PROFESSOR ROBERTO
DE MATTEI TENTANG KEPAUSAN FRANCIS:
ENAM TAHUN KEMUNAFIKAN DAN KEBOHONGAN
OnePeterFive dengan bangga mempersembahkan
wawancara eksklusif Profesor Roberto De Mattei, Presiden Yayasan Lepanto,
dengan jurnalis Italia. Aldo Maria Valli - salah satu jurnalis Italia yang
membantu menerbitkan kesaksian Vigano pada Agustus 2018. Seperti biasa,
Profesor de Mattei menyampaikan wawasan dan analisis yang jujur dan menggugah
pikiran.
Aldo Maria Valli: Profesor De Mattei, dalam masa kepausan ini,
tidak sehari pun berlalu tanpa menyebabkan kebingungan dan keraguan baru bagi
banyak umat beriman. Deklarasi tentang agama-agama lain yang dibuat di Abu
Dhabi telah menimbulkan banyak keprihatinan. Sepertinya, tidak ada cara untuk
menghindari fakta bahwa pernyataan itu bermasalah. Bagaimana Anda
menafsirkannya?
Profesor
Roberto De Mattei:
Deklarasi Abu Dhabi yang dibuat pada 4 Februari 2019, yang ditandatangani oleh
Paus Francis dan imam agung Al-Azhar menegaskan bahwa “pluralisme dan keragaman
agama, warna kulit, jenis kelamin, ras dan bahasa adalah dikehendaki oleh Tuhan, dalam kebijaksanaan-Nya, melalui
mana Dia menciptakan manusia.” Penegasan paus Francis ini bertentangan dengan
ajaran Gereja, yang mengatakan bahwa satu-satunya agama yang benar adalah agama
Katolik. Faktanya, hanya dengan Iman kepada Yesus Kristus dan dalam Nama-Nya manusia
dapat memperoleh keselamatan kekal (lih. Kis 4:12).
Pada tanggal 1 Maret 2019, selama
kunjungan ad limina para uskup Kazakhstan ke Roma, Uskup Athanasius Schneider
menyatakan kebingungannya kepada Paus Francis tentang deklarasi Abu Dhabi. Paus
menjawab kepadanya bahwa "keragaman agama hanyalah kehendak permisif dari Tuhan." Jawaban ini sangat menipu, karena nampak bahwa paus
Francis mengakui jika pluralitas agama adalah kejahatan yang diizinkan oleh Tuhan tetapi tidak
dikehendaki oleh-Nya, dan dengan pola pikir yang sama hal itu tidak berlaku
bagi keragaman jenis kelamin dan ras, yang secara positif dikehendaki oleh
Allah. Ketika Uskup Schneider menyatakan keberatannya kepada paus, paus Francis
mengakui bahwa frasa itu “dapat dipahami secara keliru.” Namun Paus tidak
pernah memperbaiki atau menganulir penegasannya, dan bahkan Dewan Kepausan
untuk Dialog Antaragama, atas permintaan paus Francis, menganjurkan semua uskup
untuk menyebarluaskan deklarasi Abu Dhabi sehingga "dapat menjadi objek
penelitian dan refleksi di semua sekolah, universitas dan lembaga pendidikan
dan formasi para religius."
Interpretasi yang menyebar luas adalah
bahwa pluralitas agama adalah hal yang baik, bukan kejahatan yang ditoleransi
oleh Tuhan. Tampaknya bagi saya bahwa kontradiksi yang disengaja oleh paus
Francis ini adalah mikrokosmos dari seluruh warna pemerintahan dari paus
Bergoglio.
Bagaimana Anda, sebagai sejarawan
Gereja, merangkum enam tahun terakhir pemerintahan paus Francis ini?
