USKUP AGUNG CARLO MARIA VIGANÒ:
KEKEJIAN RITUAL
PENYEMBAHAN BERHALA TELAH MEMASUKI TEMPAT KUDUS ALLAH
by Diane Montagna
ROMA, 6 November 2019 (LifeSiteNews) - Uskup Agung Carlo Maria Viganò mendesak
konsekrasi ulang terhadap Basilika Santo Petrus, sehubungan dengan apa yang ia
sebut sebagai “pencemaran melalui penyembahan berhala yang mengerikan” yang
telah dilakukan di dalam dinding-dindingnya melalui pemujaan terhadap patung
berhala Pachamama.
Dalam sebuah wawancara baru tentang Sinode
Amazon dengan LifeSiteNews, Uskup Agung Viganò mengatakan: “Kekejian dari ritual
penyembahan berhala telah memasuki tempat kudus Allah dan telah memunculkan sebuah
bentuk kemurtadan baru dimana benih-benihnya, yang telah aktif sejak lama, kini
tumbuh dengan kekuatan dan efektivitas yang baru."
Uskup Agung Viganò melanjutkan: “Proses mutasi iman
internal, yang telah terjadi di dalam Gereja Katolik selama beberapa dekade,
telah terlihat dalam Sinode ini adanya percepatan dramatis menuju landasan sebuah
kredo baru, yang diringkas dalam sejenis penyembahan baru. Atas nama
inkulturasi, elemen-elemen berhala telah merasuki penyembahan ilahi untuk
mengubahnya menjadi sebuah pemujaan berhala.”
Klerus dan umat awam sama-sama “tidak boleh
bersikap acuh tak acuh terhadap tindakan penyembahan berhala yang kita saksikan
di Vatikan barusan,” kata uskup agung itu menegaskan. “Sangatlah mendesak agar kita
menemukan kembali makna dari doa, silih dan penebusan dosa, puasa, kurban-kurban
kecil dari bunga-bunga kecil, dan di atas semuanya: adorasi yang hening dan
lama di hadapan Sakramen Mahakudus.”
Dalam wawancara mendalam ini (lihat teks lengkap di bawah), kami
membahas dengan Uskup Agung Viganò apa yang diungkapkan oleh Pachamama tentang
keadaan Gereja dan bagaimana itu merupakan konsekuensi logis dari berbagai
deklarasi ‘menyimpang’ lainnya yang dilakukan oleh kepausan saat ini. Kami juga
berbicara tentang dokumen akhir sinode, yang ia sebut sebagai ‘serangan
langsung terhadap bangunan ilahi,’ Gereja; apa yang diungkapkan oleh Sinode
Amazon tentang ‘sinodalitas’; dan apa yang telah dilakukan oleh para
penyelenggara sinode itu.
Menurut Uskup Agung Viganò, ‘paradigma Amazon’
bertujuan untuk ‘merubah’ Gereja Katolik secara fundamental, selaras dengan
agenda kaum globalis,’ dan ‘berfungsi sebagai permadani untuk mengangkut
sisa-sisa bangunan Katolik menuju agama universal yang tidak jelas.’
“Bagi kita semua, umat Katolik, pemandangan di
dalam Gereja Katolik menjadi semakin gelap dari hari ke hari,” katanya.
"Jika rencana setan ini berhasil, umat Katolik yang memeluknya akan merubah
agama, dan kawanan besar Tuhan kita Yesus Kristus akan berkurang menjadi
minoritas."
"Minoritas ini mungkin akan sangat menderita
... tetapi dengan yang sedikit ini Gereja akan menang," katanya,
mengakhiri pidatonya dengan mengutip kalimat provokatif, profetik dan sesuai
dengan keadaan saat ini dari mistikus dan santo abad ke-14, Bridget dari
Swedia.
Berikut ini adalah wawancara kami
tentang Sinode Amazon dengan Uskup Agung Carlo Maria Viganò.
