GEMBALA
YANG SESAT
BAGAIMANA
PAUS FRANCIS SEDANG MENYESATKAN KAWANANNYA
BAB ENAM
Dokumen Dan Dubia
Pada April 2016, paus Francis
mengeluarkan nasihat kerasulannya yang merangkum pesan Sinode (2014 & 2015).
Terdiri dari 325 paragraf bernomor dan mengisi lebih dari 250 halaman, Amoris
Laetitia (Sukacita Kasih) adalah dokumen kepausan terpanjang dalam catatan.
Mengaitkan hal ini dengan "buah yang berlimpah dari proses Sinode dua
tahun" dan "berbagai macam pertanyaan" yang diajukan, paus
menyarankan agar tidak melakukan "pembacaan teks yang terburu-buru"
(7) 1 — tetapi ini adalah saran yang terpaksa diabaikan media dalam ketergesaan
mereka untuk mengumumkan keputusan kepausan tentang hal-hal yang secara
mencolok telah menyinggung para uskup dunia.
Terlepas dari isinya yang
bertele-tele, Amoris Laetitia tidak memberikan jawaban yang jelas atas
pertanyaan yang diajukan semua orang: apakah paus akan membuka pintu bagi umat
Katolik yang bercerai dan menikah lagi untuk menerima Komuni. Beberapa
komentator mengumumkan bahwa paus telah menegakkan pengajaran Gereja
tradisional; yang lain menyatakan bahwa dia telah membuat inovasi dramatis.
Tidak ada interpretasi dari dokumen membingungkan ini yang terbukti salah.
Bahkan, Francis sengaja
menghindari jawaban kategoris atas pertanyaan itu, dengan bersikeras bahwa
"tidak semua diskusi masalah doktrinal, moral, atau pastoral perlu
diselesaikan dengan intervensi magisterium" (3). Dia berpendapat bahwa
"apa yang merupakan bagian dari penegasan praktis dalam keadaan tertentu
tidak dapat ditingkatkan menjadi sebuah aturan" (304), dan dia mendesak
para pastor untuk membimbing pasangan-pasangan yang bermasalah, dengan melalui
pengamatan atas situasi mereka, membantu mereka untuk "tumbuh dalam
kehidupan rahmat karunia dan kemurahan hati, sambil menerima bantuan Gereja
untuk tujuan ini.”(305).
Dalam perikop yang paling dekat
dengan penerimaan usulan Kasper, paragraf 305, Francis mengajarkan bahwa
“seorang pastor tidak dapat merasa bahwa cukup dengan menerapkan hukum moral
kepada mereka yang hidup dalam situasi 'tidak teratur', seolah-olah mereka
adalah batu untuk dilemparkan kepada kehidupan orang-orang." Dengan menekankan
lebih lanjut, dia menulis bahwa "ada kemungkinan bahwa dalam situasi dosa
yang obyektif - yang mungkin tidak dapat disalahkan secara subyektif, atau
sepenuhnya seperti itu - seseorang dapat hidup di dalam rahmat Allah, dapat
mencintai dan juga dapat bertumbuh dalam kehidupan rahmat dan kemurahan hati,
sambil menerima bantuan Gereja untuk tujuan ini.” "Dalam catatan kaki yang
menyertainya, nomor 351, dia menambahkan, "Dalam kasus-kasus tertentu, hal
ini dapat mencakup bantuan sakramen-sakramen."
Perikop itu — dan terutama
catatan kaki itu — dapat dibaca, dan memang dibaca oleh banyak penafsir, yang
isinya seperti mengadopsi proposal Kasper. Apakah paus mengatakan bahwa
beberapa orang Katolik yang hidup dalam serikat perkawinan yang tidak teratur,
dapat menerima sakramen-sakramen? Apakah dia menyarankan bahwa persatuan dalam perkawinan
kedua, yang oleh Gereja selalu dianggap sebagai perzinahan, dapat dibenarkan
dalam keadaan khusus? Jika demikian, dia membuat perubahan radikal dalam ajaran
Gereja. Namun bahasa aslinya membuat pertanyaan-pertanyaan penting ini tidak
terjawab. Rupanya memang itulah niatnya.
“Dengan berpikir bahwa semuanya adalah
hitam dan putih,” paragraf 305 melanjutkan, “kita terkadang menutup jalan bagi rahmat
dan pertumbuhan, dan mencegah jalan pengudusan yang akan memuliakan Allah.” Kemudian
Francis menambahkan, “Saya memahami mereka yang lebih suka perawatan pastoral
yang lebih ketat yang tidak menyisakan ruang untuk mengalami kebingungan.
Tetapi saya dengan tulus percaya bahwa Yesus menginginkan sebuah Gereja yang memperhatikan
kebaikan yang ditabur oleh Roh Kudus di tengah-tengah kelemahan manusia. . .
”(308). Amoris Laetitia menawarkan sedikit panduan kepada para pastor yang
harus memberikan "bantuan Gereja" kepada orang-orang dalam perkawinan
yang tidak teratur. Dengan menekankan fleksibilitas, paus menyerahkan detailnya
kepada yang lain: "Komunitas yang berbeda harus menyusun inisiatif yang
lebih praktis dan efektif yang menghargai pengajaran Gereja serta masalah dan kebutuhan
setempat" (199).
Francis hanya mencurahkan
sebagian kecil dari nasihat kerasulannya untuk masalah Komuni bagi umat Katolik
yang bercerai dan menikah lagi, yang tidak dia bahas sampai paragraf 291.
Tema terpenting dokumen itu, dia
mengatakan, adalah keindahan kasih pernikahan, subjek dari "bab-bab yang
penting" (empat dan lima dari sembilan). Dalam meditasi yang panjang dan
mendalam tentang perintah Santo Paulus untuk mengasihi dalam 1 Korintus 13
("Kasih itu sabar dan murah hati ..."), Paus menawarkan semacam
kebijaksanaan spiritual dan nasihat praktis dimana dia mendorong para imam
untuk menyediakannya bagi umat mereka, diikuti dengan penjelasan tentang
bagaimana keluarga, berdasarkan pernikahan dan dipelihara oleh Sakramen-sakramen,
harus memberikan dukungan material dan moral tidak hanya untuk anggota sendiri,
tetapi untuk tetangga dan masyarakat pada umumnya.
Sebuah pemahaman yang tepat
tentang pernikahan dan seksualitas manusia, tulis Francis, sangat penting untuk
memulihkan kesehatan masyarakat kita yang bermasalah. Khususnya di dunia Barat,
di mana masyarakat sekuler sering memusuhi idealisme pernikahan Kristiani, dan Gereja
harus menjunjung tinggi idealisme itu bahkan terhadap tekanan publik.
Namun demikian, terlepas dari
penegasan kuat atas ajaran Katolik tradisional ini, Amoris Laetitia diperkenalkan
kepada dunia sebagai pertanda perubahan dalam pelayanan pastoral Gereja. Pada
konferensi pers yang memperkenalkan nasihat apostolik itu, Kardinal Christoph
Schönborn dari Wina mengatakan, "Sesuatu telah berubah dalam wacana
gerejawi," dimana hal ini menekankan seruan Paus untuk melakukan fleksibilitas
pastoral.
Fokus perhatian publik pada
penanganan Gereja atas serikat perkawinan “tidak teratur” dengan sendirinya
telah menjadi tanda perlunya pendekatan yang berbeda, kata Schönborn, dengan
alasan bahwa pembagian status pasangan menjadi “pasangan biasa” dan “pasangan tidak
teratur” mengabaikan kenyataan bahwa semua umat Kristiani harus berjuang untuk
pertobatan setiap hari dan pertumbuhan dalam kesucian.
Meskipun Schönborn telah
dianggap sebagai pendukung proposal Kasper dalam pertemuan-pertemuan Sinode, sia
awalnya tidak menggambarkan Amoris Laetitia sebagai dukungan dari posisi itu.
(Kemudian dia menyatakan bahwa dokumen kepausan itu menyerukan perubahan dalam
praktik Gereja.) Dia mengatakan kepada Radio Vatikan bahwa dalam catatan kaki yang
‘kritis’ 351— “Dalam kasus-kasus tertentu, hal ini dapat mencakup bantuan untuk
menerima sakramen-sakramen” – disini paus merujuk terutama kepada sakramen
pengakuan dosa. “Saya pikir itu sangat jelas,” kardinal berkata, “ada keadaan
di mana orang-orang dalam situasi perkawinan yang tidak wajar mungkin sangat membutuhkan
pengampunan sakramental, meski jika situasi umum mereka tidak dapat
diklarifikasi.”
Putusan akhir dari anjuran
apostolik Amoris Laetitia tentang masalah yang paling banyak diperdebatkan ini
tetap tidak tepat. Jelaslah bahwa paus menghendaki demikian, menjelaskan bahwa
“apa yang merupakan bagian dari kebijaksanaan praktis dalam keadaan tertentu
tidak dapat diangkat ke tingkat peraturan. Itu tidak hanya mengarah pada
kasuistis yang tak tertahankan, tetapi juga akan membahayakan nilai-nilai yang
harus dijaga dengan hati-hati.”
Amoris Laetitia bukanlah dokumen
revolusioner. Ia adalah dokumen subversif. Francis belum menggulingkan ajaran
tradisional Gereja, karena banyak umat Katolik berharap atau takut jika paus akan
melakukannya. Sebagai gantinya, dia telah menciptakan banyak ruang untuk
penafsiran pastoral yang fleksibel atas ajaran-ajaran itu, mendorong para pastor
untuk membantu pasangan dalam menerapkan prinsip-prinsip moral umum bagi
keadaan khusus mereka. Sayangnya, pendekatan ini telah mempercepat tren yang
sudah kuat untuk menghancurkan ajaran kekal Gereja, mengikis rasa hormat
terhadap pelayanan pastoral yang dia harapkan dapat didorong maju.
Dalam ensikliknya yang terkenal
tahun 1993, Veritatis Splendor, yang
ditulis untuk melawan pengaruh relativisme moral, St. Yohanes Paulus II
menyesalkan adanya perbedaan pendapat yang tersebar luas dari ajaran-ajaran
moral Gereja: “Itu bukan lagi masalah perbedaan pendapat yang terbatas dan
sesekali saja terjadi, tetapi dari keseluruhan dan secara sistematis
mempertanyakan doktrin moral tradisional, berdasarkan anggapan antropologis dan
etis tertentu.” Katanya, umat Katolik yang resah, tidak hanya membuat pernyataan
yang keliru tentang kebenaran; mereka berpendapat bahwa kebenaran objektif
tidak dapat diketahui. Amoris Laetitia, yang berfokus pada pengejaran subyektif
atas keinginan yang tidak terjangkau dan menyarankan suatu proses di mana
pasangan-pasangan Katolik dapat mengesampingkan perintah Tuhan mengenai perzinahan,
berkontribusi pada kekuatan sentrifugal yang menekan otoritas Gereja.
