PENTAHBISAN DIAKON YANG DIWARNAI DENGAN UPACARA PAGAN TELAH
MEMPERLIHATKAN
SEBUAH GEREJA KATOLIK DENGAN 'WAJAH AMAZON'
Pentahbisan tersebut melibatkan
lagu-lagu adat, tarian, kalung manik-manik, dan hiasan kepala tradisional,
serta penggunaan gigi binatang, cangkang binatang laut serta hewan siput, dengan
bermacam gelang yang terbuat dari serat tumbuhan.
Fri Apr 24, 2020 - 8:56 pm EST
By Jeanne Smits, Paris
correspondent
24 April 2020 (LifeSiteNews) - Untuk pertama kalinya, seorang anggota
suku Ticuna di Keuskupan Alto Solimões di provinsi barat Amazonia di Brasil
ditahbiskan sebagai diakon permanen dalam Gereja Katolik pada 15 Maret 2020,
dalam sebuah upacara yang penuh dengan simbol-simbol adat.
Acara tersebut mendapat perhatian
internasional ketika layanan berita resmi Tahta Suci, Vatikan News, menerbitkan laporan singkat pada hari Senin dengan
judul: "Penahbisan pertama diakon pribumi di sebuah keuskupan di Brasil
barat."
Media lokal menggarisbawahi bahwa pentahbisan
itu jelas merupakan bagian dari proses membangun Gereja dengan "wajah
Amazon."
Peristiwa itu disajikan sebagai implementasi
dari Sinode Amazon baru-baru ini. Nasihat apostolik Paus Fransiskus, Querida
Amazonia menyerukan perlunya ‘banyak lagi’ diakon di wilayah Amazon dan ‘inkulturasi
liturgi.’
Penahbisan diakon ituberlangsung di gereja
Santo Fransiskus Asisi di Belem do Solimões, sebuah desa yang dianggap sebagai
‘pusat spiritual’ suku Ticuna setempat, menurut Vatikan News. Adolfo Zon
Pereira, yang ditunjuk untuk bertemu dengan Alto Solimões pada 2015, adalah
uskup yang ditahbiskan. Dia dikenal karena pernah mengatakan bahwa penghapusan
selibat imam, menurut pendapatnya, tidak akan bisa mengatasi masalah kurangnya
imam di wilayah itu: “Hari ini kita memiliki masalah dalam hal panggilan, dan aturan
selibat kita memungkinkan kita untuk menyelesaikan karya pastoral yang hanya
bertujuan kepada kepentingan orang-orang," katanya kepada sebuah surat
kabar Brasil pada tahun 2017.
Pada saat itu, Gereja Katolik hanya memiliki
40 pejabat tetap di Alto Solimões, 18 di antaranya adalah imam, sementara 11 diakon
permanen dilatih untuk mengambil tanggung jawab besar di dalam keuskupan.
Diakon permanen ini diizinkan untuk menikah dan memiliki anak, dan mereka juga
memiliki pekerjaan profesional di luar Gereja.
Para diakon yang baru tidaklah terkecuali. Pada
sebuah acara resmi gereja, Antelmo Pereira Angelo ditemani berjalan ke altar
oleh istri dan sembilan anaknya. Jumlah diakon yang menikah meningkat di banyak
negara di mana penahbisan imam jarang terjadi; istri mereka harus memberikan
persetujuan agar penahbisan menjadi mungkin dan diharapkan untuk mengikuti
pelatihan suami mereka sampai batas tertentu.
Apa yang membuat penahbisan Pereira Angelo
sangat penting adalah upaya yang dilakukan untuk memasukkan adat dan tradisi
dalam perayaan tersebut. Vatikan News menggarisbawahi upaya misionaris lokal
untuk mempertahankan tradisi ini sebagai warisan budaya.
Tetapi upaya itu jauh melampaui bayangan
kita, dengan memasukkan banyak simbol-simbol adat dalam penahbisan diakon itu
sendiri: nyanyian, tarian, kalung manik-manik, dan hiasan kepala tradisional,
serta penggunaan gigi binatang, cangkang binatang dan keong, dan gelang yang
terbuat dari serat tumbuhan.
Konferensi para uskup Brasil mempublikasikan laporan yang panjang dan mengagumi acara
tersebut, termasuk gambar-gambar yang memperlihatkan beberapa selebritas yang
mengenakan lukisan wajah tradisional selama Misa pentahbisan.
Cawan dan ciborium terbuat dari bahan-bahan
yang tidak berharga: mangkuk dan bola-bola hitam yang mengingatkan kita pada segala
pernak-pernik yang mengelilingi patung Pachamama selama upacara penyembahan
berhala di Roma saat Sinode Amazon berlangsung.
Penduduk setempat datang ke gereja itu dan
ikut bernyanyi dan menari dan mengenakan cat wajah yang tepat untuk 12 klan
etnis "Bumi Suci Eware," yang secara lokal mereka hubungkan dengan 12
suku Israel.
Perayaan dimulai bersama sebuah alunan di
dekat gereja dengan alat musik asli dan tarian yang secara tradisional
digunakan untuk ritual perjalanan perkembangan gadis-gadis muda hingga dewasa.
Deskripsi ritus tradisional ini mengerikan. Pada saat menstruasi pertama
mereka, anak-anak perempuan diisolasi dari suku yang lain selama dua minggu
hingga enam bulan atau bahkan beberapa tahun di daerah terpencil di sebuah
ruangan kecil, mempelajari seni kewanitaan dari kerabat perempuan, hingga ritus
peralihan itu sendiri. Gadis-gadis itu dianggap rentan terhadap roh-roh jahat hutan
selama masa puber mereka.
