KAUM ELIT LIBERAL SUDAH
MERENCANAKAN SEBUAH DUNIA POST-CORONA -
DENGAN MENINGGALKAN ALLAH DAN IMAN JAUH DI BELAKANG
Siapa yang butuh teori
konspirasi ketika kaum progresif secara terbuka
menggambarkan bagaimana bentuk dunia ini pasca-korona?
Mon Apr 6, 2020 - 4:15 pm EST
·
Detail of God in Michelangelo's Creation of
Man inside the Sistine Chapel
in Vatican City.Creative Lab /
Shutterstock.com
By John Horvat II
6 April 2020 (LifeSiteNews) - Siapa pun yang berpikir
bahwa krisis coronavirus saat ini mewakili sebuah gencatan
senjata dalam perang budaya yang mengamuk, mereka sangat keliru. Justru perang
hanya akan dipercepat.
Demikian juga, siapa pun yang
berpikir bahwa ada kebutuhan untuk membangun sebuah teori
konspirasi yang kompleks untuk menjelaskan apa yang terjadi, mereka juga
salah.
Para pemikir ‘progresif’
dengan jelas menyatakan bagaimana mereka menyusun tatanan pasca-korona. Mereka
tidak berpikir dalam hal narasi, di mana semuanya akan kembali
normal. Mereka mengatakan bahwa memang badai akan berlalu, tetapi
dunia akan berubah selamanya, yang lebih disukai dalam citra dan pola liberal
mereka sendiri.
Pikiran para visioner ini harus
menjadi perhatian bagi mereka yang membela dan mempertahankan tatanan moral dan Iman.
Perkiraan mereka mengecualikan pandangan para pembela HAM seolah
mundur tanpa harapan dan bahkan berbahaya.
Seorang pengamat berbicara
Salah satu pengamat
tersebut adalah Yuval Noah Harari, seorang profesor sejarah di Universitas
Ibrani Yerusalem. Dia bukanlah penulis asal-asalan.
Buku-bukunya telah menjadi buku terlaris New
York Times dan mendapat dukungan dari orang-orang,
seperti mantan Presiden Barack Obama dan Bill Gates. Jika ada orang yang
bisa berbicara mewakili pendirian kaum liberal,
maka Harari
patut diperhitungkan dan dipercaya. Perkiraannya tentang dunia pasca-korona muncul di ulasan The
Financial Times.
Pandangannya juga mencerminkan dunia sekuler murni, tanpa Iman. Dalam bukunya tahun 2017 Homo Deus, Dr. Harari berpendapat bahwa tidak ada Tuhan, tidak ada jiwa dan tidak ada kehendak bebas. Baginya, hidup hanyalah serangkaian reaksi kimia dan algoritma yang berinteraksi dan berevolusi bersama dengan alam. Dia percaya bahwa manusia yang berkekuatan teknologi pada akhirnya akan menjadi dewa-dewa abadi.
Jadi, penyihir postmodern ini mewakili ujung tombak pemikiran kaum progresif saat ini. Itulah sebabnya ketika dia berbicara, masuk akal bagi orang sekuler untuk mendengarkan. Penulis membuat tiga pengamatan dingin tentang masa depan pasca-korona yang tidak boleh diabaikan.
Perubahan-perubahan Besar Dilakukan Dengan Cepat
Pengamatan pertama adalah bahwa krisis coronavirus saat ini akan merubah ekonomi, politik dan budaya secara radikal dalam jangka waktu singkat jika para pemimpin dunia bertindak "dengan cepat dan tegas."
Krisis ini akan "mempercepat proses sejarah." Ia akan memungkinkan para pejabat untuk melakukan eksperimen besar-besaran, bahkan menggunakan teknologi berbahaya. Keputusan yang biasanya akan memakan waktu bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun untuk dipertimbangkan, akan disahkan dalam hitungan jam saja. Dalam iklim kepanikan saat ini, orang akan menerima langkah-langkah yang tidak akan mereka setujui di waktu yang normal.
Mereka yang memiliki atau setuju dengan visi Dr. Harari ini tidak ingin kembali kepada keadaan normal. Mereka menginginkan tatanan yang berbeda yang mencerminkan pandangan dunia mereka. Masa depan tidak disajikan sebagai pilihan tetapi fakta yang sempurna. Krisis akan dengan cepat memaksakan kepada bangsa-bangsa. Tidak ada jalan untuk kembali kepada tatanan lama.