Dalam Dokumen 250 Halaman, Tetapi Fokusnya Ada Pada Catatan
Kaki
Ada bimbingan spiritual yang
kuat di dalam Amoris Laetitia. Khususnya dalam dua bab utama yang
diidentifikasi paus sebagai intinya, dimana dia menunjukkan karakter aslinya
sebagai seorang pastor : mendorong,
membimbing, mempertanyakan, membujuk, bersimpati, menginstruksikan, membantu
pembaca untuk mendapatkan apresiasi yang lebih dalam atas pemahaman Gereja
tentang pernikahan sakramental. Dia menjunjung tinggi gagasan pernikahan Kristiani,
mengakui bahwa tidak ada manusia yang hidup sesuai dengan idealisme itu, dan
menawarkan dukungan Gereja kepada semua orang yang bersedia terlibat dalam
perjuangan seumur hidup untuk bertumbuh di dalam kasih.
Namun, patut dicatat bahwa
Francis menekankan bahwa ajaran Kristiani tentang pernikahan adalah sebuah cita-cita
yang tidak bisa dicapai oleh pasangan biasa. Ajaran Gereja adalah sebuah "idealisme,"
tentu saja, sejauh panggilan suami-istri untuk hidup dalam keharmonisan kasih
yang sempurna, dalam meniru Kristus dan Gereja-Nya. Tetapi tuntutan kesetiaan
dalam pernikahan bukanlah cita-cita yang tidak mungkin tercapai. Kebanyakan
pasangan memenuhi tuntutan itu, dan mereka yang tidak — mereka yang menipu
pasangan mereka — harus menyadari bahwa kegagalan mereka adalah sebuah pelanggaran
serius, bukan sekadar pengingat bahwa mereka adalah manusia biasa. Memang benar
bahwa Yesus menolak untuk mengutuk perempuan yang tertangkap dalam perzinaan,
tetapi Dia juga memperingatkannya, “Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi”
(Yoh. 8:11).
Di dalam Amoris Laetitia, paus
mengakui, dan dengan jelas menyatakan, bahwa pemahaman Kristiani tentang
pernikahan adalah satu-satunya penangkal yang dapat diandalkan bagi sejumlah
penyakit yang mengganggu masyarakat kontemporer, khususnya di Barat. Dalam bab
kedua, paus menegaskan bahwa dalam epidemi kehancuran perkawinan, umat Katolik
tidak boleh dicegah untuk menyampaikan pesan yang perlu didengar masyarakat
kita, meskipun pesan itu tidak populer, dan mereka yang menyatakannya
menghadapi permusuhan yang besar. Bahkan ada beberapa gema dari "perang
budaya" dalam nasihat kerasulan (AL) ini, ketika Francis dengan tegas menyatakan
sikap Gereja soal aborsi, kontrasepsi, perceraian, homoseksualitas, dan
pernikahan sesama jenis.
Sayangnya, bagian-bagian dari dokumen
itu — yang paling kuat — bukannya diletakkan pada bagian yang mudah menarik
perhatian publik. Liputan berita telah berfokus pada satu pertanyaan. Meskipun
sangat disayangkan bahwa sebuah pesan yang kompleks justru direduksi menjadi
satu masalah, dan karenanya peliputan yang mencolok tidak sepenuhnya merupakan
kesalahan media massa. Francis sendiri yang harus disalahkan.
Pertama, Amoris Laetitia terlalu
panjang. Dengan menerbitkan sebuah dokumen bertele-tele seperti itu, Francis meningkatkan
kekuatan para perantara, yang kemudian membacakan hal itu bagi para pembacanya,
dengan fokus hanya pada satu masalah tertentu.
Kedua, Francis sendiri mendorong
diskusi tentang Komuni bagi umat Katolik yang bercerai dan menikah lagi, sebuah
diskusi yang pasti akan meradang. Hingga hari ini kami tidak tahu persis apa
yang dibutuhkan oleh proposal Kasper. Kardinal Jerman itu mengusulkan sebuah "jalan
penyesalan" yang dengan hal itu umat Katolik yang bercerai dan menikah
lagi bisa dibimbing kembali kepada persekutuan penuh dengan Gereja, tetapi dia
tidak merinci seperti apa jalan itu nantinya. Kita juga tidak tahu, bahkan
setelah dirilisnya Amoris Laetitia, apa persisnya yang ada dalam pikiran paus bagi
pasangan seperti ini, selain dari pendekatan pastoral yang fleksibel dan
simpatik.
Paus menulis bahwa dalam
memberikan perawatan spiritual bagi pasangan dalam ‘perkawinan’ yang tidak
wajar, para pastor harus mengadaptasi prinsip-prinsip umum pengajaran Gereja
dengan keadaan-keadaan tertentu: “Ini adalah masalah meraih semua orang,
kebutuhan untuk membantu setiap orang untuk menemukan jalannya yang tepat guna berpartisipasi
dalam komunitas gerejawi dan dengan demikian mengalami perasaan disentuh oleh 'rasa
belas kasihan yang tanpa pamirh, tanpa syarat dan apa adanya” (297). Sejauh ini
anjuran paus itu tidak dapat disangkal. Tetapi dalam kasus-kasus apa pastor
dibenarkan untuk memberi tahu kepada pasangan bahwa mereka hendaknya tidak
merasa terikat oleh hukum-hukum Gereja — hukum yang mencerminkan bukan hanya
peraturan arbitrer tetapi juga perintah-perintah ilahi? Keadaan konkret seperti
apa yang membenarkan penyimpangan dari ajaran Gereja — yang disampaikan oleh
Yesus Kristus — bahwa seseorang yang meninggalkan satu pasangan untuk hidup
bersama pasangan lain, terlibat dalam relasi perzinahan?
Tentu saja ada beberapa keadaan
di mana Gereja memaafkan perkawinan kedua. Jika pernikahan pertama dibatalkan, maka
para pihak bebas untuk menikah kembali; dan Francis telah merampingkan prosedur
untuk pembatalan perkawinan ini, sehingga kecil kemungkinannya bahwa siapa pun
yang seharusnya menerima pembatalan akan ditolak. Juga dimungkinkan, seperti
yang diajarkan St. Yohanes Paulus II di dalam Familiaris Consortio, bagi pasangan yang bercerai dan menikah lagi
untuk diijinkan menerima Komuni asalkan mereka setuju untuk hidup sebagai
saudara dan saudari. Terungkap bahwa dalam teks nasihat apostoliknya yang
panjang, Francis tidak pernah menyebutkan keharusan pasangan menunjukkan
komitmen mereka kepada Iman dengan tidak melakukan hubungan seksual.
(Kemungkinan untuk boleh menerima Komuni itu disebutkan dalam catatan kaki,
tetapi pembaca dibiarkan memiliki kesan yang berbeda bahwa disiplin seperti itu
harus dicegah.) Apakah "jalur penyesalan" yang khusus itu, yang
secara tradisional ditawarkan kepada pasangan-pasangan Katolik dalam relasi yang
tidak wajar, tidak lagi layak untuk dibahas?
Bukan rahasia lagi bahwa di
beberapa bagian dunia Katolik, para pastor sudah mulai, secara diam-diam, untuk
mendorong pasangan yang bercerai dan menikah lagi untuk menerima Komuni. Di
beberapa tempat, khususnya di dunia berbahasa Jerman, praktik pastoral yang
lemah telah menjadi norma. Sejauh Amoris Laetitia mendukung praktik ini,
ketidakjelasan pedoman paus telah mengurangi universalitas pengajaran dan
disiplin Katolik. Setelah publikasi nasihat apostolik, para uskup Jerman dengan
cepat mengumumkan bahwa mereka siap untuk menawarkan Komuni kepada pasangan
yang sudah bercerai dan menikah lagi, sementara para uskup dari negara tetangga,
Polandia, bersikukuh bahwa mereka tidak akan melakukannya. Robert Royal
berkomentar:
Di satu sisi dari perbatasan
antara dua negara, pemberian Komuni bagi orang yang bercerai dan menikah
kembali, sekarang akan menjadi tanda pencurahan baru dari belas kasihan dan
pengampunan Tuhan. Namun di sisi yang lain, memberikan Komuni kepada seseorang
dalam relasi perkawinan yang "tidak teratur" tetap merupakan
pelanggaran terhadap Sabda Kristus dan jika pasangan seperti itu menerima
Komuni, hal itu adalah perbuatan sakrilegi. Secara konkret, di seluruh dunia,
yang tampak di permukaan adalah kekacauan dan konflik, bukan Katolisitas.
Francis telah meremehkan gawatnya
konflik semacam itu dalam nasihat kerasulannya (Amoris Laetitia)l — “tidak
semua diskusi tentang masalah-masalah doktrinal, moral, atau pastoral perlu
diselesaikan dengan intervensi magisterium.” Cukup benar, memang. Tetapi ketika
Magisterium melakukan intervensi, sangat penting bahwa intervensi itu harus
jelas. Paus adalah juga seorang pastor. Dia juga seorang guru - khususnya
ketika dia mengeluarkan nasihat kerasulan - dan seorang guru harus berkata jelas
dalam hal-hal yang prinsip.
Ketika, selama konferensi pers
dalam penerbangan yang lain, Francis didesak untuk menjelaskan tentang arti
catatan kaki 351, tentu saja itu adalah catatan kaki paling kontroversial dalam
sejarah Gereja, dia menjawab bahwa dia tidak ingat hal itu. Jawaban itu telah
menghancurkan kredibilitasnya. Apakah paus meminta kita untuk percaya bahwa dia
tidak mengetahui kontroversi itu? Bahwa dia telah melupakan satu-satunya kata
dalam nasihat apostoliknya yang secara langsung berbicara tentang pertanyaan
paling panas yang diperdebatkan selama dua tahun terakhir? Apakah catatan kaki
yang penting itu dimasukkan oleh seorang pembantunya ketika Francis tidak
memperhatikan? Atau apakah paus berjuang untuk mempertahankan apa yang oleh
politisi Amerika disebut "penyangkalan yang masuk akal," dan menyerahkannya
kepada orang lain untuk menarik kesimpulan dari perbuatannya sebagai paus?
Salah satu dari kemungkinan itu akan berdampak buruk pada paus sendiri.
Bahwa Francis tidak menyadari
catatan kaki yang kontroversial adalah penjelasan yang paling masuk akal
tentang keengganannya untuk membahasnya. Pilihannya pada pengelakan yang
transparan menunjukkan bahwa dia tidak siap untuk membela argumen bahwa dia
telah maju dalam dokumennya sendiri. Apakah dia berharap catatan kaki itu
berlalu tanpa disadari? Atau apakah dia berharap bisa menghindari komentar
tentang kontroversi dan membiarkan orang lain menerapkan interpretasi mereka
sendiri pada pengajarannya yang ambigu?
