
tanaman di sebidang tanah di pinggiran Roma yang dimiliki oleh Vatikan. Francis
memberikan restunya kepada sebuah proyek yang diprakarsai oleh Omero Lauri,
seorang pendukung hak penghuni liar, dan menyatakan: "Kami percaya bahwa
semua orang memiliki hak untuk memiliki sebidang tanah secara gratis."
Lauri bertemu dengan paus dan mendapatkan izinnya hanya setelah dia menduduki
tanah itu, tetapi dia melaporkan bahwa Francis mendukung gerakannya. Paus tetap
tidak memberikan hak hukum kepada Lauri dan kelompoknya atas tanah itu. Polisi
menuduh penghuni liar itu karena mendirikan sebuah kafe ilegal disitu,
menyajikan makanan tanpa izin di atas properti yang bukan milik mereka. Dan para
pemilik properti lain di lingkungan itu memandang curiga pada kejadian kecil
itu, dan bertanya-tanya apakah para penghuni liar itu akan pindah ke tanah
mereka juga. Sekali lagi paus dapat menghindari komplikasi dengan memberikan sertifikat
hukum kepada kelompok itu, tetapi dia tampaknya cukup puas untuk melanggar
peraturan dan hidup di dalam kebingungan – puas karena telah "membuat
kekacauan," karena dia telah mendorong kaum muda itu seperti yang
diinginkannya.
Mengemas Kolese Para Kardinal
Namun, pada satu titik, Francis telah bertindak
dengan sengaja dan metodis. Secara berhati-hati dia telah menunjuk kardinal-kardinal
yang mendukung pandangannya, meningkatkan kemungkinan bahwa ketika kepausannya
berakhir, orang-orang yang mereka pilih akan melanjutkan kebijakannya. Ini
mungkin merupakan aspek terpenting dari rencananya untuk membuat perubahan di
dalam Gereja hingga menjadi “tidak dapat dirubah.”
Dalam sebuah tulisan pada awal 2017, sarjana
Amerika George Weigel menulis tentang mitos, yang populer di kalangan kaum liberal,
bahwa Paus Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI telah memberlakukan kontrol
ideologis atas Vatikan. Weigel menunjukkan, para paus itu secara teratur
mempromosikan orang-orang dengan pandangan teologis yang berbeda secara
dramatis kepada Kolese Kardinal, memberikan topi merah pada Kardinal Kasper,
Marx, Daneels, McCarrick, dan ya, juga kepada Bergoglio. Hal yang sama tidak
dapat dikatakan tentang Francis. Dia telah mengangkat sekutu-sekutu potensinya dengan
mengabaikan uskup-uskup yang lebih senior yang pemikirannya tidak sesuai dengan
dirinya. Dari uskup agung Amerika yang mungkin telah dipertimbangkan untuk
menjadi anggota Kolese Kardinal pada tahun 2017, Francis memilih dua wali
gereja yang sangat liberal: Blase Cupich dari Chicago dan Joseph Tobin dari
Indianapolis (yang segera dipindahkan ke Newark, lebih dekat ke pusat media
Amerika). Francis melompati beberapa pemimpin Katolik paling terkemuka di
negara itu: Uskup Agung José Gómez dari Los Angeles, pemimpin keuskupan
terbesar di negara itu, yang akan menjadi kardinal Hispanik pertama dalam
sejarah AS; Charles Chaput dari Philadelphia, seorang pembela yang bijaksana
dan pandai berbicara tentang hukum kodrat; dan William Lori dari Baltimore
(keuskupan Amerika tertua), yang merupakan orang penting bagi hierarki Amerika
dalam pertempuran untuk mempertahankan kebebasan beragama melawan perambahan
peraturan pemerintah.
Paus — paus mana pun — memiliki hak untuk
mengangkat anak buahnya sendiri kedalam Kolese Kardinal. Namun, cara Francis menjalankan
hak itu telah mengungkapkan banyak hal tentang bagaimana dia memahami perannya
sebagai pemimpin Gereja universal.
Agar memenuhi syarat untuk masuk dalam Kolese
Kardinal, seorang uskup harus menunjukkan karakter yang tidak dapat disangkal,
komitmen yang teguh pada doktrin Gereja yang mapan, dan kemauan — yang ditandai
dengan pakaian merahnya — untuk menumpahkan darahnya, jika perlu, untuk membela
Iman. Di luar syarat ini, terserah bagaimana paus menentukan pilihannya!