Tersirat dalam deklarasi Prof. Harari adalah bahwa paradigma lama harus berubah sesuai dengan "solidaritas global." Gagasan kuno tidak akan lagi berfungsi di dunia baru yang berani ini. Para teknokrat yang diberi informasi menggunakan "sains" dan data akan jauh lebih mampu memerintah dunia daripada para pejabat terpilih.
Aspek yang paling mengganggu dari pengamatan Harari ini tentang masa depan adalah karakternya yang tersembunyi. Ia masuk ke tempat kejadian, seperti coronavirus, dengan cepat dan tanpa persetujuan dari mereka yang terkena dampak langsung.
Pengawasan Totaliter Atau Pemberdayaan Warga
Pengamatan kedua Dr. Harari adalah: era pengawasan universal terhadap warga. Dia mencatat bahwa krisis coronavirus sudah membawa sarana-sarana online pemantauan publik yang mengerdilkan semua upaya masa lalu untuk menjaga dan mengawasi warga negara. Krisis coronavirus mengancam untuk "menormalkan penyebaran alat pengawasan massal di negara-negara yang sejauh ini menolaknya."
Pengamat progresif ini tidak terlalu naif untuk berpikir apakah teknologi ini berbahaya atau tidak. Sebuah ponsel cerdas yang mentransmisikan lokasi korban virus juga dapat diprogram untuk memonitor suhu dan tekanan darah. Pemantauan medis juga dapat merekam fenomena biologis seperti emosi, kegembiraan dan kemarahan seseorang. Mungkin juga, termasuk mengukur reaksi terhadap ide-ide konservatif atau liberal yang ditemukan online. Semua data ini dapat dipanen dan dijual ke departemen pemasaran perusahaan ... dan lembaga-lembaga pemerintah.
Namun, penulis mengklaim bahwa pemantauan universal juga dapat menjadi sumber pemberdayaan warga. Pemantauan bisa bermanfaat ketika dimoderasi oleh lembaga yang membangun hubungan kepercayaan. Solusinya bukan membangun kembali kepercayaan pada keluarga, komunitas atau gereja. Sebagai gantinya, ia mendaftar institusi-institusi yang telah mengkhianati kepercayaan ini di masa lalu dan dijadikan sebagai alasan dari perang budaya.
"Orang-orang perlu mempercayai ilmu pengetahuan, untuk mempercayai otoritas publik, dan untuk mempercayai media," katanya. Dengan menambah ketegangan, dia mengutuk teori konspirasi dan "politisi yang tidak bertanggung jawab (yang) dengan sengaja merusak kepercayaan dalam sains, otoritas publik dan media."
Dengan demikian, narasi progresif dari krisis coronavirus saat ini, jika mengikuti naskah Harari, berarti menghadirkan dilema palsu, baik untuk menerima teknokrasi yang tercerahkan atau totalitarianisme yang tidak bertanggung jawab. Dia mengecualikan alternatif nyata yang lebih sesuai dengan pengalaman masa lalu Amerika.
Solidaritas Global
Pengamatannya yang terakhir menghadirkan sebuah dilema yang salah lagi. Profesor itu mengklaim bahwa masyarakat pasca-korona harus memilih antara apa yang dia sebut "isolasi nasionalis dan solidaritas global." Pilihan normal suatu negara yang menegaskan identitasnya sendiri namun memiliki kemanusiaan yang sama, tidak ada di benaknya. Tindakan efektif menghadapi krisis hanya dapat dilakukan melalui kerja sama global yang tidak selalu sukarela. Bisa melalui paksaan.
Karena itu, negara-negara perlu "berbagi" informasi, teknologi, dan penemuan secara global. Harus ada semangat kerja sama dan kepercayaan global. Ini adalah kesimpulan yang agak ironis, karena hanya sedikit orang yang mempercayai otoritas Cina yang ‘tidak mau berbagi’ berita penyakit corona ketika penyakit itu muncul. Ilmuwan Barat terus mempertanyakan penggunaan ‘kreatif’ dari ilmu statistik komunis Cina untuk mendukung agenda mereka sendiri.
