DI DALAM LEMARI VATIKAN
Frếdếric Martel
KEKUASAAN
HOMOSEXUALITAS
KEMUNAFIKAN
DAFTAR ISI
CATATAN DARI PENULIS DAN PENERBIT
|
|
|
|
Bab 1. Domus Sanctae Marthae
|
|
Bab 2. Teori Gender
|
|
Bab 3. Siapakah Saya Hingga Berhak Menilai?
|
|
Bab 4. Buenos Aires
|
|
Bab 5.
Sinode
|
BAGIAN I
FRANCIS
Bab 5
Sinode
"Sudah ada reaksi."
Lorenzo Baldisseri adalah pria yang
tenang dan bijaksana. Dan pada tahap ini dari percakapan kami, kardinal memilih
kata-katanya dengan lebih hati-hati, dengan sangat hati-hati. Dia meluangkan
waktu sejenak sebelum mengatakan tentang Sinode Keluarga: "Sudah ada
reaksi."
Saya mendengarkan Baldisseri
memainkan piano. Dia menghabiskan sebagian waktunya disitu, tidak seperti
banyak pianis lain, yang tidak bisa berhenti berlomba. Dengan tenang dia
menafsirkan komposer yang sangat dia sukai: Vittorio Monti, Erik Satie, Claude
Debussy atau Frédéric Chopin. Dan saya suka iramanya, khususnya dalam
karya-karya yang dia kuasai, seperti ‘the
danzas españolas’ karya Enrique Granados atau 'Ave Maria' oleh Giulio Caccini.
Di kantornya yang besar di Vatikan,
kardinal Baldisseri telah memasang baby grand piano-nya, yang telah dia ajak pergi
bersamanya ke mana-mana sejak Miami, tempat dia membelinya, ketika dia menjadi
nuncio di Haiti. Ini adalah piano yang sering ‘berkelana’, yang telah
mengunjungi Paraguay, India, dan Nepal, dan tinggal selama sembilan tahun di
Brasil!
“Saya memainkan piano dari pukul
delapan hingga sebelas setiap malam di kantor ini. Saya tidak bisa bekerja tanpa
piano. Di sini, di Vatikan, mereka memanggil saya pianis Tuhan!” tambahnya
sambil terkekeh.
Seorang kardinal memainkan piano
sendiri, pada malam hari, di istana yang sepi di Vatikan: ini adalah gambaran
yang mempesona. Baldisseri memberi saya tiga CD yang dibawakan oleh the Libreria Editrice Vaticana. Miliknya.
“Saya juga melakukan konser. Saya
bermain untuk Paus Benediktus XVI di kediaman musim panasnya di Castel
Gandolfo. Tapi dia orang Jerman, dia suka Mozart! Saya orang Italia: Saya
romantis!”
Pada usia 78, kardinal-musisi ini,
untuk mempertahankan sentuhan dan ketangkasannya, dia bermain setiap hari, di
mana pun dia berada, di kantor, di rumah atau di hari libur.
“Saya bahkan pernah bermain untuk
Paus Francis. Itu adalah sebuah tantangan. Dia tidak terlalu suka musik!"
Baldisseri adalah salah satu pria
tangan kanan Francis. Sejak pemilihan Francis, yang dikontribusikan oleh Baldisseri,
sebagai sekretaris konklaf, paus baru ini telah memberi tugas kepada uskup
Italia itu untuk mempersiapkan Sinode Luar Biasa tentang Keluarga, pada tahun
2014–15, dan kemudian satu sinode tentang kaum muda pada tahun 2018. Dan dia
juga dijadikan kardinal, untuk memberinya otoritas yang diperlukan.
Sebuah sinode yang disebut oleh paus sebagai
momen penting bagi Gereja. Menyatukan para kardinal dan sejumlah besar uskup
dalam sebuah majelis, memberi kesempatan untuk memperdebatkan
pertanyaan-pertanyaan mendasar dan masalah-masalah doktrin. Keluarga adalah
salah satunya, dan itu adalah masalah yang lebih sensitif daripada yang lain.
Sejak awal Francis tahu bahwa agar
gagasannya diterima, dan bukan untuk menyerang para kardinal yang kaku, yang kebanyakan
dari mereka ditunjuk oleh John Paul II dan Benediktus XVI, maka dia harus memainkan
diplomasi. Baldisseri adalah nuncio, dilatih di sekolah diplomatik yang hebat,
sekolahnya Casaroli dan Silvestrini, bukan sekolah yang lebih modern, yaitu sekolahnya
Sodano dan Bertone.
“Saya bekerja dalam semangat
keterbukaan. Panutan kami adalah Konsili Vatikan II: menghidupkan perdebatan,
menarik bagi orang awam dan kaum intelektual, meresmikan metode baru,
pendekatan baru. Selain itu, itu adalah gaya Francis: seorang paus Amerika
Latin, terbuka, mudah diakses, berperilaku seperti seorang uskup sederhana.”
Apakah dia cukup berpengalaman?
Apakah dia tidak berhati-hati?
“Saya sangat baru dalam hal ini, itu
benar. Saya belajar segalanya tentang sinode pertama itu (sinode tentang
keluarga – 2014). Tidak ada yang tabu di dalamnya, tidak ada yang ditahan-tahan.
Semua pertanyaan terbuka. Penuh semangat! Semuanya ada di atas meja: selibat
imamat, homoseksualitas, pemberian Komuni untuk pasangan yang bercerai dan
menikah lagi secara sipil, penahbisan wanita ... Semua debat dibuka sekaligus.”
Dikelilingi oleh tim kecil yang
sensitif, ceria dan banyak senyum, beberapa di antaranya saya temui di kantor
sekretariat Sinode - Uskup Agung Bruno Forte, Peter Erdö, dan Fabio Fabene, semuanya
adalah orang-orang yang dipromosikan oleh paus Francis - Lorenzo Baldisseri
membangun ‘mesin perang’ yang sesungguhnya untuk melayani Francis.
Sejak awal, geng Baldisseri bekerja
dengan para kardinal yang paling mendukung, terbuka dan ramah terhadap kaum
gay: Walter Kasper dari Jerman, kepala kelompok liberal di Vatikan, yang
bertanggung jawab atas penulisan laporan persiapan sinode, serta uskup Austria,
Christoph Schönborn, dan uskup Honduras, Óscar Maradiaga, semuanya teman
pribadi paus Francis.
“Barisan kami pada dasarnya adalah
Kasper. Tetapi yang juga penting adalah metodenya. Paus ingin membuka semua pintu
dan jendela. Perdebatan harus terjadi di mana-mana, di konferensi-konferensi
uskup, di keuskupan-keuskupan, di antara umat beriman. Umat Allah harus
memilih,” demikian Baldisseri berkata kepada saya.
Metode ini tidak pernah terdengar.
Dan betapa perubahan dari John Paul II, pola dasar dari ‘control freak’, atau
Benedict XVI, yang menolak untuk membuka perdebatan semacam ini, baik karena
prinsip maupun karena rasa takut. Dengan mendelegasikan persiapan Sinode kepada
fondasi dasar, dengan menyebarkan konsultasi besar atas 38 pertanyaan ke seluruh
dunia, Francis berpikir dia dapat mengubah kesepakatan yang ada sebelumnya. Dia
ingin membuat Gereja bergerak. Dengan melakukan hal itu, dia berusaha untuk
mengatasi Kuria, dan para kardinal yang ada - yang terbiasa dengan teokrasi
absolut dan infalibilitas kepausan – dan dia segera melihat jebakan itu.
"Kami sudah mengubah kebiasaan,
itu benar. Ini adalah metode yang mengejutkan orang,” kata kardinal itu kepada
saya dengan hati-hati.
Geng Baldisseri adalah pekerja cepat,
itu sudah pasti. Dengan rasa percaya diri dan mungkin bahkan bodoh, Walter
Kasper mengumumkan di depan umum, bahkan sebelum Sinode, bahwa 'perkawinan homoseksual,
jika mereka hidup dengan cara yang tenang dan bertanggung jawab, adalah
terhormat'. Terhormat? Kata itu sendiri sudah merupakan pernyataan jelas
darinya.
Atas dasar misi pengintaian besar
itu, sekretaris Sinode harus menyiapkan teks pendahuluan yang akan didiskusikan
oleh para kardinal. “Teks itu memang diperdebatkan. Berbagai tanggapan datang
secara massal, dari mana-mana, dalam semua bahasa. Konferensi-konferensi uskup lokal
menjawab; para ahli menjawab; banyak orang juga menjawab,” kata Baldisseri senang.
Sekitar lima belas imam dimobilisasi
untuk membaca semua catatan ini - surat-surat yang masuk ribuan, banjir surat
secara tak terduga, gelombang yang belum pernah terjadi sebelumnya. Mereka juga
harus berurusan dengan jawaban dari 114 konferensi keuskupan lokal dan hampir
800 asosiasi Katolik, dalam bahasa yang tak terhitung jumlahnya. Pada saat yang
sama, beberapa sekretaris (termasuk setidaknya satu aktivis homoseksual yang
saya temui) dimobilisasi untuk menulis draf teks pertama yang akan, setahun
kemudian, menjadi nasihat kerasulan yang terkenal: Amoris laetitia.
Satu pernyataan sengaja ditambahkan
ke dalam draft dokumen ini: ‘Kaum homoseksual memiliki karunia-karunia dan
kualitas untuk ditawarkan kepada komunitas Kristiani.’ Yang lain adalah
referensi eksplisit untuk AIDS: 'Tanpa menyangkal adanya daerah-daerah yang bermasalah
secara moral, yang berhubungan dengan relasi homoseksual, kami mencatat bahwa
ada kasus-kasus ketika saling mendukung, sampai bersedia untuk berkorban,
merupakan bantuan berharga bagi kehidupan para pasangan homosex.'
"Francis datang ke sini setiap
minggu," Baldisseri memberitahu saya. "Dia secara pribadi memimpin
sesi di mana kami memperdebatkan berbagai proposisi."
Mengapa Francis memilih untuk membahas
pertanyaan tentang keluarga dan moralitas seksual? Terlepas dari Kardinal
Baldisseri, dan beberapa kolaboratornya, saya pergi untuk menginterogasi
lusinan kardinal, uskup dan nuncios, di Roma dan 30 negara, para penentang atau
pendukung Francis, partisan atau musuh Sinode. Diskusi-diskusi itu memungkinkan
saya untuk menelusuri kembali rencana rahasia dari paus dan pertempuran tak
terbayangkan yang akan segera terjadi antara dua faksi homoseksual di dalam
Gereja.
Sejak awal kepausannya, paus telah
menempatkan Kuria pada pengawasannya secara ketat, menyangkut urusan keuangan
dan masalah seksual: “Kita semua adalah orang berdosa, tetapi kita tidak
semuanya korup. Orang berdosa harus diterima, bukan orang yang korup."
Paus berusaha mengecam kehidupan ganda, dan memberitakan semboyan ‘toleransi
nol.’
Bahkan lebih dari kaum tradisionalis
dan konservatif, orang-orang yang dibenci oleh Francis di atas semuanya,
seperti yang telah kita lihat, adalah orang-orang munafik yang kaku. Mengapa
terus menentang pemberian sakramen kepada orang yang bercerai yang telah
menikah kembali, ketika ada begitu banyak imam yang hidup bersama wanita di
Amerika Latin dan Afrika? Mengapa terus membenci kaum homosex ketika ada begitu
banyak homosex di antara para kardinal dan orang-orang di sekitarnya, di Vatikan?
Bagaimana cara mereformasi Kuria, yang terjerat dalam penyangkalan dan
kebohongan, ketika ada sejumlah kardinal dan mayoritas sekretaris negara sejak
1980 mempraktikkan kehidupan yang bertolak belakang (tiga dari empat adalah
homosex, demikian menurut informasi yang saya dapatkan)? Jika sudah waktunya
untuk melakukan pembersihan, seperti yang mereka katakan, dari manakah kita memulainya
ketika Gereja sudah berada di tepi jurang, karena kehancurannya yang sudah terprogram
seperti ini?
Ketika Francis mendengar
lawan-lawannya, para kardinal yang tidak fleksibel ini, menyampaikan pidato
konservatif dan homofobik dan menerbitkan teks-teks yang menentang liberalisme
seksualnya - orang-orang seperti Raymond Burke, Carlo Caffarra, Joachim
Meisner, Gerhard Ludwig Müller, Walter Brandmüller, Mauro Piacenza, Velasio De
Paolis, Tarcisio Bertone , George Pell, Angelo Bagnasco, Antonio Cañizares,
Kurt Koch, Paul Josef Cordes, Willem Eijk, Joseph Levada, Marc Ouellet, Antonio
Rouco Varela, Juan Luis Cipriani, Juan Sandoval igñiguez, Norberto Rivera,
Javier Errázuriz, Angelo Scola, Camillo Ruini, Robert Sarah dan banyak lagi lainnya
– Francis sendiri, tidak bisa tidak, akan terlempar ke bawah.
Yang paling penting, Francis merasa jengkel
dengan kasus-kasus pelecehan seksual – ada ribuan, bahkan ratusan ribu - yang
menjangkiti Gereja Katolik di seluruh dunia. Setiap minggu dakwaan baru
diajukan, para uskup dituduh atau dinyatakan bersalah, para imam dihukum, dan
skandal demi skandal terus berdatangan. Dalam lebih dari 80 persen kasus,
urusan ini menyangkut pelecehan homosex - sangat jarang yang heterosex.
Di Amerika Latin, keuskupan telah sangat
dikompromikan dengan dunia dan mereka dicurigai oleh pers dan korban menyepelekan
dan mengabaikan fakta - di Meksiko (Norberto Rivera dan Juan Sandoval igñiguez)
dan Peru (Juan Luis Cipriani). Di Chili, skandal itu sedemikian rupa besarnya sehingga
semua uskup di negara itu harus mengundurkan diri, sementara sebagian besar
nuncio dan wali gereja, dimulai dengan Kardinal Javier Errázuriz dan Riccardo
Ezzati, dengan banyak jari menunjuk pada kesalahan mereka karena mengabaikan
tuduhan pelecehan seksual. Di mana pun Anda melihat, Gereja telah dikritik atas
penanganan pelecehan seksual, hingga tingkat tertinggi: di Austria (Hans
Hermann Groër), di Skotlandia dan Irlandia (Keith O'Brien, Sean Brady), di
Perancis (Philippe Barbarin), di Belgia (Godfried Danneels), dan seterusnya hingga
ke Amerika Serikat, Jerman dll. Di Australia, adalah 'menteri' ekonomi Vatikan,
George Pell, yang dituntut dan diadili di Melbourne. Ada lusinan kardinal – jika
mereka tidak dituduh melakukan tindakan sexual seperti itu – mereka dikecam,
dengan langsung menyebut nama, di media atau dipanggil oleh para penegak hukum karena
menutup-nutupi kasus kejahatan, apakah dengan kekuasaan atau kemunafikan, terhadap
berbagai kejahatan seksual yang dilakukan oleh para pastor. Di Italia,
kasus-kasus dari jenis yang sama terus berkembang biak, yang melibatkan lusinan
uskup dan beberapa kardinal, meskipun pihak pers, anehnya, menunjukkan sikap
diam daripada mengungkapkannya. Tetapi paus dan rombongan langsungnya tahu
bahwa tanggul itu akhirnya akan jebol juga, terutama di Italia.
