Volume 1 : Misteri Keadilan
Allah
Bab 23
Lamanya waktu di Api Penyucian
Pemimpin Cistercian dan Paus
Innocentius III
John de Lierre.
Didalam
kisah ‘the Life of St. Lutgarda’, yang ditulis oleh sahabatnya, Thomas
de Cantimpre, disebutkan ada seorang religius yang sangat bersemangat, namun
karena besarnya semangat itu maka dia dihukum selama 40 tahun didalam Api Penyucian.
Adalah seorang kepala dari ordo Cistercian, yang bernama Simon, yang sangat
menghormati St.Lutgarda. Orang kudus itu dengan sukarela mematuhi nasihat
Simon, dan terjadilah sebuah persahabatan spirituil diantara mereka. Namun sang
Kepala biara itu bersikap kurang sabar terhadap bawahannya, termasuk juga
terhadap orang kudus itu. Dia bersikap tegas terhadap dirinya sendiri dan
terhadap tugasnya, dan dia melaksanakan ketegasan ini dalam semua masalah
disiplin didalam biara, hingga sampai terlalu keras, hingga dia melupakan
pelajaran dari Guru Ilahi, yang mengajarkan kita untuk bersikap rendah hati dan
patuh. Setelah dia meninggal, dan ketika St.Lutgarda berdoa tekun dan melakukan
silih bagi jiwa Simon, Simon menampakkan diri kepada St.Lutgarda dan mengatakan
bahwa dirinya dihukum selama 40 tahun tinggal didalam Api Penyucian. Untunglah
Simon memiliki sahabat St.Lutgarda yang sangat bermurah hati sekali dan tegar.
St.Lutgarda meningkatkan doa-doanya dan matiraga dan dia menerima janji dari
Allah bahwa jiwa yang meninggal itu, Simon, akan segera dibebaskan. Dan orang
kudus yang sangat murah hati itu, St.Lutgarda, menjawab :”Aku tak akan berhenti
menangis, aku tak akan berhenti mengganggu KerahimanMu hingga aku bisa melihat
dia dibebaskan dari rasa sakitnya”.
Karena
aku telah menyebutkan nama St.Lutgarda, maka aku akan berbicara tentang
penampakan yang penting dari Paus Innocentius III. Aku mengakui bahwa
penelitian dari peristiwa ini telah mengejutkan diriku, dan aku akan
melewatkannya secara diam-diam. Aku merasa enggan untuk memikirkan bahwa ada
seorang Paus, telah dikutuk hingga begitu lama dan mengerikan didalam Api Penyucian.
Kita tahu bahwa Innocentius III yang mengetuai Konsili Lateran pada 1215,
adalah salah satu Paus yang terbesar yang pernah menduduki kursi St.Petrus.
Rasa belas kasihannya dan semangatnya telah menuntunnya melaksanakan
karya-karya agung dari Gereja Allah serta berbagai disiplin suci. Bagaimana
bisa kita mengakui bahwa orang seperti itu akan dihukum dengan begitu kejamnya
oleh Pengadilan Yang Utama ? Bagaimana bisa kita menyelaraskan pencerahan yang
diterima oleh St.Lutgarda dengan Kerahiman Ilahi ? Aku berharap untuk menganggapnya
sebagai sebuah ilusi saja, dan aku mencari-cari alasan untuk mendukung
pendapatku ini. Sebaliknya, aku mendapati bahwa kebenaran dari penampakan
St.Lutgarda itu diakui oleh para pengarang yang terkenal dan hal itu juga tidak
ditolak oleh siapapun. Lebih lagi, penulis biografi, Thomas de Cantimpre, amat
jelas sekali dan pada saat yang sama amat mempertahankan kebenaran hal itu.
“Perhatikanlah, pembaca”, demikian tulis Thomas pada akhir bukunya, “hal ini
keluar dari mulut Lutgarda yang suci itu dimana aku mendengar
kesalahan-kesalahan yang diungkapkan oleh almarhum, dan yang tidak kutuliskan
disini karena rasa hormatku kepada Paus itu”.
