KITA TIDAK BUTUH
KLARIFIKASI. BATALKAN DOKUMEN (AMORIS LAETITIA) ITU
By Maike Hickson on April 27, 2016
Betapa besar terima kasih kita kepada Uskup Athanasius Schneider karena kegigihannya dalam bersaksi, membela dan mempertahankan kebenaran Katolik. Dia telah meletakkan jarinya pada luka baru terhadap Gereja, yang dilakukan oleh dokumen Amoris Laetitia, dalam hal ini adalah Perintah ke enam yang kini sedang dilemahkan dengan pernyataan bahwa ada pengecualian terhadap Hukum Ilahi. Beberapa umat Katolik kini mulai berpikir bahwa Perintah-perintah (Allah) tidak sepenuhnya berlaku.
Uskup Schneider mengingatkan kita tentang kasus-kasus lain dalam sejarah Gereja dimana ada beberapa paus yang dikritik oleh orang-orang kudus tertentu karena kelemahan doktrinal mereka. Uskup Schneider meminta kepada PF untuk mengklarifikasi dan meluruskan berbagai ambiguitas yang ada didalam Amoris Laetitia.
Tetapi apakah klarifikasi ini saja sudah cukup?
Sejumlah komentator yang ‘melek’ teologi kini telah berkomentar untuk memperlihatkan bahwa dokumen kepausan itu berisi beberapa point penting yang menyesatkan dan membingungkan umat beriman. Kelemahan ini secara potensial akan mendorong orang-orang yang berdosa untuk percaya bahwa dosa-berulang yang mereka lakukan tidaklah terlalu berat, dan bahwa mereka tidak perlu merubah dan memperbaiki jalan hidupnya. Kita tidak perlu mengulangi berbagai kritik atas dokumen itu disini karena kita percaya bahwa banyak dari kita yang telah membacanya sekarang.
Bagi mereka yang masih mengira bahwa PF tidaklah merubah sesuatu yang esensiil atau tidak merubah sesuatu yang tidak bisa dirubah, marilah kita mengunjungi web berikut ini. Adalah Steve Skojec sendiri yang membawa kasus ini kepada negara-negara yang berhasa Inggris, terjemahan video Paus yang ketika ditanya apakah orang yang bercerai dan menikah lagi memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menerima Sakramen-sakramen, lebih besar kemungkinan itu dari pada sebelum dirilisnya Amoris Laetitia, dimana secara terus terang PF menjawab : “I can say yes. Period.”
Begitulah, kita memiliki seorang paus yang merubah aturan yang selama ini tidak bisa dirubah. Dari berbagai fakta yang kita kumpulkan, selain bagian yang paling memalukan mengenai umat yang bercerai dan menikah lagi, ada banyak sekali kutipan dari Amoris Laetitia yang berlawanan dengan ajaran Gereja Katolik yang tak dapat dirubah, untuk membuat ajaran Katolik ‘seolah’ masih bernilai sementara, sambil mencoba untuk melestarikan dokumen itu (Amoris Laetitia), dengan demikian patut dipertanyakan bersediakah dia mempertahankan ajaran Gereja Katolik secara keseluruhan? Misalnya saja, perubahan atas ‘akhir dari perkawinan’, seperti yang dijelaskan oleh Professor Roberto dari Mattei; pelemahan peranan ayah sebagai kepala keluarga; dan akhirnya, deskripsi atas Sakramen Perkawinan menjadi hanya sebagai sebuah ‘idaman’, bukan lagi ‘Sakramen’ yang bersifat sakral, dimana deskripsi ini sangat tidak realistik dan sering merusak.
Ada banyak sekali ambiguitas didalam dokumen kepausan ini hingga sebuah klarifikasi akan bisa menyelamatkan dokumen ini. Karena pada inti dari komumen ini, serta dua kali sinode tentang keluarga, sebelumnya, terdapat penerimaan secara gradual terhadap orang yang bercerai dan menikah lagi, untuk bisa menerima Sakramen-sakramen, maka dokumen itu pada intinya sangat menghancurkan bagi seluruh jiwa-jiwa yang terlibat didalamnya.
Karena itu, Amoris Laetitia, bukan saja perlu dikoreksi, tetapi bahkan perlu dibatalkan.
