These Last Days News - July 26, 2017
SEORANG PERTAPA TELAH MEMPERINGATKAN PAUS PADA TAHUN 1527
BAHWA ROMA AKAN DIHUKUM KARENA HOMOSEKSUALITAS ...
https://www.tldm.org/news34/a-hermit-warned-the-pope-in-1527-that-rome-would-be-punished-for-homosexuality.htm
Rorate-Caeli.blogspot.com reported on December 3, 2015:
by Roberto de Mattei, pendiri Lepanto
Institute
Gereja saat
ini sedang mengalami sebuah era disorientasi doktrinal dan moral. Perpecahan
telah meledak di Jerman, meskipun Paus Francis tampaknya tidak menyadari
pentingnya drama yang terjadi disana. Sekelompok
kardinal dan uskup menganjurkan perlunya kesepakatan dengan para bidaah.
Seperti yang selalu terjadi pada jam-jam paling gelap dalam sejarah, berbagai
peristiwa lainnya akan terjadi dan mengikuti satu demi satu dengan sangat
cepat.
Pada
hari Minggu 9 Mei 1527, pasukan yang turun dari Lombardy mencapai Janiculum.
Kaisar, Charles V, marah pada aliansi politik Paus Klemens VII dengan lawannya,
Raja Prancis, Francis I, telah menggerakkan pasukan untuk melawan ibukota kerajaan
Kristen. Malam itu, matahari terbenam untuk terakhir kalinya pada keindahan
Renaisans Roma yang mempesona. Sekitar 20.000 orang, Italia, Spanyol dan
Jerman, di antaranya adalah tentara bayaran Landsknecht, dari iman Lutheran,
sedang bersiap untuk melancarkan serangan terhadap Kota Abadi. Komandan mereka
telah memberi mereka izin untuk mengepung kota itu. Sepanjang malam bel
peringatan Campidoglio terus berdentang memanggil orang-orang Romawi untuk
mempersenjatai diri, tetapi sudah terlambat untuk mempersiapkan pertahanan yang
efektif. Saat fajar pada tanggal 6 Mei, diselimuti oleh kabut tebal,
Landsknechts melancarkan serangan ke dinding-dinding kota, antara St. Onofrio
dan Santo Spirito.
Para
Pengawal Swiss berbaris di sekitar Obelisk Vatikan, bertekad dalam janji mereka
untuk tetap setia sampai mati. Yang terakhir dari mereka mengorbankan hidup
mereka di altar tinggi di Basilika Santo Petrus. Perlawanan mereka memungkinkan
Paus bersama dengan beberapa kardinal kesempatan untuk melarikan diri. Di
seberang Passetto di Borgo, jalan penghubung antara Vatikan dan Castel
Sant'Angelo, Clement VII mencapai benteng, satu-satunya benteng yang tersisa
untuk melawan musuh. Dari ketinggian teras, Paus menyaksikan pembantaian
mengerikan yang dimulai dengan pembantaian orang-orang yang berkerumun di
sekitar gerbang Kastil untuk mencari perlindungan, sementara orang-orang sakit di
Rumah Sakit Santo Spirito di Sassia dibantai, ditusuk oleh tombak dan pedang.
Lisensi
tak terbatas untuk mencuri dan membunuh ini berlangsung selama delapan hari dan
pendudukan kota selama sembilan bulan. Kita bisa membaca di sebuah akun Veneto
10 Mei 1527, yang dilaporkan oleh Ludwig von Pastor “Neraka tidak ada bandingnya
dengan penampilan yang saat ini dihadirkan di Roma” (The History of Popes,
Desclée, Rome 1942m, vol. IV, 2, p.261 ). Kaum religius adalah korban utama dari
kemarahan Landsknechts. Istana-istana Cardinal dijarah, gereja-gereja
dilecehkan, para imam dan rahib membunuh atau dijadikan budak, para biarawati
diperkosa dan dijual di pasar. Parodi-parodi upacara keagamaan yang tak
terlihat terlihat lagi, piala-piala untuk Misa digunakan untuk mabuk-mabukan di
tengah-tengah penghujatan, Hosti Kudus dipanggang dalam wajan dan diumpankan kepada
binatang, makam orang-orang kudus dibongkar, kepala para Rasul, seperti St.