Disamping
itu jika melihat peristiwa itu sendiri, bisakah kita menemukan alasan yang
layak untuk mempertanyakan hal itu ? Tidakkah kita tahu bahwa Paus yang datang
dihadapan penghakimanNya adalah sama perlakuannya dengan orang-orang yang
paling sederhana, bahwa semua orang besar maupun hina adalah sama dihadapanNya,
dan bahwa masing-masing orang menerima hukuman sesuai dengan perbuatannya ?
Apakah kita tidak tahu bahwa mereka yang memegang kekuasaan atas orang lain
memiliki tanggung jawab yang besar dan dia harus tunduk kepada hari
penghitungan yang keras itu ? Judicium durissimum his qui praesunt fiet
(Penghakiman yang amat keras diperlakukan bagi mereka yang memegang kekuasaan,
Keb. 6:6). Adalah Roh Kudus sendiri yang mengatakan hal itu. Bollandist
menambahkan, kini Innocentius III yang
telah memerintah selama 18 tahun, dan ditengah saat-saat yang penuh kekacauan.,
bukankah ada tertulis bahwa pengadilan Allah adalah tak terduga, dan seringkali
berbeda sekali dengan pengadilan manusia ? Judicia tua abyssus multa (Mzm.
35:7).
Realitas
dari penampakan ini tak bisa dipertanyakan. Aku tidak melihat adanya alasan
untuk menyembunyikan hal itu karena Allah tidak mengungkapkan misteri-misteri
alam ini bagi tujuan yang lain kecuali agar hal itu diketahui demi kemuliaan
GerejaNya.
Paus
Innocentius III meninggal pada 16 Juli 1216. Pada hari yang sama dia
menampakkan diri kepada St.Lutgarda di biara Aywieres, Brabant. St.Lutgarda
terkejut karena dia mengira melihat hantu yang diselimuti oleh nyala api. Dia
bertanya kepada penampakan itu, siapa dirinya, dan apa yang dia inginkan. “Aku
adalah Paus Innocentius III”, katanya. “Mungkinkah engkau Bapa Kepala kami
semua yang berada dalam keadaan seperti itu ?”. “Hal ini adalah benar. Aku
sedang menebus tiga buah kesalahanku yang bisa membuatku musnah untuk
selamanya. Terima kasih atas jasa dari Perawan Maria Terberkati, aku telah
memperoleh pengampunan atas kesalahan itu, namun aku harus menebus dosa-dosa
itu. Celaka ! Sangat mengerikan sekali ! Dan hal itu akan berlangsung selama
berabad-abad jika kamu tidak mau menolong aku. Demi nama Maria, yang telah
memperoleh karunia bagiku hingga aku bisa meminta kepadamu seperti ini,
tolonglah aku”. Dengan kalimat ini dia lalu menghilang. Lutgarda menceritakan
hal ini kepada para Suster anggota ordonya dan bersama-sama mereka berdoa dan
melaksanakan karya-karya penitensial demi Paus yang mereka hormati itu, dimana
kematiannya dinyatakan kepada mereka beberapa minggu kemudian oleh sumber
lain.
Marilah
kita menambahkan disini sebuah kenyataan yang cukup menghibur yang kita temukan
didalam kisah kehidupan orang kudus yang sama ini, St.Lutgarda. Ada seorang
imam pengkhotbah yang terkenal bernama John de Lierre. Dia adalah orang yang
saleh dan dikenal baik oleh Lutgarda. Dia telah membuat sebuah perjanjian
dengan St.Lutgarda, dimana mereka saling berjanji bahwa siapa yang lebih dahulu
meninggal, dengan seijin Allah, dia akan menampakkan diri kepada sahabatnya.
