Anda dapat membodohi semua orang
dalam beberapa waktu,
atau membodohi beberapa orang
sepanjang waktu,
tetapi Anda tidak dapat membodohi
semua orang sepanjang waktu.
ABRAHAM LINCOLN
PAUS DIKTATOR
Marcantonio
Colonna
Danneels mengungkapkan semuanya dalam sebuah wawancara televisi
Setelah lebih
dari empat tahun Paus Francis Bergoglio, banyak dikatakan orang-orang dengan frekuensi
yang lebih sering dan lebih terbuka lagi, bahwa situasi aneh di Vatikan saat
ini menyerupai tidak kurang dari sebuah novel picisan karya Dan Brown, lengkap
dengan konspirasi para pejabat gerejawi terkemuka, skandal seksual dan
keuangan, serta kepentingan perbankan internasional yang serba tertutup. Sementara
ada sementara orang
yang berharap agar Paus Francis mengendurkan doktrin dan praktik tradisional
Gereja, secara mengejutkan hanya ada sedikit sekali perhatian umat diberikan kepada
komentar dari salah satu wali gereja tertinggi dan terkuat di dunia barat,
bahwa paus Francis dipilih
oleh sebuah ‘mafia’ liberal, yang terdiri dari sekelompok uskup dan kardinal
progresif yang telah bekerja selama bertahun-tahun untuk mewujudkan tujuan ini
dengan tepat.
Jauh dari
tuduhan para konservatif Gereja, istilah ini (Mafia St.Gallen) pertama kali digunakan
dalam wawancara televisi pada September 2015 oleh Kardinal Godfried Danneels, pensiunan uskup agung,
namun masih sangat berpengaruh di Brussels-Mechelen. Danneels mengatakan bahwa
dia telah bertahun-tahun menjadi bagian dari kelompok ini yang telah menentang
Paus Benediktus XVI sepanjang masa pemerintahannya. Kelompok itu, katanya, berusaha untuk mewujudkan Gereja Katolik
yang "lebih modern", dan untuk mendorong terpilihnya uskup agung
Buenos Aires, Jorge Mario Bergoglio, menjadi paus. Sebuah penelitian atas latar
belakang dari ucapan-ucapan yang luar biasa ini, dapat memberikan wawasan
tentang sifat politik gerejawi saat ini, khususnya di kalangan episkopal
liberal Eropa.
Mafia St. Gallen? Apa itu, kapan itu dibentuk,
oleh siapa dan mengapa?
"Grup St.
Gallen adalah semacam nama yang mewah," kata Danneels, untuk mengundang tawa
apresiatif dari audiensinya
langsung. "Tapi pada kenyataannya kami menyebut diri kami dan kelompok ini
sebagai 'mafia'." Kardinal Danneels mengucapkan kalimat ini pada program televisi Belgia.
Dalam video singkat yang diunggah ke internet, yang berisi pernyataan Danneels,
sebuah suara narator meringkaskan sifat dari kelompok yang “bertemu setiap
tahun sejak 1996” di St. Gallen, Swiss, yang awalnya atas undangan uskup kota
itu, Ivo Fürer, dan seorang imam Jesuit dan akademisi Italia yang terkenal,
uskup agung Milan, Kardinal Carlo Maria Martini.
“Bersama-sama
mereka mengatur 'perlawanan' rahasia terhadap Kardinal Ratzinger, yang pada
waktu itu adalah tangan kanan Yohanes Paulus II,” dimana Ratzinger menjabat sebagai sebagai
kepala Kongregasi untuk Doktrin Iman.
"Ketika
Paus Yohanes Paulus II wafat pada tahun 2005, kelompok itu telah mendorong Paus
[Francis] yang sekarang ini, untuk maju ke depan," meskipun upaya pertama ini gagal
dalam menempatkan
Jorge Mario Bergoglio di atas takhta kepausan. Ketika dihadapkan dengan
pemilihan Ratzinger sebagai Paus Benediktus XVI, "Danneels hampir-hampir
tak bisa menyembunyikan kekecewaannya," kata narator itu.
Danneels
memberikan wawancara untuk mempromosikan biografinya yang resmi, dan
menambahkan bahwa kelompok St. Gallen memiliki anggota uskup-uskup dan kardinal-kardinal,
"terlalu banyak untuk disebutkan." Tetapi mereka semua memiliki
tujuan umum yang sama: pelaksanaan agenda "liberal / progresif",
oposisi terhadap Paus Benediktus dan menghadapkan kaum konservatist kepada doktrin-doktrin yang moderat. Meskipun kemudian mereka menolak bahwa kelompok
itu bersifat rahasia, tetapi Danneels berkata, “Banyak hal dibahas dengan
sangat bebas; tidak ada laporan yang dibuat (dalam pertemuan-pertemuan kelompok
ini) sehingga semua orang bisa menyampaikan apa saja yang dipikirkannya."
Program TV ini mewawancarai
penulis biografi Danneels, Jurgen Mettepenningen, dimana dia mengatakan bahwa pada
2013, dengan pengunduran diri Benediktus, “Anda dapat mengatakan bahwa melalui
partisipasinya dalam kelompok itu, Kardinal Danneels telah menjadi salah satu
dari mereka yang menjadi pelopor terpilihnya Paus Francis."