Berbagai Interpretasi Tidak Resmi, Bacaan-bacaan Yang Kontradiktif
Pastor Antonio Spadaro, salah
satu rekan terdekat paus, mengeluarkan pernyataannya sendiri tentang arti
Amoris Laetitia pada bulan April 2016 di La Civiltà Cattolica. Paus, kata
Spadaro, telah menghapus pembatasan umat Katolik yang bercerai dan menikah lagi
untuk menerima Sakramen-sakramen. Penafsiran itu, yang secara langsung
bertentangan dengan pernyataan bahwa paus tidak melakukan perubahan besar,
patut dicatat karena sumbernya. La Civiltà Cattolica dianggap semi-otoritatif
karena isinya disetujui terlebih dahulu oleh Sekretariat Negara Takhta Suci. Spadaro
telah bekerja erat dengan Francis sebagai penasihat dan penerjemah dan
dilaporkan membantu untuk menyusun nasihat kerasulan Amoris Laetitia.
Surat kabar Vatikan, L'Osservatore Romano, juga menimbang,
memberi tempat pada halaman depan bagi sebuah esai tulisan Rocco Buttiglione (seorang
filsuf, politisi, dan penasihat St. Yohanes Paulus II yang disegani secara luas)
untuk mendukung argumen bahwa umat Katolik yang bercerai dan menikah lagi mungkin,
dalam beberapa keadaan khusus, bisa menerima Komuni. Dengan alasan bahwa Gereja
Katolik selalu mengakui kemungkinan bahwa keadaan individu sangat menentukan
apakah seseorang dalam keadaan berdosa atau tidak, Buttiglione menulis:
Jalan yang diusulkan paus bagi
orang yang bercerai dan menikah kembali, adalah persis sama dengan yang
diusulkan Gereja untuk semua orang berdosa: Pergi ke pengakuan dosa, dan menemui
bapa pengakuan Anda, setelah mengevaluasi semua keadaan, dia akan memutuskan
apakah akan mengampuni Anda dan mengijinkan Anda untuk menerima Ekaristi atau
tidak.
Buttiglione mengajukan sebuah
kasus di mana, katanya, seorang bapa pengakuan dapat secara tepat memerintahkan
orang yang bercerai dan menikah lagi untuk menerima Ekaristi: Ada seorang
wanita, ditinggalkan oleh suami pertamanya, kemudian dia menikah lagi, memiliki
anak, dan kemudian kembali untuk menjalankan praktik Imannya. Wanita itu sendiri
mungkin bersedia untuk tidak melakukan hubungan seksual, tetapi pasangan
barunya, yang bersikeras dengan hak-hak perkawinannya, mengancam untuk
meninggalkannya — dan anak-anak mereka — jika wanita dia tidak mau berhubungan
sex dengannya. Risiko putusnya keluarga, yang akan sangat membahayakan
anak-anak, tidak dapat diterima, demikian Buttiglione berpendapat, sehingga
wanita itu tidak bersalah karena menyetujui untuk melakukan hubungan intim dengan
suami barunya dan dia seharusnya boleh menerima Komuni. Tetapi ada tiga masalah
mencolok dengan skenario ini.
Pertama, Kristus sendiri
mengajarkan bahwa jika seorang wanita “menceraikan suaminya dan menikahi orang
lain, dia melakukan perzinahan” (Markus 10:12). Jika bapa pengakuan mengijinkan
wanita ini untuk menerima Komuni, bukankah ini berarti bahwa pastor itu mengatakan
bahwa perzinahan dapat dibenarkan dalam beberapa keadaan? Ini adalah prinsip
moral mendasar, bahwa tindakan tertentu (misalnya, perzinahan), dinilai oleh
norma objektif moralitas, pada hakekatnya adalah jahat. Tindakan seperti itu
tidak pernah dibenarkan oleh niat atau keadaan seseorang. Sebagaimana
Katekismus Gereja Katolik (paragraf 1756) menjelaskan: CCC 1756. Dengan demikian, keliru sekali untuk
menilai moralitas perbuatan manusia hanya dengan melihat maksud yang
menjiwainya atau faktor situasional yang menyertainya (seperti lingkungan,
tekanan masyarakat, paksaan, atau keharusan untuk melakukan sesuatu). Ada
perbuatan yang di dalam dan dari dirinya sendiri, terlepas dari situasi dan
maksud, selalu buruk karena obyek perbuatan itu sendiri; misalnya penghujatan
terhadap Allah dan sumpah palsu, pembunuhan dan zina. Orang tidak diperbolehkan
melakukan sesuatu yang buruk, supaya diperoleh sesuatu yang baik darinya.
Kedua, jika seorang bapa
pengakuan menasihati wanita ini untuk tunduk pada tuntutan suami barunya (“…tidur
dengan saya atau anak-anakmu menjadi lapar”) apakah bapa pengakuan itu mengijinkan
terjadinya hubungan yang berdosa? Apakah tuntutan lainnya, baik fisik maupun
emosional, yang mungkin diminta oleh suami kedua, tidak disadari oleh bapa pengakuan?
Bayangkan adanya badai kritik (yang dibenarkan) jika diketahui, atau bahkan
dicurigai, bahwa para pastor menginstruksikan wanita yang penurut itu untuk
menanggung pelecehan dari pasangan barunya.
Ketiga, Buttiglione berasumsi
bahwa suatu pasangan harus tetap bersama, bahkan dalam sebuah pernikahan yang terlarang,
demi kepentingan anak-anak mereka. Tetapi asumsi itu bertentangan dengan
pemahaman tentang pernikahan yang ditetapkan oleh paus sebelumnya. Dalam
ensikliknya tahun 1930-an, Casti Connubii,
Pius XI, mengutip St Agustinus, menulis bahwa ikatan pernikahan adalah sedemikian
sakral sehingga “seorang suami atau istri, jika terpisah, tidak boleh disatukan
dengan yang lain bahkan demi alasan keturunan mereka.”
Buttiglione setidaknya berusaha
menemukan sebuah kasus di mana proposal Kasper dapat didamaikan dengan
pengajaran Gereja. Satu aspek yang membuat frustrasi dari debat ini adalah
penolakan Kasper dan banyak pendukungnya untuk menjelaskan dalam keadaan apa
orang yang bercerai dan menikah kembali bisa diizinkan untuk menerima Komuni
atau untuk meneliti proses dimana pasangan dapat mencapai keputusan itu. Mengakui
bahwa keputusan itu tidak boleh dianggap remeh, mereka menetapkan bahwa
pasangan yang menikah lagi harus melalui "proses rekonsiliasi"
sebelum menerima Komuni Kudus. Tetapi proses apa itu, dan siapa yang harus
menentukan, apakah akhirnya, mereka siap untuk menerima Komuni? Sayangnya pertanyaan-pertanyaan
mendasar dan amat jelas ini tidak pernah dijawab.
Banyak pendukung Kasper
mengisyaratkan sesuatu seperti skenario Buttiglione, dan membahas keadaan di
mana persyaratan itu mungkin menjadi kesulitan bagi pasangan yang sudah menikah
untuk tidak melakukan aktivitas seksual. Ya, itu tentu bisa menjadi kesulitan.
Namun terkadang keputusan moral menuntut pilihan yang sulit. Banyak pasangan
menikah dipaksa untuk tidak melakukan hubungan seksual karena alasan lain —
kondisi medis, mungkin, atau harus melakukan perpisahan fisik. Ini adalah
kesulitan, tetapi bukan tidak mungkin untuk terjadi.
Tidak adanya perincian tentang
“proses rekonsiliasi” yang diusulkan membuka pintu lebar-lebar bagi tindakan penyalahgunaan
kebijakan baru apa pun. Pendukung proposal Kasper selalu mengatakan bahwa
aturan lama Gereja hendaknya diterapkan dalam banyak kasus, dan bahwa
dispensasi baru akan ditawarkan hanya kepada beberapa orang saja. Tetapi
ketergantungan proposal Kasper pada "forum pemeriksaan batin" membuat
penentuan akhir dalam setiap kasus terserah pada masing-masing bapa pengakuan, yang
praktis mengundang pasangan untuk ‘berbelanja di kedai pemeriksaan batin’, bagi
seorang pastor dengan pandangan yang luas tentang penerapan kebijakan yang baru
itu. Para pastor yang cenderung bersikap lebih keras akan segera menyadari
bahwa mereka sedang berjuang dalam sebuah ‘perang kekalahan’ ketika para
peniten yang kecewa berkendara melintasi kota menuju seorang pastor yang lebih
patuh kepada proposal Kasper. Demikianlah kebijakan yang diperkenalkan sebagai ‘pengecualian’
ini dapat dengan cepat menjadi norma baru.
Prospek untuk memperkenalkan
ajaran atau disiplin yang dapat merusak kesucian pernikahan tidak dapat
diterima oleh para uskup Katolik di beberapa bagian dunia. Kardinal Afrika
Selatan, Wilfrid Napier, menggunakan sarana komunikasi Dunia Pertama (Dunia
Barat) yang sesungguhnya, untuk mempertanyakan logika dalam Amoris Laetitia, menulis
dalam tweeternya, “Jika orang Barat dalam situasi perkawinan yang tidak teratur
dapat menerima Komuni Kudus, apakah kita disini juga harus memberitahu para
pendukung / pelaku poligami kita & 'kekeliruan’ lainnya bahwa mereka juga
diijinkan?"
Sebuah Sikap Diam Yang Merusak Hukum
Namun, bagian-bagian lain dunia
telah menyambut bacaan yang lebih terbuka tentang Amoris Laetitia. Para uskup
di kota kelahiran paus, Buenos Aires, menyiapkan instruksi untuk para pastor mereka
tentang implementasi Amoris Laetitia, dengan menganut proposal Kasper, dan mendorong
"pendampingan pastoral" kepada pasangan dalam relasi yang tidak wajar,
dengan pemahaman bahwa bahkan jika mereka bertahan dalam hubungan seperti itu
"sebuah jalan kebijaksanaan" yang dapat menuntun mereka kepada
Ekaristi "adalah mungkin."
Dalam sebuah surat pribadi yang
dikirimkan kepada para uskup ini pada awal September 2016, Francis memberi
selamat kepada orang-orang sebangsanya atas interpretasi mereka pada nasihat
kerasulannya, dan paus menulis bahwa surat para uskup itu “sepenuhnya menangkap
makna” dari karyanya. "Tidak ada lagi interpretasi yang lain," tambah
paus.
Ketika surat ini dibocorkan
kepada pers (dan dikonfirmasi sebagai otentik oleh Takhta Suci beberapa hari
kemudian), umat Katolik sedunia menikmati tontonan yang tidak masuk akal. Setelah
lebih dari dua tahun perdebatan yang sangat kontroversial - pertama tentang
proposal Kasper dan kemudian tentang makna sebuah catatan kaki dalam dokumen
kepausan terpanjang dalam sejarah - tanpa bimbingan yang jelas dari paus,
interpretasi pertama yang tampaknya berwibawa akhirnya muncul, bukan di
pernyataan publik formal, tetapi dalam wujud surat pribadi di mana paus
mengomentari interpretasi orang lain.
