Orang dalam WHO ‘meniup
peluit’ tentang Gates dan kediktatoran kesehatan global dari GAVI
Kini sudah tidak dapat disangkal lagi bahwa WHO tidak dapat dikompromikan.
Karena pendanaannya - yang sebagian besar berasal dari '‘satu-negara-dalam-diri-satu-orang”
yang bernama Bill Gates, – WHO telah gagal menyelesaikan mandat
aslinya. Lebih buruk lagi, WHO kini melayani ‘para majikannya’ dan melalui
kekuatan diktatornya, WHO pada dasarnya menghancurkan, bukan meningkatkan,
kesehatan dunia.
Mon Mar 22, 2021 - 2:53 pm EST
·
Dr. Astrid Stuckelbergerbitchute screenshot
Sekilas cerita:
• WHO telah mengubah keamanan kesehatan
global menjadi sebuah kediktatoran, di mana direktur jenderal WHO memiliki
kekuasaan tunggal untuk membuat keputusan yang harus dipatuhi oleh semua negara
anggota.
• Menurut orang dalam dan telah bekerja cukup lama di WHO, aliansi vaksin Bill Gates, GAVI, telah mengarahkan
segala keputusan WHO.
• GAVI memiliki
kantor pusat di Swiss. Pada
tahun 2009, GAVI telah diakui sebagai lembaga internasional dan diberi ‘kekebalan’ menyeluruh,
termasuk kekebalan terhadap sanksi pidana. Ia juga dibebaskan dari kewajiban membayar
pajak.
• Pada 2017, Gates diminta menjadi
bagian dari dewan eksekutif WHO - seperti yang dimiliki oleh negara-negara anggotanya - karena dukungan
pendanaannya yang besar kepada WHO. Sementara itu "negara-bangsa
milik seorang Bill Gates" yang tidak secara resmi dipilih, dia telah
diberikan kekuatan pengaruh tidak resmi oleh WHO.
• Swissmedic, Badan Pengawas Obat dan
Makanan Swiss, telah menandatangani perjanjian kontrak tiga pihak dengan
Gates dan WHO. Negara-negara anggota WHO lainnya juga telah ikut serta menandatangani perjanjian tiga pihak ini
20 Maret 2021 (Mercola) - Oke
teman-teman, hari ini Anda benar-benar menikmati. Kami telah menyajikan banyak hal
sebelumnya, tetapi ini akan membantu menempatkannya dalam perspektif yang
tepat. Itu adalah fase kita sekarang. Kita memiliki fakta, kita hanya perlu
memahami apa artinya dan menafsirkannya dengan benar. Ini adalah artikel yang
sangat penting. Ia mengkatalisasi pemahaman saya tentang apa yang sebenarnya
terjadi. Faktanya jelas: seluruh
tanggapan terhadap pandemi global difasilitasi oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO). Rekomendasi mereka diikuti selangkah demi selangkah oleh
hampir setiap pemerintah di Bumi. Tidak ada orang atau pemerintah yang akan
membantah fakta ini. Poin data berikutnya adalah: Siapa yang mengontrol WHO?
Beberapa orang akan membantah hal ini, tetapi buktinya cukup jelas dan kuat. Itu
adalah Bill Gates, yang menjadi penyandang
dana terbesar WHO ketika Presiden Trump saat itu mencabut
dukungan AS terhadap WHO tahun lalu.
Apa keuntungan Gates dari mengendalikan WHO? Bagaimana dengan
investasi terbaik yang pernah dia lakukan, dengan puluhan miliar dolar mengalir
melalui GAVI Vaccine Alliance “seolah nirlaba” miliknya? Tindakan
penindasan dan penyensoran gila-gilaan terhadap alternatif alami yang tidak
mahal untuk menangani COVID-19 sangat masuk akal sekarang.