Para penulis
biografi Danneels mendata berbagai keprihatinan dari kelompok itu: "situasi
Gereja," "kekuasaan Paus," "kebersamaan," dan
"suksesi Yohanes Paulus II." Seorang pemerhati Vatikan dari Inggris, Edward
Pentin, menulis bahwa mereka "juga membahas sentralisme di dalam Gereja,
fungsi konferensi para uskup, pengembangan imamat, moralitas seksual [dan]
penunjukan para uskup.” Suatu skema yang kurang lebih identik dengan skema yang
akan muncul di depan umum pada kedua Sinode tentang Keluarga, yang diselenggarakan
oleh Paus Francis pada tahun 2014 dan 2015.
Biografi resmi
kardinal ini ditulis bersama oleh Mettepenningen dan Karim Schelkens. Sebagai
salah satu uskup Katolik paling kuat di Eropa, dan salah satu suara terkemuka
di kubu liberal yang dominan di keuskupan Eropa, maka biografi Danneels sangat
menarik perhatian publik. Supaya tidak dianggap bahwa kardinal itu sedang bercanda,
maka keberadaan dan tujuan umum dari mafia "St. Gallen" dikonfirmasi
keesokan harinya oleh Schelkens dalam sebuah wawancara dengan stasiun radio di kota St. Gallen.
Pentin
merangkum, menulis dalam the National
Catholic Register (3): "Kepribadian dan ide-ide teologis
dari para anggota (mafia St.Gallen) kadang berbeda, tetapi ada satu hal yang menyatukan
mereka: ketidaksukaan mereka terhadap kepala Kongregasi untuk Ajaran Iman,
Kardinal Joseph Ratzinger."
Pentin menulis,
“Kelompok itu menginginkan reformasi Gereja yang drastis, jauh lebih modern dan
terkini, dengan Jorge Bergoglio, Paus Francis, sebagai pemimpinnya. Dan mereka
mendapatkan apa yang mereka inginkan." Pentin menambahkan dalam artikelnya
kemudian, bahwa meskipun kelompok St. Gallen secara resmi menghentikan
pertemuan mereka pada
tahun 2006, tetapi tidak diragukan
lagi bahwa pengaruh mereka terus berlanjut hingga 2013 (saat konklaf). "Sungguh
aman untuk mengatakan bahwa kelompok itu membantu membentuk jaringan yang melapangan
jalan untuk setidaknya mendukung Kardinal Bergoglio pada Konklaf tujuh tahun
kemudian."
Pada 2015,
penulis Jerman dan pakar Vatikan, Paul Badde, mengkonfirmasi hal ini, dan mengatakan
bahwa dirinya telah
menerima "informasi yang dapat dipercaya," bahwa tiga hari setelah
penguburan Paus Yohanes Paulus II, Kardinal Martini, Lehmann dan Kasper dari
Jerman, Bački dari Lituania, van Luyn dari Belanda, Danneels dari Brussels, dan
Murphy O'Connor dari London “bertemu di tempat yang disebut Villa Nazareth di
Roma, rumah Kardinal Silvestrini, yang kemudian tidak lagi memenuhi syarat untuk memilih;
mereka kemudian membahas secara rahasia taktik tentang cara menghindari terpilihnya
Joseph Ratzinger."
Berkut ini
pernyataan Danneels, berupa
sebuah surat yang agak membingungkan muncul dari keuskupan St. Gallen yang
sebagian menarik kembali klaim bahwa kelompok itu telah mempengaruhi
pengunduran diri Paus Benediktus. Surat itu memang mengkonfirmasi bahwa
pemilihan Jorge Bergoglio sebagai Paus Francis pada 2013 “sesuai dengan tujuan
yang dikejar oleh mafia St. Gallen,” dan mencatat bahwa informasi ini berasal
dari biografi Cardinal Danneels. "Hal ini juga telah dikonfirmasi oleh
Uskup Ivo Fürer," lanjut surat itu, yang mengatakan bahwa
"kegembiraannya atas pemilihan orang Argentina itu tidak pernah
dirahasiakannya." Biografi Danneels mengatakan bahwa kelompok itu mulai
terbentuk jauh sebelum tahun 1996. Pada tahun 1982 Danneels menghadiri
pertemuan Dewan Konferensi Para Uskup Eropa (CCEE) untuk pertama kalinya dan bertemu
dengan Martini dan Ivo Fürer, yang digambarkan sebagai "sekretaris CCEE
yang bersemangat dan bijaksana.” Martini mengambil kendali CCEE pada tahun
1987; kepemimpinannya jelas mengarah ke aliran liberal, dan pada tahun 1993
paus telah memutuskan bahwa sekretaris kelompok itu akan menjadi seorang uskup
yang ditunjuk oleh Roma, bahwa uskup agung harus menghadiri pertemuan dan
akhirnya tempat itu harus dipindahkan ke Roma.
Pada tahun 1993,
paus memindahkan presiden CCEE dari tangan Martini ke tangan Miroslav Vlk,
uskup agung Praha. Mungkin hal ini didorong oleh jatuhnya Tembok Berlin dan
runtuhnya Uni Soviet, dengan keinginan untuk melibatkan para uskup Eropa Timur. Vlk
tidak tertarik pada jenis reformasi Gereja yang disukai oleh hati Martini dan
Hume.
Perubahan-perubahan
ini menghambat CCEE sebagai kendaraan untuk memberikan tekanan dari pihak liberal
terhadap Gereja dan sejak periode inilah Danneels melepaskan diri darinya.