Ternyata John meninggal lebih dahulu. Didalam melakukan perjalanan ke Roma
karena suatu keperluan bagi kaum religius, John meninggal diantara pegunungan
Alpen. Dengan penuh kesetiaan kepada janjinya, dia menampakkan diri kepada
St.Lutgarda di biara Aywieres. Demi melihat John, orang kudus itu tak memiliki
sedikitpun pikiran bahwa John telah meninggal. Lutgarda mengundang John pergi
ke ruang tamu, sesuai adat kebiasaan didalam biara itu, untuk berbincang-bincang
dengannya. “Aku tidak lagi berada di dunia ini”, demikian kata John, “dan aku
datang kesini untuk memenuhi janjiku kepadamu”. Demi mendengar kalimat ini,
Lutgarda segera berlutut dan dia tertegun untuk beberapa saat. Lalu dengan
memandang kearah sahabatnya yang terberkati itu, dia bertanya :”Mengapa kamu
berpakaian mewah seperti itu ? Apa arti dari tiga macam pakaian yang menghiasi
dirimu itu ?”. John menjawab :”Pakaian putih ini menunjukkan kemurnian perawan,
yang telah kumiliki dan selalu kupertahankan. Seragam merah ini menunjukkan
kerja keras dan penderitaan yang telah menguras habis tenagaku secara dini. Dan
mantel biru ini yang menutupi semuanya, menunjukkan kesempurnaan kehidupan
spirituil”. Setelah mengucapkan kalimat ini tiba-tiba dia meninggalkan
Lutgarda, yang pikiran dan hatinya terpecah, antara menyesali kehilangan Pastor
John yang amat baik hati itu, dan kebahagiaan yang dia alami karena John sudah
bersukacita saat itu.
St.Vincent
Ferrer, seorang pekerja yang mengagumkan dari ordo St.Dominikus, yang berkotbah
dengan sangat baik sekali tentang kebenaran besar dari Penghakiman Allah,
memiliki seorang saudara perempuan yang tidak bisa tergerak menjadi baik, oleh
kata-kata maupun contoh dari sauadaranya yang suci itu. Adik perempuannya ini
penuh dengan semangat keduniawian, diracuni oleh segala kenikmatan dunia ini,
dan dia berjalan dengan langkah kaki yang cepat menuju kehancurannya yang
kekal. Sementara itu St.Vincent berdoa terus demi pertobatan adiknya dan
akhirnya doa-doanya itu dikabulkan. Si pendosa yang malang itu jatuh sakit
parah, dan pada saat kematiannya, didalam dirinya, dia mengaku dosa dengan
perasaan yang sungguh bertobat.
Beberapa
hari setelah kematiannya, ketika St.Vincent mempersembahkan Misa Kudus, adiknya
itu nampak kepadanya ditengah suatu nyala api dan menjadi mangsa dari
siksaan-siksaan yang tak terkatakan lagi sakitnya. “Celaka ! saudaraku yang
terkasih !”, kata adiknya itu, “aku dihukum untuk menjalani siksaan ini hingga
saat Penghakiman Akhir nanti. Sebenarnya kamu bisa menolong aku. Manfaat dari
Misa Kudus adalah sangat besar sekali. Persembahkanlah bagiku sekitar 30 kali
Misa Kudus agar aku bisa mengharapkan hasil yang menggembirakan”. Lalu
St.Vincent segera memenuhi permintaan adiknya. Dia mempersembahkan 30 kali Misa
Kudus dan pada kali yang ke 30 dari Misa Kudus itu, adiknya muncul dihadapannya
dengan dikelilingi oleh para malaikat dan kemudian dia naik ke Surga. Terima
kasih atas jasa-jasa keutamaan dari kurban Misa Kudus yang Ilahi itu, hingga
sebuah penebusan dosa yang berabad-abad lamanya bisa dikurangi menjadi 30 hari
saja.
Contoh
ini menunjukkan kepada kita lamanya rasa sakit didalam Api Penyucian yang
dialami oleh suatu jiwa, serta akibat yang sangat besar yang ditimbulkan oleh
Misa Kudus, ketika Tuhan merasa berkenan untuk menerapkan hal itu bagi suatu
jiwa. Namun penerapan ini, seperti halnya semua permohonan lainnya, tidaklah
selalu terjadi demikian, paling tidak, tidak selalu dengan kelimpahan yang sama
besar.
No comments:
Post a Comment