Dalam sebuah diskusi informal di
Roma, Kardinal Marc Ouellet, Prefek Kongregasi untuk Para Uskup, menggambarkan
kepada saya adanya ledakan yang tak terbayangkan dalam kasus-kasus pelecehan
seksual. Dia adalah pakar dalam dua ‘bahasa politik’: dia adalah seorang
Ratzingerian yang mengaku membela Paus Francis. Angka-angka yang disampaikan Québécois kepada saya sangat mengerikan.
Dia melukis gambar sebuah Gereja yang benar-benar hancur berantakan. Dalam
pandangannya, semua paroki di dunia, semua konferensi para uskup, semua
keuskupan, telah ternoda. Gambarannya adalah mengerikan: Gereja tampak seperti kapal
Titanic yang sedang tenggelam sementara musik orkestra terus bermain. “Tak
terbendung,” salah satu rekan Ouellet memberi tahu saya, dengan sikap diam membeku
karena kaget. (Dalam 'memo' kedua, Mgr. Viganò mengutuk rombongan gay Marc
Ouellet.)
Dalam hal pelecehan seksual, karena
itu Francis tidak lagi berniat, seperti yang dilakukan oleh John Paul II dan
tangan kanannya, Angelo Sodano dan Stanisław Dziwisz, hal itu telah berlangsung
terlalu lama, untuk menutup matanya atau, seperti yang cenderung dilakukan
Benediktus XVI, untuk menunjukkan kesenangannya. Meski menegaskan posisinya
dalam kasus ini, tetapi dia belum
bertindak secara terbuka.
Yang paling penting, analisisnya
berbeda dengan Joseph Ratzinger dan tangan kanannya, Kardinal Tarcisio Bertone,
yang mengubah pertanyaan ini menjadi masalah homoseksual intrinsik. Menurut
para pakar Vatikan dan kerahasiaan dua rekan dekatnya yang saya wawancarai,
Paus Francis berpendapat, sebaliknya, bahwa akar yang mendalam dari pelecehan
seksual terletak pada 'kekakuan topeng' yang menyembunyikan kehidupan ganda
dan, sayangnya, mungkin juga dalam hal selibat para imam. Bapa Suci, dikatakan,
percaya bahwa para kardinal dan uskup yang menutupi kasus pelecehan seksual,
melakukan penutupan itu untuk mendukung para pedofil, bukan karena mereka
takut. Mereka takut bahwa kecenderungan homosex mereka akan terungkap jika
skandal meletus atau sebuah kasus sampai diadili di pengadilan. Jadi, aturan
baru dari Lemari, yang keenam dalam
buku ini, dan salah satu yang paling penting, dapat dituliskan sebagai berikut:
Di balik sebagian besar kasus pelecehan seksual, ada pastor dan uskup yang
telah melindungi para pelakunya karena homoseksualitas mereka sendiri dan
karena takut hal itu akan terungkap jika terjadi pelaporan dari pihak kurban. Budaya
kerahasiaan yang diperlukan untuk menjaga ‘keheningan’ tentang tingginya
prevalensi homosex di dalam Gereja telah memungkinkan pelecehan seksual itu
terus disembunyikan dan si predator terus bertindak.
Karena semua alasan ini, Francis
menyadari bahwa pedofilia bukanlah epifenomenon - bukan 'gosip terbaru' yang
dibicarakan oleh Kardinal Angelo Sodano: ini adalah krisis paling serius yang
harus dihadapi oleh Gereja Katolik Roma sejak perpecahan hebat zaman Martin
Luther. Paus bahkan mengantisipasi bahwa cerita itu baru saja dimulai: di zaman
maraknya media sosial dan VatiLeaks, di masa kebebasan pers dan kesiapan dalam
masyarakat modern bagi orang-orang untuk menggunakan hukum, belum lagi 'efek
sorotan dari orang banyak' bahwa Gereja adalah seperti Menara Pisa yang terancam
tumbang. Segala sesuatu perlu dibangun kembali dan diubah, atau ada risiko
bahwa kita akan menyaksikan hilangnya suatu agama. Itulah filosofi yang
mendasari Sinode 2014.
Maka Francis memilih untuk berbicara.
Pada misa pagi di Santa Marta, dalam pembicaraan yang diimprovisasi di pesawat
terbang atau pada pertemuan-pertemuan simbolis yang diadakannya, dia mulai
secara teratur mengecam kemunafikan 'yang tersembunyi dan sering kali melemahkan
kehidupan’ para anggota Kuria Romawi.
Dia telah menyebutkan 15 'penyakit
Kurial': tanpa menyebut nama mereka, dia berbicara tentang para kardinal dan
uskup Roma yang memiliki penyakit 'Alzheimer spiritual'; dia mengkritik
'skizofrenia eksistensial' mereka, 'skandal-penjual' mereka, 'korupsi' mereka
dan cara hidup para 'uskup bandara' itu. Untuk pertama kalinya dalam sejarah
Gereja, kritik tidak datang dari musuh-musuh Katolik, pamflet Voltairean dan
'Cathophobes' lainnya: tetapi kritik itu datang dari Bapa Suci secara langsung.
Karena itulah kita harus memahami seluruh jangkauan revolusi Francis ini.
Paus juga ingin bertindak. Dia ingin
'merobohkan sebuah tembok', begitulah ungkapan salah seorang rekannya. Dan dia
akan melakukannya melalui berbagai macam simbol, tindakan dan alat dalam konklaf.
Dia memulai, dengan goresan pena, dengan mencoret dari daftar kardinal masa
depan semua uskup agung, dubes dan uskup di bawah Yohanes Paulus II dan
Benediktus XVI. Istana Castel Gandolfo, kediaman musim panas paus, di mana
desas-desus muncul tentang pesta-pesta yang terjadi di sana di bawah Yohanes
Paulus II, akan dibuka untuk turis dan akhirnya nanti: dijual.
Mengenai masalah homoseksualitas,
Francis melakukan sebuah tugas pedagogis yang panjang.
Gereja perlu membedakan, dengan cara
yang baru dan mendasar, antara kejahatan pedofilia - pencabulan dan agresi yang
ditujukan pada anak di bawah umur 15 tahun; tindakan yang tanpa persetujuan (paksaan)
atau dalam konteks sebuah situasi dibawah kekuasaan (katekismus, pengakuan
dosa, seminari, dll.) - dan praktik homoseksual yang sah antara orang dewasa
yang saling memberikan persetujuan (suka sama suka). Dia juga membuka sebuah
kesempatan untuk melakukan perdebatan tentang kondom, dan menekankan 'kewajiban
untuk peduli'.
Tetapi apa yang harus dilakukan dalam
menghadapi krisis panggilan, belum lagi ratusan imam setiap tahun yang meminta
diberikan status menjadi umat awam sehingga mereka bisa menikah? Mungkin sudah
waktunya memikirkan tantangan di masa depan, ini adalah pertanyaan yang terlalu
lama menggantung; meninggalkan ranah teori dan merespons situasi konkret?
Itulah poin dari Sinode. Dengan melakukan itu, dia seakan berjalan di atas
kulit telur. Rapuh.
“Francis telah melihat rintangan.
Berdasarkan fungsinya, dia berada dalam situasi untuk bertanggung jawab. Memang
dia yang harus bertanggung jawab. Jadi dia mengambil waktu, dia mendengarkan
semua sudut pandang,” kata Kardinal Lorenzo Baldisseri kepada saya.
Surat-surat yang datang dari keuskupan
sangat mencengangkan. Yang pertama, dipublikasikan di Jerman, Swiss, dan
Austria, itu sangat memberatkan posisi Gereja. Katolik Roma nampak terputus
dari kehidupan nyata; doktrin tidak lagi memiliki arti bagi jutaan keluarga;
umat beriman telah kehilangan pemahaman tentang posisi Roma dalam masalah kontrasepsi,
kondom, kumpul kebo, selibat imamat, dan sampai batas tertentu,
homoseksualitas.
'Otak' dari Sinode, Kardinal Walter
Kasper, yang mengikuti perdebatan dari kelompok berbahasa Jerman dari dekat,
senang melihat ide-idenya divalidasi di tingkat akar rumput. Apakah dia terlalu
yakin pada dirinya sendiri? Apakah Paus terlalu mempercayainya? Faktanya tetap
bahwa teks persiapan sinode itu mengikuti garis yang dibuat oleh Kasper dan
menyarankan pelonggaran posisi Gereja pada pemberian sakramen-sakramen bagi
orang-orang yang bercerai dan menikah lagi secara sipil, dan homoseksualitas.
Vatikan sekarang bersedia mengakui 'kualitas' anak-anak muda yang kumpul kebo, orang-orang
bercerai yang kawin lagi secara sipil, dan relasi homoseksual.
Saat itu, dalam ungkapan sederhana
Baldisseri, muncullah 'reaksi'. Setelah dipublikasikan, teks itu langsung
mendapat kecaman dari para kritikus dari sayap konservatif dalam Kolese para Kardinal,
dengan orang Amerika Raymond Burke sebagai pemimpin mereka.
Kaum tradisionalis menentang
dokumen-dokumen yang telah didistribusikan, dan beberapa, seperti kardinal
Afrika Selatan, Wilfrid Napier, tidak ragu-ragu untuk mengklaim bahwa jika
orang-orang berada dalam 'relasi yang tidak teratur' diakui dan disahkan, maka
hal itu pasti akan mengarah pada legitimasi poligami. Para kardinal Afrika atau
Brasil lainnya membuat paus waspada, karena alasan strategis, terhadap segala
pelonggaran sikap Gereja, karena persaingan dari gerakan evangelikal Protestan
yang berkembang sangat konservatif.
Tentu saja semua pastor ini
mengatakan bahwa mereka terbuka untuk berdebat dan siap untuk menambahkan
catatan kaki dan ketentuan tambahan jika diperlukan. Tetapi mantra rahasia
mereka tidak lain adalah ungkapan Pangeran Lampedusa yang terkenal dan banyak
dikutip di dalam kisah The Leopard:
"Segala sesuatu harus berubah sehingga tidak ada yang tidak berubah."
Francis juga suka mencela, tanpa menyebut nama mereka, 'berhati batu' yang 'ingin
semuanya tetap seperti itu.'
Diam-diam, lima kardinal
ultra-konservatif ('tersangkanya adalah biasa', Raymond Burke, Ludwig Müller,
Carlo Caffarra, Walter Brandmüller dan Velasio De Paolis) sedang mengerjakan
buku karya kolektif mereka untuk membela pernikahan tradisional, yang akan
diterbitkan di Amerika Serikat oleh penerbit Katolik, Ignatius. Mereka berencana membagikannya kepada semua peserta
Sinode - sebelum Baldessari menyita pamflet atau buku itu! Sayap konservatif
berteriak menuduh Baldessari menyensor! Begitulah Sinode sudah menjadi lelucon.
Dari sidang majelis pertama,
poin-poin hukum mengenai pemberian Komuni kepada orang yang bercerai dan
menikah lagi secara sipil, dan mengenai homoseksualitas, menjadi subyek
perdebatan sengit yang memaksa paus untuk merevisi teksnya. Dalam beberapa
hari, dokumen itu diubah dan dipermudah, dan sikap mengenai homosex menjadi sangat
keras. Namun, bahkan versi 'ringan’ yang baru ini ditolak dalam pemungutan
suara terakhir oleh para peserta Sinode.
Serangan terhadap teks itu sangat
kuat, sangat keras, sehingga jelas bahwa paus sendiri yang dikecam. Metodenya,
gayanya, idenya, ditolak oleh sebagian dari Kolese para Kardinal. Yang paling
'kaku', paling tradisional, paling misoginis memberontak. Apakah mereka juga
yang memiliki 'kecenderungan homosex' terkuat? Adalah penting untuk diketahui, bahwa
pada kenyataannya, perang antara kaum konservatif dan liberal ini dimainkan
justru pada masalah gay. Jadi, Anda harus kontra-intuitif untuk
menerjemahkannya. Yang lebih penting lagi adalah kenyataan bahwa beberapa
pemimpin pemberontakan anti-Francis ada yang menjalani kehidupan ganda. Apakah
para homoseksual tertutup ini, yang penuh dengan kontradiksi dan homofobia yang
terinternalisasi, memberontak karena kebencian terhadap diri sendiri atau untuk
menghindari kedoknya terbuka? Bapa Suci begitu jengkel sehingga dia menyerang
para kardinal ini pada ‘tumit Achilles’ mereka: adanya kehidupan pribadi
tersembunyi di balik konservatisme mereka yang berlebihan.
Itulah yang oleh James Alison,
seorang pastor Inggris yang mengaku secara terbuka dirinya gay, sangat
dihormati untuk tulisan-tulisan teologisnya tentang masalah ini, yang diringkas
dalam sebuah frasa yang lebih halus daripada realita, ketika saya berbicara
dengannya beberapa kali di Madrid: “Ini adalah balas dendam dari lemari ! Ini adalah balas dendam dari lemari!” Alison merangkum situasi ini dengan
bahasanya sendiri: para kardinal homoseksual 'di dalam lemari' menyatakan perang terhadap Francis, yang
mendorong kaum gay untuk keluar 'dari lemari’
itu!
Luigi Gioia, seorang biarawan
Benediktin Italia, salah satu direktur Universitas Benediktin Sant'Anselmo di
Roma, memberi saya petunjuk lain tentang apa yang terjadi di Vatikan: “Bagi
seorang homosex, Gereja tampaknya merupakan struktur yang stabil. Dalam
pandangan saya, itulah salah satu penjelasan dari fakta bahwa banyak orang homosex
memilih profesi imamat. Namun ketika Anda harus bersembunyi, agar merasa aman,
Anda perlu merasa bahwa konteks Anda tidak bergerak. Anda ingin supaya struktur
tempat Anda berlindung menjadi stabil dan protektif, dan setelah itu Anda bisa
bergerak dengan bebas di dalamnya. Namun Francis, dengan keinginan untuk
memperbaruinya, membuat struktur itu tidak stabil bagi para pastor homosex yang
tertutup. Itulah yang menjelaskan reaksi keras mereka dan kebencian mereka kepadanya.
Mereka takut."