Kelompok St. Gallen mulai bertemu pada tahun 1996 atas undangan Ivo Fürer - yang
telah ditunjuk menjadi uskup St. Gallen pada tahun 1995 - tiga tahun setelah
perubahan manajemen ini.
Kemudian, dua
penulis biografi Danneels menarik kembali sebagian dari deskripsi mereka
tentang kelompok St. Gallen sebagai kelompok "lobi" liberal. Namun
demikian, ambiguitas yang sama dapat dideteksi seperti dalam surat dari
Keuskupan St. Gallen yang mereka kutip dalam pernyataan mereka. Pentin
melaporkan pada 26 September 2015 bahwa para penulis biografi itu mengulangi
surat resmi dari keuskupan, dengan mengatakan “pemilihan Bergoglio telah sesuai
dengan tujuan kelompok
(mafia) St. Gallen; atas hal ini tidak ada keraguan lagi.”
Dan garis besar
programnya diatur oleh Danneels
dan sesamanya yang telah mendiskusikannya selama sepuluh tahun. ”Mereka mengatakan
bahwa kegagalan untuk memilih Bergoglio pada tahun 2005 menyebabkan pembubaran
kelompok itu. Namun Pentin bisa menunjukkan,
bagaimanapun, bahwa beberapa anggota St. Gallen atau rekan dekat mereka, yang kemudian dinamai oleh penulis biografi kepausan Inggris,
Austen Ivereigh, sebagai bagian dari "Tim Bergoglio," kelompok
kardinal yang akhirnya membawa rencana St. Gallen untuk membuahkan hasil di
Konklaf 2013.
Siapa-Siapa Mereka? - Anggota Terkemuka Dan Kualifikasi Mereka
Terutama para
uskup dalam kelompok St.Gallen prihatin dan mereka berusaha mencegah terpilihnya Ratzinger pada Konklaf tahun
2005. Tetapi secara umum tidak sulit untuk menentukan siapa mereka itu, dengan memeriksa
karier mereka -- ke arah
mana para anggota “mafia” St Gallen ini berharap untuk mengarahkan Gereja kepada masalah-masalah yang krusial. Idenya sederhana: untuk mengumpulkan
para uskup yang kuat dan berpikiran sama ini, untuk menggunakan jaringan kontak
mereka yang luas untuk menghasilkan apa yang akan dikenal oleh para analis
politik sebagai "perubahan rezim."
Program yang
mereka ajukan itu ditulis dengan memakai semboyan “desentralisasi”,
“kolegialitas” dan Gereja yang lebih “pastoral”. Dengan istilah yang terakhir
ini mereka maksudkan bahwa mereka ingin melepaskan diri dari penegakan yang
tegas atas ajaran moral Katolik yang telah menjadi ciri khas dari Paus Yohanes
Paulus II dan bergerak menuju pendekatan yang sejak itu terlihat dalam Sinode
tentang Keluarga. Slogan-slogan desentralisasi dan kolegialitas juga memperlihatkan kritik implisit
terhadap Yohanes Paulus II dan cara dia memerintah Gereja. Yohanes Paulus II
naik takhta setelah lima belas tahun masa pemerintahan Paulus VI, yang pada
waktu itu konsekuensi radikal dari Konsili Vatikan II diselesaikan. Apakah
penafsiran liberal paus Paulus VI tentang Konsili itu benar atau tidak, saat
ini menjadi subyek kontroversi (telah ditentang oleh "Hermeneutic of
Continuity" yang dikemukakan oleh Benediktus XVI); tetapi yang tidak dapat
diperdebatkan adalah bahwa hasil pemerintahan paus Paulus VI di beberapa
daerah tidaklah menguntungkan. Hampir 50.000 imam meninggalkan imamat selama
tahun-tahun ini, panggilan hidup religius secara umum, di antara pria dan
wanita, mengalami keruntuhan dalam skala yang sama, dan ada penolakan luas terhadap
pengajaran Gereja -- paling
tidak dari ensiklik Humanae Vitae
milik Paulus VI
sendiri.
Fenomena ini
ditekankan oleh janji Paulus VI dalam penunjukkan jabatan uskup. Untuk
mengambil satu contoh dari Amerika Serikat, hierarki di sana diubah oleh nominasi
yang dibuat oleh Uskup Agung Jadot, yang dalam waktu tujuh tahun (1973-1980)
berhasil menunjuk sendri sebanyak 103 uskup dan mempromosikan 15 uskup agung. Di
antara yang terakhir ini, calon uskup yang terbukti perbuatannya sangat memalukan,
termasuk Uskup Agung Seattle, yang manajemennya kemudian memprovokasi
intervensi Vatikan yang
berupa penugasan seorang wakil Vatikan disana, dan terutama Uskup Agung Weakland dari
Milwaukee, yang akhirnya mengundurkan diri setelah dia membayar denda 450.000 dolar yang diambil dari dana
keuskupan untuk
diberikan kepada seorang kekasih prianya (homosex) yang mengancamnya akan melakukan tuntutan hukum.
Konsekuensi dari pemilihan pastor-pastor "liberal" seperti itu sungguh terasa dalam, derajat yang
lebih besar atau lebih kecil, pada banyak sektor Gereja di seluruh dunia.