Bukankah lebih masuk akal untuk
menyelesaikan pertanyaan semacam itu dengan pernyataan resmi dari kantor pers
Vatikan? Namun sekali lagi, Francis sengaja menghindari mencatat pernyataan
semacam itu. Hanya beberapa bulan sebelumnya, menanggapi pertanyaan lama yang
sama dari wartawan selama wawancara dalam penerbangan, dia juga menolak
memberikan jawaban langsung. Andrea Tornielli dari La Stampa menulis soal itu:
Ketika paus ditanya apakah ada
kemungkinan baru yang nyata untuk menerima sakramen-sakramen dimana kemungkinan
ini tidak ada sebelum terbitnya ensiklik “Amoris Laetitia”. "Saya bisa
mengatakan 'ya' dan membiarkannya begitu," jawab Francis. "Tapi itu
akan menjadi jawaban yang terlalu singkat. Saya sarankan Anda semua membaca
presentasi yang dibuat oleh Cardinal Schönborn, seorang teolog yang
hebat."
Jika Francis menyatakan dengan
jelas dan formal bahwa orang Katolik yang bercerai dan menikah lagi dapat
menerima Komuni, maka dia harus mengabaikan perlawanan kuat yang dia hadapi di
dalam Sinode, sambil melemahkan klaimnya sendiri dimana dia megaku berbicara
atas nama para uskup dunia. Dia juga harus bertentangan dengan ajaran Yohanes
Paulus II, yang menyatakan dalam Familiaris
Consortio bahwa umat Katolik yang bercerai dan menikah kembali harus hidup
sebagai saudara dan saudari, jika mereka ingin menerima Ekaristi. “Jika orang
yang bercerai dan menikah lagi diijinkan untuk menerima Komuni Kudus,” Yohanes
Paulus II menulis, “maka umat beriman akan dituntun ke dalam kesesatan dan
kebingungan mengenai ajaran Gereja tentang tidakterceraikannya pernikahan”
(84). Logika pernyataan magisterial Yohanes Paulus II ini sangat jelas dan meyakinkan.
Dan jika Francis membalikkan kebijakan yang ditetapkan oleh Yohanes Paulus II,
akan tampak jelas bahwa paus di masa depan dapat membalikkan kebijakan yang
ditetapkan oleh Francis juga, dan tidak ada pernyataan kepausan tentang
pertanyaan ini yang dapat dianggap meyakinkan dan pasti.
Terlepas dari sikapnya yang
sering ambigu, Francis tidak diragukan lagi telah membuka pintu bagi orang yang
bercerai dan menikah lagi untuk menerima Komuni. Secara praktis, hampir setiap umat
Katolik yang bercerai dan menikah lagi dapat berargumen bahwa kasusnya termasuk
dalam kategori khusus itu — apa pun itu — dari mereka yang diizinkan untuk
menerima Ekaristi. Jika pastornya tidak setuju, pasangan itu akan pindah ke
paroki lain, sampai mereka menemukan seorang pastor yang mau menerima alasan
mereka.
Apakah paus berniat: untuk
membiarkan setiap pastor paroki bebas membuat interpretasinya sendiri tentang
ajaran Gereja? Setelah sering berbicara tentang desentralisasi otoritas Gereja,
apakah paus benar-benar bermaksud untuk bertindak sejauh itu? Dengan nada
main-main, paus telah mendorong kaum muda Katolik untuk “membuat kekacauan”;
apakah dia mencoba memberi contoh mereka dengan merusak kuasa pengajaran Gereja?
Hukum Kanon menempatkan para
imam di bawah kewajiban serius untuk menghindari skandal dengan menolak
pemberian Ekaristi kepada mereka yang bertahan dalam dosa besar yang nyata
(kanon 915). Sebuah hubungan yang tidak senonoh adalah dosa besar yang nyata. Para
uskup Argentina tampaknya mengatakan — dengan persetujuan paus — bahwa dalam
beberapa keadaan para imam harus memberikan Komuni kepada orang-orang yang
hidup dalam hubungan yang secara obyektif bersifat zina. Apakah hukum kanon 915
telah diamandemen atau dibatalkan? Paus adalah legislator tertinggi Gereja,
dengan kekuatan yang tidak bisa dipertanyakan untuk memodifikasi hukum kanon. Tetapi
dia sengaja tidak melakukan perubahan atas hukum kanon itu. Dan dia dengan
sengaja menghindari pelaksanaan wewenangnya, dengan memberi kesan bahwa ajaran
dan hukum Gereja formal tidak terlalu penting dan dengan aman dapat diabaikan.
Empat Kardinal Dan Dubia
Kebingungan yang ditimbulkan
oleh Amoris Laetitia dan ancaman yang dihasilkan terhadap persatuan Katolik telah
mendorong empat orang kardinal — Walter Brandmüller, Raymond Burke, Carlo
Caffarra, dan Joachim Meisner — untuk menulis surat kepada paus pada bulan
September 2016 memohon klarifikasi, dengan mengamati bahwa penasiran yang “berbeda”
dan bahkan “penafsiran yang bertentangan” atas Bab 8 dari Amoris Laetitia telah memprovokasi "ketidakpastian, kebingungan
dan disorientasi di antara banyak umat beriman" mengenai ajaran Gereja tentang pernikahan. “Didorong
oleh hati nurani dan oleh tanggung jawab pastoral mereka,” para kardinal itu menyerahkan
kepada paus “sebagai guru iman yang tertinggi” lima pertanyaan berikut — dubia
— tentang nasihat Amoris Laetitia, dan meminta paus “untuk menyelesaikan ketidakpastian dan membawa
kejelasan.” :
1. Apakah sekarang “dimungkinkan untuk memberikan
absolusi dalam sakramen tobat dan dengan demikian untuk memberikan Komuni Kudus
kepada seseorang yang, walaupun terikat oleh ikatan perkawinan yang sah
sebelumnya, tetapi dia kemudian hidup bersama dengan orang yang berbeda sebagai
suami dan istri”? Dan “bisakah perkataan ‘dalam kasus-kasus tertentu' yang ada Catatan
351. . . diterapkan pada orang yang bercerai yang berada dalam ‘perkawinan’ baru
mereka dan terus hidup sebagai suami-istri?"
2. “Apakah kita masih perlu menganggap valid ajaran
dari ensiklik Veritatis splendor dari St
Yohanes Paulus II, 79, yang berdasarkan Kitab Suci dan Tradisi Gereja, tentang
keberadaan norma-norma moral absolut yang melarang perbuatan jahat intrinsik
dan yang mengikat tanpa pengecualian?"
3. “Masih mungkinkah untuk menegaskan bahwa seseorang
yang hidup bertentangan dengan perintah hukum Allah, seperti misalnya hukum yang
melarang perzinaan (Matius 19: 3–9), menganggap dirinya berada dalam sebuah situasi
objektif dari dosa berat . . ?”
4. “Apakah kita masih harus menganggap valid ajaran
dari ensiklis Veritatis splendor St. Yohanes Paulus II, 81,. . . dimana menurut
ensiklis itu ‘keadaan atau niat tidak akan pernah bisa mengubah tindakan yang
secara intrinsik jahat berdasarkan objeknya, menjadi tindakan yang "secara
subyektif" adalah baik atau dapat dipertahankan sebagai pilihan' "?
5. “Apakah kita masih harus menganggap sah ajaran
Ensiklik St. Yohanes Paulus II Veritatis
Splendor, 56,. . . yang mengajarkan bahwa hati nurani tidak akan pernah
diizinkan untuk memberikan pengecualian yang sah terhadap norma-norma moral
absolut yang melarang tindakan jahat secara intrinsik berdasarkan objeknya?”
Setelah menunggu dengan sabar
selama beberapa minggu tanpa jawaban, keempat kardinal itu menyampaikan
pertanyaan mereka - yang masing-masing dapat dijawab hanya “ya” atau “tidak” -
kepada Gereja universal untuk dilakukan diskusi, dan menjelaskan bahwa mereka
menafsirkan sikap diam paus sebagai “undangan. untuk melanjutkan refleksi dan
diskusi, dengan tenang dan penuh hormat."
Para pembela Francis yang paling
setia menyatakan kaget atas pernyataan publik dubia, dan menyebutnya sebagai tindakan
tidak hormat terhadap paus tertinggi. Tetapi Kardinal George Pell menolak tuduhan
itu. Keempat kardinal itu, dia mengamati, hanya mengajukan pertanyaan, dan
pertanyaan yang penting pada saat itu, dan mereka tidak menyulut perbedaan
pendapat: "Bagaimana Anda bisa tidak setuju dengan suatu pertanyaan?"
Msgr. Pio Vito Pinto, dekan Rota
Romawi, menempuh garis yang sangat berbeda. Marah dengan surat para kardinal
dubia, dia mengatakan bahwa paus dapat mengeluarkan keempat orang itu dari Kolese
para Kardinal sebagai hukuman atas tindakan mereka yang menghina. Cardinals
Burke, Brandmüller, Caffarra, dan Meisner dapat dituduh telah menyebabkan
"skandal besar," kata Pinto, karena pertanyaan mereka tentang
interpretasi dari nasihat apostolik Amoris Laetitia yang mencerminkan karya dari
Sinode Para Uskup — dimana empat kardinal dubia itu dituduh ‘mengemis’ dengan
mempertanyakan apakah anjuran apostolik itu benar-benar mencerminkan karya
Sinode para Uskup. “Tindakan dari Roh Kudus tidak dapat diragukan,” demikian
kata Pinto bersikeras.
Dan paus masih juga diam membisu,
tidak memberikan respons publik terhadap dubia. Pada November 2016 dia
mengadakan sebuah konsistori untuk memberikan topi merah pada tujuh belas
kardinal baru. Sebelum dua kali konsistori sebelumnya, Francis telah berdiskusi
selama beberapa hari dengan para anggota Kolese. Namun kali ini, dia tidak mengajak
para kardinal untuk berkumpul secara terpisah dari upacara formal, hingga hal
ini mendorong wartawan spesialis Vatikan, Marco Tosatti, untuk berspekulasi
bahwa paus takut akan beberapa "kardinal, yang menginginkan perkataan yang
tegas dari paus soal dubia," dan
mereka akan bisa memanfaatkan kesempatan itu untuk bertanya kepada paus
mengenai hal itu.
Kardinal Gerhard Müller, prefek
Kongregasi untuk Ajaran Iman, mengatakan bahwa kantornya sebenarnya dapat
menanggapi dubia itu jika paus mengizinkannya untuk melakukannya. Karena
kongregasinya mengeluarkan penilaian "dengan otoritas Paus," katanya,
maka tidak pantas bagi dia untuk campur tangan tanpa persetujuan paus.