Berbagai terapi alami ini, hidrogen
peroksida dalam bentuk gas (nebul) untuk dihisap adalah contoh
terbaik, akan menjadi persaingan serius untuk mendapatkan vaksin. Jika semua
orang tahu bahwa pengobatan ini sudah tersedia sejak lama, dimana ia sangat
efektif dan praktis gratis, siapa yang akan mau mempertaruhkan nyawa mereka
untuk mendapatkan vaksin? Hampir tidak ada. Semuanya masuk akal.
Dengan kerangka pengetahuan seperti itu, nikmatilah informasi yang telah dikumpulkan oleh tim kami yang mengembangkan konsep umum ini. Setiap hari kami menyusun potongan-potongan puzzle, dan semakin banyak potongan yang kami pasangkan, semakin cepat Anda melihat gambaran yang lebih besar. Pengetahuan kita akan lebih banyak lagi yang akan datang dalam waktu dekat.
Orang dalam WHO berbicara
Pada Juli 2020, empat pengacara Jerman mendirikan Komite
Penyelidikan Ekstra Parlemen Corona Jerman (Außerparlamentarischer
Corona Untersuchungsausschuss). Dalam video di atas, para anggota pendirinya,
dipimpin oleh Dr. Reiner Fuellmich, melakukan wawancara dengan Astrid
Stuckelberger, Ph.D. , orang dalam WHO, soal apa yang dia temukan tentang Bill
Gates dan GAVI, Aliansi Vaksin.
Stuckelberger menjabat sebagai wakil direktur program penuaan
nasional Swiss sejak 1990-an, dan merupakan presiden Jaringan Internasional Jenewa
tentang Penuaan yang didanai WHO.
Menurut biografinya, dia “adalah pakar yang diakui secara
internasional dalam berbagai masalah yang berkaitan dengan evaluasi penelitian
ilmiah untuk pembuat kebijakan, khususnya dalam penilaian kesehatan dan
inovasi, pelatihan manajemen pandemi dan keadaan darurat, serta dalam
mengoptimalkan kesehatan dan kesejahteraan individu dan populasi.”
Dia juga seorang penulis terkenal, dengan lusinan buku
karyanya, serta lebih dari 180 artikel ilmiah, makalah kebijakan, dan laporan
pemerintah dan internasional. Stuckelberger menunjukkan bahwa banyak dari
penelitian yang dilakukannya telah dan masih sangat dipolitisasi dan terutama
dilakukan untuk mendukung dan membenarkan keputusan politik.
Selama 20 tahun terakhir, sejak 2000, Astrid Stuckelberger
terlibat dengan urusan kesehatan masyarakat di WHO, dan menjadi bagian dari
komite etika penelitian mereka selama empat tahun. Pada tahun 2009, dia
terlibat dengan pembuatan peraturan kesehatan internasional WHO.
Stuckelberger menunjukkan bahwa semua tujuan dari peraturan kesehatan internasional WHO adalah untuk mempersiapkan negara-negara anggota agar siap menghadapi pandemi, agar tidak hanya dapat mencegah wabah tetapi juga merespons dengan cepat ketika terjadi wabah. Namun, sebenarnya WHO telah aktif menghalangi dan menggerogoti upaya pelatihan kesiapsiagaan pandemi ini.
Pusat korupsi
Menurut Astrid Stuckelberger,
Swiss berada di jantung korupsi, sebagian besar adalah karena Swiss menjadi markas
GAVI, Aliansi Vaksin yang didirikan oleh Bill Gates. Pada tahun 2009, Aliansi
GAVI diakui sebagai lembaga internasional dan diberi status kekebalan yang menyeluruh.