Yohanes Paulus
II naik ke tahta kepausan dengan tekad untuk menghentikan kebusukan ini, dan untuk
sebagian besar dia berhasil, tetapi dia meninggalkan banyak ketidakpuasan di
antara mereka yang berasal dari sekolah bentukan Paulus VI. Karena Yohanes
Paulus II sering tidak dapat mengandalkan hierarki yang telah diwarisinya, dia
mengikuti kebijakan kontrol kepausan,
dan dia memiliki sedikit pilihan dalam upayanya untuk memulihkan pengajaran
ortodoks dan kehidupan religius Katolik.
Tidak diragukan
lagi bahwa dia telah memperketat disiplin Gereja, tetapi apakah dia dapat
dengan adil disebut sebagai orang yang melakukan sentralisasi, berlawanan
dengan sebuah kelompok yang mengusahakan semangat "kolegialitas" di
dalam Gereja, yang terbuka untuk dipertanyakan. Sentralisme John Paul II, yang
ditentang oleh para uskup dari St. Gallen Group, adalah tanggapan terhadap
keadaan kacau yang datang dengan cara yang sama-sama sentralistis. Adalah naif
untuk tidak mengakui bahwa slogan desentralisasi dan kolegialitas yang
digunakan oleh kelompok St.Gallen adalah merupakan kata-kata sandi bagi program liberal yang
luas, yang perlu dijelaskan lebih jauh.
Mereka yang
telah menyaksikan adegan drama dalam Gereja Katolik selama tiga puluh tahun
terakhir akan dengan mudah mengenali nama-nama tokoh utama Grup St. Gallen. Di
antara yang terdaftar oleh Pentin, yang paling terkenal adalah Danneels, bersama
dengan sarjana Alkitab dan uskup agung dari Milan, Kardinal Carlo Maria Martini,
dan teolog Jerman Kardinal Walter Kasper.
Martini
Nama yang paling
terkenal dan pemimpinnya yang tak terbantahkan dalam kelompok St. Gallen adalah
Carlo Maria Cardinal Martini, karena sebagian besar dari tahun-tahun
pemerintahan, baik
John Paul II mau
pun Benediktus XVI, telah mengaggap Martini sebagai tokoh
terkemuka dari faksi liberal Gereja. Hasil wawancara dan tulisan Martini
memberi petunjuk tentang antusiasme Bergoglio untuk menjadikannya sebagai mentornya;
banyak istilah dan frasa favorit kardinal muncul kembali dalam tulisan Paus
Francis sendiri dan dalam pidato tanpa basa-basi.
Pada tahun 2008,
Sandro Magister menggambarkan Kardinal Martini sebagai seorang yang berperilaku
"halus dan buram," tetapi menambahkan: ada kalanya ia keluar ke
tempat terbuka. “Tentang selibat imamat, misalnya, dia mengatakan dan tidak
mengatakan. Hal yang sama juga tentang imam wanita. Dan tentang homoseksualitas. Dan
kontrasepsi. Dan ketika dia mengkritik hierarki Gereja, dia tidak mau menyebut nama, orang atau
keterangan lanjutan."
Tetapi pada
tahun itu, Martini memberikan wawancara panjang di mana dia secara terbuka menentang
pengajaran Paus Paulus VI tentang kontrasepsi di dalam Humanae Vitae. Pelarangan kontrasepsi pada ensiklik yang
kontroversial itu, kata kardinal Martini, telah menyebabkan "kerusakan
serius," dan dia menyalahkan hal itu sebagai penyebab dari banyaknya umat
Katolik yang meninggalkan praktik iman mereka sejak 1968.
Kardinal Martini
terutama memuji tanggapan terhadap ensiklik Humanae
Vitae dari pihak konferensi para uskup nasional Austria, Jerman dan lain-lainnya, dengan
mengatakan bahwa mereka “mengikuti jalan yang dapat kita teruskan hari ini.”
“Budaya kelembutan baru” ini adalah “suatu pendekatan terhadap seksualitas yang
lebih bebas dari prasangka."
Sebaliknya,
Yohanes Paulus II telah "mengikuti jalan penerapan yang keras" atas Humanae Vitae. “Dia tidak ingin ada
keraguan tentang hal ini. Tampaknya dia bahkan mempertimbangkan deklarasi yang
akan mendukung keistimewaan infalibilitas kepausan.”
“Saya sangat
yakin bahwa Gereja dapat menunjukkan cara yang lebih baik daripada yang
dilakukan dengan Humanae Vitae. Mampu
mengakui kesalahan seseorang dan keterbatasan sudut pandang seseorang
sebelumnya adalah tanda kebesaran jiwa dan kepercayaan diri. Gereja akan
mendapatkan kembali kredibilitas dan kompetensinya.”
Martini, yang meninggal
pada 2012 hanya beberapa bulan sebelum Paus Benediktus mengumumkan pengunduran
dirinya, adalah seorang Yesuit Italia, seorang sarjana Alkitab yang terkenal.
Dia menjabat sebagai Uskup Agung Milan selama tahun-tahun paling produktif pada
masa pemerintahan John Paul II, 1980 hingga 2002. Sebagai tokoh paling
berpengaruh di Gereja Katolik Italia, dan sebagai kepala keuskupan agung Milan
- secara tradisional “layak menjadi paus” - Martini sudah lama dianggap sebagai
kandidat liberal yang ideal untuk kepausan. Namun, dia tidak bisa berjalan cepat setelah
didiagnosis berpenyakit Parkinson yang langka. Dia mengundurkan diri dari jabatanya
pada tahun 2002, tetapi tetap menjadi tokoh paling penting dari Gereja-kiri
(Gereja sosialis/komunis) di Eropa.