Sebagai salah satu pemimpin dan saksi
Sinode, Kardinal Baldisseri, meringkaskan bagiannya, dan lebih tepatnya, keadaan
setelah pertempuran: “Ada konsensus tentang segalanya. Kecuali pada tiga isu
sensitif. Faktanya, sebuah mayoritas 'liberal' muncul dari Sinode, tetapi
kuorum yang diperlukan untuk menerima keputusan yang kontroversial, yang
membutuhkan dua pertiga suara, tidak ada. Oleh karena itu, tiga paragraf dari
62 ditolak - dan itulah yang paling pokok. Paus tidak mendapatkan kuorumnya.
Proyek revolusioner Francis tentang keluarga dan homoseksualitas telah dikalahkan.
Francis kalah perang, tapi dia belum kalah
segalanya. Untuk mengatakan bahwa dia tidak senang dengan kegagalannya di dalam
Sinode adalah sebuah eufemisme. Orang ini, otoriter tetapi terus terang, kesal
karena dihadang oleh para kardinal konservatif dalam Kuria. Kemunafikan mereka,
permainan ganda mereka, tidak tahu berterima kasih, telah menentang dia. Manuver-manuver
di belakang layar, yang merencanakan, metode yang jelas-jelas bertentangan
dengan hukum Kuria - itu terlalu berlebihan. Kepada rekan-rekannya, Francis
secara pribadi memberi tahu bahwa dia tidak punya niat untuk menyerah. Dia akan
bertarung dan meluncurkan serangan balasan.
“Dia keras kepala, dia sangat keras
kepala,” saya diberitahu oleh seorang monsignore yang mengenalnya dengan baik.
Reaksi Paus akan dimainkan dalam
beberapa tahap. Pertama-tama, dia dapat mempersiapkan Sinode kedua yang
direncanakan untuk tahun berikutnya, yang memberinya waktu untuk mengatur
strateginya. Kemudian dia memutuskan untuk melakukan kampanye besar-besaran
untuk mendukung usulannya, dari akhir 2014, untuk memenangkan pertarungan ide.
Dia ingin mengubah kekalahan menjadi kemenangan.
Perang ini sebagian besar bersifat
rahasia, tidak seperti perang sebelumnya, yang bersifat partisipatif dan
konsultatif. Terperangkap dalam perangkap demokratisasi, Francis bermaksud
menunjukkan kepada penentangnya apa artinya menjadi raja absolut dalam teokrasi
Caesarian!
“Francis menyimpan dendam. Dia
pendendam. Dia otoriter. Dia adalah seorang Jesuit: dia tidak pernah mau kalah!”
kata seorang nuncio yang memusuhi paus.
Francis memiliki tiga mekanisme yang
bermanfaat yang dapat digunakan ketika harus bereaksi. Dalam jangka pendek, dia
dapat mencoba dan mendorong debat yang lebih modern di seluruh dunia dengan
bergerak pada keuskupan dan opini publik Katolik - itu adalah misi baru yang dia
percayakan kepada Baldisseri dan timnya. Dalam jangka menengah: dengan memberi
sanksi kepada para kardinal yang telah mempermalukannya, dimulai dengan Gerhard
Ludwig Müller, orang yang bertanggung jawab atas doktrin Gereja. Dan dalam
jangka panjang: untuk mengubah komposisi Kolese para Kardinal dengan mengangkat
para uskup yang menguntungkan bagi reformasinya - ini adalah senjata tertinggi,
yang hanya bisa digunakan oleh paus.
Licik dan licin, Francis akan
melakukan serangan menggunakan tiga teknik ini secara bersamaan, dengan
kecepatan luar biasa dan, lawan-lawannya akan berkata: kegemaran yang luar
biasa!
Pekerjaan 'persiapan' untuk Sinode
kedua, yang direncanakan bulan Oktober 2015, sedang berlangsung. Bahkan, itu
adalah mesin perang yang benar-benar beraksi, di lima benua. Para dubes Vatikan,
sekutu, para kardinal yang penurut, semuanya dimobilisasi. Itu seperti Raja Henry
V sebelum Pertempuran Agincourt. Francis memiliki kerajaan untuk dimainkan: “Kita
bukan seorang tiran, tetapi seorang raja Kristen, dan kemarahan kita tunduk
pada keringanan hukuman kita.” Memang ada kekurangan; tetapi ada lebih banyak
kemarahan.
Saya dapat mengikuti nuansa serangan
ini di banyak negara, di mana saya dapat menilai sejauh mana para uskup
terpecah menjadi dua kubu yang tidak dapat didamaikan, seperti misalnya di
Argentina, Uruguay, Brasil atau Amerika Serikat. Pertempuran berkecamuk dimana-mana.
Pertama-tama di Argentina: di sana
paus memobilisasi teman-temannya, basis dukungannya. Teolog Víctor Manuel
Fernández, seorang kolega dekat Francis dan salah seorang penulis pidatonya,
yang baru-baru ini dipromosikan sebagai uskup, segera keluar ke tempat terbuka.
Dalam sebuah wawancara panjang di Corriere della Sera (Mei 2015), dia dengan
ganasnya menyerang sayap konservatif Kuria dan, tanpa menyebut namanya,
Kardinal Müller: “Paus bergerak perlahan karena dia ingin memastikan bahwa
tidak akan ada jalan untuk kembali. Dia mengincar reformasi yang tidak bisa
dikembalikan pada keadaan semula. Dia sama sekali tidak sendirian. Orang-orang
(yang beriman) ada bersamanya. Lawannya lebih lemah dari yang mereka kira ...
Selain itu, tidak mungkin bagi seorang paus untuk menyenangkan semua orang.
Apakah Benediktus XVI menyenangkan semua orang? Itu adalah ‘deklarasi perang’ terhadap sayap Ratzinger, yang
ada di dalam Kuria.
Tidak jauh dari Buenos Aires, Uskup
Agung ‘Bergoglian’ dari Montevideo di Uruguay, Daniel Sturla, menjulurkan
lehernya secara tiba-tiba, mengungkapkan pendapatnya tentang pertanyaan soal homoseksual.
Dia bahkan akan melanjutkan untuk memberikan kontribusi kepada pertanyaan soal gay
di dalam Sinode.
"Saya belum kenal dengan Paus
Francis. Saya mendorong diri saya secara spontan, karena zaman telah berubah
dan di sini, di Montevideo, menjadi tidak mungkin untuk tidak memiliki belas
kasihan kepada kaum homosex. Dan tahukah Anda? Tidak ada oposisi di sini
terhadap sikap saya yang pro-gay. Saya pikir masyarakat berubah di mana-mana,
yang membantu Gereja untuk terus maju dalam pertanyaan itu. Dan semua orang bisa
melihat bahwa homosex adalah fenomena yang sangat luas, bahkan di dalam jantung
Gereja," Sturla mengatakan kepada saya selama percakapan panjang di
kantornya di Montevideo. (Paus Francis menjadikannya kardinal pada tahun 2015.)
Teman Francis lainnya melemparkan
dirinya ke medan perang: Kardinal Honduras, Óscar Maradiaga. Koordinator 'C9',
dewan sembilan kardinal yang dekat dengan Francis, uskup agung itu berkeliling
ke seluruh ibu kota Amerika Latin, mengumpulkan kartu mewah Platinum-nya untuk
terbang dengan pesawat kemana-mana.
Di mana-mana, dia menyampaikan
pemikiran Francis di depan umum, dan menetapkan strateginya dalam sebuah komite
kecil; dia juga merekrut para pendukung, memberi tahu paus tentang para penentangnya
dan mempersiapkan rencana untuk pertempuran. (Pada 2017, kantor Keuskupan Agung
Óscar Maradiaga diguncang oleh dugaan kasus korupsi keuangan yang serius, salah
satu penerima manfaat di antaranya adalah wakilnya dan seorang teman dekat: seorang
uskup pembantu yang juga diduga oleh pers melakukan 'pelanggaran serius dan
hubungan homoseksual' - yang akhirnya dia mengundurkan diri pada 2018. Dalam 'Testimonianza'-nya, Mgr. Viganò juga
menyampaikan penilaian keras tentang Maradiaga yang melindungi orang-orang yang
dituduh melakukan pelecehan homoseksual. Hingga kini, penyelidikan atas
peristiwa tersebut masih berlangsung, dan para wali gereja yang dicurigai, justru
dianggap tidak bersalah.)
Di Brasil, sebuah negara Katolik
besar - terbesar di dunia, dengan komunitas yang diperkirakan 135 juta umat, dan
memiliki pengaruh besar dalam sinode dengan sepuluh kardinalnya - paus
mengandalkan teman-teman dekatnya disana: Kardinal Cláudio Hummes, Uskup Agung
Emeritus dari São Paulo, Kardinal João Bráz de Aviz, mantan Uskup Agung
Brasilia, dan uskup agung baru di ibukota Brasil, Sérgio da Rocha, yang akan
sangat penting bagi sinode, dan yang akan berterima kasih kepada Francis dengan
menjadikannya sebagai kardinal segera setelah itu. Dia memberi mereka tugas
meminggirkan sayap konservatif, yang khususnya diwujudkan oleh Kardinal Odilo
Scherer yang anti-gay, Uskup Agung São Paulo, yang dekat dengan Paus Benediktus
XVI. Pertempuran lama Hummes vs Scherer, yang telah lama menentukan hubungan
kekuasaan di dalam keuskupan Brasil, intensitasnya semakin berlipat ganda. Francis
juga kemudian memberi sanksi kepada Scherer, mengeluarkannya dari Kuria tanpa
peringatan terlebih dulu, sambil mengangkat Sérgio da Rocha pada jabatan
kardinal.
Ketegangan yang berulang itu
diringkaskan kepada saya oleh Frei Betto, seorang biarawan Dominika yang
terkenal dan intelektual Brasil yang dekat dengan mantan presiden Lula, dan
salah satu tokoh kunci dalam teologi pembebasan. “Kardinal Hummes adalah
kardinal progresif yang selalu dekat dengan masalah sosial. Dia adalah teman
Francis, dan Francis dapat mengandalkan dukungannya. Kardinal Scherer, di sisi
lain, adalah orang yang terbatas dan konservatif, yang tidak memiliki jaringan sosial.
Dia sangat tradisional,” kata Betto mengonfirmasi kepada saya ketika kami
bertemu di Rio de Janeiro.
Ketika saya mewawancarainya, Kardinal
Odilo Scherer membuat kesan yang lebih baik pada saya. Ramah dan sedikit nakal,
dia menerima saya dengan kemeja biru langit, dengan pena Montblanc hitam-putih
mencuat dari sakunya, di kantornya yang megah di istana uskup agung di São
Paulo. Di sana, selama wawancara yang panjang, dia sangat berhati-hati untuk
menutupi ketegangan di dalam Gereja Brasil, di mana dia adalah pejabat
tertinggi: “Kami memiliki seorang paus, hanya satu: Francis; kami tidak
memiliki dua, bahkan jika ada paus emeritus. Terkadang orang tidak menyukai apa
yang dikatakan Francis, dan kemudian mereka beralih ke Benediktus XVI; yang
lain tidak suka Benediktus XVI, kemudian mereka mendekati Francis. Setiap paus
memiliki karisma sendiri, kepribadiannya sendiri. Satu paus saling melengkapi
yang lain. Anda tidak dapat mengatur hubungan satu paus terhadap yang lainnya.”
Amerika Serikat adalah negara penting
lainnya, dengan 17 orang kardinal, termasuk 10 dengan hak suara untuk memilih. Sebuah
dunia yang aneh, semuanya, dimana Francis tidak terbiasa dengan hal itu, dan di
mana para kardinal yang keras kepala menjalani kehidupan ganda sangat banyak. Nyaris
tidak memiliki kepercayaan pada kepala Konferensi Waligereja Amerika, Daniel
DiNardo yang bergaya liberal - seorang oportunis yang pro-Ratzinger di bawah
Ratzinger dan kemudian menjadi pro-Francis di bawah Francis - paus mengetahui
bahwa dia memiliki sedikit sekutu di negara ini. Itulah sebabnya dia memilih
untuk bergantung pada tiga uskup ramah gay yang tidak banyak dikenal: Blase
Cupich, yang baru saja dia tunjuk sebagai Uskup Agung Chicago, dan yang
mendukung homosex; Joseph Tobin, Uskup Agung Indianapolis dan sekarang di
Newark, tempat dia menyambut para homosex yang sudah ‘menikah’ dan para aktivis
LGBT; dan yang terakhir, Robert McElroy, seorang pastor pro-gay, liberal, dari
San Francisco. Tiga pendukung Francis di Amerika Serikat ini akan memberikan
dukungan penuh mereka pada Sinode, dan dua yang pertama dihadiahi dengan
ditunjuk sebagai kardinal pada tahun 2016, sementara McElroy akan diangkat
menjadi uskup selama perdebatan dalam sinode nanti.
Di Spanyol, Prancis, Jerman, Austria,
Belanda, Swiss, dan Belgia, Francis juga mencari sekutu dan berkawan dengan
kardinal paling liberal, seperti Reinhard Marx Jerman, Austria Christoph
Schönborn yang ramah, atau pembalap Spanyol Juan José Omella (yang dia jadikan Uskup
Agung Barcelona segera setelah itu, dan kemudian akan menjadikannya sebagai kardinal).
Juga, dalam sebuah wawancara di surat kabar Jerman Die Zeit, paus meluncurkan
sebuah ide dengan masa depan yang cerah: penahbisan viri probati (imam yang menikah) yang terkenal. Alih-alih
menyarankan pentahbisan wanita atau penghapusan selibat bagi para seminaris – sebuah
tantangan untuk kaum konservatif - Francis ingin menahbiskan pria Katolik yang
sudah menikah, sebagai cara untuk mengatasi krisis panggilan, untuk membatasi
homoseksualitas di dalam Gereja dan untuk mencoba menghentikan kasus pelecehan
seksual.
Dalam meluncurkan serangkaian debat
akar rumput, paus menempatkan kaum konservatif pada posisi bertahan. Dia
'memojokkan' mereka, untuk menggunakan kalimat seorang imam yang bekerja untuk
sinode, dan menunjukkan kepada mereka bahwa mereka adalah minoritas di negara
mereka sendiri.
Sikap paus sudah jelas sejak 2014: “Bagi
kebanyakan orang, keluarga (seperti yang dibayangkan oleh John Paul II pada
awal 1980-an) sudah tidak ada lagi. Ada perceraian, keluarga pelangi, keluarga dengan
orang tua tunggal, fenomena kehamilan pengganti, pasangan tanpa anak, hubungan
sesama jenis ... Doktrin tradisional pasti akan tetap ada, tetapi tantangan
pastoral membutuhkan respons kontemporer, yang tidak lagi berasal dari
otoritarianisme atau moralisme.” (ini adalah usulan berani oleh paus ini, yang
belum ditolak, hal ini dilaporkan oleh Kardinal Honduras, Óscar Maradiaga,
teman pribadi Francis.)