Sebagaimana dijelaskan oleh Justus Hoffmann, Ph.D., salah
satu anggota Komite Penyelidikan Ekstra Parlemen Corona Jerman, GAVI, Aliansi
Vaksin, memiliki "kekebalan diplomatik yang memenuhi syarat," yang
aneh, mengingat organisasi tersebut tidak memiliki kekuatan politik yang akan
menjamin kekebalan diplomatik. Yang lebih aneh lagi, klausul kekebalan GAVI ini
bahkan melampaui klausul kekebalan seorang diplomat. Kekebalan GAVI mencakup
semua aspek keterlibatan, termasuk transaksi bisnis kriminal.
GAVI adalah
organisasi nonpemerintah yang diizinkan untuk beroperasi tanpa membayar pajak
apa pun, sementara itu ia juga memiliki kekebalan total atas segala kesalahan
yang mereka lakukan.
“Mereka dapat melakukan apa pun yang mereka inginkan, tanpa
akibat,” demikian kata Astrid Stuckelberger. Polisi, misalnya, dilarang
melakukan penyidikan dan pengumpulan barang bukti jika GAVI terlibat dalam sebuah
penyidikan kriminal. “Sungguh mengejutkan,” katanya. GAVI juga sepenuhnya bebas
pajak, yang menurut Stuckelberger "sangat sangat aneh."
Pada dasarnya, GAVI adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat
(LSM) yang diizinkan untuk beroperasi tanpa membayar pajak apa pun, sekaligus
memiliki kekebalan total atas segala kesalahan yang mereka lakukan, dengan
sengaja atau pun tidak. Hal seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya, dan ini
menimbulkan banyak pertanyaan. Ini sangat mengganggu mengingat bukti yang
diklaim oleh Stuckelberger yang menunjukkan bahwa GAVI "mengarahkan,
sebagai entitas korporat, organisasi sebesar WHO."
Lebih lanjut, dokumen yang dikutip oleh Astrid Stuckelberger menunjukkan bahwa WHO telah menyatukan kekuasaan diktator di seluruh dunia. Direktur jenderalnya memiliki kekuasaan tunggal untuk membuat keputusan - termasuk keputusan tentang tes atau obat pandemi mana yang akan digunakan - yang kemudian harus dipatuhi oleh semua negara anggota.
‘Satu negara dalam diri satu orang’, di dalam diri Bill
Gates
Terlebih lagi, Astrid Stuckelberger mendapati fakta bahwa,
pada tahun 2017, Gates sebenarnya meminta untuk menjadi bagian dari dewan
eksekutif WHO – dengan hak seperti sebuah negara yang menjadi anggota - karena
dia memberi WHO begitu banyak uang. Memang, dana dari Gates jauh lebih banyak daripada
negara-negara lain yang menjadi anggotanya.
Seperti yang dikatakan Stuckelberger, ini benar-benar luar
biasa - gagasan bahwa seseorang, sendirian, bisa memiliki kekuatan dan pengaruh yang sama
atas WHO seperti halnya seluruh bangsa. Ini adalah perebutan kekuasaan yang
kurang ajar. Meskipun tidak ada bukti bahwa Gates pernah secara resmi diberi
status sebagai sebuah negara anggota, tetapi banyak orang bertanya-tanya apakah
dia tidak memiliki status atau hak itu secara tidak resmi.
Satu hal yang menimbulkan kecurigaan Stuckelberger adalah
fakta bahwa Swissmedic, Food and Drug Administration of Switzerland, telah
menandatangani perjanjian kontrak tiga pihak dengan Gates dan WHO. “Ini sangat tidak
normal,” katanya.
Intinya, secara ringkas, tampak bahwa ketika dia tidak
dipilih sebagai ‘satu negara dalam diri satu orang’, Gates membuat kontrak tiga
pihak dengan negara-negara anggota dan WHO, yang pada dasarnya Gates telah menempatkan
dirinya setara dengan WHO sendiri. Seperti yang disebutkan sebelumnya, apapun
yang dikatakan oleh direktur jenderal WHO, tetaplah hal itu musti dilaksanakan.
Mereka secara efektif mengubah keamanan kesehatan global menjadi sebuah kediktatoran.