Hanya beberapa
jam setelah kematiannya pada bulan Agustus 2012, Corriere della Sera
menerbitkan wawancara terakhir Martini. Hampir dengan napas sekaratnya, Martini
menyatakan bahwa Gereja sebagai sebuah institusi adalah "200 tahun
kedaluwarsa." Kardinal itu berkata, "Gereja harus mengakui
kesalahannya dan harus mengambil jalan perubahan radikal, dimulai dari Paus dan
para uskup." Ini terutama di bidang ajaran seksual, dimana dia menyiratkan,
hal itu adalah penyebab dari krisis pelecehan seks klerus. Dalam wawancara tersebut,
Martini memetakan kebijakan yang akan diajukan oleh kaum liberal dalam dua
Sinode tentang Keluarga pada tahun 2014 dan 2015, dan yang kemudian dimasukkan,
dengan cara yang lebih ambigu, ke dalam anjuran Paus Francis Amoris Laetitia: dia mendesak pendekatan yang lebih pribadi dan
tidak terlalu doktrinal terhadap moralitas seksual, terutama pada kasus
pasangan yang bercerai dan menikah lagi dengan orang lain, yang dia nyatakan
“perlu perlindungan khusus,” dan dia menyatakan perbedaan pendapatnya dari
sikap tradisional Gereja terhadap homoseksualitas.
Kasper
Sementara
Martini terutama dikenal di Italia, Walter Kasper dari Jerman memiliki profil
yang lebih terkenal di Amerika
Utara, di mana dia
secara teratur mengajar dan memberikan wawancara. Buku-buku Kasper telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan di AS selama beberapa
dekade, dan dia telah
menjadi profesor tamu di Universitas Katolik Amerika sejak tahun 1983. Namun,
sebagai orang yang meluncurkan kontroversi paling sengit tentang kepausan Paus
Francis, namanya kemungkinan akan hidup terus setelah dia mati.
Paus Fransiskus
mengundang Kasper untuk memberikan pidato utama di konsistori Februari 2014, dimana hal ini memicu
serangkaian peristiwa dan badai debat yang baru saja tumbuh. Di konsistori
inilah dia mempresentasikan “Proposal Kasper” - bahwa umat Katolik yang
bercerai dan secara sipil menikah kembali dapat diizinkan untuk menerima
absolusi dan Komuni setelah mengikuti “proses penyesalan”, tetapi tanpa perlu berjanji untuk
tidak melakukan hubungan sex. Tetapi puncak karier Kasper ini melewati berbagai tekanan selama
puluhan tahun di setiap keadaan
dan peristiwa yang muncul saat itu, demi membela apa yang disebut sebagai Agenda Martini.
Kasper terus dan
secara terbuka menentang arah Gereja Wojtyla / Ratzinger, bahkan ketika dia menjadi seorang pejabat
Kuria. Untuk sebagian besar masa pemerintahan Yohanes Paulus II, dan sebelumnya
sebagai mahasiswa dan asisten teolog radikal pastor Hans Küng di universitas Tübingen, nama
Kasper identik dengan kamp progresif di Jerman dan di dalam Kuria. Dengan sikap menekan agar orang lain mau menerima
usulannya bahwa umat
Katolik yang bercerai dan menikah kembali adalah menjadi inti dari pekerjaan umum Kasper
dalam beberapa tahun terakhir, tetapi barulah pada saat terpilihnya Jorge Bergoglio sebagai paus, tujuan itu
tampaknya dimungkinkan.
Dalam pidato
Angelus pertamanya, pada
hari Minggu, tanggal 17 Maret
2013, Paus yang baru memberikan apa yang mungkin merupakan sinyal paling jelas
dari arah yang hendak diambilnya. Berbicara tentang buku baru Kasper: Belas Kasih. Berbicara soal esensi Injil dan
Kunci Kehidupan Kristiani, demikian Francis berkata, “Dalam beberapa hari terakhir saya telah
membaca sebuah buku dari seorang Kardinal
- Kardinal Kasper, seorang teolog yang pandai, seorang teolog yang baik – mengenai belas kasih. Dan buku itu
memberi saya banyak sekali
manfaat, tetapi jangan berpikir saya mempromosikan buku-buku kardinal
saya! Tidak sama sekali! Namun buku itu telah memberi saya banyak manfaat, sangat banyak manfaat ... Kardinal
Kasper mengatakan bahwa rasa belas kasihan, bahwa kata ini saja, bisa mengubah segalanya.”
Pada sebuah
ceramah di Universitas Fordham, Kasper menceritakan kisah "seorang
kardinal tua" yang setelah pidatonya ini, mencoba memperingatkan paus bahwa "ada ajaran sesat
dalam buku ini." Dan
Paus yang baru, paus Francis, kata Kasper,
menceritakan kembali kisah itu kepadanya, dan dengan tersenyum Francis memberikan sebuah kepastian, "(usulan kardinal) Ini
masuk di satu telinga dan keluar dari telinga yang lain."
