CARDINAL GIACOMO BIFFI: FONDASI-FONDASI
KEBERADAAN
Seorang uskup
berbicara
Chiesa e Post Concilio
August 30, 2016
|
Kita tidak memerlukan para pengkhotbah yang mau merubah Kitab
Injil, dengan alasan untuk menyesuaikannya dengan keadaan zaman ini, tetapi
kita butuh para pengkhotbah yang berusaha setiap hari, meskipun hanya sedikit
hasilnya, untuk merubah dirinya sendiri setiap hari agar semakin selaras dengan
Kitab Injil yang tak pernah berubah.
Di dalam rancangan
yang diciptakan oleh Allah demi keselamatan manusia, ada tiga buah pilar yang mempertahankan
seluruh sendi bangunan keberadaan kita. Jika mereka memberi jalan (bagi tindakan
kompromi) maka keruntuhan seluruh nilai-nilai moral tak terelakkan lagi. Hal itu
juga termasuk kebenaran-kebenaran yang mengikat kita untuk menerimanya, jika kita
ingin disebut sebagai umat Kristiani.
Kebenaran-kebenaran
ini adalah: Allah, Bapa dan Sahabat kita; Yesus Kristus, Utusan dan Putera Allah;
Gereja, sebagai suatu umat yang ditebus dan sebuah komunitas orang-orang yang menantikan
Kerajaan Allah. Ketiga kebenaran ini saling bertautan satu sama lain sehingga jika
yang satu hilang, maka cepat atau lambat kebenaran yang lainnya juga hilang. Sejarah
selama beberapa abad belakangan ini telah membuktikan hal itu
Empat abad yang lalu untuk pertama kalinya di Eropa, ide
mengenai Gereja dipertanyakan, meskipun iman yang dalam kepada Kristus, Allah dan
Juru Selamat, tetap dipertahankan. Namun setelah beberapa abad, dimana ide
mengenai Gereja menjadi hilang, maka hal itu berakibat pada penghinaan atas
Keilahian Kristus, oleh kelompok orang yang menganggap Kristus sebagai manusia biasa,
meskipun kelompok orang-orang itu banyak yang jenius. Selanjutnya, semakin menjadi
kebiasaan orang-orang merenungkan Kristus sebagai ‘tokoh sosialis pertama’,
seorang pejuang kebebasan bagi orang tertindas, dan seorang pengkhotbah keadilan
duniawi. Nampak ada kebodohan yang cukup menarik disini: Jika Yesus Kristus bukan
Anak Allah yang sejati, maka Dia adalah seorang yang fanatik dan gagal. Jika iman
akan Kristus dilemahkan, beserta ide mengenai Allah dilemahkan, yang nampak jelas
saat ini, maka sedikit demi sedikit iman itu menjadi luntur. Begitulah untuk pertama
kalinya dalam sejarah, atheisme massal memperlihatkan dirinya.
Nampaknya, pada
awalnya, meskipun tanpa adanya ide mengenai Allah tetapi ide manusia mengenai
keadilan dan moral bisa dipertahankan. Kemudian seseorang yang lebih pandai
mulai melihat kemana segala sesuatu ini berjalan: Jika Allah tidak ada, maka segala
sesuatu adalah diijinkan, demikian anggapan Dostoyevsky,
hingga bahkan pembunuhan akan dibenarkan. Saat ini kita semakin banyak menyaksikan
ide semacam ini, dan tentu saja hal ini merugikan kita. Masyarakat yang lancang
saat ini, yang telah menghancurkan fondasi-fondasinya sendiri, tidak lagi bisa berdiri
di atas kakinya sendiri: tidak ada sesuatu yang bisa dianggap penting, tak ada
nilai-nilai moral yang patut dipertahankan. Kita dihadapkan kepada sebuah dunia
yang tak memiliki rasa, dimana hal ini tak terelakkan lagi sedang menjurus kepada
keputus-asaan massal.
Tentu saja kita
tidak boleh menuju kepada keputus-asaan, karena kita telah diberi harapan besar
dan setiap perayaan Paskah menawarkan kepada kita sekali lagi motif (harapan
ini) dengan mengembalikan kesegaran dan vitalitas kita; selama kita tetap
sepenuhnya menyadari tiga pilar diatas, serta hubungan penting dari ketiganya:
adalah tidak mungkin untuk menyelamatkan eksistensi manusia tanpa iman kepada
Allah; adalah tidak mungkin untuk percaya kepada Allah yang adalah Bapa kita
dan yang tidak akan meninggalkan kita, tanpa merenungkan Yesus yang Tersalib
dan Bangkit, di mana kasih Allah dinyatakan; adalah tidak mungkin untuk
mengetahui siapa Yesus itu sebenarnya, jika kita tidak tinggal di dalam Gereja,
yang merupakan 'kolom dasar Kebenaran' dan 'Mempelai tanpa cacat atau kerut',
seperti St Paulus mengumpamakan hal itu. Kita tidak bisa bermain-main dengan
dasar-dasar keberadaan kita, sebab, siapakah yang akan menarik kita keluar dari
puing-puing dan reruntuhan istana megah kita?
Read the full
article at Rorate Caeli
No comments:
Post a Comment