Antara dua sinode 2014 dan 2015,
pertempuran antara liberal dan konservatif semakin meluas, dan sekarang meluas
ke semua keuskupan, sementara Francis melanjutkan dengan kebijakannya semula sedikit
demi sedikit.
"Kita tidak harus terlalu
menyederhanakan perdebatan," kata Romilda Ferrauto, seorang jurnalis dari
Radio Vatikan yang ambil bagian dalam kedua sinode, dengan berusaha untuk menambahkan
beberapa perspektif. “Ada perdebatan asli yang mengguncang Tahta Suci. Tetapi
tidak ada liberal di satu sisi dan konservatif di sisi lain. Tidak ada saat
jeda yang murni antara kiri dan kanan; ada banyak nuansa, banyak dialog. Para
kardinal dapat mengikuti Bapa Suci dalam reformasi keuangan dan bukan pada
moralitas, misalnya. Adapun paus Francis, dia dianggap oleh pers sebagai orang
yang progresif. Itu tidak benar: dia penuh belas kasihan. Dia memiliki
pendekatan pastoral: dia mengulurkan tangannya kepada orang berdosa. Sama
sekali berbeda."
Terlepas dari para kardinal yang
dimobilisasi di seluruh dunia, dan Kuria, yang terus gelisah dan kacau, tim
paus juga tertarik pada para intelektual. 'Pembentuk opini' ini, menurut geng
Baldisseri, akan sangat penting bagi keberhasilan sinode. Karenanya perlu pengembangan
rencana komunikasi yang besar dan rahasia.
Di belakang layar, seorang Jesuit
berpengaruh, Pastor Antonio Spadaro, editor La
Civiltà Cattolica, aktif dalam hal ini. “Kami bukan jurnal resmi, tetapi
semua artikel kami dibaca ulang oleh Sekretariat Negara dan ‘disertifikasi’
oleh paus. Kami mungkin menyebutnya sebagai jurnal resmi, setengah resmi,"
kata Spadaro memberi tahu saya di kantornya di Roma. Dan sungguh kantor yang
luar biasa! Villa Malta, Via di Porta Pinciana, tempat jurnal ini dibuat, adalah
lokasi yang luar biasa di daerah sekitar Villa Medici dan Palazzo Borghese.
Antonio Spadaro, yang selalu
mengalami jet-lag dan mabuk kafein, dengan siapa saya telah melakukan enam kali
wawancara dan makan malam, dia adalah ‘ikan-pilotnya’ paus. Dia seorang teolog
dan intelektual, ‘binatang buas’ yang langka di Vatikan saat ini. Kedekatannya
dengan Francis membuat orang-orang cemburu: dia dikatakan sebagai salah satu
dari para ‘gréminence grises’; dalam hal apa pun, dia adalah salah satu
penasihat tidak resminya. Muda, dinamis, dan menawan, Spadaro adalah pria yang
mengesankan. Ide-idenya terbang dengan kecepatan dan kecerdasan yang tinggi dan
jelas. Antonio Spadaro adalah seorang Jesuit yang tertarik pada semua jenis
budaya, terutama sastra. Dia sudah memiliki beberapa buku hasil karyanya,
termasuk esai berwawasan jauh tentang cyber-theology dan dua karya biografi
tentang Pier Vittorio Tondelli, penulis Katolik Italia homosex, yang meninggal
karena AIDS pada usia 36.
"Saya tertarik pada segalanya,
termasuk musik rock," kata Spadaro kepada saya saat makan malam di Paris.
Di bawah Francis, jurnal Jesuit telah
menjadi ruang untuk eksperimen di mana berbagai ide diuji dan debat
diluncurkan. Pada 2013 Spadaro menerbitkan wawancara panjang pertama dengan paus
Francis, tak lama setelah pemilihannya. Ini adalah teks-nya yang menjadi tonggak
sejarah. “Kami menghabiskan tiga kali siang bersama untuk wawancara itu. Saya
terkejut dengan keterbukaan pikirannya, selera dialognya."
Di satu sisi, teks terkenal ini menetapkan
peta jalan untuk sinode yang akan datang. Di dalamnya, Francis mengemukakan
ide-ide inovatif dan metodenya. Mengenai pertanyaan moralitas seksual dan pemberian
Komuni untuk pasangan yang bercerai dan menikah lagi secara sipil, dia
mendukung sebuah debat kolegial dan desentralisasi. Pada saat itulah Francis
pertama kali mengungkapkan gagasannya tentang homoseksualitas.
Spadaro tidak akan melepaskan
pertanyaan tentang gay, mendorong Francis tetap pada barisannya dan
membimbingnya untuk membuat sketsa ‘visi homoseksual yang benar-benar Kristiani.’
Paus meminta agar kaum homosex didampingi 'dengan rasa belas kasihan', dan dia
membayangkan adanya pendampingan pastoral untuk 'situasi perkawinan yang tidak
teratur' dan 'terluka secara sosial' yang merasa 'dikutuk oleh Gereja.' Belum
pernah ada seorang paus yang memiliki begitu banyak empati dan, katakanlah,
persaudaraan, untuk kaum homosex. Ini adalah sebuah ‘revolusi Galileo’ yang
asli! Dan kali ini, kata-katanya jelas tidak diimprovisasi, karena mungkin itu menjadi
dasar bagi kalimatnya yang terkenal: 'Siapakah saya hingga berhak menilai?'
Wawancara telah diedit dengan cermat dan setiap kata dengan hati-hati ditimbang
(seperti yang dikonfirmasikan oleh Spadaro kepada saya).
Namun bagi Francis, inti masalahnya
ada di tempat lain: inilah saatnya bagi Gereja untuk menjauh dari pertanyaan
yang memecah-belah umat beriman dan berkonsentrasi pada masalah-masalah nyata: kaum
miskin, migran, kemiskinan. “Kita tidak bisa hanya menuntut
pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan aborsi, perkawinan homosex dan
penggunaan metode kontrasepsi. Itu tidak mungkin ... Tidak perlu kita terus
membicarakannya setiap saat," kata paus.
Terlepas dari wawancara penting ini,
Antonio Spadaro akan memobilisasi jaringan internasionalnya untuk mendukung
posisi paus dalam keluarga. Jadi, pada 2015, sudut pandang dan wawancara yang
mendukung gagasan Francis muncul di jurnal La
Civiltà Cattolica. Para ahli lain didaftar oleh Spadaro atau oleh
sekretariat Sinode, seperti para teolog Italia Maurizio Gronchi dan Paolo
Gamberini, atau orang Prancis Jean-Miguel Garrigues (yang dekat dengan Cardinal
Schönborn) dan Antoine Guggenheim. Guggenheim segera mendukung diadakannya pengakuan
terhadap ‘perkawinan’ homosex di harian Katolik Prancis La Croix. "Pengakuan akan sebuah kasih yang setia dan abadi di
antara orang-orang homosex," dia menulis, "apa pun tingkat kesucian
mereka, bagi saya merupakan hipotesis yang layak untuk dipertimbangkan. Hal itu
mungkin berbentuk seperti yang biasanya diberikan Gereja kepada doa: sebuah berkat.”
Dalam perjalanan ke Brasil selama
periode yang sama, Spadaro juga bertemu dengan seorang pastor pro-gay, seorang
Jesuit seperti dirinya, Luís Corrêa Lima. Mereka melakukan percakapan panjang,
di kediaman Serikat Yesus di Universitas Katolik di Rio de Janeiro, soal 'pendampingan
pastoral yang mendukung kaum homosex,’ yang diselenggarakan oleh pastor Lima. Terpesona
oleh gagasan ini, Spadaro menulis sebuah artikel tentang masalah ini di La Civiltà Cattolica, meskipun pada
akhirnya tidak pernah jadi. (Terlepas dari Mgr. Baldisseri, Kasper dan Spadaro,
saya mewawancarai Antoine Guggenheim dan Jean-Miguel Garrigues, yang
mengkonfirmasi strategi keseluruhan. Saya juga bertemu dengan pastor Lima di
Rio de Janeiro, dan pergi bersamanya ke wilayah kumuh Rocinha, di mana dia
merayakan misa disana setiap hari Minggu, dan ke ruangan di mana 'pendampingan pastoral'
terhadap kaum LGBT diadakan.)
Seorang intelektual tingkat tinggi
lainnya mengikuti debat pra-Sinode dengan perhatian yang besar. Seorang
Dominikan Italia, juga seorang teolog - bijaksana dan setia - dia tinggal di
Biara Saint-Jacques, bersebelahan dengan perpustakaan Saulchoir yang terkenal
di Paris.
Bruder Adriano Oliva adalah sejarawan
tentang abad pertengahan yang terkenal, seorang Latinist berpengalaman dan
seorang doktor teologi. Yang paling penting, dia adalah salah satu otoritas
paling terkemuka di dunia di Saint Thomas Aquinas: dia memimpin Komisi Leonine
yang terkenal yang bertanggung jawab untuk edisi kritis dari karya-karya
pemikir abad pertengahan - sebuah karya yang berkelas.
Jadi mengapa Bruder Oliva tiba-tiba
mendorong dirinya pada awal 2015, dan mulai menulis buku berisiko yang
mendukung pernikahan berikutnya secara sipil (dengan pasangan lain) dari
orang-orang yang bercerai dan mengesahkan ‘perkawinan’ homosex? Mungkinkah
Dominikan Italia itu didorong langsung oleh sekretariat Sinode, mungkin saja paus
sendiri, untuk ikut campur di dalam debat?
Santo Thomas Aquinas, seperti kita
ketahui, secara umum menjadi panutan yang diandalkan oleh kaum konservatif
untuk menentang pemberian sakramen kepada orang yang bercerai dan menikah lagi,
atau pun pasangan homosex. Oleh karena itu, mengatasi masalah ini secara
langsung adalah berbahaya dan cukup strategis. Judul buku, yang diterbitkan tak
lama setelah itu, adalah ‘Amour.’
Sangat jarang belakangan ini orang
bisa membaca karya yang begitu berani. Meskipun karya ilmiah, analitik, dan
ditulis untuk para spesialis, buku ‘Amour’, hanya dalam 160 halaman, merupakan
karya yang sangat terinci yang merongrong ideologi moralistik Vatikan, dari
Paul VI hingga Benedict XVI. Bruder Oliva, sebagai titik tolaknya, telah mengalami
dua kali kegagalan dalam membela doktrin Gereja: kontradiksi dalam ceramahnya
tentang pernikahan kembali orang yang bercerai, dan kebuntuan di mana Gereja
menemukan dirinya kelabakan dalam soal homosex. Tujuannya adalah jelas: “Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan bahwa perubahan yang diinginkan
dari pihak Magisterium mengenai homosex, dan perbuatan sexual oleh kaum homosex,
tidak hanya agar sesuai dengan studi antropologis, teologis dan eksegetikal
kontemporer, tetapi juga untuk perkembangan tradisi teologis, khususnya tradisi
Thomist.”
Pihak Dominikan menyerang
interpretasi dominan dari pemikiran Thomas Aquinas: berkaitan dengan pusat dari
doktrin, bukan pinggirannya. Bruder Oliva mengatakan: “Kita sudah terbiasa untuk
menganggap sebagai ‘perbuatan melawan alam’ bagi tindakan sodomi dan kecenderungan
homosex. Santo Thomas, di sisi lain, menganggap kecenderungan ini di dalam
sifat orang homosex dilihat sebagai sebuah sifat individu. Bruder Oliva mendasarkan
pemikirannya pada intuisi yang cemerlang dari ‘doktor malaikat’ itu (St.Thomas
Aquinas): … adalah bersifat alami untuk ‘melawan alam' yang melaluinya
seseorang dapat menjelaskan asal usul dari homoseksualitas. Dan Bruder Oliva
mengamati, dengan cara yang hampir seperti Darwin, bahwa ‘St. Thomas
menempatkan asal-usul homoseksualitas pada tingkat prinsip-prinsip alami dari
spesies.'
Bagi Santo Thomas, manusia, dengan
ketidakberesan dan singularitasnya, adalah merupakan bagian dari rencana ilahi.
Jadi, kecenderungan homosex tidak bertentangan dengan alam, karena hal itu berasal
dari jiwa. Bruder Oliva berkata lagi: “Homoseksualitas tidak mengandung sesuatu
yang sesat di dalamnya, begitu juga asal usulnya, dan hal itu adalah wajar bagi
individu dan berakar pada apa yang menjiwainya sebagai manusia, dan tujuannya
adalah untuk mencintai orang lain, yang merupakan tujuan yang baik.” Dan Bruder
Oliva menyimpulkan pemikirannya dengan menyerukan kepada kita semua untuk "menyambut
orang-orang homosex kedalam jantung Gereja dan bukan pada pinggiran Gereja."
Setelah membaca buku ‘Amour,’ para
kardinal, uskup, dan banyak imam mengatakan kepada saya bahwa anggapan mereka
tentang Santo Thomas Aquinas telah berubah, dan bahwa pelarangan terhadap homosex
jelas telah dicabut. Beberapa orang, baik di antara umat beriman maupun di
antara hirarki gereja, bahkan mengatakan kepada saya bahwa buku itu memiliki
efek yang sama pada mereka ketika André Gide's Corydon dan Adriano Oliva
menyelesaikan bukunya dengan mengacu kepada novel Gide ‘If It Die….’ (Ketika saya bertanya kepadanya, Bruder Oliva menolak
untuk mengomentari asal mula bukunya atau untuk membahas hubungannya dengan
Roma. Penerbitnya, Jean-François Colosimo, direktur Éditions du Cerf, lebih bersikap
terbuka, seperti tim Kardinal Baldisseri, yang mengkonfirmasi bahwa mereka
telah mengirim 'permintaan analisis kepada para ahli' termasuk kepada Bruder Oliva.
Pada akhirnya saya menerima konfirmasi bahwa Bruder Adriano Oliva telah disambut
baik di Vatikan oleh Baldisseri, Bruno Forte dan Fabio Fabene - arsitek kepala Sinode.)
Seperti yang diduga, buku itu tidak
luput dari perhatian di kalangan pendukung Thomist (ide St.Thomas Aquinas), di
mana buku itu memiliki efek ‘bom curah.’ Argumen itu mengobarkan kemarahan kalangan
Katolik yang paling ortodoks, terlebih lagi sejak serangan itu datang dari
dalam, yang ditandatangani oleh seorang imam yang tidak dapat dengan mudah dibantah,
seorang penganut Thomist dari antara para Thomist. Lima orang Dominikan dari
Angelicum, Universitas Kepausan Santo Thomas Aquinas di Roma, segera melarikan
diri dari serangan pedas, meskipun beberapa dari mereka sendiri adalah seorang homofil.