Dalam sebuah
wawancara dengan media Commonweal, Kasper menegaskan posisinya, dan mengatakan bahwa dia menentang pendekatan
"rigourist" (keras)
dari teologi moral masa lalu. Dia mengambil logika selangkah lebih maju, dengan mengatakan bahwa
seorang Katolik yang bercerai dan menikah kembali, secara moral berkewajiban untuk tidak
melepaskan relasinya
yang baru.
Pertobatan, dalam pengertian
tradisional Katolik,
terkadang tidak mungkin
dilakukan, dan bahkan justru berpotensi menciptakan dosa baru. Orang-orang “harus melakukan yang terbaik dalam situasi
tertentu”, dan jika ada anak-anak dari pernikahan yang kedua, maka pasangan yang mematuhi ajaran tradisional Katolik akan memiliki rasa bersalah
aktif di dalam hatinya, dengan cara memutus ikatan keluarga dari perkawinan yang kedua.
Dengan adanya Sinode tentang Keluarga, maka Kasper menjadi
lebih vokal suaranya pada
peluncuran buku di Roma, dengan mengadopsi salah satu slogan lobi LGBT, bahwa
homoseksualitas tidak boleh dijadikan subjek "fundamentalisme agama."
"Bagi saya,
kecenderungan (menjadi
gay) ini adalah tanda tanya: itu tidak mencerminkan rancangan asli dari Tuhan dan itu
kenyataan, karena Anda dilahirkan sebagai gay."
Danneels
Tentu saja di
antara tokoh-tokoh gereja yang paling terkenal ini adalah Godfried Danneels
sendiri, selama lebih dari 30 tahun dia mengepalai tidak hanya di keuskupan agung Brussels
yang kaya dan berpengaruh, tetapi juga atas jaringan kontak politik, sosial dan
peradilan yang membuatnya sangat berpengaruh secara politik. Dalam masa
jabatannya yang panjang, Danneels tidak pernah kesulitan untuk mempertahankan pendapatnya
tentang sebagian besar masalah “panas” yang menjadi perhatian Gereja, terutama
di bidang moralitas seksual: aborsi, kontrasepsi, homoseksualitas dan perkawinan
homoseksual.
Danneels
terkenal di seluruh Eropa karena menggunakan pengaruh politik untuk mendesak
liberalisasi hukum Belgia tentang seks dan pernikahan. Pada tahun 1990, dia menyarankan kepada Raja Baudouin
dari Belgia untuk menandatangani undang-undang yang mengesahkan aborsi dan
kemudian menolak untuk menarik materi pendidikan seks eksplisit - yang dikecam
sebagai pornografi oleh banyak orang tua - dari sekolah-sekolah Katolik Belgia.
Dia pernah mengatakan
bahwa legalisasi pernikahan sesama jenis di Belgia adalah sebuah "perkembangan
positif." Pada Mei 2003, dia menulis surat kepada Perdana Menteri Guy
Verhofstadt, yang mempersiapkan masa jabatan keduanya, memberi selamat kepada
pemerintah Verhofstadt atas "persetujuan atas undang-undang bagi hubungan yang menetap antara pasangan sesama jenis."
Beberapa bulan
setelah pensiun, pada bulan April 2010, Danneels secara khusus berada di bawah naungan skandal, dituduh
telah melindungi seorang uskup yang mengaku telah melakukan pelecehan seksual
terhadap anak kecil
keponakannya sendiri. Pada 2010 terungkap - dengan penerbitan rekaman audio -
bahwa Danneels telah mengatakan kepada si korban agar tetap diam dan tidak menimbulkan masalah bagi Uskup Roger
Vangheluwe yang akan segera pensiun dari Bruges, bahkan menyatakan bahwa korban
harus “meminta maaf.”
Sebelum rekaman dirilis, Danneels telah menolak semua informasi tentang
pelecehan seksual oleh klerus
atau menutup-nutupi
kasus seksual. Namun pastor yang mengungkap rahasia itu, Rik Devillé, kemudian
mengklaim bahwa dirinya telah
memperingatkan Danneels tentang perbuatan Vangheluwe pada pertengahan 1990-an.
Karena undang-undang pembatasan yang berlaku telah berakhir, Vangheluwe tidak
pernah diselidiki pihak
berwenang atas kejahatannya, meskipun dia telah mengeluarkan permintaan maaf secara terbuka kepada para
korban.
Setelah ini,
gelombang pengaduan ratusan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh para klerus selama periode
dua puluh tahun mendorong intervensi oleh polisi yang menggerebek rumah
Danneels dan kantor keuskupan. Komputer dan file disita, termasuk semua
dokumentasi yang dikumpulkan oleh komisi keuskupan tentang tuduhan pencabulan. Kardinal itu
kemudian diperiksa oleh jaksa penuntut selama 10 jam tetapi tidak ada tuduhan yang ditetapkan atas dirinya.
Karena alasan yang
masih belum jelas, bukti yang disita polisi dinyatakan tidak dapat diterima,
dokumen-dokumen dikembalikan ke keuskupan agung dan penyelidikan ditutup dengan
begitu saja. Ini
terlepas dari kenyataan bahwa individu-individu yang berkaitan dengan para korban, telah
mengajukan hampir lima ratus pengaduan terpisah, termasuk banyak orang yang menduga Danneels
menggunakan kekuasaan dan relasinya yang erat dengan kekuasaan, untuk melindungi
pelecehan seksual oleh
klerus.