Pertanyaannya adalah, apakah Gates adalah kekuatan sebenarnya
yang ada di balik tirai? Apakah dia yang mendikte direktur jenderal apa yang
harus dilakukan? Jika Anda melihat ke belakang selama setahun terakhir, nampak bahwa Gates sering menjadi orang
pertama yang mengumumkan apa yang perlu dilakukan dunia untuk mengatasi
pandemi, dan kemudian disusul WHO mengeluarkan pesan yang sama, yang kemudian
dipuji-puji dan diikuti oleh para pemimpin dunia.
Seperti dicatat oleh Fuellmich, semakin jelas bahwa banyak
kemitraan swasta-publik telah dibajak oleh pihak swasta - dan mereka kebal dari
segala kewajiban. “Ini harus dihentikan,” katanya.
Peninjauan dan perombakan lengkap PBB, yang membentuk WHO, juga diperlukan karena PBB tidak melakukan apa pun untuk mencegah atau mengendalikan aktivitas yang tidak demokratis dan ilegal ini. Seperti yang dikemukakan oleh Fuellmich, kita mungkin perlu mempertimbangkan kembali apakah kita membutuhkan PBB / WHO atau tidak.
Definisi pandemi yang dirubah memungkinkan munculnya
kediktatoran kesehatan
Dalam wawancara tersebut, mereka juga menyoroti peran WHO
dalam menyiapkan panggung untuk munculnya kediktatoran kesehatan global dengan cara
mengubah definisi "pandemi." Definisi asli WHO, sebelum 2009, tentang
pandemi adalah:
… Ketika virus influenza baru muncul, dimana populasi manusia
tidak memilliki kekebalan terhadapnya, hingga mengakibatkan epidemi secara simultan
muncul di seluruh dunia dengan jumlah kematian dan kesakitan yang sangat besar.
Bagian kunci dari definisi itu adalah "sejumlah besar kematian dan kesakitan." Definisi ini diubah sebulan menjelang pandemi flu babi 2009.
Perubahannya sederhana namun substansial: Mereka hanya menghapus
kriteria tingkat keparahan dan kematian yang tinggi, dengan menyisakan definisi
pandemi sebagai "epidemi penyakit di seluruh dunia." Perubahan dalam
definisi ini adalah alasan mengapa COVID-19 sejak dulu dan hingga kini masih dianggap
sebagai pandemi meskipun ia tidak pernah menyebabkan kematian yang berlebihan.
Kita sekarang memiliki banyak data yang menunjukkan tingkat
kematian COVID-19 setara dengan flu musiman. Ini mungkin berbeda dalam hal
gejala dan komplikasi, tetapi angka kematian sebenarnya hampir sama. Namun kami
diberitahu bahwa harga yang harus kami bayar untuk menjaga diri kami dan orang
lain aman dari virus ini adalah berupa melepaskan hak-hak sipil dan kebebasan
kita.
Singkatnya, dengan menghilangkan kriteria penyakit parah yang
menyebabkan morbiditas tinggi, maka hal ini membuat infeksi yang makin tersebar
secara geografis sebagai satu-satunya kriteria pandemi, dimana WHO dan para
pemimpin teknokratis dunia mampu memperdaya penduduk global untuk menyerahkan
hidup dan mata pencaharian kita semua.
WHO menulis
ulang sains dengan mengubah definisi imunitas kelompok
WHO juga secara radikal mengubah definisi "kekebalan
kelompok" Kekebalan kelompok terjadi ketika cukup banyak
orang memperoleh kekebalan terhadap penyakit menular tertentu sehingga tidak
dapat lagi menyebar secara luas di masyarakat. Ketika jumlah orang yang rentan
cukup rendah untuk mencegah pertumbuhan epidemi, maka kekebalan kelompok dikatakan
telah tercapai.