Pada akhir isolasi mereka, tubuh mereka dicat
hitam dan diberi minuman memabukkan dan semua rambut mereka dipotong. Secara
tradisional, tugas pemotongan itu akan dilakukan oleh ayah mereka untuk
menunjukkan bahwa mereka siap untuk melahirkan. Di zaman modern sekarang,
gunting terkadang digunakan. Upacara tersebut membutuhkan waktu empat hari
tanpa tidur selama ritual kesuburan terakhir, di mana mata mereka tertutup dan
mereka berulang kali harus melompati api dengan tabuhan drum yang obsesif.
Kemudian ada pria-pria muda bertopeng
berpakaian seperti setan yang menari-nari di sekeliling para gadis dengan drum
dan hiasan ukiran kayu.
Kemudian, dilakukan proses perjodohan.
Selama penahbisan diakon yang baru, sejumlah gerakan
tradisional asli lainnya juga dilakukan.
Sebuah tikar yang disiapkan oleh para wanita,
terbuat dari kulit pohon palem Capinuri – bahan yang disebut tururi
oleh orang Indian - memainkan peran khusus dalam upacara itu. Tururi juga
digunakan untuk membuat pakaian melingkar yang dianggap sebagai simbol
perlindungan terhadap semua kekuatan alam - suatu praktek berhala yang secara
tradisional mengacu kepada zat-zat tertentu yang mereka anggap bisa melawan
roh-roh jahat.
Berbaring tengkurap di lantai gereja, sebagai
tanda ketaatan dan kerendahan hati, Pereira Angelo bersujud di atas tikar, yang
merupakan jenis yang digunakan untuk ritual peralihan usia seperti yang
dijelaskan di atas.
Sebuah tikar lain berbentuk bulat bertuliskan
simbol-simbol asli - burung beo, ular, dan macan tutul dengan tanda-tanda
matahari dan bulan – yang juga dianggap sebagai tanda perlindungan dari semua
kekuatan alam. Daun hijau dan bunga merah ditempatkan di lantai di belakang
diaken yang baru, juga mengingatkan pada dekorasi yang digunakan di Roma pada
upacara Pachamama.
Sebelum upacara pentahbisan dimulai, Uskup
Adolfo Zon Pereira menjelaskan bahwa ia secara khusus ingin menjawab panggilan
Paus Fransiskus untuk menciptakan sebuah gereja Katolik dengan wajah Amazon.
Dalam anjuran pasca-sinode, Francis berbicara
tentang liturgi di Amazon yang dia harapkan:
Inkulturasi spiritualitas Kristen dalam
budaya masyarakat asli dapat mengambil manfaat dengan cara tertentu dari
sakramen-sakramen gereja, karena mereka menyatukan hal-hal yang ilahiah dan dengan
kosmos, rahmat dan ciptaan. Di wilayah Amazon, sakramen-sakramen hendaknya
tidak dilihat dalam diskontinuitas dengan penciptaan. Mereka "adalah cara
istimewa di mana alam diambil oleh Allah untuk menjadi sarana mediasi kehidupan
supernatural." Mereka adalah pemenuhan dari ciptaan, di mana alam diangkat
untuk menjadi lokus dan alat anugerah, yang memungkinkan kita "merangkul
dunia dalam tataran yang berbeda."
Paus Francis juga mengatakan:
Dalam pengertian ini, berjumpa dengan Tuhan
tidak berarti melarikan diri dari dunia ini atau membalikkan punggung kita terhadap
alam. Ini berarti bahwa kita dapat memasukkan ke dalam liturgi gereja banyak
elemen yang sesuai dengan pengalaman masyarakat adat dalam kontak mereka dengan
alam, dan menghormati bentuk-bentuk ekspresi asli dalam lagu, tarian, ritual,
gerakan dan simbol.
Tampaknya bukan masalah bagi mereka dan bagi
Francis, bahwa ritual-ritual ini harus dikaitkan dengan tradisi yang kejam dan
keras di mana pemujaan terhadap roh-roh memainkan peran besar.
Menurut Vatican News, keuskupan Alto Solimões baru-baru ini telah
“menuai salah satu buah pertama dari evangelisasi yang telah berlangsung selama
lebih dari seratus tahun.” Ini tampaknya menunjukkan bahwa jumlah pertobatan,
pembaptisan, pernikahan, dan ketaatan agama sejak keuskupan setempat dibentuk pada
tahun 1910 oleh Saint Pius X, tidak ada artinya sama sekali, karena semuanya
harus kembali kepada tradisi berhala. Sejarah Katolik di wilayah itu:
misionaris Jesuit aktif di wilayah itu dari tahun 1542, dan kemudian digantikan
oleh para bapa Karmelit begitu Portugal mengambil kendali definitif atas
wilayah itu pada tahun 1749.
Sejak saat itu dan seterusnya, di bawah
wewenang raja Portugal, paroki-paroki dibentuk dan diorganisasi dan gereja-gereja
dibangun, tetapi kehadiran teratur dari para imam hanya terjadi sejak 1892,
ketika keuskupan Amazonas dibentuk. Sejak 1909, kapusin Umbria telah mengambil
alih sebagai misionaris di keuskupan yang sangat besar: sebesar Yunani atau
Nikaragua, populasinya hanya 216.000. 38 persen penduduknya adalah penduduk
asli, dan sebagian besar adalah anggota etnis Ticuna, kelompok asli terbesar di
Brasil.
Pada tahun 2000, lebih dari 70 persen penduduknya
beragama Katolik; pada 2010, persentase itu turun menjadi 59,5 persen,
sementara 31 persen adalah aliran Evangelis (dibandingkan dengan 21 persen pada
2000).
*****
No comments:
Post a Comment