TAK ADA KEKUATAN UNTUK
MENDEFINISIKAN ULANG PERKAWINAN
Oleh : Rev. Gerald E. Murray, J.C.D.
Raymond Cardinal Burke berbicara di Roma pada 7 Mei 2016
2016 mengenai ajaran Katolik tentang perkawinan. Dia mengatakan:”... tidaklah
bisa diterima jika Gereja mengakui iman akan tak terceraikannya perkawinan,
yang sesuai dengan hukum Allah yang dituliskan didalam setiap hati manusia dan
mewartakannya didalam Sabda Kristus, dan pada saat yang sama
mengakui dan memberi ijin pemberian Sakramen-sakramen kepada orang yang secara
terbuka melanggar aturan mengenai tak terceraikannya perkawinan.”
Robert
Cardinal Sarah, berbicara pada hari Selasa di the National
Catholic Prayer Breakfast, dan mengatakan:”Saat ini kita sedang menyaksikan
tahapan berikutnya – dan sekaligus penyempurnaan – dari usaha-usaha untuk
membangun sebuah Surga utopis di atas bumi tanpa kehadiran Allah. Ini
adalah tahap penyangkalan dosa dan sekaligus tahap (seperti) Kejatuhan (dosa
pertama yang dilakukan oleh Adam dan Hawa). Namun kematian Allah berakibat pada
dikuburkannya kebaikan, keindahan, kasih dan kebenaran. Kebaikan menjadi
kejahatan, karena ia nampak buruk di mata dunia; kasih menjadi bentuk kepuasan
sexual sebagai instink awali dari binatang, dan kebenaran menjadi serba
relativ.
Kedua
pernyataan ini bermanfaat bagi kita untuk merenungkan catatan kaki nomor 351
dari Amoris Laetitia (AL). Ijin yang diberikan didalam anjuran PF
itu (AL), untuk memberikan
sakramen-sakramen ‘dalam kasus tertentu’ yaitu kepada mereka yang berzina
karena perkawinan kedua, tidaklah sejalan dengan pengertian
Gereja akan tugas perutusannya, kewajibannya, serta kebenaran. Dengan bahasa
yang sederhana, ia (AL)
menciptakan sebuah inovasi dalam hal disiplin pemberian sakramen yang justru
melemahkan seluruh tatanan sakramental Gereja.
Gereja ada
untuk menyatukan kita dengan Allah. Penyatuan itu adalah sebuah karunia rahmat
dari Allah dan ia dimulai dengan pengampunan atas dosa pada saat pembaptisan.
Pewartaan Injil bertujuan untuk menarik manusia agar mencari pembaptisan lebih
dahulu, dan kemudian sakramen-sakramen lainnya. Hukum Gereja mengatur pemberian
dan penerimaan sakramen-sakramen untuk memastikan bahwa kita bisa menerima
rahmat sakramental.
Aturan ini,
termasuk kuasa untuk memperingatkan penerimaan sakramen-sakramen yang dilakukan
secara tidak layak, yang berakibat tidak baik bagi jiwa penerimanya. Jika anda
dalam keadaan dosa berat, karena sebuah relasi perzinahan, maka penerimaan
Ekaristi tidak bisa menyalurkan rahmat dari sakramen itu kepada jiwa anda.
Masalah ini
menjadi semakin serius jika anda melakukan perkawinan kedua melalui hukum sipil
ataupun upacara dari agama yang bukan Katolik. Maka penerimaan Ekaristi pada
orang-orang semacam ini merupakan bentuk skandal yang berat, seakan hal itu
menuntun seseorang menuju kesesatan: karena (dengan memberikan Komuni kepada
pezina) Gereja tidak lagi mengajarkan bahwa perkawinan adalah tak bisa
diceraikan, dan juga tidak lagi menganggap bahwa perkawinan kedua sebagai hubungan
perzinahan, bahkan menganggap seolah perkawinan kedua itu adalah merupakan
bentuk perkawinan yang benar. Akibat berikutnya, perzinahan itu bukanlah dosa
berat dan si pelaku perzinahan itu tidak lagi dianggap tidak layak untuk
menerima Komuni Kudus.
Realitas yang
ada adalah bahwa Gereja tidak lagi memiliki kekuatan untuk mendefinisikan ulang
sifat tak terceraikan dari perkawinan atau beratnya suatu perbuatan perzinahan.
Kini suatu perkawinan tidaklah menjadi batal jika anda menikah lagi, yang
sebenarnya merupakan perkawinan yang tidak sah. Gereja juga tak mampu
menggolongkan sikap berzinah itu sebagai dosa berat, dan berkata kepada si
pezinah bahwa dia bisa dengan bebas menerima Komuni Kudus. Gereja haruslah
mewartakan kebenaran: bahwa perzinahan adalah pelanggaran berat terhadap hukum Allah.