Kaum militan yang identik bergabung, dengan kejam menyerang pastor itu karena
berani mengubah sosok Thomas Aquinas menjadi penulis 'ramah-gay'! Di berbagai situs
dan blog, sayap kanan Katolik sangat terusik.
Didukung oleh tokoh dari ordo
Dominikan, yang menjadi sandarannya, Bruder Oliva juga diserang secara
akademis, kali ini, dalam beberapa jurnal Thomist, termasuk artikel setebal 47
halaman. Sebagai balasan, sebuah artikel baru, 48 halaman, yang ditandatangani
oleh Camille de Belloy Dominika (yang juga saya wawancarai) membahas pembelaan
Oliva di Revue des Sciences philosophiques et théologiques. Lebih banyak tindakan
penyelamatan telah dilakukan sejak saat itu ...
Seperti yang bisa kita lihat,
subjeknya memang amat sensitif. Bagi Bruder Oliva, yang mengatakan bahwa dia
bertindak dengan bebas, itu mungkin topik yang paling berbahaya dalam
kariernya. Dan keberanian yang dimiliki seorang Dominikan, seorang sarjana
sekaliber dia tidak mungkin memulai penelitian tentang St. Thomas Aquinas dan tentang
gay semacam itu tanpa mendapat lampu hijau dari jajaran yang lebih tinggi.
Cardinals Baldisseri dan Kasper? Tak perlu dijawab. Karena sudah pasti! Dan
mungkin Paus Francis sendiri!?
Kardinal Walter Kasper telah mengkonfirmasi
intervensi pribadi dari Francis. “Adriano Oliva datang menemui saya di sini.
Kami berbicara. Dia mengirimi saya surat yang saya tunjukkan kepada paus:
Francis terkesan. Dan dia meminta Baldisseri untuk mengiriminya SMS untuk
dikirimkan kepada para uskup. Saya pikir itu adalah teks yang menjadi bahan
buku ‘Amour.’ Dan Kasper menambahkan: "Adriano Oliva melayani Gereja,
tanpa menjadi seorang militan."
Buku ‘Amour’ akan didistribusikan
selama sinode, atas saran paus. Buku itu bukan hanya merupakan satu selebaran
lagi atau esai yang tersendiri dan sedikit bersifat bunuh diri, seperti yang
telah diklaim: buku itu adalah senjata dalam keseluruhan rencana yang disukai
oleh paus sendiri.
Strategi paus, manuvernya, adalah mesin
perangnya yang bergerak melawan kaum konservatif di dalam Gereja, tidak luput
dari perhatian lawan-lawannya. Ketika saya bertanya kepada beberapa klerus anti-Francis,
apakah mereka kardinal atau monsignori, mereka lebih suka bicara tanpa direkam.
Secara tradisi, seorang kardinal tidak pernah berbicara buruk tentang paus di
luar Vatikan. Para Jesuit dan anggota Opus Dei mempertahankan ketidaksetujuan
mereka dengan sikap lebih ‘diam.’ Orang-orang Dominikan lebih bijaksana lagi dan
umumnya mereka progresif, seperti kaum Fransiskan. Tetapi kritik terhadap
Francis cepat menyembur keluar begitu mikrofon dimatikan. Bahkan ada kebencian
yang nyata nampak pada mereka.
Salah satu dari klerus ‘berlidah ular
beludak’ adalah seorang wali gereja kunci di Kuria, yang dengannya saya
mengadakan lebih dari selusin pertemuan, makan siang, dan makan malam.
Singkatnya, paus ini cerdas dan jahat – seperti ular! Aguisel (saya mengubah
namanya) adalah seorang homosex tanpa batas yang, meskipun usianya cukup tua, tetapi
dia tetap seorang yang sangat menarik. Aguisel adalah seorang gay! Dia membuat undangan
kepada para seminaris yang dia undang untuk makan malam dalam kelompok; dia sering
menggoda para pelayan di kafe atau restoran Romawi tempat kami makan malam,
memanggil mereka dengan nama depan mereka. Dan ternyata Aguisel juga menyukai
saya!
"Saya dari Perjanjian
Lama," kata klerus kita ini kepada saya dengan pergantian gaya bicara yang
lucu, ironis, dan jujur.
Aguisel membenci Francis. Dia mencela
Francis karena kecenderungannya untuk 'berkomunikasi', sikap liberalismenya
berkenaan dengan keluarga, dan karena sudut pandangnya yang terlalu
menguntungkan kaum homosex.
"Paus adalah orang yang
fanatik," katanya kepada saya, dan di bibirnya itu bukan istilah pujian.
Suatu hari, ketika kami makan malam
di Campana, sebuah restoran khas Romawi di Vicolo della Campana (sebuah
bangunan di mana Caravaggio sering menjalankan kebiasaannya - homosex), Mgr.
Aguisel menceritakan ketidakmampuan Francis, perubahan arah dan sikapnya yang
selalu terjadi. Paus ini 'tidak konsisten' dalam pandangannya. Tentang homosex dia
mengambil satu langkah ke depan, lalu dua langkah ke belakang, hal ini membuktikan
bahwa dia mempermainkannya. “Bagaimana Francis bisa menyerang teori gender dan,
pada saat yang sama, secara resmi menerima waria Spanyol di Vatikan bersama dengan
tunangannya (sesama jenis) ... Anda tahu, kami bahkan tidak tahu bagaimana menceritakannya!
Itu semua tidak jelas, dan menunjukkan bahwa dia tidak memiliki doktrin, hanya
tindakan komunikasi yang impulsif."
Klerus itu berbisik dengan nada
rahasia: “Tapi tahukah Anda, paus telah membuat banyak musuh di dalam Kuria.
Dia sangat jahat. Dia memecat semua orang. Dia tidak tahan untuk
dipertentangkan dan dibanding-bandingkan. Lihat apa yang dia lakukan pada
Cardinal Müller!”
Saya mengatakan bahwa ada alasan lain
dari permusuhan Francis dengan Müller (Paus memberhentikan Müller dari
jabatannya pada 2017, tanpa pemberitahuan lebih dulu). Teman bicara saya
mengetahui hal-hal yang saya sampaikan, dan dia menyadari bahwa saya mendapat
informasi dengan baik. Tetapi dia sepenuhnya terobsesi oleh gangguan kecil yang
dialami Müller dan sekutunya.
“Paus campur tangan dari tempat yang tinggi,
dan secara pribadi, memecat asisten Müller di dalam Kongregasi untuk Ajaran
Iman. Dari satu hari ke hari berikutnya mereka dipulangkan ke negara mereka!
Tampaknya mereka berbicara buruk tentang paus. Penjahat? Itu tidak benar.
Mereka hanya oposisi. Itu adalah tidak baik, jika Anda menjadi paus, untuk memecat
secara pribadi seorang monsignori yang rendah hati!”
Setelah jeda, Mgr.Aguisel
melanjutkan: “Francis memiliki mata-mata di Kongregasi untuk Ajaran Iman yang
melaporkan segalanya kepadanya. Kamu tahu itu? Dia memiliki mata-mata!
Mata-mata itu adalah sekretaris di bawahnya!”
Terlalu banyak makan, seperti halnya percakapan
saya dengan wali gereja ini. Dia tahu rahasia Kuria, dan tentu saja nama para uskup
dan kardinal yang ‘berpraktek’ homosex. Dia senang meceritakan hal itu kepada
saya, semuanya, meskipun setiap kali dia membelokkan alur pembicaraan mengenai rekannya,
dan dia seolah menyadarkan dirinya sendiri, terkejut oleh keberaniannya berkata.
"Oh, saya terlalu banyak bicara.
Saya terlalu banyak bicara. Tidak seharusnya. Anda harus menganggap saya sangat
nakal!" Saya terpesona oleh kehati-hatian klerus ini selama dialog reguler
kami, yang terbagi dalam wawancara selama puluhan jam dan beberapa tahun. Seperti
semua wali gereja yang saya temui, dia tahu betul bahwa saya adalah seorang
reporter terkenal dan penulis beberapa buku tentang gay. Jika dia berbicara
kepada saya, seperti begitu banyak kardinal dan uskup anti-Francis, itu bukan
karena kebetulan, tetapi karena 'penyakit desas-desus, gosip, dan penyingkapan
skandal' yang membuat Paus mengejek mereka dengan sangat efektif.
"Bapa Suci agak istimewa,"
tambah Mgr. Aguisel. Orang-orang, orang banyak, semua orang mencintainya di
seluruh dunia, tetapi mereka tidak tahu siapa dia. Dia brutal! Dia kejam! Dia
kasar! Dalam hal ini kami mengenal dia, dan dia benci kami."
Suatu hari ketika kami sedang makan
siang di suatu tempat dekat Piazza Navona di Roma, Yang Mulia Aguisel menuntun
tangan saya secara tiba-tiba setelah selesai makan dan dia membawa saya ke
gereja San Luigi dei Francesi.
“Di sini, Anda memiliki tiga Karavan,
dan gratis. Anda tidak boleh melewatkannya.”
Lukisan-lukisan minyak di atas kanvas
- mewah, dengan kedalaman crepuskuler dan kegelapan brutalnya. Saya memasukkan
sebuah koin euro di mesin kecil di depan kapel dan tiba-tiba karya-karya itu
menyala.
Setelah menyapa seorang 'ratu
sakristi' yang telah mengenalnya - seperti di mana-mana, ada sejumlah besar
kaum gay di antara para seminaris dan pastor dari gereja Prancis ini - Aguisel
sekarang memiliki obrolan yang manis dengan sekelompok wisatawan muda, sambil menekankan
gelar kurialnya yang bergengsi. Setelah intermezzo ini, kami melanjutkan dialog
kami tentang homoseksualitas Caravaggio. Erotisme yang dipancarkan oleh karya the Martyrdom of Saint Matthew, dimana
ada seorang lelaki tua di tanah yang dibunuh oleh seorang prajurit telanjang
yang tampan, hal itu menggemakan gambaran Santo Matius dan Malaikatnya, dimana lokasinya
yang sekarang tidak diketahui, yang dinilai terlalu homoerotik untuk menjadi
layak bagi hiasan sebuah kapel! Sedangkan untuk karya-karya the Lute Player, the Boy with the Basket of Fruit and his Bacchus, Caravaggio menggunakan
kekasihnya Mario Minniti sebagai model. Lukisan-lukisan seperti Narcissus,
Konser, Santo Yohanes Pembaptis, dan Amor Vincit Omnia yang aneh (Love Victorious, yang saya saksikan di
Gemäldegalerie di Berlin) telah lama menegaskan ketertarikan pelukis pada anak
laki-laki. Penulis Dominique Fernandez, seorang anggota Académie française,
menulis: “Bagi saya, Caravaggio adalah pelukis homoseksual terbesar sepanjang
masa; maksud saya, dia dengan keras meninggikan ikatan nafsu antara dua
pria."
Bukankah aneh, kalau begitu, bahwa
Caravaggio harus menjadi pelukis favorit Paus Francis, para kardinal tertutup
yang kaku dari Kuria dan para militan gay yang mengorganisir LGBT City Tours di
Roma, dimana salah satu tempat pemberhentiannya adalah merupakan tempat untuk
menghormati pelukis 'mereka'?
Di sini, di gereja San Luigi dei
Francesi, kami menyambut seluruh bus penuh pengunjung. Semakin sedikit umat
paroki dan semakin banyak turis berbiaya rendah! Mereka hanya datang untuk
melihat Caravaggio. Mereka berperilaku vulgar, agar karya-karya itu tidak
pernah ditampilkan di museum! Saya harus mengusir mereka!" demikian Mgr.
François Bousquet, rektor gereja Prancis, dengan siapa saya makan siang dua
kali.
Tiba-tiba, Mgr. Aguisel memiliki
sesuatu yang lain untuk ditunjukkan kepada saya. Dia mengambil jalan memutar
kecil, menyalakan lampu kapel yang indah, dan ini dia: Saint Sebastian! Lukisan
Numa Boucoiran ini ditambahkan ke dalam koleksi gereja pada abad ke-19, atas
permintaan duta besar Prancis untuk Vatikan ("setidaknya lima telah
menjadi homoseksual sejak perang," tambah Aguisel, yang telah
menghitungnya dengan cermat). Dilukis secara konvensional, tanpa kejeniusan
artistik yang hebat, Saint Sebastian
ini masih menyatukan semua kode ikonografi gay: bocah lelaki berdiri,
flamboyan, bangga dan bersemangat, dengan ketelanjangan yang dilebih-lebihkan
oleh keindahan otot-ototnya, tubuh atletisnya ditusuk oleh panah algojo, yang
mungkin adalah kekasih prianya. Boucoiran setia kepada mitos, bahkan jika dia
tidak memiliki bakat dari Botticelli, Le Sodoma, Titian, Veronese, Guido Reni,
El Greco atau Rubens, yang semuanya telah melukis ikon gay ini, atau memang
Leonardo da Vinci, yang menggambarnya hingga delapan kali.
Saya telah melihat beberapa lukisan Santo
Sebastians di museum-museum Vatikan, khususnya yang dibuat oleh Girolamo
Siciolante da Sermoneta, yang begitu menarik dan menyenangkan sehingga dapat
digunakan pada sampul sebuah ensiklopedi budaya LGBT. Dan itu tidak termasuk
Santo Sebastian di Basilika Santo Petrus di Roma, yang memiliki kapel yang
didedikasikan untuk itu, di sebelah kanan pintu masuk, tepat setelah Pietà
Michelangelo. Disitu juga tempat tubuh Yohanes Paulus II dibaringkan.
Mitos Santo Sebastian adalah sebuah kode
terselubung, sangat dihargai, baik secara sadar atau tidak, oleh orang-orang di
Vatikan. Menghapus kode itu berarti mengungkapkan banyak hal terlepas dari
beberapa bacaan yang ditawarkannya.
Sebastian dapat berubah menjadi sosok
ephebophilic, atau sosok sadomasokistik; ia dapat mewakili kepatuhan pasif dari
seorang pemuda atau, sebaliknya, kekuatan bela diri seorang prajurit yang
menentang apa pun yang diperlukan. Dan terutama ini: Sebastian, terikat pada
pohon, dalam kerentanan absolutnya, tampaknya mencintai algojonya, agar
memeluknya.
Dalam 'ekstase kesakitan' ini, dimana
algojo dan korbannya bercampur menjadi satu, adalah metafora yang luar biasa
untuk menggambarkan homoseksualitas di Vatikan. Di dalam Lemari, Sebastian dirayakan setiap hari.