Andrew, digunakan untuk bermain sepak bola di jalanan. Seekor keledai diberi
pakaian jubah gerejawi dan dibawa ke altar gereja. Pastor yang menolak untuk
memberikan Komuni kepada binatang itu, dipotong berkeping-keping. Kota itu diobrak-abrik
dalam hal simbol-simbol agama dan dalam peringatan-peringatannya yang paling
suci”. (lihat juga André Chastel, The Sack of Rome, Einaudi, Turin, 1983; Umberto
Roberto, Roma capta. The Sack of the City
from the Gauls to the Landsknechts, Laterza, Bari 2012).
Clement
VII, dari keluarga Medici, tidak memperhatikan permintaan pendahulunya, Hadrian
VI, untuk megnadakan reformasi radikal dalam Gereja. Martin Luther telah
menyebarkan ajaran sesatnya selama sepuluh tahun, tetapi Negara-Negara Kepausan
Romawi terus tenggelam dalam paham relativisme dan hedonisme. Namun tidak semua
orang Romawi bersifat buruk dan banci, seperti yang diyakini oleh sejarawan
Gregorovius. Mereka yang tidak buruk, para bangsawan Giulio Vallati,
Giambattista Savelli dan Pierpaolo Tebaldi, yang mengibarkan bendera dengan
lencana "Pro Fide et Patria" dan mempertahankan sikap heroik terakhir
di Ponte Sisto. Begitu juga siswa-siswa di Capranica College, yang bergegas ke
Santo Spirito dan mati dalam membela Paus yang berada dalam bahaya.
Karena
pembantaian massal itu, Institut gerejawi Romawi kemudian memakai nama
"Almo". Clemens VII bertahan dan memerintah Gereja sampai tahun 1534,
berhadapan dengan perpecahan Anglikan yang mengikuti Lutheran, dan dia menyaksikan
pengepungan dan penyegelan Kota Abadi namun tidak berdaya untuk melakukan apa
pun, dan hal ini, baginya, jauh lebih sulit untuk ditanggung daripada kematian
itu sendiri.
Pada 17
Oktober 1528, pasukan kekaisaran telah menyisakan sebuah kota dalam reruntuhan.
Seorang saksi mata Spanyol memberi kita gambaran mengerikan tentang Kota Abadi sebulan
setelah pengepungann penghancurannya: “Di Roma, ibu kota Kekristenan, tidak ada
satu pun lonceng yang berbunyi, gereja-gereja tidak lagi dibuka, Misa tidak dirayakan
dan tidak ada hari-hari Minggu atau hari-hari raya lainnya. Toko-toko pedagang
kaya digunakan sebagai kandang kuda, istana-istana yang paling indah telah dihancurkan,
banyak rumah dibakar, di tempat-tempat lain pintu-pintu dan jendela-jendela
hancur dan dijarah, jalan-jalan dirubah menjadi tumpukan kotoran. Bau mayat
sangat menyengat dan mengerikan: manusia dan binatang buas memiliki kuburan
yang sama; di gereja-gereja aku melihat mayat-mayat digerogoti oleh anjing-anjing.
Saya tidak tahu bagaimana cara membandingkan ini dengan bencana yang lain,
selain kehancuran Yerusalem. Sekarang saya mengakui hadirnya keadilan Allah,
yang tidak pernah lupa bahkan meski Dia datang terlambat. Di Roma semua dosa
dilakukan secara terbuka: sodomi, simoni (penjualan surat tanda pengakuan dosa),
penyembahan berhala, kemunafikan, dan penipuan; dengan demikian kita tidak
dapat percaya bahwa ini semua terjadi secara kebetulan; tetapi ini adalah demi keadilan
Ilahi ”. (L. von Pastor, History of Paus, cit. Hlm. 278).