Sebagai tahun-tahun kemunafikan dan
kebohongan. Jorge Mario Bergoglio dipilih karena dia nampak seperti seorang
uskup yang “rendah hati dan sangat spiritual” (demikianlah Andrea Tornielli
memberi hormat kepadanya di La Stampa), seorang yang nampaknya “akan
memperbarui dan menyucikan Gereja.” Namun tidak satupun harapan ini yang
terjadi. Paus Francis tidak bersedia menghentikan jabatan uskup-uskup yang paling
korup baik dari Kuria Roma atau pun dari keuskupan lokal. Dia baru mau melakukannya
hanya ketika, seperti dalam kasus McCarrick, dia dipaksa oleh opini publik. Pada kenyataannya, paus Francis telah
menunjukkan dirinya sebagai paus politik, paus paling haus politis pada abad
terakhir. Bujukan-bujukan politiknya adalah merupakan bentuk Peronisme sayap
kiri (komunis), yang pada dasarnya membenci segala bentuk ketidaksetaraan dan
menentang budaya dan masyarakat Barat. Ketika dibawa ke ranah gerejawi, paham Peronisme
bergabung dengan teologi pembebasan dan mengarah kepada upaya untuk memaksakan
demokratisasi sinode kepada Gereja, yang melucuti Gereja dari sifat esensiilnya.
KTT tentang pelecehan seksual
sepertinya sudah dilupakan. KTT itu penuh dengan ekspresi yang kedengarannya
bagus ketika diucapkan oleh media arus utama, tetapi KTT itu sama sekali tidak
mengarah kepada sesuatu yang baru. Secara umum, bagaimana Anda menilai cara
Tahta Suci mengatasi krisis sexual ini?
Dengan
cara yang jelas-jelas saling bertentangan. Norma-norma anti-pelecehan yang baru saja
disetujui oleh Paus Francis telah menghindari masalah yang sebenarnya, yaitu
hubungan antara pengadilan Gereja dan pengadilan sipil, atau, yang terlihat
lebih luas, hubungan antara Gereja dan dunia. Gereja memiliki hak dan kewajiban
untuk menyelidiki dan menghakimi mereka yang dituduh melakukan kejahatan yang
tidak hanya melanggar hukum perdata tetapi juga hukum gerejawi, yang ditegaskan
oleh hukum kanon. Dalam hal ini, perlu untuk membuka pengadilan pidana reguler
di pengadilan Gereja yang menghormati hak-hak dasar terdakwa dan tidak
dikondisikan oleh hasil pengadilan sipil apa pun.
Sebaliknya, hari ini, dalam kasus
Kardinal Pell (Australia), Vatikan mengatakan akan membuka pengadilan kanonik,
tetapi pertama-tama perlu "menunggu hasil dari proses banding
[sipil]." Dalam kasus Kardinal Barbarin (Perancis), yang dijatuhi hukuman hingga
enam bulan penjara dengan masa percobaan dan juga menunggu proses banding, juga
belum ada pengumuman resmi dari pengadilan kanonik. Ketika Kardinal Luis
Francisco Ladaria, prefek Kongregasi untuk Ajaran Iman, dipanggil untuk
memberikan kesaksian dalam kasus Barbarin oleh para hakim di Lyon, Vatikan meminta kekebalan diplomatik,
tetapi hal yang sama tidak dilakukan untuk Kardinal Pell. Kebijakan standar
yang berbeda untuk orang yang berbeda ini adalah bagian dari iklim ambiguitas
dan duplikasi yang kita jalani sekarang.
Selama
masa kepausan ini, norma-norma baru telah diperkenalkan bagi kehidupan biara.
Beberapa komunitas monastik sangat khawatir, karena mereka menganggap
norma-norma baru ini sebagai ancaman bagi kehidupan kontemplatif. Apakah Anda merasakan
kekhawatiran ini?
Ya, sepertinya ada rencana untuk
menghancurkan kehidupan kontemplatif. Saya sangat menghargai artikel yang Anda
dedikasikan untuk tema ini di blog Anda. Konstitusi tentang kehidupan
kontemplatif perempuan Vultum Dei
Quaerere 29 Juni 2016, dan Instruksi Kor
Orans 1 April 2018, menekan setiap bentuk otonomi yuridis dan menciptakan
federasi dan organisme birokrasi baru sebagai “struktur persekutuan.” Kewajiban
untuk menjadi bagian dari struktur-struktur ini berarti bahwa biara-biara secara
de facto, kehilangan otonomi mereka, yang kemudian dilebur ke dalam kelompok biara
tanpa nama yang kesemuanya bergerak menuju pembubaran kehidupan biara
tradisional. “Normalisasi” kaum modernist pada beberapa biara yang masih menolak
revolusi akan menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan. Namun, penindasan
yuridis atas kehidupan kontemplatif yang kita tuju tidak menandakan akhir dari
semangat kontemplatif, yang menjadi semakin kuat sebagai respons terhadap
sekularisasi Gereja sekarang. Saya tahu biara-biara yang telah berhasil
mengamankan kebebasan hukum dari Kongregasi
bagi Kehidupan Religius dan mempertahankan kehidupan biara, akan mendukung
Gereja Kristus dalam krisis ini dengan doa syafaat mereka. Saya yakin bahwa,
seperti yang pernah dikatakan, doa dari dalam biara-biara akan menguasai dunia.