Jika tidak, ia akan jatuh kedalam kesalahan yang sama yang oleh Cardinal Sarah
disebut sebagai banyak terjadi di dunia sekuler saat ini.
Gereja juga
harus menyatakan bahwa penerimaan Ekaristi Kudus secara tidak layak harus
selalu dihindari. Dalam kasus di mana ketidak-layakan itu diketahui oleh
publik, maka Gereja harus, sebagai gembala yang baik, mencegah dombanya yang
berkeliaran agar tidak menambahkan lagi dosa sakrilegi kepada dosa perzinahan,
dengan cara menolak untuk memberikan sakramen bagi mereka yang terus hidup
dalam dosa.
Kegagalan untuk
melakukan semua ini demi alasan kerahiman (belas kasih) terhadap orang-orang
yang berdosa itu, adalah merupakan pendekatan yang keliru. Stigma yang melekat
pada orang yang ditolak untuk menerima Komuni Kudus adalah bermanfaat. Orang
yang berdosa perlu diingatkan akan keadaan dirinya, bukannya meyakinkan secara
keliru bahwa dia dapat memperoleh pembebasan dari larangan untuk menerima
Komuni Kudus dengan menunjuk kepada alasan-alasan yang meringankan yang
kemudian menghilangkan tanggung jawabnya pribadi karena melakukan dosa berat.
Dalam Sakramen Tobat, imam yang
mendengar seseorang yang mengaku bahwa dia berada dalam hubungan perzinahan
yang berkelanjutan, haruslah menasihati dan menuntun peniten dengan lemah lembut, tapi tegas, mengajaknya untuk meninggalkan tindakan perzinahan itulebih lanjut. Tidak peduli apapun alasannya, biasanya membingungkan, dari si peniten, untuk membenarkan tindakannya yang berdosa sebelumnya, pertobatan itu tidak pernah boleh mengijinkannya untuk terus melanjutkan tindakan perzinahan itu. Kardinal Burke berbicara tegas mengenai hal ini dalam sebuah wawancara baru-baru ini: "...jika seseorang pergi mengaku dosa dan dia mengakui dosa perselingkuhannya, namun jika dia memiliki niat untuk terus hidup dalam situasi itu, maka unsur penting dari pertobatan – yaitu tujuan yang teguh untuk memperbaiki diri - tidak ada, maka orang tersebut tidak bisa diampuni dan, tentu saja, tidak bisa menerima Komuni Kudus ".
Kebingungan yang mungkin telah menyebabkan orang berdosa tidak memahami beratnya perilaku perzinahan di masa lalu akan menjadi sembuh jika imam (bapa pengakuan) memberitahu dia bahwa dia harus melaksanakan Perintah Keenam, mendorongnya untuk melakukan usaha apapun untuk menyesuaikan hidupnya dengan ajaran Injil. Setiap pendekatan yang bisa lebih membingungkan lagi bagi orang berdosa dengan mengatakan kepadanya bahwa Gereja kini telah memutuskan bahwa dia bisa diampuni dan menerima Komuni Kudus karena berbagai alasan (‘faktor-faktor yang meringankan’) hingga dia tidak dianggap berbuat dosa berat, hingga dia bisa melanjutkan perzinahannya, adalah tidak dapat diterima - dan terus terang : tidak benar.
Kewajiban seorang gembala adalah menuntun dombanya ke padang gembalaan kebenaran yang subur, dimana rahmat Allah akan menguatkan niatan dari si pendosa untuk hidup sesuai dengan hukum yang diberikan Allah kepada kita. Sebuah ‘pemberian ijin’ untuk tetap melakukan dosa perzinahan (dengan mengijinkannya untuk menerima Komuni Kudus tanpa menekankan pertobatan yang tulus serta menghentikan dosa itu) adalah merupakan kegagalan total dari tugas pastoral seorang gembala. Karena dia telah membiarkan dombanya tetap hidup didalam dosa.
Begitulah ijin yang diberikan didalam catatan kaki nomor 351 dari Amoris Laetitia memberikan sebuah dilema bagi imam (bapa pengakuan) yang memahami dengan sungguh disiplin sakramen Gereja yang bersifat menetap, yang berdasarkan kepada doktrin yang tak pernah berubah. Maka solusi bagi dilema ini adalah dengan cara mengabaikan saja ijin yang tak dapat dibenarkan itu.
Masalah yang lebih besar bagi Gereja adalah bahwa ijin itu telah dikeluarkan. Ia telah diberikan. Jadi ijin itu harus dicabut, demi kebaikan jiwa-jiwa.
No comments:
Post a Comment