Sementara kita menghadapi kenyataan dari dokumen ini, tetapi paus harus bertindak lebih banyak lagi. Dia harus menarik kembali berbagai pernyataannya yang tidak benar. Dia harus membatalkan ucapannya yang ‘membuka diri terhadap ide bahwa pasangan Protestan bisa menerima Komuni Kudus; bahwa tidak ada Allah Katolik; bahwa untuk bisa memperoleh keselamatan orang harus memiliki keinginan dan niatan yang baik saja; bahwa Eropa harus menerima lebih banyak imigran Muslim; dan yang terakhir ‘kontrasepsi diijinkan’ bagi kasus-kasus tertentu. Ini adalah sedikit saja dari sekian banyak contoh ucapan dan tindakan PF.
PF harus berhenti melemahkan Iman Katolik, yang Kudus dan Apostolik.
Jika kita masih mengasihi Kristus dan GerejaNya serta Ajaran-ajaranNya secara cukup, maka rasa kasih dan syukur kita haruslah menginspirasi kita untuk melakukan penolakan yang suci terhadap semua ini. Saya harus mengakui bahwa saya sangat sedih ketika menyaksikan, Minggu pertama setelah dirilisnya Amoris Laetitia¸sebuah sikap diam yang absolut terhadap dokumen ini menguasai umat Katolik setelah Misa hari Minggu itu. Apakah kita diam saja jika kita tahu Yesus Kristus disiksa lagi? Atau bahkan dipaku di kayu salib lagi? Jika kita sudah cukup mengasihi Tuhan kita Yesus Kristus, dan Iman kita juga cukup besar, mengapa kita diam saja jika ajaran Yesus Kristus diserang seperti ini?
Bagaimana dengan uskup-uskup kita? Seperti dibicarakan oleh John-Henry Westen pada 25 April 2016 lalu, banyak kardinal-kardinal pada jajaran tinggi di Roma lebih memilih bersikap diam, karena mereka takut jika perkataan dan tindakan mereka bisa melemahkan kuasa kepausan (tapi membiarkan kuasa Keilahian Yesus diinjak-injak). Kita bisa, dan seharusnya, menjawab bahwa paus sendiri sedang melemahkan jabatannya dengan menjauhi tugas pokok yang dipercayakan kepadanya oleh Allah. Jika PF sendiri tidak setia kepada Allah melalui ajaran kepausannya, meskipun itu hanya berupa ucapan-ucapan spontan dan ‘kurang resmi’, namun dia melemahkan kewenangannya dan kelayakannya untuk dipercaya. Jika kita tidak melakukan hal ini, maka sebagian besar umat beriman akan dibawa olehnya menuju kesesatan.
Marilah kita merenungkan Paus pertama kita, St.Petrus. Pada beberapa kasus, dia gagal dalam tugasnya. Maka St.Paulus harus ‘berterang-terang menentangnya’ (Gal 2:11). Mengapa Kitab Suci yang diilhami secara ilahiah menyampaikan kisah yang cukup memalukan ini jika hal itu secara potensiil bisa melemahkan kuasa kepausan? Mengapa Perjanjian Baru dengan terus terang berbicara tentang kegagalan sebagian besar dari para rasul melalui satu dan lain cara? Mengapa Kitab itu menceritakan bahwa sebagian besar dari mereka berlari menjauhi Taman Getsemani? Tidakkah gambaran penakut ini melemahkan kepercayaan umat beriman terhadap orang-orang yang ikut serta mendirikan dan mengembangkan Gereja dan yang menuliskan laporan mengenai kehidupan Yesus Kristus?
Tidak. Allah adalah Kebenaran. Kebenaran akan membebaskan kita. Hanya dengan menyembunyikan, memperdebatkan dan menjauhi Kebenaran itu yang akan merusak Gereja. Allah mengijinkan kelemahan manusia untuk terjadi agar KemuliaanNya semakin berkilau, terutama melalui rahmatNya yang istimewa yang diberikanNya kepada kita setiap hari. Bukankah Dia bisa menciptakan para martir dari orang-orang yang pengecut? Bukankah Dia bisa membuat para rasul menjadi kuat? Semakin kecil kita didalam kelemahan kita, semakin besarlah Dia akan bersinar didalam Kerahiman dan KasihNya.