Solidaritas baru ini harus melampaui semua perbedaan politik, filosofis dan budaya. Sebuah pemerintahan komunis, teokrasi Islam atau kediktatoran brutal, semuanya setara dalam upaya besar ini untuk menyelamatkan hidup. Dia meramalkan semacam komunitas universal yang dikoordinasi oleh para pemimpin dan teknokrat ‘yang tercerahkan.’
"Sama seperti negara-negara menasionalisasi industri-industri utama selama perang, perang manusia melawan virus corona mungkin mengharuskan kita untuk ‘memanusiakan’ jalur produksi yang penting.” Penulis terkenal itu meramalkan negara-negara kaya akan membantu negara-negara miskin bahkan sampai mengumpulkan tenaga medis dan mendistribusikan persediaan kebutuhan vital dengan lebih adil. Kerjasama global juga diperlukan di bidang ekonomi karena negara-negara kaya akan ‘diundang’ untuk berbagi kekayaan.
Impian komunal yang demikian dari kerja sama global bukanlah hal baru. Impian ini telah lama mengisi pikiran para perencana sosial utopis yang hanya selalu bersedia untuk memaksakan rencana mereka kepada dunia, selalu dengan hasil yang berupa bencana. Namun demikian, kepanikan dari krisis ini adalah bagaimana hal yang tak terbayangkan menjadi mungkin.
Sebuah Masa Depan Yang Tanpa Tuhan
Ketiga pengamatan Yuval Harari di atas, semuanya memiliki karakteristik yang sama. Yang pertama adalah sikap permusuhan yang besar terhadap perspektif perang budaya orang Amerika yang tak terhitung jumlahnya. Sikap permusuhan ini diabaikan sebagai kekuatan perpecahan yang menentang ‘sains’ dan solidaritas global.
Karakteristik kedua yang mengkhawatirkan adalah kesediaan untuk menghindari prosedur dan kebebasan yang telah ditetapkan untuk memaksakan pandangan dunia mereka kepada bangsa-bangsa lain. Baik itu melalui proses sejarah yang dipercepat, pengawasan menyeluruh atas orang-orang atau "kerja sama global," dimana pesan yang mendasarinya adalah perlunya mekanisme supra-pemerintah untuk melakukan apa yang terbaik bagi umat manusia.
Akhirnya, rencana permainan Harari ini telah mengabaikan kerangka moral yang didasarkan pada standar objektif tentang benar dan salah atau bahkan aturan hukum. Sebagai orang yang tidak percaya pada keberadaan jiwa atau kehendak bebas, dia menyangkal peran agama dan Tuhan. Dia adalah dunia yang dingin dan brutal tanpa tujuan atau pun nilai moral.
Narasi Harari ditemukan dalam berita-berita harian. Sangat mudah untuk menemukan langkah-langkah, metode, dan tujuan yang diuraikannya terjalin ke dalam krisis saat ini. Editorial baru-baru ini di The Wall Street Journal oleh Henry Kissinger, mengulangi gagasan bahwa krisis ini“ akan merubah tatanan dunia selamanya.”
Banyak penulis, pemikir, dan politisi yang menggemakan pesan yang mengancam ini.
Teori konspirasi membutuhkan metode tersembunyi, kekuatan tak terkendali dan jaringan besar, agar cukup dipercaya untuk menemukan penganutnya. Namun, dalam kasus krisis coronavirus, siapa yang butuh teori konspirasi? Para pemikir seperti Yuval Harari secara terbuka menulis tentang masa depan pasca-korona mereka yang dingin tanpa Tuhan.
Untungnya, Tuhan juga memiliki masa depan dalam pikiran-Nya. Dia menulis dengan garis yang bengkok-bengkok. Tuhan memiliki beberapa kejutan yang tidak bisa dilihat oleh para pengamat progresif seperti Yuval Harari ini.
*****
John Horvat II adalah seorang sarjana, peneliti, pendidik, pembicara internasional, dan penulis buku Return to Order, serta penulis dari ratusan artikel yang diterbitkan. Dia tinggal di Spring Grove, Pennsylvania di mana dia adalah wakil presiden Masyarakat Amerika untuk Tradition, Family and Property.
*****
No comments:
Post a Comment