Peter
Adriaenssens, ketua komisi pelecehan seks yang dibentuk oleh penerus Danneels, Uskup Agung André
Leonard, mengeluh kepada jaksa tentang penggerebekan tersebut, dengan
mengatakan bahwa hasilnya adalah timnya telah kehilangan semua 475 dokumen yang
telah mereka kumpulkan atas tuduhan pencabulan. Kemudian komisi itu dibubarkan dan tidak ada
penyelidikan lebih lanjut yang pernah dilakukan, meskipun Adriaenssens mengatakan
bahwa sekitar 50 dari dokumen itu melibatkan sosok Danneels.
Pada bulan
Desember tahun yang sama, Danneels menyatakan kepada komite parlemen tentang
pelecehan seksual, bahwa
tidak pernah ada kebijakan untuk menutupi para klerus pelaku pencabulan. Keuskupan agung Brussels-Mechelen
kemudian mengeluarkan permintaan maaf secara publik karena ‘bersikap diam’ atas pelecehan
seksual klerus terhadap
anak-anak di
bawah umur.
Adriaenssens menyatakan kekecewaannya kepada Danneels, dimana penggantinya,
seorang konservatif pengikut
Ratzinger yang terkenal, dia gambarkan sebagai "sama sekali tidak cocok untuk
Brussels." Dengan terpilihnya Joseph Ratzinger sebagai Paus Benediktus
pada 2005, bintang Danneels tampaknya telah memudar tanpa dapat ditawar lagi.
Tetapi Konklaf
2013 mengembalikan Danneels ke garis depan politik Gereja, dimana paus yang baru
mengundangnya untuk bergabung dengannya di St. Peter's Loggia untuk penampilan
pertamanya di hadapan publik. Dia
diberi hak istimewa untuk mendaraskan doa resmi pada misa pelantikan. Kemudian kardinal, yang
oleh banyak orang dianggap “amat memalukan,” diundang oleh paus Fransiskus dan diberi peran sebagai pembantu khusus
kepausan untuk mengikuti
kedua Sinode tentang Keluarga tempat dia mengambil peran penting. Danneels
sendiri menggambarkan Konklaf terakhir itu sebagai "pengalaman kebangkitan pribadi."
"Team
Bergoglio" melengkapi karya St. Gallen
Terlepas dari aturan kerahasiaan yang
ketat, terungkap setelah Konklaf 2005 bahwa uskup agung Yesuit dari Buenos
Aires, Jorge Mario Bergoglio, menjadi runner-up. Kelompok St. Gallen hampir
semuanya hadir dan berusaha keras demi terpilihnya kandidat mereka. Dan
dukungan mereka sangat signifikan. Pada pemungutan suara kedua, Bergoglio memperoleh
40 suara dan Ratzinger 72 suara. Paul Badde mengatakan bahwa itu adalah
Kardinal Meisner dari Cologne yang telah "dengan penuh semangat
bertarung" melawan kelompok St. Gallen demi Ratzinger, "dan terutama untuk
menentang Kardinal Danneels". Seorang kardinal anonim, yang membuat catatan
harian mengenai proses tersebut, mengatakan: “Jesuit Argentina itu selangkah
lagi dari ambang angka 39 suara, yang secara teoritis, dapat memungkinkan
minoritas terorganisir untuk memblokir pemilihan kandidat siapa pun.” Sejarah telah
menunjukkan hasilnya, dan kelompok St. Gallen mundur setelah 2005.
Tapi kepausan Benedict kacau,
terutama pada tahun terakhirnya, dan dengan kejutan dari pengunduran dirinya,
apakah kelompok St.Gallen itu memiliki andil di dalamnya atau tidak, bahwa mereka melihat peluang terakhir. Dengan matinya
kardinal Martini, dan sebagian besar anggota kelompok St.Gallen telah hampir
sampai pada umur yang dilarang untuk berpartisipasi dalam Konklaf (80 tahun), maka
waktu milik mereka hampir habis – maka mereka sadar bahwa ini adalah kesempatan
realistis terakhir mereka. Dengan periode "sede vacante" yang
mendahului Konklaf resmi dimulai, hanya beberapa hari sebelum ulang tahun
Walter Kasper yang ke-80, beberapa orang bertanya apakah layak untuk percaya
bahwa pengunduran diri mendadak dari Benediktus hanyalah suatu kebetulan saja.
Ulang tahun Danneels yang ke-80 akan datang hanya beberapa bulan kemudian, dan
Lehmann hanya memiliki sisa tiga tahun lagi.
Pertanyaan soal dukung mendukung pada
kampanye pemungutan suara di Konklaf sangat penting karena revisi oleh Paus
Yohanes Paulus II secara khusus melarangnya, dan dengan sanski exkom otomatis.
Dokumen hukum kepausan tahun 1996 yang mengatur Konklaf, Universi Dominici Gregis (UDG), secara khusus melarang kegiatan
semacam ini dan memberi hukuman berat bagi mereka yang berkampanye dan bagi
mereka yang memberikan persetujuannya kepada para juru kampanye. Dan seorang
paus yang diexkom, maka dia bukanlah paus.
UDG no.81 mengatakan, “Para Kardinal pemilih,
terutama, haruslah menjauhkan diri dari semua pakta, persepakatan, janji, dan
kewajiban lainnya, dimana dengan hal itu mereka dilarang untuk memberikan atau
menolak dukungan bagi siapa pun.” John Paul berpendapat bahwa Konklaf haruslah
menjadi sebuah peristiwa religius, bukan peristiwa politik, dan bahwa para
kardinal pemilih harus melakukan doa dan memohon bimbingan dari Roh Kudus,
bukan pemihakan secara duniawi. Karena ada saja komplotan rahasia yang
bermaksud menggunakan kesempatan Konklaf untuk mengarahkan Gereja dari belakang
takhta.