Salah satu dari beberapa penentang
Francis yang setuju untuk berbicara di depan umum adalah kardinal Australia,
George Pell, 'menteri' ekonomi paus. Ketika Pell mendekati saya untuk menyambut
saya, saya duduk di ruang tunggu kecil di Loggia I dari istana apostolik
Vatikan. Dia berdiri, saya duduk: tiba-tiba saya serasa memiliki raksasa di
depan saya. Dia tampak gontai, langkahnya sedikit tidak seimbang.
Diapit oleh asistennya - yang juga
sangat besar, yang berjalan dengan acuh tak acuh, dan yang akan memperhatikan
dengan seksama perbincangan kita - saya tidak pernah merasa sekecil ini dalam
hidup saya. Bersama-sama, tinggi mereka setidaknya empat meter!
"Saya bekerja dengan paus dan
bertemu dengannya setiap dua minggu," Pell memberitahu saya dengan
perlahan. “Kami mungkin memiliki latar belakang budaya yang berbeda: dia
berasal dari Argentina, saya dari Australia. Saya mungkin memiliki perbedaan
pendapat dengannya, misalnya tentang perubahan iklim. Tapi kami adalah
organisasi keagamaan, bukan partai politik. Kita harus bersatu dalam hal iman
dan moralitas. Selain itu, saya akan mengatakan bahwa kita bebas, dan seperti
yang dikatakan Mao Zedong, biarkan seratus bunga mekar bersama ... “
George Pell menjawab pertanyaan saya
dengan gaya Anglo-Saxon, dengan profesionalisme, ketegasan, dan humor. Dia
efisien; dia tahu file-filenya dan juga musiknya. Semuanya ada di sini. Saya
dikejutkan oleh kesopanan kardinal Pell, mengingat bahwa rekan-rekannya telah
mengatakan kepada saya bahwa dia suka bersikap 'brutal' dan 'konfrontatif',
jika tidak menakutkan seperti 'bulldog'. Julukannya di Vatikan: 'Pell Pot'.
Kami berbicara tentang keuangan Tahta
Suci; tentang pekerjaannya sebagai seorang menteri; tentang transparansi yang dia
sibuk terapkan di mana kekeruhan telah begitu lama terjadi.
“Ketika saya tiba, saya menemukan uang
hampir 1,4 miliar euro sedang tidur, dilupakan oleh semua neraca perhitungan!
Reformasi keuangan adalah salah satu dari sedikit subjek yang menyatukan kelompok
kanan, kiri dan tengah di Vatikan, baik secara politik maupun sosiologis.”
"Ada sayap kanan dan sayap kiri
di Vatikan?" saya bertanya memotong.
"Saya pikir semua orang di sini
adalah sebuah variasi dari pusat yang radikal."
Di Sinode, George Pell, yang umumnya
dianggap sebagai salah satu perwakilan dari sayap kanan konservatif Vatikan, seorang
'Ratzingerian', telah menjadi salah satu kardinal yang kritis terhadap Francis.
Seperti yang saya perkirakan, kardinal Pell mengisahkan perselisihannya, yang
telah bocor ke pers, menunjukkan kasus tertentu, jika dia tidak berbicara-ganda:
"Saya bukan lawan dari Francis. Saya seorang pelayan paus yang setia.
Francis menganjurkan diskusi bebas dan terbuka, dan dia suka mendengar
kebenaran dari orang-orang yang tidak berpikir seperti itu."
Beberapa kali George Pell berbicara
tentang 'otoritas moral' Gereja, yang dia lihat sebagai raison d’ttre dan mesin pengaruhnya yang utama di seluruh dunia.
Dia berpikir itu harus tetap setia pada doktrin dan tradisi: Anda tidak dapat
mengubah hukum, bahkan meski jika masyarakat dirubah. Tiba-tiba, garis
pemikiran Francis muncul di 'pinggiran' dan rasa empatinya terhadap homoseksual
membuatnya merasa sia-sia, jika tidak bisa dikatakan salah.
“Memang baik untuk tertarik pada masalah
‘pinggiran.’ Tetapi Anda masih membutuhkan banyak orang yang percaya. Tanpa
ragu, Anda perlu merawat domba yang hilang, tetapi Anda juga harus menaruh
minat pada 99 domba lain yang tetap tinggal bersama kawanan.” (Sejak wawancara
kami, Pell meninggalkan Roma setelah diinterogasi oleh pengadilan Australia
sehubungan dengan kasus-kasus pelecehan seksual yang bersejarah terhadap anak
laki-laki, tuduhan yang dengan keras dia tolak. Proses pengadilannya yang
dipublikasikan, dengan ribuan halaman transkrip, saat ini sedang berlangsung.)
Hasil dari hampir dua tahun
perdebatan dan ketegangan di sekitar sinode menghasilkan sebuah nama yang
indah: Amoris laetitia (kebahagiaan
kasih). Nasihat apostolik pasca-sinode ini memiliki ciri pribadi dan rujukan
budaya ala Francis. Francis bersikukuh pada kenyataan bahwa tidak ada keluarga
yang merupakan kenyataan sempurna; perhatian pastoral harus dikhususkan untuk
semua keluarga, sebagaimana adanya. Kita tidak berbicara tentang keluarga ideal
seperti yang disampaikan oleh orang-orang konservatif yang menentang pernikahan
gay.
Beberapa uskup berpikir, dengan beberapa
pembenaran, bahwa Francis telah kembali pada ambisinya untuk melakukan reformasi,
memilih semacam status quo pada pertanyaan yang paling sensitif. Para pembela
Francis, di sisi lain, melihat Amoris laetitia sebagai sebuah titik balik yang utama.
Menurut salah satu penulis teks ini,
kaum homosex seakan kalah dalam pertempuran Sinode ini, tetapi di sisi lain
mereka masih berhasil memasukkan, dengan cara ‘memukul balik,’ tiga referensi
kode untuk homosex dalam nasihat kerasulan ini: sebuah rumusan tersembunyi
tentang 'persahabatan yang penuh kasih' (§127); sebuah acuan kepada sukacita
kelahiran Santo Yohanes Pembaptis, yang kita tahu telah dilukiskan sebagai
banci baik oleh seniman Caravaggio dan Leonardo da Vinci, yang menggambarkan
sosok Yohanes Pembaptis pada diri kekasihnya, Salaï (§65); dan akhirnya, nama
pemikir Katolik yang akhirnya mengakui homoseksualitasnya, Gabriel Marcel
(§322) ... sebuah Kemenangan tipis!
"Amoris laetitia adalah hasil
dari kedua sinode," kata Kardinal Baldisseri kepada saya. “Jika Anda
membaca bab 4 dan 5, Anda akan melihat bahwa itu adalah teks yang luar biasa
tentang relasi kasih dan kasih itu sendiri. Bab 8, bab tentang subyek yang sensitif,
yang memang benar, itu adalah sebuah bentuk kompromi.”
Sayap konservatif Vatikan tidak
menyukai kompromi itu. Lima orang kardinal, termasuk dua 'menteri' paus,
Gerhard Ludwig Müller dan Raymond Burke, telah mengemukakan ketidaksetujuan
mereka, bahkan sebelum Sinode, dalam sebuah buku berjudul Remaining in the Truth of Christ - sebuah penolakan publik yang jarang
bersifat berisik seperti itu. Kardinal George Pell, menteri yang lain dari Francis,
dan Angelo Scola, melakukan hal yang sama, secara efektif bergabung dengan pihak
oposisi. Tanpa bersekutu secara formal dengan mereka, Georg Gänswein,
sekretaris pribadi terkenal Paus Benediktus XVI, menyampaikan pesan publik yang
juga menegaskan garis penolakan kompromi ini.
Kelompok yang sama mengambil pena
mereka, begitu diskusi Sinode kedua selesai, untuk membuat perselisihan mereka
terbuka. Mereka menyerukan adanya 'kejelasan' tentang 'keraguan' (dubia) dalam Amoris
laetitia, surat itu ditandatangani oleh empat orang kardinal: orang Amerika Raymond Burke, orang Italia
Carlo Caffarra dan dua orang Jerman, Walter Brandmüller dan Joachim Meisner
(segera dijuluki empat kardinal 'dubia' yang artinya ‘ragu-ragu’ dalam bahasa
Latin). Surat mereka diumumkan kepada publik pada September 2016. Paus bahkan sama
sekali tidak berusaha untuk menjawabnya.
Mari kita melihat sebentar pada keempat
'dubia' itu. Dua dari empat kardinal ini baru saja meninggal. Menurut banyak
sumber di Jerman, Swiss, Italia, dan Amerika Serikat, mereka bersifat tertutup
dan memiliki banyak pertemuan 'duniawi' dan persahabatan khusus. Rombongan
salah satu dari mereka diejek dalam pers berbahasa Jerman karena seluruhnya
terdiri dari pemuda tampan dan banci; 'homofilia' miliknya kini telah
dibuktikan oleh wartawan di luar Rhine. Adapun Carlo Caffarra - mantan Uskup
Agung Bologna, diangkat menjadi kardinal oleh Benediktus XVI - yang mendirikan
Institut John Paul II 'untuk studi tentang perkawinan dan keluarga', dia begitu
vokal dalam penentangannya terhadap perkawinan gay sehingga obsesi ini
membuatnya terpinggirkan.
Para kardinal dubia memiliki gaya
mereka sendiri: kerendahan hati yang menonjol dan kemewahan yang besar; ledakan
tawa beriringan dari teman-teman muda mereka yang tampan; gantungan-gantungan dari
sakristi, ‘para ratu liturgi,’ paduan suara dari anak-anak laki yang rambutnya disisir
dengan rapi dari sekolah-sekolah Yesuit dan Inquisition;
bahasa yang cukup menyiksa pendengarnya dan sikap dari abad pertengahan dalam
hal moralitas seksual. Dan di atas semua itu, betapa kurangnya antusiasme mereka
dalam masalah seks yang adil! Keengganan terhadap wanita! Keriangan dalam hal yang
ilahiah. Sikap yang kaku - atau sebaliknya. Selalu berpikir: ‘Perempuan terlalu
banyak protes.’
Memperoleh banyak informasi tentang
'homofilia' dari beberapa dubia ini serta paradoks kehidupan lawan-lawannya – sikap
keras dan kekakuan moral ini - paus sangat tersentak oleh sikap seperti itu.
Sekarang kita melihat bagian ketiga
dari pertempuran Francis melawan para penentangnya: cara Luciferian. Secara
metodis, paus akan menghukum musuh-musuhnya, satu demi satu kardinal dihukum
atau disingkirkan: baik dengan mencopot jabatan mereka (Gerhard Müller
diberhentikan sebagai prefek Kongregasi untuk Ajaran Iman, Mauro Piacenza
dipindahkan tanpa alasan, Raymond Burke dikeluarkan dari jabatannya sebagai
kepala Mahkamah Agung); dengan mengosongkan jabatan mereka dari semua substansi
(Robert Sarah kembali sebagai kepala sebuah pelayanan, sebuah kantung yang
benar-benar kosong, kehilangan semua dukungan); dengan mengabaikan rombongan
mereka (semua rekan kerja Sarah dan Müller telah disingkirkan dan digantikan
oleh para pendukung Francis); atau dengan membiarkan para kardinal itu melemahkan
diri mereka sendiri (contohnya, tuduhan pelecehan seksual terhadap George Pell,
kesalahan penanganan atas masalah ini oleh Gerhard Müller dan Joachim Meisner,
dan pertempuran internal dalam Ordo Malta yang melibatkan Raymond Burke). Siapa
bilang Paus Francis murah hati? Penuh belas kasih?
Pagi ketika saya bertemu Kardinal
Ludwig Gerhard Müller di kediaman pribadinya di Piazza della città Leonina,
dekat Vatikan, saya merasa bahwa saya telah membangunkannya. Apakah dia telah
bernyanyi sepanjang malam? Prefek yang sangat kuat dari Kongregasi untuk Ajaran
Iman ini, dan musuh no. 1 dari Paus Francis, membuka pintunya sendiri ... dan
dia masih mengenakan pakaian tidur. Perjumpaan pertamaku dengan kardinal
memakai piyama!
Di depan saya, saya melihat seorang
lelaki jangkung berkemeja kusut, dengan celana panjang santai, elastis dan
longgar, merek Vittorio Rossi, dan sandal. Sedikit malu, saya tergagap:
"Kami memang mengatur untuk bertemu pukul 9.00?"
“Ya, tentu saja. Tetapi Anda tidak
berencana untuk mengambil foto apa pun, bukan?” tanya mantan kardinal-prefek,
yang sekarang tampaknya menyadari betapa aneh pakaiannya itu.
"Tidak, tidak - tidak boleh
ambil foto."
"Jadi saya bisa tetap berpakaian
seperti ini," kata Müller kepada saya.
Kami duduk di kantornya yang luas, di
mana sebuah perpustakaan yang mengesankan menutupi setiap dinding. Percakapan
memanas, dan Müller tampaknya lebih kompleks daripada yang dikatakan oleh lawannya.
Seorang intelektual yang dekat dengan
Benediktus XVI, ia sangat akrab, seperti paus emeritus, dengan karya Hans Urs
von Balthasar dan Jacques Maritain, dan kami berbicara tentang mereka untuk
waktu yang lama. Müller menunjukkan kepada saya buku-buku mereka di perpustakaannya
yang tertata rapi untuk membuktikan kepada saya bahwa dia telah membacanya.
Apartemen itu klasik, dan jelek menurut
pandangan yang agak bukan-Katolik. Itu adalah sifat yang dimiliki bersama oleh
puluhan apartemen kardinal yang telah saya kunjungi: semi-mewah, setengah jadi,
campuran genre yang tidak cocok, ersatz, dan superfisial, alih-alih kedalaman.
Singkatnya, inilah yang akan saya sebut 'middlebrow'! Itu adalah istilah yang
mereka gunakan di Amerika Serikat untuk hal-hal yang tidak elitis atau kelas
pekerja: itu adalah budaya tengah, budaya antara-dua budaya lain; budaya yang
ada di tengah. Jam art-deco besar, mewah, yang berhenti bergerak jarumnya; laci
bergaya Barok yang terlalu mewah; sebuah meja dari seorang pemadam kebakaran yang
semuanya bercampur menjadi satu. Ini adalah budaya buku catatan moleskin, yang
secara palsu meniru Bruce Chatwin dan Hemingway, legenda-legenda apokrifa. Gaya
seperti itu laksana tanpa gaya sama sekali, hambar dan kusam, dan itu adalah
hal biasa bagi Müller, Burke, Stafford, Farina, Etchegaray, Herranz, Martino,
Ruini, Dziwisz, Re, Sandoval dan banyak kardinal yang mencari 'peningkatan
diri' yang telah saya kunjungi .
Setelah pemecatannya, Müller nampak sangat
berkurang dalam gaya bicaranya ketika saya bertemu dengannya. Paus memecatnya,
tanpa upacara, dari Kongregasi untuk Doktrin Iman, dimana dia telah menjadi
'prefek' disitu sejak Benediktus XVI.
