Apakah Kasperisme adalah sebuah bidaah baru?
Nampaknya sebuah bidaah baru
sedang diciptakan di depan mata kita semua. Apakah bidaah baru itu? Jika Arianisme dulu diberi nama begitu sesuai
dengan nama imam dan teolog yang mencetuskannya, Arius, yang menentang keilahian
Kristus, maka nampaknya tepat sekali jika untuk saat kita sekarang ini kita
menyebut kebusukan didalam kepercayaan Katolik ini sebagai ‘Kasperisme’ –
karena ia dipromosikan dengan semangat sekali oleh seorang Kardinal dari
Jerman, Walter
Kasper. Apakah Kasperisme itu? ia adalah pandangan bahwa dogma adalah tetap utuh didalam teori, namun dilanggar didalam praktek
pelaksanaannya.
Banyak
orang (Katolik) kini telah menjadi terbiasa dengan contoh dari Kasperisme ini,
yang dikenal sebagai “Kasper Proposal” – sebuah usulan yang menegaskan tak
terceraikannya perkawinan namun kenyataannya bertentangan dalam pelaksanaannya,
dengan mengijinkan si pezinah untuk menerima Komuni Kudus dengan alasan sebagai
sebuah ‘ketetapan pastoral’. Namun sebenarnya Kasperisme ini tidak hanya
berbicara tentang Kasper Proposal saja. Kenyataannya, Kasperisme adalah
merupakan ancaman yang jauh lebih besar lagi cakupannya, karena ia bisa saja
diterapkan terhadap doktrin mana saja, bukan hanya doktrin mengenai tak
terceraikannya perkawinan.
Sebagai contoh, ia bisa juga diterapkan pada tindakan sodomi.
Sebagian besar pendukung Kasperisme ini ingin bertindak lebih jauh dengan
mengatakan bahwa tindakan sodomi secara teoritis adalah sebuah keutamaan,
karena mereka tahu bahwa Gereja juga mengajarkan masalah ini, namun dalam
prakteknya mereka ingin menafsirkannya seolah tindakan itu bukannya tak
bermoral (seperti yang diajarkan oleh Gereja). Mengenai sodomi ini, juru bicara
Vatikan, Pastor Thomas Rosica, menyederhanakan sekali ajaran Kasperisme dengan
berkata :”Hendaknya dihentikan adanya pemakaian bahasa yang terlalu eksklusiv
serta penekanan yang kuat untuk menerima realita sebagaimana adanya. Janganlah
kita takut akan berbagai situasi yang baru dan komplex... Bahasa inklusiv itu
mungkin saja menjadi bahasa kita namun hendaknya selalu mengingat adanya
kemungkinan dan solusi pastoral dan kanonis.”
Dalam
kalimat ini Pastor Rosica tidak menyangkal bahwa perbuatan sodomi adalah dosa.
Namun dia juga tidak harus, (akhir dari permainan ini hasilnya tetaplah sama),
melepaskan ‘bahasa eksklusiv’ itu dan tindakan
sodomi akan tetap saja diterima dalam prakteknya.
Contoh lain didapatkan dalam ajakan paus baru-baru ini untuk
mengadakan desentralisasi terhadap Gereja. Didalam ajakan ini, paus tidak
secara terus terang mengatakan bahwa dia tak lagi memiliki kekuasaan hukum yang
utama dan universal, karena jika mengatakan begitu dia akan melanggar formulasi
doktrinal dari KV I :
"Kami
mengajarkan dan menyatakan bahwa, menurut bukti Injil, sebuah kekuasaan hukum
yang utama atas seluruh Gereja Allah telah dijanjikan dengan segera dan secara langsung
diberikan kepada rasul Petrus yang terberkati dan hal itu diberikan kepadanya
oleh Kristus Tuhan ... Oleh karena itu,
jika ada yang mengatakan bahwa rasul Petrus terberkati bukan diangkat oleh
Kristus Tuhan sebagai pangeran atas semua rasul dan kepala yang kelihatan dari
seluruh Gereja militan; atau bahwa hanya memiliki kehormatan utama saja dan
bukan salah satu dari kekuasaan hukum yang benar dan tepat yang dia terima langsung
dan segera dari Tuhan kita Yesus Kristus sendiri: terkutuklah ia".
Sebaliknya, paus Francis menunjukkan bahwa dia berniat untuk
menyederhanakan tindakan seolah itu bukanlah hal yang benar dalam prakteknya
dan -- voila! – doktrin
dari KV I, adalah baik, namun kini ia telah berlalu. Paus Francis mengatakan :
"Tingkat
kedua adalah dari Provinsi Gerejawi dan Wilayah Ecclesiastical, Dewan khusus
dan, dengan cara yang khusus, Konferensi Uskup. Kita perlu merenungkan
bagaimana lebih baik untuk melaksanakan, melalui lembaga-lembaga ini, contoh-contoh
pengantaraan kolegialitas, mungkin dengan mengintegrasikan dan memperbaharui
aspek-aspek tertentu dari organisasi gerejawi kuno. Harapan yang diungkapkan
oleh Konsili adalah lembaga tersebut akan membantu meningkatkan semangat
kolegialitas uskup yang belum terealisasi sepenuhnya. Kami masih dalam
perjalanan, sebagian jalan menuju ke sana. Dalam Gereja Sinode, seperti yang
saya katakan, "Tidaklah dianjurkan bagi Paus untuk mengambil tempat atau
peranan dari Uskup lokal dalam proses pembedaan atas setiap masalah yang timbul
di wilayah mereka. Dalam hal ini, saya sadar akan kebutuhan untuk mempromosikan
'desentralisasi' yang lebih besar."