Saya terdorong untuk mengajukan pemikiran dalam tulisan ini karena membaca tulisan Steve Skojec, yang menulis tentang pentingnya sebuah ‘pengungkapan sepenuhnya’ dalam karyanya He That Does Truth Cometh to the Light. Sebuah tanda dari Iman kita adalah bahwa kita berjalan didalam terang dan Kebenaran. Tak ada yang perlu kita sembunyikan, karena segalanya diketahui olehNya sejak Keabadian. Apa yang kita miliki adalah kejatuhan dan dosa, dan apa yang kita perlukan adalah Rahmat. Dengan rahmatNya kita bekerja demi keselamatan, bukan hanya bagi jiwa kita sendiri, tetapi juga bagi jiwa-jiwa orang lain. Karena tak ada karunia dari Allah yang hanya diperuntukkan bagi kita sendiri. Dan nanti kita juga akan dihakimi seturut perbuatan kemurahan hati kita. Dan seperti inilah kesaksian didalam Iman Katolik kita terjadi. Kesaksian kita bukan terutama untuk melawan sesuatu, tetapi BAGI atau DEMI sesuatu. Demi kebaikan Allah, rahmatNya dan undanganNya menuju Kehidupan Kekal. Didalam memerangi kesesatan saat ini, kita berjuang demi Kebenaran agar ia diberikan kepada semua orang demi keselamatan mereka. Dan dengan memerangi kesesatan ini, kita juga berjuang bagi jiwa-jiwa yang menyulut dan melakukan kesesatan ini. Maka adalah merupakan sebuah tindakan kemurahan hati jika kita memberitahu PF bahwa dia sedang melakukan banyak kerusakan terhadap Gereja Katolik dan terhadap banyak sekali jiwa-jiwa di dunia. Semoga suara-suara yang bergemuruh di dunia ini bisa menyentuh hatinya, dan menuntunnya kepada pertobatan. Semoga dia masih bisa menyelamatkan jiwanya sendiri.
Karena itu kita memiliki sebuah permintaan yang jujur dan terus terang untuk disampaikan kepada PF agar membatalkan Amoris Laetitia, dan terutama seluruh sikap ambigunya beserta kesesatan yang diakibatkannya. (meskipun memberikan penilaian kepadanya adalah ex cathedra!) Kita berada pada titik itu. PF telah membiarkan berbagai pembahasan mengalir deras selama dua tahun terakhir ini yang sangat merusak Gereja Katolik. Betapa banyaknya ide-ide heterodox (liberal) dan bidaah ditaburkan dan dibicarakan, dan kemudian disiarkan pada media-media Katolik – dan saya telah melaporkan banyak dari masalah itu karena hal itu berkaitan dengan situasi yang ada di Jerman – dan semuanya itu tidak pernah diluruskan! PF telah menelurkan sebuah revolusi moral didalam Gereja sedemikian rupa dahsyatnya hingga tidak ada umat yang tahu mana atas dan mana bawah. Adalah didalam jiwanya yang melahirkan semua kekacauan ini, dan kini terserah kepadanya untuk memperbaikinya sejauh dia bisa. Umat Katolik di dunia telah kehilangan tuntunan yang jelas dan indah dalam hal Iman, yang mereka inginkan dan yang layak mereka dapatkan dari pemimpinnya – karena bagi Iman itulah Allah mendirikan Gereja.
Beberapa hari sebelum dirilisnya Amoris Laetitia, Cardinal Walter Brandmüller berkata kepada paus bahwa dia tak bisa merubah apa yang kini telah dia rubah secara efektiv dan jelas dengan melalui Amoris Laetitia. Brandmüller adalah seorang uskup yang saleh dan berani. Namun jika kini uskup-uskup dan para kardinal lainnya bersikap diam – nampaknya mereka menerima perubahan ini – apakah kita, umat awam, tidak terpanggil untuk melakukan apa yang seharusnya menjadi inisiativ kita? Dengan kata lain, tidakkah kita harus berdiri di bawah Salib Kalvari dan tetap setia kepada Kristus, meski sebagian besar para rasul berlari menjauh?
Sudah selayaknya jika kita, paling tidak, mendorong semua kardinal untuk melaksanakan tugas mulia mereka dan berusaha untuk membuat petisi yang tegas kepada paus, meminta dengan tegas dan hormat disertai dengan kemurahan hati untuk melakukan apa yang harus dan urgen untuk diakukan saat ini – bukan saja untuk mengklarifikasi Amoris Laetitia, tetapi bahkan membatalkan dokumen yang kabur dan membingungkan itu. Cukup adalah cukup!
No comments:
Post a Comment