"Apa yang saya lakukan dengan
Paus Francis?" Müller bertanya-tanya. “Katakanlah bahwa Francis memiliki
caranya sendiri dalam melakukan sesuatu, gayanya sendiri. Tetapi Anda akan
mengerti bahwa pertanyaan tentang Francis yang ‘pro’ dan ‘kontra’ hampir tidak
memiliki arti bagi saya. Jubah merah yang kita kenakan adalah tanda bahwa kita
siap untuk memberikan darah kita kepada Kristus, dan melayani Kristus berarti,
untuk semua kardinal, melayani Vikaris Kristus. Tetapi Gereja bukanlah
komunitas robot, dan kebebasan anak-anak Allah memungkinkan kita untuk memiliki
pendapat yang berbeda, gagasan berbeda, perasaan lain, yang berbeda dengan paus.
Tetapi saya ulangi, dan saya bersikeras, itu tidak berarti bahwa kita tidak
ingin menjadi sangat setia kepada paus. Tetapi kami lebih ingin menjadi sangat
setia kepada Tuhan."
Bersama dengan Raymond Burke, Robert
Sarah, Angelo Bagnasco dan Mauro Piacenza, Müller yang setia bergabung dengan
daftar panjang ‘Judas-Judas,’ melakukan banyak serangan licik dan pahit kepada
paus. Dengan sifatnya yang suka bertengkar, kardinal pemberontak ini ingin memberikan
beberapa pelajaran kepada Bapa Suci. Secara diam-diam, dia dengan keras
menentang garis Francis dalam Sinode. Dia telah memberikan wawancara tentang
moralitas yang bertentangan dengan Francis, dan itu menyebabkan meningkatnya
ketegangan dan akhirnya pecah di antara mereka. Mengatakan bahwa dia telah
jatuh ke dalam aib berarti menyiratkan bahwa dia pernah berada dalam keadaan
rahmat. Ada harga tertentu pada galero merahnya selama beberapa bulan. Dan
Francis mencopot jabatannya tanpa ragu selama diskusi yang, menurut Müller,
‘berlangsung sebentar.’ Dan di sini dia, di depan saya, dia memakai pakaian piyama!
Tiba-tiba seorang biarawati, yang penuh
pengabdian, yang baru saja mengetuk pintu dengan lembut, datang dengan membawa teh
buat kardinal, yang telah disiapkannya dengan perawatan ala klerus yang sesuai
dengan Yang Mulia Kardinal, yang telah ‘jatuh.’ Merasa terkejut oleh masuknya biarawati
itu, kardinal nyaris tidak mengawasi dia meletakkan cangkir dan, tanpa ucapan
terima kasih, menyuruhnya pergi dengan agak kasar. Suster yang kuno, yang datang
ke situ dengan rajin, dan kini pergi dengan cemberut. Bahkan seorang pelayan
dalam keluarga kaya akan diperlakukan lebih baik! Saya merasa kasihan padanya
dan kemudian, ketika tiba saatnya untuk pergi, saya ingin pergi dan menemui
suster itu dan meminta maaf atas kekasaran kardinal.
Kardinal Müller adalah orang yang memiliki
banyak kontradiksi. Di Bavaria, di mana dia menjadi uskup, dia dikenang sebagai
uskup yang 'ambigu', dan mungkin bahkan seorang 'skizofrenia', menurut lebih
dari selusin kesaksian yang saya kumpulkan di Munich dan Regensburg. Para imam
dan jurnalis menggambarkan keterkaitan duniawinya kepada saya, di dalam 'Regensburger
Netzwerk.' Dia tampaknya berada di bawah pengaruh Joseph Ratzinger dan
Georg Gänswein.
“Ketika Müller menjadi Uskup
Regensburg, di sini di Bavaria, kepribadiannya tidak bisa dipahami dengan baik.
Hubungannya dengan kardinal terkenal Jerman, Karl Lehmann, seorang liberal dan
progresif, tampak sangat rumit dalam masalah gay: mereka bertukar pendapat sangat
kasar, melalui tulisan-tulisan yang sangat keras, dan bukan menulis apa yang
mungkin diharapkan orang. Lehmann bersikap agak ramah-gay dan heterosex,
sedangkan Müller sangat anti-gay. Pada saat yang sama Müller menjadi tamu tetap
di pesta-pesta Puteri Gloria von Thurn und Taxis di St. Emmeram Castle,” saya
diberitahu oleh seorang jurnalis dari Süddeutsche Zeitung di Munich, Matthias
Drobinski, yang telah meliput gereja Jerman selama 25 tahun. .
Kastil di Regensburg, dengan
keberanian dan kegembiraan tertentu, menggabungkan istana Romawi dan Gothic,
biara Benediktin, sayap barok, dan ballroom rococo dan neo-rococo. Bermain
dengan gaya dan era, istana ini bahkan dikenal milik saudara perempuan Ratu
Sissi! Ini adalah rumah bagi Puteri Gloria von Thurn und Taxis, janda seorang
industrialis kaya yang keluarganya membuat kekayaannya dengan memonopoli
layanan pos pada masa Kekaisaran Romawi Suci, sebelum ini diambil alih oleh
Napoleon. Itu adalah tempat pertemuan pinggiran paling konservatif dari Gereja
Katolik Jerman, yang mungkin telah menjadi nama julukan bagi puterinya 'Gloria
TNT', karena konservatismenya yang meledak-ledak!
Baru saja kembali dari pelajaran
tenis hariannya, si penjaga istana, dengan kemeja polo merah muda monogram yang
cocok dengan kacamata ovalnya yang berkilauan, arloji Rolex-nya dan
cincin-cincin besar yang ditutupi dengan salib, memberi audiensi kepada saya.
Wanita yang luar biasa! Sungguh seperti menonton sirkus!
Kami minum dari segelas anggur di
'Café Antoinette' - dinamai sesuai nama ratu Prancis yang dipenggal - dan
Gloria von Thurn und Taxis, yang sebelumnya dijelaskan kepada saya sebagai
karakter yang kaku dan penampilan yang kasar, namun anehnya, dia lembut dan
ramah terhadap saya. Dia mengekspresikan dirinya dalam bahasa Prancis yang
sempurna.
Gloria ‘TNT’ meluangkan waktu untuk
menceritakan kehidupannya sebagai ‘ratu’; besar warisannya mencapai miliaran,
dengan lima ratus kamar kastil yang harus dijaga, belum lagi 40.000 meter
persegi atap: "itu sangat, sangat mahal," keluhnya, sambil membelalakkan
matanya. Dia kemudian berbicara tentang komitmen politik sayap kanan
reaksionernya; kecintaannya pada klerus, termasuk 'sahabatnya' Kardinal Müller;
dan kehidupannya yang sibuk antara Jerman, New York dan Roma (di mana dia
tinggal di sebuah pied-à-terre bersama
putri lain, Alessandra Borghese, yang memicu desas-desus gila tentang
kecenderungan gaya royalis mereka). Gloria TNT sangat menekankan versi
Katoliknya yang kacau: “Saya beragama Katolik. Saya memiliki kapel pribadi
tempat teman-teman imam saya dapat merayakan misa ketika mereka
menginginkannya. Saya suka ketika kapel itu digunakan. Saya juga memiliki pastor
domestik sendiri, selama lebih dari setahun. Dia sudah pensiun, saya mengajaknya
ke sini. Sekarang dia tinggal bersama kami di sebuah apartemen di kastil: dia
adalah pastor pribadiku,” kata Gloria' TNT 'menjelaskan.
Imam yang dimaksud bernama Mgr.
Wilhelm Imkamp. Meskipun dia memiliki gelar 'monsignore', tetapi dia bukan
seorang uskup.
“Imkamp adalah seorang imam
ultra-konservatif yang terdokumentasi dengan baik. Dia ingin menjadi uskup,
tetapi keinginan itu terhalang karena alasan pribadi. Dia sangat dekat dengan
sayap konservatif radikal Gereja Jerman, khususnya Kardinal Müller dan Georg Gänswein,"
kata wartawan Süddeutsche Zeitung,
Matthias Drobinski, kepada saya di Munich.
Imkamp yang gelisah dan kecewa ini
adalah seorang imam yang penasaran: dia tampaknya cocok dengan Vatikan, di mana
dia adalah 'konsultan' untuk beberapa sidang. Dia juga asisten salah satu
kardinal Jerman yang paling anti-gay, Walter Brandmüller. Mengapa hubungan
aktif ini dan persahabatannya dengan Ratzingerian tidak memungkinkannya untuk
menjadi uskup di bawah Benediktus XVI? Itu adalah misteri yang pantas untuk
dijelaskan.
David Berger, seorang mantan
seminaris dan teolog, sekarang menjadi seorang militan gay, menjelaskan selama
wawancara di Berlin: “Setiap pagi, Mgr. Imkamp merayakan misa dalam bahasa
Latin sesuai dengan ritual kuno di kapel Gloria von Thurn und Taxis. Dia sangat
dekat dengan Georg Gänswein; dia adalah ‘Madonna’ dari kaum gay."
Gloria TNT, bangsawan yang dekaden
ini, tidaklah kekurangan sarana, atau memang paradoks. Dia menggambarkan
koleksi seni kontemporernya, yang menampilkan karya-karya, antara lain, Jeff
Koons, Jean-Michel Basquiat, Keith Haring dan fotografer Robert Mapplethorpe,
termasuk potret yang megah dan terkenal tentang dirinya oleh Mapplethorpe. Koons
masih hidup, sementara dua seniman ini, Haring dan Mapplethorpe, adalah homosex
dan meninggal karena AIDS; Basquiat adalah seorang pecandu narkoba;
Mapplethorpe ditolak oleh sayap paling kanan Katolik Amerika karena karyanya
yang dinilai homoerotik dan sadomasokistik. Kontradiktif?
Sang putri meringkas perasaannya yang
terbagi tentang homoseksualitas dalam sebuah debat dengan Bavarian Conservative
Party (CSU) di hadapan Mgr. Wilhelm Imkamp: “Semua orang dapat melakukan apa
yang mereka sukai di kamar mereka, tetapi itu tidak boleh dirubah menjadi
program politik.” Kami memahami hal itu sebagai kode: toleransi besar untuk homoseksual yang 'tertutup' dan tidak ada
toleransi untuk gay yang ‘terbuka!’
Sebuah ‘koktail peledak,’ sosok 'Gloria
TNT' ini: pemuja religius dan seorang jetsetter aristo-punk; seorang
fundamentalis Katolik yang kuat dan gila yang dikelilingi oleh kaum gay. Sebuah
'cocotte' dari urutan pertama!
Secara tradisional dia dekat dengan
kaum konservatif CSU di Bavaria, selama beberapa tahun terakhir dia tampaknya
telah menyerap ide-ide tertentu dari AfD, partai Jerman reaksioner sayap kanan,
meskipun dia belum secara resmi bergabung dengannya. Dia terlihat berbaris di
samping para deputinya di ‘Demos für Alle’, demonstrasi anti-pernikahan-gay;
dia juga menyatakan, dalam sebuah wawancara, rasa sayangnya untuk Duchess
Beatrix von Storch, wakil presiden AfD, sementara pada saat yang sama mengakui
ketidaksetujuannya dengan partainya.
“Gloria von Thurn und Taxis adalah
ciri khas sifat abu-abu, antara kaum Sosialis Kristen CSU dan sayap kanan yang keras
AfD, yang menyetujui kebencian mereka terhadap ‘teori gender,’ perjuangan
mereka melawan aborsi, pernikahan gay, atau penolakan kebijakan imigrasi dari
Kanselir Angela Merkel,” saya diberitahu oleh teolog Jerman Michael
Brinkschröder di Munich.
Di sini kita berada di jantung dari
apa yang disebut 'jaringan Regensburg', sebuah konstelasi di mana Sun-Queen
Gloria 'TNT' adalah layaknya bintang yang cerah di mana ada 'seribu setan
menari'. Prelatus Ludwig Müller, Wilhelm Imkamp, dan Georg Gänswein selalu
merasa nyaman tinggal di pondok 'ramah' ini di mana pelayan selalu dalam keadaan
siap melayani dan kue-kue dihiasi dengan ‘60
marzipan penises’ (kami diberitahu oleh pers Jerman). Sebagai putri, Gloria
TNT juga memasok layanan purna jual: ia mempromosikan buku-buku anti-gay dari
teman-temannya, para kardinal reaksioner seperti Müller, atau ultra-konservatif
dari Guinea, Robert Sarah, atau dari German Joachim Meisner, dengan siapa dia telah
menulis bersama sebuah buku wawancara. Meisner dianggap sebagai intisari dari
kemunafikan Katolik: dia sekaligus salah satu musuh Paus Francis (salah satu
dari empat 'dubia'); homofob yang berkomitmen; seorang uskup yang dengan
sengaja menahbiskan, baik di Berlin dan Cologne, imam-imam gay; seseorang yang
dikunci dengan kuat di lemari sejak
akhir masa pubernya; dan seorang estetikus yang hidup dengan rombongannya yang
banci dan sebagian besar LGBT. Satu set kualitas yang mengesankan!
Haruskah pemikiran Kardinal Müller dianggap
serius? Para kardinal dan teolog penting Jerman bersikap kritis terhadap berbagai
tulisannya, yang tidak memiliki otoritas, dan pemikirannya yang tidak selalu
dapat dipercaya. Tetapi anehnya, mereka menekankan bahwa dia telah
mengoordinasikan publikasi karya lengkap Ratzinger, yang seakan menyindir bahwa
kedekatan antara kedua pria itu dapat menjelaskan pengangkatannya menjadi
kardinal dan penunjukannya sebagai kepala dari Kongregasi untuk Ajaran Iman.
Penilaian yang keras ini haruslah diperiksa
dengan benar: Müller dijadikan kardinal oleh Francis dan bukan oleh Benedict
XVI. Dia adalah seorang pastor di Peru dan merupakan penulis buku-buku serius,
terutama tentang teologi pembebasan di Amerika Latin, yang memungkinkan kita,
jika tidak menempatkan konservatismenya ke dalam perspektif, setidaknya untuk
menunjukkan kompleksitasnya. Selama percakapan kami, dia bersikeras bahwa dia
adalah teman Gustavo Gutíerrez, 'bapak pendiri' dari gerakan keagamaan ini,
yang dia tuliskan dalam sebuah buku.