Sebelum vaksin diperkenalkan, semua kekebalan kelompok
dicapai melalui paparan dan pemulihan dari suatu penyakit menular. Akhirnya,
seiring dengan meluasnya vaksinasi, konsep imunitas kelompok berkembang tidak
hanya mencakup imunitas yang didapat secara alami yang berasal dari penyakit
sebelumnya, tetapi juga imunitas yang diperoleh dengan vaksin sementara, yang
dapat terjadi setelah orang divaksinasi.
Namun, pada Oktober 2020, WHO menjungkirbalikkan sains
seperti yang kita kenal, merevisi konsep yang telah mapan ini dalam sebuah
langkah Orwellian, yang secara total menghilangkan faktor infeksi alami dari
definisinya.
Hingga Juni 2020, definisi WHO tentang kekebalan kelompok,
yang diposting di salah satu halaman Tanya Jawab COVID-19, sejalan dengan
konsep yang diterima secara luas yang telah menjadi standar untuk penyakit
menular selama beberapa dekade. Inilah yang awalnya dikatakan:
Kekebalan kelompok adalah perlindungan tidak langsung dari
penyakit menular yang terjadi ketika suatu populasi menjadi kebal, baik melalui
vaksinasi atau kekebalan yang tumbuh karena infeksi sebelumnya.
Definisi terbaru dari kekebalan kelompok, yang muncul pada
Oktober 2020, berbunyi sebagai berikut: 'Kekebalan kelompok', juga dikenal
sebagai 'kekebalan populasi', adalah konsep yang digunakan untuk vaksinasi, di
mana suatu populasi dapat dilindungi dari virus tertentu jika ambang batas
vaksinasi tercapai. Kekebalan kelompok dicapai dengan melindungi orang dari suatu
virus, bukan dengan membuat mereka terpapar virus.
Vaksin mendorong sistem kekebalan tubuh kita untuk membuat
protein yang melawan penyakit, yang dikenal sebagai 'antibodi', seperti yang
akan terjadi ketika kita terpapar suatu penyakit, tetapi - yang terpenting -
vaksin itu bekerja tanpa membuat kita sakit.
Orang yang divaksinasi dilindungi dari penyakit yang dimaksud
dan tidak menularkannya, memutus rantai penularan. Dengan kekebalan kelompok, dimana
sebagian besar populasi divaksinasi, akan menurunkan jumlah keseluruhan virus
yang dapat menyebar ke seluruh populasi.
Setelah reaksi publik - dan tidak diragukan lagi: memalukan,
WHO merevisi definisinya lagi pada 31 Desember 2020, untuk kembali memasukkan
penyebutan infeksi alami, sambil tetap menekankan kekebalan yang didapat dari
vaksin. Sekarang terbaca:
'Kekebalan kelompok', juga dikenal sebagai 'kekebalan
populasi,' adalah perlindungan tidak langsung dari penyakit menular yang
terjadi ketika suatu populasi kebal, baik melalui vaksinasi atau kekebalan yang
tumbuh melalui infeksi sebelumnya.
WHO mendukung pencapaian 'kekebalan kelompok' ini melalui
vaksinasi, bukan dengan membiarkan penyakit atau virus menyebar melalui segmen
populasi mana pun, karena hal ini akan mengakibatkan kasus dan kematian yang
tidak perlu.
Kekebalan kelompok terhadap COVID-19 harus dicapai dengan
melindungi orang melalui vaksinasi, bukan dengan memaparkan mereka pada patogen
penyebab penyakit.
Rekomendasi WHO untuk tes PCR adalah tindakan 'kriminal yang disengaja'
Astrid Stuckelberger juga mengejutkan Komite Penyelidikan
Ekstra Parlemen Corona dengan menunjukkan bahwa dua kali – pada 7 Desember
2020, dan 13 Januari 2021 - WHO mengeluarkan peringatan medis untuk dilakukannya
pengujian PCR, dan memperingatkan bahwa penggunaan ambang batas siklus tinggi
(CT) akan menghasilkan tingkat positif palsu yang tinggi, bahwa nilai CT harus
dilaporkan kepada penyedia layanan kesehatan dan bahwa hasil tes
dipertimbangkan dalam kombinasi dengan pengamatan klinis, riwayat kesehatan dan
informasi epidemiologi lainnya.