Laporan-laporan tentang
pertempuran di dalam Vatikan mengenai penafsiran Amoris Laetitia
dibesar-besarkan, kata Kardinal Müller, dan hal itu mencerminkan kecenderungan
wartawan untuk menafsirkan urusan Gereja dalam hal politik kekuasaan. Pada saat
yang sama, katanya, penting bagi umat beriman untuk "tetap objektif dan tidak
diseret ke dalam polarisasi." Untuk pertanyaan yang paling kontroversial
tentang Amoris Laetitia — apakah umat Katolik yang bercerai dan menikah kembali
dapat menerima Komuni — Müller menolak memberikan jawaban langsung.
Sementara itu Müller menyatakan
keyakinannya bahwa Amoris Laetitia sepenuhnya sejalan dengan ajaran Gereja
sebelumnya, maka kardinal Italia (Carlo Caffarra) yang telah ikut menandatangani dubia tidak setuju. Carlo
Caffarra mengatakan bahwa “hanya orang buta saja yang menyangkal bahwa ada
kebingungan besar, ketidakpastian, dan rasa tidak aman di dalam Gereja.” Dalam
sebuah wawancara dengan harian Italia Il
Foglio, Caffarra mengatakan bahwa kebingungan itu melibatkan “… pertanyaan
yang sangat serius bagi kehidupan Gereja dan keselamatan kekal umat beriman."
"Dalam beberapa bulan
terakhir," kata Caffarra, "pada beberapa pertanyaan yang sangat
mendasar mengenai sakramen-sakramen, seperti pernikahan, pengakuan dosa dan
Ekaristi, dan kehidupan Kristiani secara umum, para uskup diosesan telah
mengeluarkan interpretasi yang kontradiktif dengan perkataan paus dan mereka mengumumkan
kebijakan-kebijakan yang berbeda secara radikal.” "Hanya ada satu cara
untuk sampai ke dasar dari kebingungan ini,” dia berkata: "… bertanya
kepada si penulis teks." Dia mengutuk tuduhan bahwa dubia telah
menyebabkan perpecahan di dalam Gereja, sebagai tuduhan yang "palsu dan
licik". “Perpecahan yang sudah ada di dalam Gereja adalah sebagai penyebab,
bukan akibat, dari munculnya permintaan klarifikasi kepausan (dubia),” katanya.
“Tetapi keinginan untuk mendapat
kejelasan itu sendiri adalah masalah,” kata Uskup Agung Mark Coleridge dari Brisbane,
Australia. Dalam sebuah wawancara yang diterbitkan di Amerika, dia
memperingatkan bahwa para uskup yang meminta klarifikasi seakan sedang mengejar
sebuah "kejelasan yang salah, yang sedang tiba, karena Anda tidak membahas
tentang kenyataan." Dalam sesi Sinode, Coleridge "mendengar
suara-suara yang terdengar sangat jelas dan pasti, tetapi hal itu karena mereka
tidak pernah bergulat dengan pertanyaan yang nyata atau tidak pernah berurusan
dengan fakta yang sebenarnya terjadi di lapangan.” “Sementara ada beberapa
orang lebih suka melihat hal-hal seolah hanya ada hitam dan putih, katanya, “dan
para pastor sangat sering berurusan dengan dunia abu-abu dan Anda harus mendampingi
orang-orang, mendengarkan mereka, sebelum Anda berbicara dengan mereka, memberi
mereka waktu dan memberi mereka ruang, dan kemudian menyampaikan perkataan
Anda, mungkin." Uskup agung itu tidak menjelaskan bagaimana kejelasan (hukum)
moral mungkin tidak sesuai dengan "kenyataan yang ada,” bahkan seringkali hukum
moral itu tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan.
Coleridge mengakui bahwa banyak
umat Katolik telah "dikecewakan" oleh dokumen kepausan, seperti yang
dikatakan oleh rekan senegaranya, Kardinal Pell. "Beberapa orang
mengharapkan dari Paus kejelasan dan kepastian pada setiap pertanyaan dan
setiap masalah," kata Coleridge, "tetapi seorang pastor mungkin tidak
dapat menyediakan jawaban itu pada saat dibutuhkan."
Ambiguitas Itu Disengaja
Ketika berminggu-minggu berubah
menjadi bulan dan dubia tetap juga tidak terjawab, maka menjadi semakin jelas
bahwa sikap diam paus itu sebagai strategis. Kebingungan dalam Amoris Laetitia
bukanlah sebuah ‘virus’; itu adalah sebuah ‘program yang sudah melekat’.
Para pembela nasihat kerasulan Amoris
Laetitia bersikeras bahwa bab kedelapan yang terkenal itu, sudah cukup jelas,
dan bahwa empat kardinal yang mengajukan pertanyaan (dubia) tentang maknanya,
hanya suka berdebat. Tetapi jika itu masalahnya, paus bisa menghindari rasa
malu di hadapan publik dengan menjawab pertanyaan para kardinal itu. Tetapi dia
memilih untuk tidak melakukannya.
Hanya ada tiga cara yang mungkin
untuk menafsirkan sikap diam paus. Entah dia bersikap sangat kasar kepada para penasihat
terdekatnya, dengan tegas menolak untuk menjawab pertanyaan jujur mereka,
atau dia tidak ingin memberikan jawaban langsung. Atau keduanya.
Satu kemungkinan yang dapat
dengan cepat dikecualikan dari diskusi adalah bahwa paus percaya bahwa makna
dari Amoris Laetitia sudah jelas bagi umat beriman. Bukan itu. Setelah dua
tahun perdebatan sengit tentang pertanyaan paling kontroversial yang terlibat,
umat Katolik yang cerdas dan berpengetahuan masih tidak yakin dengan apa yang
sebenarnya diajarkan oleh Francis.
Jika pengajaran kepausan itu
sudah jelas, bagaimana hal itu bisa berarti ‘A’ di Polandia, dan berarti ‘B’ di
Jerman, berarti ‘C’ di Philadelphia dan Portland, dan berarti ‘D’ di Chicago
dan San Diego? Jika beberapa uskup menafsirkan dokumen kepausan yang satu dan
sama itu secara berbeda, mengapa hal itu tidak diperbaiki?
Ketika keempat kardinal yang ‘waspada’
itu terus mendesak paus untuk memberikan klarifikasi, beberapa wartawan Katolik
mencoba menentukan berapa lama biasanya seorang paus untuk menanggapi dubia
semacam ini. Tidak ada jawaban yang memuaskan untuk pertanyaan ini, karena
tidak ada kejadian sebelumnya bagi pertanyaan ini. Biasanya, dokumen kepausan adalah
jelas. Jika ada kebingungan muncul dari pernyataan kepausan, maka klarifikasi
biasanya mengikuti dengan cepat — jauh sebelum dubium formal dapat diangkat —
karena inti pengajaran kepausan adalah untuk memberikan kejelasan. Biasanya.
Tapi ini kasus yang berbeda.
John Allen, yang menulis di media
Crux, menawarkan sebuah alternatif yang
masuk akal tentang niat paus: "Mungkin ini adalah versi paus tentang
R&D Katolik, membiarkan segala sesuatunya bermain untuk sementara waktu di lapangan,
sebelum dia mengatakan sesuatu yang tidak dapat diubah." Dengan kata lain,
mungkin paus sengaja menciptakan ruang untuk eksperimen pastoral, untuk melihat
apa itu berhasil. Uskup Agung Coleridge tampak puas dengan pendekatan itu.
"Perawatan pastoral bergerak dalam ambiguitas," tulisnya di akun
Twitter-nya, menambahkan satu penggalian pada empat kardinal (dubia) :
"Kita sekarang membutuhkan kesabaran pastoral, bukan kegelisahan perbaikan
cepat yang disuarakan di sini."
Jika Allen dan Coleridge percaya
bahwa paus mendorong eksperimen dengan membiarkan berbagai masalah dalam
keadaan tidak beres, pengamat lain — yang jauh lebih dekat dengan paus — akan bersikeras
bahwa makna dari Amoris Laetitia telah diselesaikan. Pastor Antonio Spadaro
bereaksi terhadap surat publik keempat kardinal itu dengan tweet-storm.
"Paus telah ‘mengklarifikasi,’ kata pastor Yesuit itu. "Mereka yang
tidak suka apa yang mereka dengar, pura-pura tidak mendengarnya!" Dia
menyertakan sebuah link kepada surat Paus yang ditujukan kepada para uskup
Argentina, seolah-olah sebuah surat pribadi yang bocor bisa memiliki otoritas.
Dan tentu saja, kebijakan uskup-uskup Argentina itu tidak membahas dubia. Dengan
nada mengejek keempat kardinal dubia, Spadaro kemudian men-tweet, “Amoris
Laetitia adalah tindakan Magisterium (Kard. Schönborn) karena itu janganlah
terus menanyakan pertanyaan yang sama sampai Anda mendapatkan jawaban yang Anda
inginkan."
Diisukan memiliki peran utama
dalam penyusunan Amoris Laetitia, Spadaro telah mengungkapkan lebih banyak hal
di Twitter daripada sekadar sikap geramnya. Jika dia ingin para kardinal
berhenti mengajukan pertanyaan-pertanyaan sulit itu, tidak masuk akal untuk
mencurigai bahwa Paus sendiri ingin mengubur pertanyaan-pertanyaan itu. Dan sikap
diam terus menerus dari paus memperkuat kecurigaan itu.
Membela Paus, Menghindari Masalah
"Yang saya tahu adalah bahwa
keraguan yang ada di sana, yang diungkapkan, bukanlah keraguan saya, dan saya
pikir itu bukan keraguan Gereja universal," Cardinal Blase Cupich
meyakinkan Edward Pentin dari National
Catholic Register sebagai jawaban atas pertanyaan tentang dubia. Tidak
terganggu oleh ambiguitas apa pun, uskup agung Chicago melanjutkan:
Dokumen yang mereka ragukan
adalah buah dari dua sinode, dan buah dari proposisi yang dipilih oleh dua
pertiga dari para uskup yang ada di sana. Ini adalah nasihat apostolik
post-sinodal, dan karena itu ia berdiri pada tingkat yang sama dengan semua
nasihat apostolik post-sinodal lainnya sebagai dokumen magister. Saya pikir
jika Anda mulai mempertanyakan keabsahan apa yang dikatakan dalam dokumen
semacam itu, apakah Anda kemudian mempertanyakan semua dokumen lain yang telah
dikeluarkan sebelumnya oleh paus lain?
Sebenarnya, sebagaimana Pentin mengamati,
proposisi yang dimaksud tidak disetujui oleh semua Uskup peserta Sinode. Tapi
itu hampir tidak penting, karena keempat kardinal itu tidak menyatakan keraguan
tentang apa yang dikatakan Sinode. Mereka bahkan tidak secara langsung
mempertanyakan ringkasan Paus tentang pertimbangan Sinode. Mereka hanya mempertanyakan interpretasi beberapa orang
tentang dokumen paus yang merangkum Sinode.