Paus Clemens
VII memerintahkan Michelangelo untuk melukis suasana Penghakiman Terakhir di
Kapel Sistine, yang mungkin untuk mengabadikan drama-drama yang telah dialami
oleh Gereja selama tahun-tahun itu. Semua orang mengerti bahwa itu adalah hukuman
dari Surga. Tidak ada yang kurang dalam hal peringatan dan tanda-tanda: kilatan
petir yang menyerang Vatikan dan penampilan seorang pertapa, Brandano da
Petroio, yang sangat dihormati oleh orang banyak sebagai “Christ's Madman”,
yang pada hari Kamis Putih 1527, sementara Clement VII memberkati orang banyak
di St. Petrus, tetapi Brandano da Petroio berteriak: "Bajingan sodomi, karena dosa-dosamu Roma akan dihancurkan. Akuilah
kesalahanmu dan bertobatlah, karena dalam 14 hari murka Allah akan menimpa kami
dan Kota."
Tahun
sebelumnya, pada akhir Agustus, pasukan Kristen telah dikalahkan oleh Ottoman
di medan perang Mohacs. Raja Hongaria, Louis II Jagiellon tewas dalam
pertempuran dan pasukan Suleiman Agung menduduki Buda. Gelombang Islam di Eropa
tampaknya tak terhentikan.
Namun, saat
hukuman adalah, seperti biasa, merupakan saat belas kasihan. Para pejabat Gereja
memahami betapa bodohnya diri mereka dengan mengikuti godaan kenikmatan dan
kekuasaan. Setelah pengepungan Kota yang mengerikan itu, kehidupan telah berubah
sangat dalam. Roma Renaisans yang hanya mencari kesenangan berubah menjadi Roma
Kontra-Reformasi yang keras dan penuh penyesalan.
Di
antara mereka yang menderita selama Pengepungan Roma, adalah Gian Matteo
Giberti, Uskup Verona, yang pada saat itu tinggal di Roma. Dipenjara oleh para
pengepung dia bersumpah bahwa jika dia dibebaskan, dia tidak akan pernah
meninggalkan kediaman Episkopalnya. Dia menepati janjinya, dan kembali ke
Verona di mana dia mendedikasikan dirinya sepenuhnya untuk reformasi
keuskupannya sampai kematiannya pada tahun 1543. Santo Charles Borromeo, yang
kemudian menjadi contoh bagi para Uskup Kontra-Reformasi Katolik, merasa terinspirasi
oleh teladannya ini.
Carlo
Carafa dan St. Cajetan dari Thiene juga berada di Roma. Pada 1524, mereka
mendirikan Ordo Theatine, sebuah lembaga keagamaan yang diejek banyak pihak karena
sikap doktrinalnya yang keras dan pengabaiannya pada Penyelenggaraan Ilahi,
bahkan sampai pada titik menunggu pemberian sedekah tanpa pernah meminta kepada
orang lain. Dua pendiri Ordo dipenjara dan disiksa oleh Landsknechts dan secara
ajaib lolos dari maut. Ketika Cafara menjadi kardinal dan Presiden Tribunal
Sacra Rota dan Inkuisisi Universal pertama, dia menginginkan seorang yang saleh
dan suci untuk bersama dia, Pastor Michele Ghislieri, seorang Dominikan. Kedua
orang itu, Carafa dan Ghislieri, dengan nama Paul IV dan Pius V, akan menjadi
dua Paus par excellence dari Kontra-Reformasi Katolik pada abad XVI.
Konsili Trente (1545-1563) dan
Kemenangan Lepanto melawan orang-orang Turki (1571) menunjukkan bahwa, bahkan
pada jam-jam yang paling gelap dalam sejarah, dengan pertolongan Tuhan, maka kelahiran
kembali adalah mungkin: tetapi pada ujung depan dari kelahiran kembali ini
adalah pemurnian yang berupa pengepungan atas Roma.
++++++++++++++++++++++
Berikut
ini adalah pesan-pesan dari Baside yang berkaitan dengan artikel diatas:
"Tanpa sejumlah besar doa
yang dibutuhan untuk menyeimbangkan neraca serta tindakan pemulihan dari
anak-anak di dunia, maka akan ditempatkanlah di Tahta Petrus seseorang yang
akan menempatkan dan menaruh jiwa-jiwa dan Rumah Allah ke dalam kegelapan yang sangat
dalam." - Bunda Maria, Bayside, 18 Maret 1974
No comments:
Post a Comment