Terlepas dari ambisi reformis ini,
dalam bukunya tahun 2014 tentang Bergoglio, The
Great Reformer, Ivereigh menulis adanya kampanye terbuka tentang pemungutan
suara yang dilakukan oleh sekelompok yang terdiri dari empat orang kardinal
pada 2013. Mereka adalah tiga alumni St. Gallen: Walter Kasper, Godfried
Danneels, dan Kardinal Karl Lehman. Namun di antara kelompok mereka, sejak
beberapa saat sebelumnya, telah ada seseorang yang bertugas khusus ‘menangani’
para perwakilan yang berbahasa Inggris, yaitu Kardinal Basil Hume, uskup agung
Westminster. Hume meninggal pada tahun 1999, tetapi penggantinya, dengan ideologi
dan episkopal yang sama, adalah Kardinal Cormac Murphy O'Connor. Ivereigh
menulis bahwa meskipun usianya lebih dari 80, menjadi tugas Murphy O'Connor selama
sidang umum pra-Konklaf dan keterlibatan sosialnya untuk merekrut para kardinal
pemilih yang berbahasa Inggris bagi tujuan kelompok tersebut.
Meskipun Kardinal Bergoglio sendiri
bukanlah anggota kelompok St. Gallen, Ivereigh mengatakan, namun secara verbal Bergoglio
memberikan "persetujuan" kepada Murphy O'Connor untuk menjadi
kandidat untuk "Tim Bergoglio,” ini merupakan sebuah tindakan yang juga
dilarang oleh interpretasi ketat dari Universi
Dominici Gregis. Meskipun keempat kardinal yang disebut oleh Ivereigh
belakangan membantah perkataannya - dan Ivereigh berjanji untuk mengedit edisi
buku yang akan datang – namun dalam kasus ini setidaknya Kardinal Murphy
O'Connor, dari pernyataannya sendiri sebelumnya, telah bertentangan dengan penyangkalan
empat kardinal itu. Pada akhir 2013, uskup agung Westminster memberikan
wawancara kepada Catholic Herald di
mana dia mengaku tidak hanya berkampanye di Konklaf, tetapi juga mendapatkan
persetujuan Bergoglio untuk menjadi pendukung mereka.
Artikel oleh Miguel Cullen di dalam Herald edisi 12 September 2013
mengatakan, “Kardinal itu juga mengungkapkan bahwa dia telah berbicara kepada calon
Paus itu, ketika mereka meninggalkan Missa
pro Eligendo Romano Pontifice, Misa terakhir sebelum konklaf dimulai pada
12 Maret."
Murphy O'Connor berkata, “Kami
berbicara sedikit. Saya berkata kepadanya (Bergoglio) bahwa saya berdoa bagi
dia dan saya berkata dalam bahasa Italia: "Hati-hati." Saya memberi isyarat,
dan dia mengerti dan berkata: "Si - capisco" – (ya, saya mengerti.)
Dia nampak tenang. Dia sadar bahwa dia mungkin akan menjadi kandidat. Apakah saya
tahu dia akan menjadi Paus? Tidak. Ada kandidat bagus lainnya. Tetapi saya tahu
dia akan menjadi salah satu yang terkemuka.'' Peringatan kepada Bergoglio untuk
'berhati-hati' tentu tampaknya menyiratkan bahwa Murphy O'Connor dan Bergoglio
tahu bahwa Bergoglio setidaknya menyimpang dari aturan.
Hal ini didukung lagi dalam artikel
yang sama di media Herald di mana
Murphy O'Connor dikutip mengatakan, “Semua kardinal mengadakan pertemuan dengan
paus Francis di Hall of Benedictions, dua hari setelah pemilihannya. Kami semua
naik satu per satu kesana. Dia menyapa saya dengan sangat hangat. Dia
mengatakan sesuatu seperti: "Itu salahmu. Apa yang telah kau lakukan
padaku?'"
Dalam sebuah wawancara dengan media the Independent setelah konklaf, Murphy
O'Connor juga mengisyaratkan ada sebuah program khusus yang diberikan kepada orang
Argentina berusia 76 tahun itu, yang diharapkan akan dia selesaikan dalam waktu
sekitar empat tahun.
Kardinal Inggris mengatakan kepada
jurnalis dan penulis Paul Vallely, "Empat tahun bagi Bergoglio akan cukup
untuk mengubah banyak hal." Komentar ini adalah cukup wajar setelah adanya
fakta, tetapi ini adalah frasa yang sama yang direkam oleh Andrea Tornielli di media
La Stampa dalam sebuah artikel
bertanggal 2 Maret 2013, sebelas hari
sebelum pemilihan Bergoglio: "Empat tahun bagi Bergoglio akan cukup untuk
mengubah keadaan," bisik seorang kardinal dan teman lama uskup agung
Buenos Aires."
Situasi ini diringkas baru-baru ini
oleh Matius Schmitz yang menulis di media First
Things, yang mengatakan, "Meskipun Benediktus masih hidup, Francis
berusaha menguburnya."
No comments:
Post a Comment