Di sisi lain tidak ada keraguan
tentang sikap homofobia-nya: ketika paus menunjukkan empati dalam percakapan
pribadi dengan Juan Carlos Cruz, seorang homosex yang menjadi korban pelecehan
seksual – “Fakta bahwa Anda adalah seorang gay tidaklah relevan. Tuhan menciptakan
Anda seperti apa adanya (sebagai gay) dan Dia mengasihi Anda dalam keadaan seperti
itu (sebagai gay) dan itu tidak masalah bagi saya. Paus mengasihi Anda seperti
itu. Anda harus bahagia sebagaimana adanya," demikian kata Francis – Segera
saja Kardinal Müller membuat serangkaian pernyataan kemarahan dan secara
terbuka dia mengatakan bahwa ‘homofobia adalah tipuan.’
Keparahan ini, kepercayaan diri ini,
tidak sejalan dengan kelambanan yang diperlihatkan Kardinal Müller dalam
kasus-kasus pelecehan seksual yang telah diinformasikan kepadanya. Di bawah
kepemimpinannya, Kongregasi untuk Doktrin Iman, yang bertanggung jawab atas
berkas-berkas pedofil di Vatikan, menunjukkan kelalaiannya (yang ditolak dengan
tegas oleh Muller), dan sedikit empati dengan para korban. Kurangnya
dukungannya juga berkontribusi pada mundurnya seorang Marie Collins, wanita
Irlandia, umat awam, yang berpengaruh besar, yang juga menjadi korban dari
imam-imam pedofil, dari komisi perlindungan anak di bawah umur, yang dibentuk
oleh Vatikan untuk memerangi pelecehan seksual di dalam Gereja.
Pada Sinode tentang Keluarga, Müller
jelas-jelas mendukung oposisi terhadap paus Francis, meskipun dia memberi tahu
saya hari ini, dengan sedikit kemunafikan, bahwa dia tidak ingin menambah
kebingungan pada kebingungan, kepahitan kepada kepahitan, kebencian kepada
kebencian. Dia memimpin pemberontakan 'dubia', dia mengusulkan penolakan pemberian
Komuni untuk orang yang bercerai dan menikah kembali dengan orang lain secara
sipil menjadi sebuah dogma, dan dia terbukti secara radikal memusuhi penahbisan
wanita dan bahkan 'viri probati'. Dia adalah orang yang hafal semua ayat
Perjanjian Lama dan surat-surat yang menyebutkan 'kejahatan' ini – dan dia
mengatakan bahwa orang-orang homoseksual harus dihormati dengan syarat bahwa
mereka tetap hidup suci. Pada akhirnya kardinal tampaknya menjadi lawan yang
kuat dari 'ideologi gender', yang telah dia gambarkan secara kasar, tanpa
kehalusan kalimat seperti yang dia tunjukkan dalam analisisnya tentang teologi
pembebasan.
Paus Francis tidak menghargai kritik
Müller tentang Sinode Keluarga, dan khususnya Amoris Laetitia. Dalam pidato
Natal di tahun 2017, dia mengacu kepada Müller, tanpa menyebut namanya, dengan
mencela orang-orang itu ‘yang mengkhianati kepercayaannya dan membiarkan diri
mereka dicemari oleh ambisi atau kesombongan; dan ketika mereka dengan
hati-hati diusir, secara keliru menyatakan diri mereka sebagai martir dari sistem,
daripada melakukan mea culpa mereka.'
Yang lebih keras lagi, paus mengecam mereka yang berada di belakang 'persekongkolan',
dan yang mewakili 'kanker' dalam kelompok kecil ini. Seperti yang bisa kita
lihat, Francis dan Müller hampir tidak memiliki ‘persyaratan’ terbaik.
Tiba-tiba kami terganggu, selama
percakapan kami di ruang duduk kardinal, oleh dering telepon. Tanpa meminta
maaf, imam itu berjinjit bangkit dan menjawabnya. Setelah melihat nomor yang
tertera di layar, segera dia mengambil pose dan suara yang bersungguh-sungguh:
sekarang dia bersikap sopan santun. Dia mulai berbicara dalam bahasa Jerman,
dengan suara yang indah. Pembicaraan berbunga-bunga berlangsung hanya beberapa
menit, tetapi saya mengerti bahwa itu adalah pembicaraan pribadi. Jika saya
tidak berhadapan dengan seorang pria di depan saya - seorang pria yang telah
mengambil sumpah kesucian - dan jika saya tidak mendengar suara gema dari jauh,
suara bariton, saya akan mengerti itu adalah ‘panggilan intim.’
Kardinal itu kembali dan duduk di
dekat saya, dengan agak khawatir. Dan tiba-tiba dia bertanya kepada saya,
dengan penuh rasa ingin tahu: "Apakah Anda mengerti bahasa Jerman?"
Di Roma, kadang-kadang Anda merasa
berada dalam film Hitchcock. Juga tinggal di gedung yang sama tempat Müller
tinggal adalah musuh besarnya: Kardinal Walter Kasper. Saya bahkan akan
mengenal penjaga gedung art-deco ‘tanpa perasaan,’ kepada siapa saya akan
menyampaikan pesan-pesan yang ditinggalkan oleh dua kardinal yang saling bersaing
itu, atau buku putih terkenal, yang akan saya kirimkan sebagai hadiah untuk
Müller.
Kedua orang Jerman itu telah lama ‘bersilangan
pedang,’ dan pertarungan teologis mereka sangat mengesankan. Mereka mengadakan
pertandingan ulang pada tahun 2014–15: Sebagai inspirasi Francis dan teolog
tidak resmi, Kasper mendapati dirinya dipercayai dengan tugas memberikan pidato
utama untuk Sinode tentang Keluarga, dan Müller yang menghancurkannya!
“Paus Francis harus mengalah, itu
fakta. Dia tidak punya pilihan. Tapi dia selalu tegas. Dia menerima kompromi
saat mencoba mengarahkan jalannya," kata Kasper memberi tahu saya selama
wawancara di rumahnya.
Kardinal Jerman itu mengenakan
setelan gelap yang sangat pantas, berbicara dengan suara yang hangat dan
lembut. Dia mendengarkan, merenung dalam keheningan, sebelum melemparkan
dirinya ke dalam penjelasan filosofis yang panjang, yang mengingatkan saya pada
percakapan panjang saya dengan umat Katolik penggemar jurnal Esprit di Paris.
Ini adalah Kasper, sedang berbicara
tentang Santo Thomas Aquinas, yang sedang dia baca ulang dan yang, dalam
pandangannya, dikhianati oleh para neo-Thomis, para pewarta yang meradikalisasi
dan memperoloknya, seperti yang dilakukan kaum Marxis terhadap Marx dan
Nietzscheans terhadap Nietzsche. Kasper berbicara kepada saya tentang Hegel dan
Aristoteles dan, ketika dia sedang mencari buku karya Emmanuel Levinas dan
berusaha mencari buku lain dari Paul Ricoeur, saya menyadari bahwa saya sedang
berurusan dengan seorang intelektual sejati. Kecintaannya pada buku tidaklah main-main.
Lahir di Jerman pada tahun Hitler
berkuasa, Kasper belajar di Universitas Tübingen, yang rektornya adalah teolog
Swiss, Hans Küng, di mana dia secara teratur bertemu dengan Joseph Ratzinger.
Selama tahun-tahun yang penting itulah kedua persahabatan penting ini dimulai,
yang akan berlangsung sampai hari ini terlepas dari ketidaksepakatan yang
meningkat yang akan dia alami dengan paus masa depan, Benediktus XVI.
“Francis lebih dekat dengan cara
berpikir saya. Saya menghargai dia, saya memiliki banyak kasih sayang padanya,
meskipun pada akhirnya saya tidak terlalu sering melihatnya. Tapi saya juga
menjaga hubungan yang sangat baik dengan Ratzinger, terlepas dari perbedaan
kami."
'Perbedaan' itu bermula pada tahun
1993, dan sudah menyangkut debat tentang orang yang bercerai yang sudah menikah
kembali - keprihatinan Kasper yang sebenarnya, bahkan lebih dari sekadar
pertanyaan tentang homoseksual. Dengan dua uskup lainnya, dan mungkin dengan
dorongan dari Hans Küng, yang telah memutuskan hubungan dengan Ratzinger,
Kasper meminta sepucuk surat dibacakan di gereja-gereja di keuskupannya untuk
membuka debat tentang pemberian Komuni kepada orang yang bercerai dan menikah
lagi. Dia berbicara tentang belas kasih dan kompleksitas situasi individu, persis
seperti Francis saat ini.
Dalam menghadapi tindakan
pembangkangan yang lembut ini, Kardinal Ratzinger, yang saat itu memimpin
Kongregasi untuk Ajaran Iman, menghentikan para petualang ini di tengah jalan.
Dalam sepucuk surat yang cukup keras, dia memperingatkan mereka untuk kembali
ke dalam barisan. Dengan suatu ‘perlawanan tanpa kekerasan,’ Kasper mendapati
dirinya menentang paus masa depan, Benediktus XVI, seperti halnya Müller, yang ‘menghadap
ke arah tetangga sebelah yang lain,’ yang akan dia lakukan terhadap Francis.
Dengan demikian, Kasper – Müller
adalah merupakan garis pemisah sinode, pertempuran lain dilakukan pada 2014–15
setelah dilancarkan dengan bahasa yang sama dan hampir dengan prajurit yang
sama, 25 tahun sebelumnya, antara Kasper dan Ratzinger! Vatikan sering tampak
seperti kapal laut besar yang terhenti di tengah gelombang besar.
"Saya seorang pragmatis," kata
Kasper kepada saya. “Jalan yang ditetapkan oleh Francis, dan strategi langkah
kecilnya, adalah yang benar. Jika Anda bergerak maju terlalu cepat, seperti
dalam penahbisan wanita atau selibat imamat, akan ada perpecahan di antara umat
Katolik, dan saya tidak menginginkan itu terjadi dalam Gereja saya. Bagi orang
yang bercerai, di sisi lain, Anda bisa bergerak lebih jauh. Saya sudah lama
mempertahankan gagasan itu. Ketika saatnya tiba untuk mengatasi pasangan
homoseksual, itu adalah subjek yang lebih sulit: Saya mencoba untuk mengajukan
perdebatan di dalam sinode, tetapi kami tidak didengarkan. Francis menemukan
jalan tengah dengan berbicara tentang orang, tentang individu. Dan kemudian, secara
bertahap, dia memindahkan pokok bahasan. Dia juga putus asa dengan jenis
kebencian tertentu: dia menunjuk wanita di mana-mana: di dalam komisi-komisi,
di dalam dicasteri, di antara para ahli. Dia berbicara dengan iramanya sendiri,
dengan caranya sendiri, tetapi dia memiliki sebuah tujuan sendiri."
Walter Kasper mengambil posisi,
setelah kemenangan atas debat 'pernikahan sesama jenis' di Irlandia, bahwa
Gereja akan menerima vonis melalui pemungutan suara. Referendum pada bulan Mei
2015 ini diadakan antara kedua sinode, dan kardinal Kasper berpikir pada waktu
itu bahwa Gereja harus mempertimbangkannya, ketika dia memberi tahu Corriere
della Sera: dalam pandangannya, pertanyaan tentang pernikahan, yang saat itu masih
‘marginal 'sebelum Sinode pertama, menjadi 'sentral' ketika, untuk pertama
kalinya, pernikahan dibuka untuk pasangan sesama jenis 'dengan melalui pemungutan
suara.' Dan kardinal menambahkan dalam wawancara yang sama: “Sebuah negara yang
demokratis harus menghormati kehendak rakyat. Jika mayoritas warga menginginkan
‘pernikahan’ semacam ini, adalah kewajiban negara untuk mengakui hak-hak
tersebut.”
Kami berbicara tentang semua masalah ini
di apartemennya, selama dua wawancara yang dia berikan kepada saya. Saya
mengagumi ketulusan dan kejujuran kardinal. Kami berbicara dengan sangat bebas
tentang pertanyaan homoseksual dan memang, Kasper terbukti bersikap terbuka; dia mendengarkan, dia mengajukan
pertanyaan, dan saya tahu dari beberapa sumber saya, dan juga dengan intuisi -
dan apa yang dikenal sebagai 'gaydar' - bahwa saya mungkin berurusan dengan
salah satu dari beberapa kardinal di Kuria yang tidak homoseksual. Itulah aturan ketujuh dari Lemari, yang hampir
selalu terbukti benar: para kardinal, uskup, dan pastor yang paling ramah gay,
yang berbicara sedikit tentang masalah homoseksual, umumnya adalah heteroseksual.
Kami menyebutkan beberapa nama
kardinal, dan Kasper sebenarnya mengetahui homoseksualitas beberapa rekannya.
Beberapa di antaranya juga lawannya, yang paling 'kaku' di Kuria Roma. Kami
memiliki keraguan tentang beberapa nama, dan setuju dengan nama yang lain. Pada
tahap ini percakapan kami bersifat pribadi, dan saya berjanji untuk menjaga
kerahasiaan permainan 'jalan-jalan' kecil kami ini. Dia hanya memberi tahu
saya, seolah-olah dia baru saja membuat penemuan yang cukup getir: ‘Mereka
bersembunyi. Mereka berselisih. Itulah kuncinya.’
Sekarang kita mengalihkan perhatian
kita kepada kelompok 'anti-Kaspers' dan, untuk pertama kalinya, saya merasakan
bahwa kardinal Kasper menjadi jengkel. Tetapi pada usia 85, teolog pro Francis ini
tidak lagi ingin berperang melawan orang-orang munafik, kaum reaksioner. Dengan
lambaian tangannya dia menutup debat dan berkata, dalam kalimat yang mungkin
terdengar sia-sia dan sombong, tetapi yang sebenarnya merupakan peringatan
nyata terhadap permainan-permainan kecil tak berguna dari para wali gereja yang
terlepas dari realita dan, lebih buruk lagi, dari realita diri mereka sendiri: “Kami
akan menang.” Dan ketika dia mengucapkan kata-kata itu, tiba-tiba saya melihat
senyum indah muncul di wajah kardinal, sangat angkuh.
Di meja yang posisinya rendah ada sebuah
salinan Frankfurter Allgemeine Zeitung,
surat kabar yang dia baca setiap hari. Kasper berbicara kepada saya tentang
Bach dan Mozart, dan saya bisa mendengar jiwa Jerman-nya bergema. Di dinding
ruang tamu saya melihat sebuah lukisan yang menunjukkan sebuah desa, dan saya bertanya
kepadanya tentang hal itu.
“Anda lihat, itu kenyataan. Desaku di
Jerman. Saya kembali ke daerah saya setiap musim panas. Ada lonceng, gereja.
Pada saat yang sama, saat ini, orang-orang tidak terlalu banyak menghadiri misa
dan tampaknya mereka merasa bahagia tanpa Tuhan. Itu pertanyaan besar. Itu yang
membuat saya khawatir. Bagaimana menemukan jalan Tuhan? Saya merasa kebiasaan
itu telah hilang. Kami kalah perang."
No comments:
Post a Comment