Kolese Kardinal memiliki dua fungsi utama:
bertindak sebagai kelompok penasihat untuk paus dan, ketika saatnya tiba, untuk
memilih penggantinya. Untuk masing-masing tujuan itu, seorang paus yang
bijaksana memanfaatkan berbagai sumber daya Gereja universal, menunjuk para
kardinal dengan latar belakang dan sudut pandang berbeda. Idealnya, ketika
mereka bertemu di konklaf, para kardinal harus mewakili semua umat Katolik yang
setia di dunia, dengan berbagai kepedulian dan keprihatinan mereka yang
berbeda.
Selama abad yang lalu, paus Roma telah melakukan
upaya yang disengaja untuk memberi Kolese Kardinal cita rasa yang lebih
internasional, mengakui bahwa Roh Kudus mungkin memiliki sesuatu yang istimewa
untuk dikatakan kepada Gereja universal melalui suara-suara para pemimpin
Katolik dari Afrika atau Asia. Dengan memperluas keanggotaan Kolese di luar
Eropa, paus menyediakan lebih banyak ruang bagi Roh untuk berbicara kepada
Gereja-Nya. Pada saat yang sama, dengan membatasi keanggotaan, paus dapat
membatasi pergerakan Roh. Francis telah mengikuti tren menuju
internasionalisasi Kolese ini, tetapi dia telah membatasi pilihannya dengan
cara lain, dengan menunjukkan pilihan yang kuat hanya bagi uskup-uskup yang mau
menerima perspektifnya tentang prioritas pastoral Gereja.
Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI mengambil
pendekatan yang jauh lebih konvensional. Mereka memilih kardinal baru terutama
dari kalangan uskup agung dari keuskupan agung terpenting dunia, atau dari
kepemimpinan Kuria Romawi. (Beberapa pilihan mereka yang tidak konvensional,
pada umumnya, lebih dari usia delapan puluh tahun, bagi siapa topi merah
merupakan pengakuan atas pelayanan masa lalu mereka kepada Gereja. Dan karena
usia mereka, para kardinal ini tidak akan memenuhi syarat untuk berpartisipasi
dalam pemilihan kepausan.) Kedua paus itu jelas tidak mengecualikan wali gereja
yang memiliki perspektif teologis yang berbeda.
Dan bukankah itu pendekatan yang jauh lebih
bijaksana? Jika paus meminta nasihat dari para kardinalnya, dia harus mendengarkan
juga suara dari orang-orang yang akan menentang cara berpikirnya. Paus yang
rendah hati akan menjaga diri dari godaan untuk berpikir bahwa perspektifnya
adalah satu-satunya perspektif Katolik yang valid. Dia akan menyadari juga,
bahwa bahkan jika kebijakannya tepat untuk Gereja saat ini, Gereja di masa
depan mungkin memerlukan kebijakan yang berbeda.
Paus Roma adalah seharusnya menjadi fokus
persatuan di Gereja. Yohanes XXIII pernah mengatakan bahwa sebagai pastor universal,
dia bertanggung jawab atas semua umat Katolik, termasuk mereka yang memiliki
kaki pada pedal gas dan mereka yang memiliki kaki pada pedal rem. Francis jelas
memiliki kaki di atas pedal gas. Dan sejauh ini nampak dia mengabaikan dan
mengecualikan uskup yang menginjak rem - dan orang yang mendesak Francis untuk
melakukan hal yang sama dengan dirinya, dia berisiko terpental keluar.
Salah satu sekutu setia Francis, Jesuit liberal,
Thomas Reese, yang menulis di National
Catholic Reporter, mengakui bahwa pilihan paus untuk Kolese Kardinal adalah
"tindakan paling revolusioner yang telah dilakukan Francis dalam hal tata
kelola Gereja." Sebagai aktivis dalam Gereja selama bertahun-tahun, Reese
mengakui bahwa tindakan kekuasaan sewenang-wenang oleh Francis saat ini dapat
membenarkan tindakan yang sama sewenang-wenangnya oleh beberapa paus di masa
depan yang mungkin memiliki ide yang berbeda. Jika Yohanes Paulus II atau
Benediktus XVI mengambil pendekatan yang mirip dengan penunjukkan para kardinal
baru, tulis Reese, "Terus terang, saya akan sangat marah."
_______________
1. Pengacara Hukum Canon berpendapat bahwa
hukuman ekskomunikasi hanya berlaku bagi mereka yang melakukan aborsi dengan kesadaran
dan pengetahuan penuh bahwa mereka akan diekskomunikasi karena melakukannya.
Orang yang tidak mengetahui aturan kanonik itu, yang terlibat dalam perbuatan aborsi,
dapat diampuni dalam pengakuan dosa yang biasa. Arahan baru paus tidak berlaku
untuk mereka yang tidak mengetahui aturan kanonik ini.
No comments:
Post a Comment