Untuk mengajukan pertanyaan
tentang Amoris Laetitia, Cupich mengatakan, bahkan pertanyaan tentang bagaimana
hal itu harus dipahami, hal itu berarti mempertanyakan semua pernyataan paus
sebelumnya. Namun, pendekatan yang lebih bernuansa Magisterium mungkin diperlukan.
Dalam mengangkat dubia mereka, keempat kardinal mengamati bahwa beberapa
interpretasi Amoris Laetitia nampak bertentangan
langsung dengan Veritatis Splendor,
karya magisterial St. Yohanes Paulus II. Jika satu pernyataan kepausan
bertentangan dengan yang lain, konflik tidak dapat diselesaikan dengan
mengatakan bahwa semua umat Katolik yang baik harus menerima otoritas dokumen
kepausan.
Kardinal-kardinal baru dari
Amerika, pilihan Francis, misalnya Joseph Tobin dari Newark, juga berusaha untuk
menghindari masalah yang diangkat di dalam dubia. “Yang mungkin bisa sangat
membantu dalam hal ini, daripada setiap uskup atau kardinal menuntut agar paus
menjelaskan pada setiap penerapan konkret dari magisterium, adalah agar kita,
sebagai uskup, menerima saja hal itu dan melakukan apa yang seharusnya kita
lakukan.” Mungkin masuk akal jika para uskup tahu apa yang seharusnya mereka
lakukan. Tetapi dubia yang diajukan oleh 4 orang kardinal itu membahas poin dimana
banyak uskup tidak tahu apa yang seharusnya mereka lakukan. Dalam hal ini,
beberapa uskup yang cukup percaya diri bahwa mereka tahu apa yang harus
dilakukan, ternyata mereka juga saling bertentangan dengan uskup yang lain, yang
juga merasa bahwa mereka tahu apa yang harus dilakukan.
Kebingungan seputar dokumen
kepausan (Amoris Laetitia) terlihat jelas. Ada dua cara untuk mengatasinya.
Salah satunya adalah dengan menjawab pertanyaan para kardinal. Yang lain adalah
dengan meniru Rex Mottram, seorang komikus bodoh dalam kisah Evelyn Waugh's Brideshead Revisited.
Imam Yesuit yang tidak tulus itu, yang melakukan tugas mengajar Iman Katolik di
Mottram, berbicara dengan nada putus asa,
Kemarin saya bertanya kepadanya
apakah Tuhan kita memiliki lebih dari satu sifat. Dia berkata: "Sama
seperti yang Anda katakan, Pastor." Kemudian saya bertanya lagi kepadanya:
"Seandainya Paus melihat ke atas dan melihat awan dan berkata, ‘Akan turun
hujan,’ "apakah itu pasti akan terjadi?" “Oh, ya, Pastor." "Tetapi
seandainya tidak turun hujan?” Dia berpikir sejenak dan berkata, "Saya
kira itu akan berupa hujan rohani, hanya saja kita terlalu berdosa untuk bisa
melihatnya."
Kardinal Marx dari Munich
memilih pendekatan Mottram, dan mengatakan kepada National Catholic Register bahwa konferensi para uskup Jerman tidak
mengalami kesulitan dalam mencapai kesepakatan mengenai interpretasi yang tepat
dari Amoris Laetitia. Mereka mengeluarkan pedoman, yang mencerminkan “posisi
yang jelas,” untuk menerima orang Katolik yang bercerai dan menikah kembali untuk
menerima Komuni dalam beberapa kasus.
Pastor Spadaro dari La Civiltà Cattolica menggunakan nada yang
sama, dengan bersikeras bahwa keempat pertanyaan kardinal itu telah dijawab.
Dia mengakui bahwa dubia menyangkut pertanyaan-pertanyaan yang menarik, dan dia
mengatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan itu "sudah diangkat selama
Sinode," di mana "semua tanggapan yang diperlukan telah diberikan,
dan lebih dari sekali." Dalam ucapan lain yang cukup keras, yang diarahkan
kepada para kardinal dubia, Spadaro yang agresif itu mengatakan bahwa “Hati
nurani yang meragukan dapat dengan mudah menemukan semua jawaban yang dicari,
jika mereka mau mencarinya dengan tulus.” Agar siapa pun tidak salah mengerti dengan
maksudnya, Spadaro melanjutkan dengan mengatakan bahwa pembahasan Amoris
Laetitia harus mengesampingkan “mereka yang menggunakan kritik untuk tujuan
lain atau mengajukan pertanyaan untuk menciptakan kesulitan atau perpecahan."
Spadaro juga mengatakan pada
Januari 2017, ketika dia memposting komentar samar di akun Twitter-nya yang
mengolok-olok mereka yang mencari kepastian tentang pengajaran kepausan:
Teologi bukanlah Matematik. 2 +
2 di dalam Teologi dapat menghasilkan 5. Karena itu ada hubungannya dengan
Allah dan kehidupan nyata dari manusia. . .
Apakah disini Spadaro
menyarankan bahwa ketika kita berbicara tentang "kehidupan nyata,"
aturan logika tidak berlaku? Jika seseorang memberi tahu Anda, “Anda dapat
membicarakan semua yang Anda inginkan tentang hukum gravitasi, tetapi dalam
kehidupan nyata. . . , Anda tidak akan tahu apa yang akan terjadi selanjutnya,
tetapi Anda tahu itu akan menjadi omong kosong. Hukum gravitasi adalah hukum
kehidupan nyata, yang berlaku untuk manusia yang nyata.
Jadi bagaimana mungkin "2 +
2 di dalam Teologi bisa menghasilkan 5"? Spadaro memberi tahu kita bahwa teologi
“ada hubungannya dengan Allah.” Apakah yang dia maksudkan adalah bahwa Allah
mungkin melanggar hukum-hukum logika? Jika demikian, maka Spadaro telah jatuh
ke dalam kesalahan yang dikritik oleh Benediktus XVI dalam pidatonya yang
terkenal di Regensburg: gagasan bahwa iman tidak dapat dikenai analisis
rasional. Benediktus memandang penghinaan terhadap nalar ini sebagai kelemahan
pemikiran dari kelompok tertentu. Dia mungkin tidak pernah mengantisipasi bahwa
masalah akan muncul di kantor editorial La
Civiltà Cattolica.
Jika Spadaro dapat menangguhkan
aturan logika yang biasa dengan referensi samar untuk "kehidupan
nyata" dan "orang-orang," maka dia dapat menyelesaikan
perdebatan tentang Amoris Laetitia dengan sangat rapi. Setiap kasus adalah berbeda
— demikian argumennya — dan karenanya tidak ada hukum umum yang berlaku. Dengan
logika seperti itu, karena setiap batu yang Anda lempar di udara berbeda, maka Anda
tidak akan pernah yakin bahwa batu itu akan jatuh.
Interpretasi lain yang mungkin
dari tweet Spadaro yang penasaran itu, tidak lagi meyakinkan. Dia mungkin telah
mengasumsikan bahwa Anda dan saya dan jutaan umat Katolik biasa lainnya tidak
dapat diharapkan untuk bisa mengikuti logika rumit para teolog — sama seperti
kita bingung oleh perhitungan mekanika kuantum yang tidak masuk akal. Karena
itu (menurut logika Spadaro) kita harus menyerahkan urusan penting ini kepada
para profesional. Dengan kata lain, kita harus menerima apa pun yang dikatakan
kepada kita. Kita tidak diharapkan untuk mengerti; kita hanya diharapkan untuk tekun
mengantre. Pendekatan Spadaro terhadap iman seperti ini tidak didasarkan pada penalaran,
namun didasarkan pada kekuasaan semata.
Sejauh yang bisa saya lihat,
argumen Spadaro terhadap dubia berjalan seperti ini: Kita tidak bisa menetapkan
aturan hitam-putih untuk perkawinan dan kasus perceraian karena keadaan setiap
kasus berbeda. Itu sepenuhnya benar. Tetapi bukankah tujuan pengadilan
perkawinan adalah untuk memeriksa keadaan masing-masing kasus dan untuk
menerapkan aturan umum pada keadaan tersebut? Jika tidak ada aturan umum untuk
diterapkan, maka pengadilan (atau para pastor, dalam dispensasi yang dianjurkan
oleh Amoris Laetitia, akan beroperasi dalam ruang hampa, tanpa aturan atau
pedoman umum yang bisa dipegang.
Jika kita menerapkan logika yang
sama kepada bidang yang lain, yang kurang kontroversial, kita akan segera
mengenali adanya absurditas:
Wasit tenis berpengalaman tahu
bahwa ada banyak teriakan yang menyatakan dimana bola jatuh. Apakah bola
disebut "di dalam" atau "keluar" hal itu dipengaruhi oleh
sejumlah faktor yang berbeda: sudut tembakan, posisi hakim garis, kondisi
lapangan. Tidak ada dua tembakan yang sama. Oleh karena itu, hanya ahli teori
abstrak dari permainan yang ingin agar garis pembatas dibuat di lapangan tenis
sebelum pertandingan dimulai.
“Poin-poin Pembicaraan” Yang Sama
Sudah jelas bahwa rekan-rekan
dekat Francis, pembela Amoris Laetitia, dan keempat kardinal dubia, semuanya
membaca dari naskah yang sama. Kesamaan dalam argumen yang disajikan - bahkan
frasa yang digunakan – telah mengarah kepada seseorang di suatu tempat di
Vatikan yang telah menyusun "poin-poin pembicaraan" yang harus
dipegang oleh mereka yang ingin menangkal ‘serangan’ dari dubia. Paling tidak,
ada tujuh hal yang bisa disampaikan disini yang harus dipegang oleh para
pendukung Amoris Laetitia:
1. Jangan
bicara tentang dubia. Tujuannya bukan untuk menjawab dubia tetapi untuk menyapu
bersih dubia itu dari atas meja. Para sekutu paus tidak menyebutkan
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh keempat kardinal itu, karena pertanyaan
mereka terdengar terlalu masuk akal. Maka para sekutu paus mencoba memberi
kesan bahwa para kardinal dubia mengajukan pertanyaan jebakan atau menyelidiki suatu
rahasia. Di atas semua itu, para sekutu paus tidak akan mau mengakui bahwa
dubia akan memungkinkan jawaban sederhana ‘ya-atau-tidak.’
2. Bersikeras
bahwa Amoris Laetitia sudah sangat jelas. Para pembela kepausan mengutip
pernyataan satu sama lain tentang dugaan kejelasan dokumen tersebut, tetapi tidak
mengakui bahwa komentator yang berwenang telah mengatakan sebaliknya. Sebagai
alternatif, mereka mengatakan bahwa dokumen itu sengaja dibuat tidak jelas,
karena ambiguitas memang diperlukan untuk memberi ruang kepada pastor memiliki keleluasaan
dalam menangani kasus-kasus sulit.