Tak
seorang pun yang pernah menyarankan bahwa kepausan harus mengatur segala
sesuatu yang terjadi di wilayah uskup lokal atau setempat, karena ini merupakan
tipuan yang bertujuan untuk mengajukan agenda yang akan merongrong keutamaan
Paus. Namun, tanpa ada sanggahan yang spesifik dalam hal doktrin, setiap
tantangan atas tindakan tersebut akan berhadapan dengan penegasan pribadi dari
Paus Fransiskus sendiri atas apa yang diajarkan oleh gereja mengenai hal ini. Melalui
lensa Kasperian, adalah mungkin untuk mengakui bahwa doktrin itu ada dan sekaligus bertentangan dalam pelaksanaannya. Dengan demikian Infalibilitas tetap
dipertahankan, tetapi hasil pelaksanaan hanya bisa efektif jika ajaran itu sendiri
yang benar-benar dirubah. Kita semua tahu bahwa Gereja penuh dengan uskup-uskup
heterodoks (liberal) yang ingin menghancurkan Iman Katolik seperti yang telah
ada selama dua puluh abad ini, yang mau merubah Iman Katolik sesuai dengan
tujuan dan keinginan mereka sendiri. Sangat jelas bahwa mereka akan merubah
dogma Gereja. Mereka telah mengalami frustrasi dalam upaya ini, yang menempatkan
mereka di bawah kutukan dan laknat dari Konsili Vatikan Pertama:
"Oleh karena itu arti dari dogma suci selalu dipertahankan,
seperti yang telah dinyatakan oleh Bunda Gereja Kudus, dan tidak pernah boleh
ada pengabaian atas pengertian ini dengan dalih atau atas nama pemahaman yang
lebih mendalam."
Maka solusi
yang mereka susun adalah cukup sederhana dan efektif: mereka tidak akan
menyangkal dogma. Mereka bahkan akan menegaskan dogma itu. Namun kemudian mereka
akan memperlakukannya seolah-olah dogma itu tidak ada, dengan mencari-cari alasan mengapa "belas kasihan" atau
"keprihatinan pastoral" menuntut dogma itu untuk dihindari dalam
praktek pelaksanaannya. Dalam Gereja awali dulu, mereka mendata kasus-kasus
dimana mereka dicap sebagai bidaah dan dipecat; tetapi sekarang bukanlah saat
seperti itu, dan mereka tahu betul bahwa mereka dapat melakukan penyimpangan
keluar dari dogma dengan kekebalan terhadap hukum.
Jika
Kasperisme adalah bid'ah seperti yang saya duga, maka ia adalah jenis yang
paling berbahaya dari kesesatan yang pernah diciptakan oleh setan. Mengapa?
Karena ia tak tersentuh. Arius dan pengikutnya tidak membuat penolakan atas keyakinan
mereka bahwa Kristus tidaklah kekal atau memiliki substansi yang sama seperti
Allah, melainkan hanya sebagai makhluk biasa saja. Mereka dihadapkan pada apa
yang mereka percayai dan bagi kesalahan yang mereka ajarkan. Sedangkan Kasperian
menyombongkan dirinya sendiri dengan kepura-puraan. Mereka membuat sebuah ‘pertunjukkan’
besar seolah tetap mempertahankan hukum yang ada, sambil mereka benar-benar
menghancurkannya didalam rohnya. Jika orang mengatakan kepada Kasperian ini
"Bagian manakah yang anda katakan bertentangan dengan dogma!", mereka
hanya akan merespon : "Tidak! Kami menegaskan dogma yang ada.” Dengan
demikian, mereka secara efektif melucuti orang-orang yang akan berusaha untuk
menunjukkan kesalahan mereka, memaksa orang-orang itu untuk percaya bahwa
mereka bukan pembohong sambil menabur kebingungan di belakang mereka. Karena alasan
inilah maka Kasperisme harus ditentang lebih keras dari pada bid'ah Arianisme
dulu, karena ia jauh lebih licik sifat tipuannya, dan memiliki potensi untuk menimbulkan
bahaya yang lebih besar.
Akankah
paus masa mendatang mau mengutuk kesalahan yang merusak ini sebagai bidah?
Waktu akan berbicara. Tetapi kita tidak harus menunggu dalam upaya kita untuk
memeranginya. Karena jiwa-jiwa dipertaruhkan disini.
No comments:
Post a Comment