Namun sejak awal pandemi, WHO telah mendorong pengujian
PCR sebagai cara terbaik untuk mendeteksi dan mendiagnosis infeksi.
Ini, kata Stuckelberger, membuat WHO menjadi kriminal yang disengaja. Dan peringatan
produk medis pada 13 Januari 2021, yang kebetulan diposting online pada 20
Januari 2021, hanya beberapa jam setelah pelantikan Joe Biden sebagai Presiden
Amerika Serikat.
Dalam peringatan ini, WHO menekankan bahwa "CT yang
diperlukan untuk mendeteksi virus berbanding terbalik dengan viral load
pasien," dan bahwa "Jika hasil tes tidak sesuai dengan gambaran
klinis, spesimen baru harus diambil dan diuji ulang."
Ini juga mengingatkan pengguna bahwa "prevalensi
penyakit mengubah nilai prediksi hasil tes", sehingga "saat
prevalensi penyakit menurun, risiko positif palsu meningkat." Peringatan
itu selanjutnya menjelaskan:
Ini berarti bahwa kemungkinan
seseorang yang memiliki hasil positif (SARS-CoV-2 terdeteksi) dan benar-benar
terinfeksi SARS-CoV-2 menurun, seiring dengan penurunan prevalensi, terlepas
dari spesifisitas yang diklaim. Sebagian besar tes PCR diindikasikan sebagai
bantuan untuk menegakkan diagnosis. Oleh karena itu, para penyedia layanan
kesehatan harus mempertimbangkan hasil apa pun dalam kombinasi dengan waktu
pengambilan sampel, jenis spesimen, spesifikasi tes, pengamatan klinis, riwayat
pasien, status terkonfirmasi dari setiap kontak, dan informasi epidemiologi.
Mempertimbangkan gejala pasien dan menggunakan jumlah CT yang
dapat dipertahankan secara ilmiah, seharusnya menjadi praktik rutin sejak awal.
Namun hal ini tidak sesuai dengan keinginan dan narasi geopolitik. Sejak
dimulainya pandemi, WHO telah merekomendasikan penggunaan CT yang menjamin
sejumlah besar hasil positif palsu, dan oleh karena itu ia dianggap sebagai “kasus
penyakit,” padahal bukan. Dengan cara ini saja mereka mempertahankan ketakutan
pandemi terus berlangsung.
Konsensus ilmiah telah lama menyatakan bahwa lebih dari 35 CT menyatakan bahwa tes PCR tidak berguna, karena akurasinya hanya 3% --- dan yang 97% adalah positif palsu. Dengan akhirnya merekomendasikan CT yang lebih rendah dan kriteria yang lebih tepat untuk diagnosis, WHO merekayasa hasil yang pasti dari beban kasus pada waktu yang diinginkan. Secara kebetulan, keesokan harinya, 21 Januari 2021, Presiden Biden mengumumkan akan memulihkan dukungan keuangan AS untuk WHO.
Inilah saatnya untuk mengakhiri mafia
kesehatan global
WHO semula dibentuk sebagai badan khusus PBB, yang didirikan
pada tahun 1948 untuk memajukan kerja sama internasional guna meningkatkan
kondisi kesehatan masyarakat. Ia diberi mandat yang luas di bawah konstitusinya
untuk mempromosikan pencapaian "tingkat kesehatan tertinggi" oleh
semua orang.