3. Mengolok-olok
pengajaran Gereja tradisional dan para pastor kuno yang menjunjung tinggi ajaran
tradisionil. Dalam berbicara kepada media sekuler, para sekutu harus bermain berdasarkan prasangka dan simpati umat.
4. Katakan bahwa
dubia mencerminkan pendekatan yang terlalu sederhana. Dokumen itu sangat jelas,
kata para penganjurnya, tetapi rekomendasinya membutuhkan pemahaman yang lebih
bernuansa. Uskup Agung Dublin, Diarmuid Martin, telah menyesalkan bahwa
beberapa orang "merasa gelisah dengan kemampuan paus untuk menempatkan
dirinya di tengah-tengah ketidakpastian kehidupan orang-orang."
5. Tunduk
sepenuhnya kepada otoritas kepausan. Biar saja keempat kardinal itu mengajukan
pertanyaan. Tidak masalah bahwa Amoris Laetitia tampaknya secara langsung
bertentangan dengan ajaran para paus sebelumnya, sehingga beberapa ajaran paus ini
harus dipertanyakan. Tidak masalah bahwa Francis sendiri telah menyerukan debat
bebas dan mendorong orang-orang untuk "membuat kekacauan." Katakan bahwa
mereka yang mempertanyakan dokumen kepausan ini (Amoris Laetitia) telah merusak
prinsip ‘tak bisa salah’ dari paus (padahal
kenyataannya, pertanyaan dubia itu dimaksudkan untuk menjaga keteguhan
pengajaran Gereja).
6. Jangan
takut untuk merusak integritas orang-orang yang tidak setuju. Wartawan Inggris
Austen Ivereigh menulis tentang "pemberontakan anti-Francis" yang
mengambil "nada baru yang kejam" — sebelum melanjutkan dengan
serangan ganasnya sendiri terhadap Amoris Laetitia.
7. Lukiskan
gambaran indah tentang hubungan antara umat Katolik dan para pastor mereka.
Usulan Kasper mengandaikan bahwa seorang Katolik yang bercerai dan menikah lagi
telah menjalani pemeriksaan hati nurani yang mendalam dan panjang, dan dibantu
oleh seorang pastor yang cerdas. Relasi antara penitent dan bapa pengakuan seperti
ini dianggap sebagai norma, meskipun dalam kenyataannya hal itu pasti menjadi pengecualian
yang langka.
“Poin-poin pembicaraan” ini
tidak konsisten satu sama lain. Adalah tidak masuk akal misalnya, untuk
mendesak otoritas kepausan untuk dengan saleh menerapkan prinsip "Roma
telah berbicara," guna membela kegagalan Roma untuk berbicara (dengan cara
bersikap diam). Namun strategi retoris ini dimaksudkan bukan untuk memenangkan
argumen, tetapi untuk memadamkan argumen — untuk membungkam kritikan terhadap paus
atau, jika gagal, untuk membujuk orang lain agar mengabaikan kritikan itu.
Maka tidaklah mengherankan jika kontradiksi-diri
ini menjadi dasar dari semua pembelaan terhadap Amoris Laetitia — nasihat kerasulan
tidak boleh mengubah doktrin, namun beberapa umat Katolik yang bercerai dan
menikah lagi sekarang dapat menerima Komuni — hingga sering menimbulkan
kebingungan taktis. Pada bulan Februari 2017, pers Vatikan menerbitkan sebuah
buku kecil tulisan Kardinal Francesco Coccopalmerio, Bab Kedelapan dari Anjuran Apostolik Pasca-Sinode Amoris Laetitia, yang
empat puluh halamannya dikhususkan untuk kontradiksi-diri itu. Coccopalmerio
menyatakan bahwa Amoris Laetitia mengekspresikan “dengan kejelasan mutlak semua
elemen doktrin tentang pernikahan dalam konsistensi penuh dan kesetiaan pada
ajaran tradisional Gereja.” Dia melanjutkan dengan mempertahankan bahwa bertahan
melakukan pantang seksual dalam perkawinan kedua dapat mengancam perkawinan itu,
dan karenanya, akan mengancam kesejahteraan anak-anak. Dalam kasus seperti itu,
seseorang mungkin “berada dalam situasi konkret yang tidak mengizinkannya
bertindak yang lain, dan memutuskan sebaliknya tanpa dosa lebih lanjut.” Umat
Katolik dalam perkawinan seperti itu dapat menerima Ekaristi jika mereka “ingin
mengubah situasi ini, tetapi tidak dapat mewujudkan keinginan mereka.” Penafsiran
Amoris Laetitia ini bertentangan langsung dengan apa yang dikatakan oleh
Kardinal Müller ketika dia menjadi kepala Kongregasi untuk Ajaran Iman.
Posisi Coccopalmerio sebagai
pengacara kanonik tertinggi Vatikan dan penerbitan bukletnya oleh pers Vatikan
memberi kesan bahwa karya itu merupakan respons setengah-resmi terhadap
pertanyaan-pertanyaan tentang interpretasi yang tepat dari Amoris Laetitia —
yaitu, jawaban untuk dubia. Kesan itu diperkuat oleh pengumuman pada konferensi
pers di Vatikan pada 14 Februari untuk memperkenalkan buklet itu. Maka yang
mengejutkan semua orang, Coccopalmerio justru tidak tampil di konferensi pers
itu, dan menyerahkan kepada seorang profesor teologi dan seorang jurnalis
Italia untuk memperkenalkan karyanya itu. Dan meskipun buklet itu telah
disebut-sebut sebelumnya sebagai jawaban terakhir untuk pertanyaan yang banyak
dibahas tentang Amoris Laetitia, direktur pers Vatikan - penerbit Coccopalmerio
- mengakui bahwa "debat masih terbuka."
Alasan yang kemudian diajukan
atas ketidakhadiran Coccopalmerio, yaitu konflik penjadwalan acara, adalah tidak
masuk akal — seolah-olah penerbit tidak berpikir untuk mengkonfirmasi
ketersediaan penulis sebelum menjadwalkan konferensi pers. Jika buklet kardinal
dan publisitas seputar peluncurannya dirancang untuk meredam desas-desus
perselisihan dan intrik di dalam Vatikan tentang Amoris Laetitia, maka hal itu
justru memiliki efek sebaliknya.
Rumor perselisihan dan intrik
telah berkembang ketika Edward Pentin melaporkan dalam the National Catholic Register bahwa Kongregasi untuk Doktrin Iman telah
merekomendasikan sejumlah perubahan pada Amoris Laetitia sejak tahap rancangan,
tetapi “tidak satu pun koreksi itu diterima.” Laporan Pentin tampaknya
menguatkan cerita sebelumnya oleh Jean-Marie Guénois dalam Le Figaro bahwa kantor doktrin Vatikan telah menyerahkan dua puluh
halaman modifikasi yang disarankan sebelum nasihat apostolik dipublikasikan —
tampaknya semuanya sia-sia.
Jenis lain dari intrik
diungkapkan oleh Michael Pakaluk, seorang profesor etika di Universitas Katolik
Amerika, yang menemukan bahwa satu bagian dari Amoris Laetitia disalin utuh dari
sebuah esai yang ditulis lebih dari dua puluh tahun sebelumnya oleh teman dekat
paus Francis. Menulis di media Crux,
Pakaluk menunjukkan bahwa sebuah kalimat penting dalam Bab 8 yang kontroversial
dan bagian-bagian lainnya diambil hampir secara kata demi kata dari sebuah
artikel yang diterbitkan pada tahun 1995 oleh Uskup Agung Victor Manuel
Fernández, sekarang rektor Universitas Katolik Argentina dan penasihat paus. Fernández
diyakini telah menjadi ‘pengarang bayangan’ dari ensiklik Laudato Si dan telah
memiliki peran utama dalam penyusunan Amoris Laetitia.
Penggunaan materi yang tidak
diakui dari esai sebelumnya menimbulkan pertanyaan baru tentang dokumen
kepausan. Pakaluk menulis, “… sebuah kutipan eksplisit [dalam dokumen kepausan]
dari artikel jurnal teologis lain, akan diterima sebagai ‘memiliki kekuatan dan
bobot tersendiri.’ Maka untuk mengatakan, dengan cara yang tidak memenuhi
syarat, bahwa "ini adalah magisterium," akan menjadi semacam
penindasan spiritual."
Selain itu, Pakaluk menunjukkan
bahwa kalimat dalam Bab 8 Amoris Laetitia, yang menyinggung ajaran St. Thomas
Aquinas tentang konsekuensi dari kesulitan dalam melaksanakan
kebajikan-kebajikan tertentu, hal itu telah mendistorsi ajaran St. Thomas dan
dimasukkan ke dalam penggunaan teologis yang keliru dari artikel Fernández
tahun 1995. Apakah Fernández memanfaatkan posisinya sebagai penasihat kepausan
(dan mungkin sebagai pengarang-bayangan) untuk memberikan gagasan
kontroversialnya sendiri dengan cap persetujuan paus? Dan apakah dia mau
mempermalukan paus dengan memasukkan kata-katanya sendiri tanpa ijin paus? Seperti
yang diamati Pakaluk, “Dalam konteks sekuler, seorang pengarang-bayangan, yang
menulis untuk orang lain, yang mengekspos penulis yang dia layani kepada tuduhan
plagiarisme, akan dianggap sebagai orang yang ceroboh.” Tetapi dengan Amoris
Laetitia, kebingungan semacam itu telah menjadi norma.
Batas-batas Otoritas Kepausan
Di dalam Gereja Katolik,
otoritas Paus Roma sangat besar. Tetapi bahkan otoritas kepausan - dan
khususnya infalibilitas kepausan - memiliki keterbatasan juga. Paus berbicara
dengan otoritasnya ketika dia menetapkan Deposit Iman, menjelaskan, di dalam
persekutuan dengan Kolese para Uskup, apa yang selalu dan di mana pun dipercayai
oleh Gereja. Dalam kasus Amoris Laetitia, dua pertemuan Sinode para Uskup
memperjelas bahwa paus tidak berada dalam persekutuan dengan semua uskup di dunia
mengenai proposal Kasper. Tetapi diluar perselisihan itu, siapa pun yang
memahami sifat dari kuasa kepausan Petrus harus mengakui bahwa, bahkan ketika paus
berbicara tentang masalah iman dan moral, ada beberapa hal yang tidak bisa
dikatakan oleh paus. Contohnya:
Paus tidak dapat mengatakan
bahwa 2 + 2 = 5. Dia juga tidak bisa mencabut hukum logika. Jadi jika paus
membuat dua pernyataan yang saling bertentangan, maka keduanya tidak mungkin
benar. Dan karena setiap paus memiliki otoritas pengajaran yang sama, maka jika
ada seorang paus yang bertentangan dengan paus lain, berarti ada sesuatu yang
salah. Karena itu, jika Amoris Laetitia bertentangan dengan Veritatis Splendor dan Casti Connubii — ensiklik kepausan
sebelumnya, yang membawa otoritas pengajaran tingkat tinggi — maka umat beriman
tidak dapat diharuskan untuk menelan kontradiksi ini begitu saja.