Peringatan keenam pemilihan Paus
Bergoglio telah berlalu, meski hal itu terasa agak sepi. Seseorang memiliki
kesan bahwa bahkan orang-orang yang pernah mendukungnya (paus Francis) telah mulai
menjauhkan diri darinya. Apakah kesan ini salah?
Kita tahu bahwa ada kekuatan-kekuatan
yang ingin menghancurkan Gereja. Freemasonry adalah salah satunya. Namun pertempuran
terbuka melawan Gereja tidak pernah produktif, karena, seperti yang ditulis oleh
Tertullianus, darah para martir adalah benih umat Kristiani. Dan inilah
sebabnya, setidaknya selama dua abad, ada sebuah rencana yang telah dirumuskan
oleh pasukan anti-Kristen untuk menaklukkan Gereja dari dalam.
Kita juga tahu bahwa pada 1960-an, Uni
Soviet dan rezim komunis di Eropa Timur menyusupkan banyak sekali orang-orang mereka
ke dalam seminari-seminari dan universitas-universitas Katolik. Beberapa di
antaranya kini menaiki tangga dan menjadi uskup atau bahkan kardinal. Tetapi keterlibatan
dan kegiatan yang disengaja seperti itu tidak terlalu berkontribusi pada
penghancuran diri Gereja. Dimungkinkan juga untuk menjadi instrumen yang tidak
diketahui dari seseorang yang memanipulasi dari luar. Dalam kasus ini, para
manipulator memilih orang-orang yang paling cocok, orang-orang yang
memperlihatkan kelemahan doktrinal dan moral, mempengaruhi mereka,
mengkondisikan mereka, dan kadang-kadang bahkan memeras mereka. Orang-orang dalam
Gereja adalah tidak sempurna dan bisa salah, dan si jahat terus-menerus
menempatkan di hadapan mereka pencobaan yang bisa ditolak oleh Tuhan. (Mat 4:
1–11).
Pemilihan Jorge Mario Bergoglio
disutradarai oleh sebuah lobi klerus (Mafia St.Gellen), dimana di belakangnya
kita dapat melihat hadirnya lobi-lobi yang lain atau kekuatan-kekuatan yang besar.
Saya memiliki kesan bahwa kekuatan gerejawi dan kekuatan di luar Gereja yang
bekerja untuk pemilihan Paus Bergoglio tidak puas dengan hasil kepausannya.
Dari sudut pandang mereka, ada banyak kata tetapi sedikit sekali hasil praktisnya.
Mereka yang mensponsori Paus Francis siap untuk meninggalkannya jika perubahan
radikal tidak terjadi. Tampaknya dia diberi satu kesempatan terakhir untuk melakukan
revolusi dalam Gereja melalui Sinode Amazon Oktober 2019 mendatang. Menurut
saya mereka sudah mengirim sinyal yang menunjukkan niatan ini.
Sinyal apa yang Anda maksud?
Terhadap apa yang terjadi setelah
pertemuan puncak tentang pedofilia, yang jelas hal itu adalah merupakan sebuah kegagalan.