Sekarang tidak dapat disangkal bahwa WHO tidak dapat
dikompromikan. Karena pendanaannya - sebagian besar berasal dari
"negara-bangsa satu orang -- Gates" – telah gagal menjalankan mandat
aslinya. Lebih buruk lagi, WHO melayani para majikan dan melalui kekuatan
diktatornya yang pada dasarnya menghancurkan, bukan meningkatkan, kesehatan
dunia.
Pada bulan Juni 2010, Council of Europe Parliamentary Assembly
(PACE) mengeluarkan sebuah laporan tentang penanganan WHO terhadap pandemi
novel influenza A (H1N1) tahun 2009, yang mencakup rekomendasi untuk
menggunakan vaksin jalur cepat yang akhirnya menyebabkan kecacatan dan kematian
di berbagai bagian dunia.
PACE menyimpulkan “penanganan pandemi oleh WHO,
badan kesehatan Uni Eropa, dan berbagai pemerintah nasional menyebabkan
pemborosan uang publik dalam jumlah besar, dan rasa ketakutan yang tidak wajar dan
tidak dapat dibenarkan tentang risiko kesehatan yang dihadapi oleh masyarakat
Eropa.”
Secara khusus, PACE menemukan “bukti luar biasa bahwa
keseriusan pandemi sangat dibesar-besarkan oleh WHO,” dan bahwa industri obat
telah mempengaruhi pengambilan keputusan organisasi - klaim yang juga
digaungkan oleh penyelidik lain.
Majelis membuat sejumlah rekomendasi, termasuk meminta transparansi
yang lebih besar, tata kelola kesehatan masyarakat yang lebih baik,
perlindungan terhadap pengaruh yang tidak semestinya oleh berbagai kepentingan
pribadi, pendanaan publik untuk penelitian independen, dan yang tak kalah
pentingnya, agar media “menghindari sensasi dan ketakutan di bidang kesehatan masyarakat.”
Tidak satu pun dari rekomendasi tersebut diikuti dan, jika
ada, kesalahan pengelolaan kesehatan masyarakat oleh WHO, berkat kemitraan
swasta-publik dengan LSM seperti GAVI, semakin memburuk. Laporan lain, dua buah
yang telah diterbitkan pada 2015 dan satu pada 2017, juga menyoroti kegagalan
WHO dan kurangnya kepemimpinan yang tepat selama wabah
Ebola 2013 hingga 2015 di Afrika Barat.
Meskipun WHO diakui secara unik cocok untuk menjalankan
fungsi-fungsi utama yang diperlukan dalam pandemi global, para ahli di London
School of Hygiene and Tropical Medicine, dan Harvard Global Health Institute, telah
menunjukkan, bertahun-tahun lalu, bahwa WHO telah mengikis begitu banyak
kepercayaan, bahwa reformasi radikal diperlukan sebelum dapat mengambil peran
yang bermanfaat.
Namun di sinilah kita melihat bahwa WHO masih terus dan tidak ada reformasi yang terjadi. Sebaliknya, korupsi makin membusuk dan menjalar, dan WHO berubah menjadi pusat kekuatan bagi ‘negara bayangan’ yang teknokratis yang berusaha untuk mengambil alih kekuasaan dan kendali atas semua negara.
Seperti yang dikemukakan oleh Fuellmich,
kita perlu mencermati WHO dan PBB, dan memutuskan apakah mereka layak untuk dipertahankan.
Minimal, pengaruh yang tidak proporsional oleh kepentingan pribadi, yang
menyamar sebagai LSM seperti GAVI, harus diselidiki dan disingkirkan secara
menyeluruh.
-------------------------------
Diam-Diam
Bill Gates Menyerang Lagi
Paus
Francis: Yesus Menyerahkan Maria Kepada Kita Sebagai Ibu, Bukan Sebagai Mitra
Penebus
Viganò:
Apakah Covid Merupakan Awal Dari Neraka Di Bumi?
Apa
Alasan Kasus Kerasukan Setan Semakin Banyak Terjadi Saat Ini?