Paus tidak dapat mendikte umat
Katolik apa yang harus mereka pikirkan. Dia dapat, dalam batasan tertentu,
memberi tahu umat apa yang musti mereka pikirkan. Tapi dia tidak bisa, hanya
dengan kekuatan otoritasnya, merubah pikiran umat. Ppar pendukung Paus
bersikeras bahwa Amoris Laetitia sudah sangat jelas. “Paus tidak boleh memberi ruang
bagi keraguan tentang pengajaran Gereja,” tegas Pastor Spadaro. Bahkan jika
pernyataan itu datang langsung dari paus sendiri (yang tidak jelas), itu tidak
bisa bersifat otoritatif. Jika seseorang memiliki keraguan, maka jelas ada ruang
bagi keraguan; bahkan paus tidak dapat mengingkari fakta itu. Idealnya paus dan
mereka yang berbicara untuknya akan membantu umat Katolik untuk menyelesaikan
keraguan itu, bukannya mengatakan bahwa keraguan berarti ketidaksetiaan.
Paus tidak bisa mengajar secara semena-mena
dengan memberikan petunjuk. Pada masalah yang paling kontroversial yang dibahas
pada dua pertemuan Sinode para Uskup yang ditujukan bagi pernikahan dan
keluarga, Amoris Laetitia, sangatlah tidak jelas, hingga memungkinkan
interpretasi yang sangat berbeda. Pastor Spadaro dan Kardinal Schönborn dan
para uskup Argentina semuanya dapat membuat argumen yang meyakinkan bahwa
mereka tahu apa yang ada dalam pikiran Francis - terutama karena paus Francis sendiri
telah mendukung interpretasi mereka. Tetapi apa yang ada dalam pikiran paus
tidak memiliki bobot yang sama dengan apa yang ditulis paus sebenarnya. Dan itu
terutama terjadi ketika ada banyak bukti sehingga dia dengan sengaja membiarkan
begitu saja pertanyaan yang belum terselesaikan:
• Paus menghindari menjawab
pertanyaan secara langsung pada nasihat apostoliknya, meninggalkan bukti paling
jelas tentang niatnya dalam sebuah catatan kaki yang juga tidak jelas maksudnya,
dan kemudian mengatakan kepada wartawan bahwa dia tidak ingat pada catatan kaki
itu.
• Francis mendukung interpretasi
uskup Argentina dalam surat pribadinya serta interpretasi Schönborn dalam
sebuah wawancara dengan pers. Jelas disini tidak ada pernyataan formal dari
Magisterium.
• Dia menolak untuk menjawab dubia
yang diajukan oleh empat kardinal.
• Menurut Uskup Agung Bruno Forte
— seorang teolog terkemuka, yang sangat bersimpati kepada paus Francis dan yang
memainkan peran kunci dalam menyusun laporan pertama Sinode tentang Keluarga —
Paus memberi tahu dia selama sesi Sinode, “Jika kita berbicara secara eksplisit
tentang Komni bagi orang yang bercerai dan menikah lagi, Anda tidak tahu apa
kekacauan yang akan kami buat. Jadi kami tidak akan berbicara dengan jelas,
melakukannya dengan cara yang ada di situ, kemudian saya akan menarik
kesimpulan."
Pada saat ini jelaslah bahwa di
dalam Amoris Laetitia, Francis dengan hati-hati menghindari membuat semacam
pernyataan otoritatif yang akan memerintahkan persetujuan umat beriman. Umat
Katolik tidak dapat diharapkan — apalagi diperintahkan — untuk menerima
"ajaran" baru yang dipilih Paus, karena alasannya sendiri.
Sebuah Tes Ortodoksi — Atau Sesuatu Yang Lain?
Pada Juli 2017, Kardinal
Christoph Schönborn — yang secara rutin diidentifikasi sebagai “penerjemah
resmi” Amoris Laetitia — berbicara kepada audiens Irlandia tentang dokumen itu.
Sebelumnya, dia mengatakan bahwa catatan kaki terkenal 351, yang menunjukkan
bahwa penjangkauan pastoral untuk umat Katolik yang bercerai dan menikah
kembali “dapat mencakup bantuan pemberian sakramen-sakramen,” terutama merujuk
pada Sakramen Tobat. Sekarang sang kardinal mengatakan bahwa
pertanyaan-pertanyaan tentang penerimaan Komuni adalah sebuah
"jebakan," karena penekanan yang sebenarnya adalah pada pemeriksaan
hati nurani. Para pastor, katanya, harus membantu pasangan untuk mengevaluasi
keadaan pribadi mereka dengan niatan untuk menjawab pertanyaan kritis,
"Apa kebaikan yang mungkin dicapai seseorang atau pasangan dalam keadaan yang
sulit?"
“Jika kita mempertimbangkan
keragaman situasi yang sangat luas, dapat dipahami bahwa baik sinode maupun
nasihat ini tidak dapat diharapkan untuk memberikan seperangkat aturan umum
yang baru, bersifat kanonik, dan berlaku untuk semua kasus,” Schönborn
beralasan. Tetapi sebelum Amoris Laetitia, ajaran Gereja yang jelas telah
memberikan aturan yang berlaku untuk semua kasus: Umat Katolik yang terlibat
dalam persatuan perkawinan kedua, sementara pasangan mereka sebelumnya masih
hidup, tidak dapat menerima Komuni kecuali mereka berusaha untuk hidup sebagai
saudara dan saudari. Jadi, bahkan ketika dia menyatakan bahwa pengajaran Gereja
tidak berubah, dia mengindikasikan bahwa praktik pastoral harus berubah, dimna
hal ini menunjukkan keinginan untuk berkompromi pada pengajaran itu.
Schönborn nampak mengabaikan
pandangan rekan-rekan kardinalnya yang masih meminta klarifikasi. Dia mengakui
bahwa para kardinal memiliki hak untuk berbicara dengan paus tentang masalah
yang diperdebatkan, namun dia tetap mengkritik mereka yang telah membuat
permintaan mereka bahan pembicaraan publik:
Para kardinal itu, yang
seharusnya menjadi kolaborator terdekat paus, mencoba memaksanya, untuk
menekannya agar memberikan respons publik terhadap surat pribadi mereka yang
dipublikasikan, kepada paus — ini benar-benar perilaku yang merepotkan, saya
minta maaf untuk mengatakan. Jika mereka ingin mengadakan audiensi dengan paus,
mereka meminta audiensi; tetapi mereka tidak boleh mempublikasikan bahwa mereka
meminta audiensi.
Ada yang hilang dalam terjemahan
di sini. Ketika Schönborn mengatakan bahwa pertanyaan publik tentang paus
adalah "tidak nyaman," dia tentu saja bermaksud bahwa itu "tidak
patut." Dalam dirinya, kardinal percaya bahwa paus telah membuat perubahan
signifikan dalam pengajaran Gereja. Namun dia juga menegaskan bahwa Amoris
Laetitia sepenuhnya sejalan dengan ajaran Gereja sebelumnya. Menurut akun
Austen Ivereigh dengan alamat di Irlandia, Schönborn mengungkapkan bahwa ketika
dia bertemu Paus tak lama setelah presentasi Amoris, Francis berterima kasih kepadanya,
dan bertanya kepadanya apakah dokumen itu ortodoks.
"Saya berkata, 'Bapa Suci,
itu sepenuhnya ortodoks'," Schönborn mengatakan kepada kami bahwa dia
memberi tahu paus, menambahkan bahwa beberapa hari kemudian dia menerima dari
Francis sebuah catatan kecil yang mengatakan: "Terima kasih atas perkataanmu
itu. Itu memberi saya kenyamanan."
Dengan asumsi keakuratannya
(yang tidak perlu kita ragukan), anekdot Schönborn memberi kita gambaran yang
menakjubkan: penerus St. Peter — pria yang tugas utamanya adalah menjaga
Deposit Iman — bertanya kepada uskup lain apakah ajarannya itu ortodoks. Dan
dia merasa terhibur mendengar jawaban yang meyakinkan.
Diharapkan bahwa Francis
berkonsultasi dengan Schönborn, salah satu penasihat dekatnya dan seorang
teolog yang disegani. Tetapi dia tampaknya mencari kepastian ortodoksi
tulisannya setelah dokumen itu diterbitkan. Menerbitkan dokumen terlebih dahulu
dan meminta pendapat tentang kelayakan doktrinalnya kemudian, menunjukkan pendekatan
yang sangat berbahaya terhadap integritas Iman.
Apakah mungkin bahwa Francis
tidak sepenuhnya yakin tentang ortodoksi Amoris Laetitia bahkan setelah dia merilisnya?
Paling tidak, sikapnya yang "terhibur" oleh kepastian dari Schönborn menunjukkan bahwa paus tahu bahwa
beberapa wali gereja yang berpengaruh mendapati bahwa dokumen itu tidak sehat.
Tetapi apakah ada, mungkin, cara
lain untuk melihat arti dari permintaan paus pada pendapat Schönborn? Mungkin
Francis tidak terlalu ingin tahu tentang ortodoksi nasihat apostoliknya karena
dia tertarik untuk mengukur kehandalan Kardinal Schönborn. Orang Austria itu
dihormati oleh rekan-rekannya sebagai seorang teolog yang serius dan dikenal
sebagai seorang mahasiswa dan orang kepercayaan dari Benediktus XVI yang sudah
pensiun. Jika paus dapat mengandalkan dukungan Schönborn dalam kampanye untuk
menerima Amoris Laetitia, maka paus tentu saja akan merasa terhibur. Schönborn
akan menjadi sekutu penting, dan paus sadar bahwa dia menghadapi pertempuran
besar.
_______________
1. Angka-angka dalam tanda
kurung mengacu pada paragraf bernomor dalam dokumen yang dikutip.
2. Brandmüller, dari Jerman,
seorang sejarawan Gereja, diangkat sebagai kardinal oleh Benediktus XVI pada
usia 81 tahun dan karenanya dia tidak pernah memenuhi syarat untuk memilih
dalam konklaf kepausan. Burke, seorang Amerika, adalah prefek Signatura
Apostolik sampai Francis memindahkannya pada tahun 2014 dengan sikap tidak
senangnya yang mencolok. Caffarra, pendiri Institut Kepausan John Paul II untuk
Studi tentang Pernikahan dan Keluarga, pensiun sebagai uskup agung Bologna pada
2015 dan meninggal pada September 2017. Meisner, yang dekat dengan John Paul II
dan Benediktus XVI, pensiun sebagai uskup agung Cologne di 2014 dan meninggal
pada Juli 2017.
No comments:
Post a Comment