Publikasi besar pers internasional, dari Corriere
della Sera hingga kepada El PaĆs,
tidak menyembunyikan kekecewaan mereka. Tampak bagi saya bahwa pengumuman yang
dibuat oleh Konferensi Waligereja Jerman oleh presidennya, Kardinal Marx, bahwa
mereka akan membuat sinode lokal yang akan membuat keputusan yang mengikat
tentang moralitas seksual, selibat imam, dan pengurangan kekuatan klerus, harus
dipahami sebagai sebuah ultimatum terhadap paus Francis. Ini adalah pertama
kalinya para uskup Jerman mengekspresikan diri dengan sangat jelas. Mereka
tampaknya mengatakan bahwa jika paus tidak menyeberangi Rubicon, mereka akan
melintasinya sendiri. Dalam kedua kasus tersebut, kita akan menghadapi
perpecahan yang dideklarasikan.
Apa konsekuensi yang diakibatkan oleh pemisahan
seperti itu?
Perpecahan yang dinyatakan, meskipun hal
itu adalah jahat, bisa dibimbing oleh Kuasa Ilahi untuk menuju menuju kepada kebaikan.
Kebaikan yang bisa muncul adalah kebangkitan dari begitu banyak orang yang
tertidur dan pemahaman bahwa krisis tidak dimulai sejak kepausan Paus Francis tetapi
telah berkembang sejak waktu yang lama dan memiliki akar doktrinal yang
mendalam. Kita harus memiliki keberanian untuk memeriksa kembali apa yang telah
terjadi dalam lima puluh tahun terakhir dalam terang Injil, bahwa ‘pohon dapat dinilai
dari buahnya’ (Mat 7: 16-20). Kesatuan Gereja adalah kebaikan yang harus
dilestarikan, tetapi itu bukan kebaikan yang mutlak. Tidaklah mungkin untuk
menyatukan apa yang bertentangan, untuk mencintai kebenaran dan sekaligus kepalsuan,
baik dan sekaligus buruk, pada saat yang sama.
Banyak umat Katolik merasa berkecil
hati dan dikhianati. Iman kita memberi tahu kita bahwa kekuatan jahat tidak
akan menang, namun sulit untuk melihat jalan keluar dari krisis ini. Berbicara
secara manusiawi, tampaknya semuanya akan atau telah runtuh. Bagaimana Gereja bisa
keluar dari krisis ini?
Gereja tidak takut terhadap musuh-musuhnya,
dan ia selalu menang ketika orang-orang Kristiani bertempur. Pada tanggal 4
Februari di Abu Dhabi, Paus Francis berkata bahwa ada kebutuhan “men-demiliterisasi
hati manusia.” Saya percaya, sebaliknya, bahwa ada kebutuhan untuk me-militerisasi
hati dan mengubahnya menjadi Acies
Ordinata, seperti orang-orang yang berdiri dalam protes penuh doa di Piazza
San Silvestro di Roma pada 19 Februari 2019 lalu dan membenarkan adanya penolakan
Katolik terhadap penghancuran diri Gereja. Ada banyak suara perlawanan lainnya
yang membuat dan menjadikan diri mereka didengar.
Saya percaya kita harus mengatasi
banyak kesalahpahaman yang sering memecah kekuatan orang-orang baik.
Sebaliknya, kita harus mencari satu kesatuan niat dan tindakan di antara
kekuatan-kekuatan ini, sambil mempertahankan identitas berbeda kita yang sah.
Musuh kita dipersatukan dalam kebencian mereka akan kebaikan, dan karenanya
kita harus dipersatukan dalam cinta kita demi kebaikan dan kebenaran. Tetapi
kita harus mencintai kebaikan yang sempurna, kebaikan yang utuh dan tanpa
kompromi, karena Dia yang menopang kita dengan cinta dan kekuatan-Nya adalah sempurna
tak terhingga. Kita harus meletakkan semua harapan kita di dalam Dia dan hanya
di dalam Dia. Inilah sebabnya mengapa kebajikan pengharapan adalah yang paling
harus kita kembangkan, karena hal itu membuat kita menjadi kuat dan gigih dalam
pertempuran yang kita jalani sekarang.
+++++++++++++++++++++++
This interview was translated for 1P5 by Giuseppe Pellegrino. The original
in Italian can be found at Aldo Maria Valli’s blog.To find more articles and podcasts by
Professor De Mattei and to subscribe to his newsletter defending Christian
civilization, go to https://www.patreon.com/lepantofoundation
No comments:
Post a Comment