LifeSiteNews: Yang Mulia, bagaimana Anda
menandai arah narasi sinode? Apakah ada gambaran yang dengan tepat bisa
merangkumnya?
Uskup Agung
Viganò: Bahtera Gereja
ada berada dalam cengkeraman badai yang sedang mengamuk. Untuk memadamkan
prahara ini, para Penerus Para Rasul yang telah mencoba untuk meninggalkan
Yesus di pantai, dan yang tidak lagi merasakan kehadiran-Nya, telah mulai
memohon kepada Pachamama!
Yesus telah bernubuat: “Jadi
apabila kamu melihat Pembinasa keji berdiri di tempat kudus, ... Sebab
pada masa itu akan terjadi siksaan yang dahsyat seperti yang belum pernah
terjadi sejak awal dunia sampai sekarang dan yang tidak akan terjadi lagi.” (Mat
24:15; 21).
Begitulah kekejian dari upacara-upacara penyembahan
berhala telah memasuki tempat kudus Allah dan telah memunculkan bentuk
kemurtadan yang baru, yang benihnya - yang telah aktif sejak lama - tumbuh
dengan kekuatan dan efektivitas yang semakin diperbarui. Proses mutasi iman internal,
yang telah terjadi di dalam Gereja Katolik selama beberapa dekade, telah terlihat
dalam Sinode ini adanya percepatan dramatis menuju fondasi kredo baru, yang diringkas
dalam sejenis penyembahan baru (kultus) . Atas nama inkulturasi, unsur-unsur berhala
merasuki penyembahan ilahi untuk merubahnya menjadi sebuah pemujaan berhala.
Menurut Anda apa
yang paling mengkhawatirkan atau bagian bermasalah dari dokumen akhir Sinode
Amazon?
Strategi dalam seluruh operasi Sinode Amazon
adalah sebuah penipuan, inilah senjata yang disukai iblis: mengatakan setengah-kebenaran
untuk mencapai tujuan yang buruk. Dengan alasan kurangnya imam, mereka
mengatakan perlu membuka diri bagi para imam yang menikah dan diakon perempuan;
juga untuk menghapuskan selibat. Hal itu pertama dilakukan di Amazon tetapi kemudian
akan diberlakukan di seluruh Gereja. Di benua manakah ada evangelisasi pertama
Gereja Katolik dilakukan oleh pastor yang sudah menikah? Misi di Afrika, Asia,
dan Amerika Latin dilakukan terutama oleh Gereja Latin, dan hanya sebagian
kecil oleh Gereja-Gereja Timur dengan klerus yang menikah.
Dokumen akhir dari sinode yang dimanipulasi
secara memalukan ini, dimana kita sudah tahu bahwa agenda dan hasilnya telah
direncanakan sejak lama, itu adalah serangan langsung terhadap bangunan ilahi
Gereja, menyerang kesucian imamat Katolik, dan mendorong penghapusan selibat dan
pembentukan diakon perempuan.
Apa yang
diungkapkan oleh Pachamama ini? Dan apa yang harus dilakukan sebagai tanggapannya?
Di Abu Dhabi, paus Francis menyatakan secara
tertulis bahwa Tuhan ‘menghendaki’ semua agama. Terlepas dari koreksi
persaudaraan yang ditawarkan kepadanya secara langsung dan secara tertulis oleh
Uskup Athanasius Schneider, paus Francis bahkan telah memerintahkan agar
deklarasi sesatnya itu diajarkan di universitas-universitas kepausan dan bahwa
sebuah Komisi khusus telah dibentuk untuk menyebarkan kesalahan doktrinal yang
mengerikan ini.
Konsisten dengan doktrin yang menyimpang ini,
tidak mengherankan jika paganisme dan penyembahan berhala juga harus dimasukkan
di antara agama-agama yang dikehendaki Tuhan (menurut Francis). Paus telah
menunjukkan kepada kita hal ini dan telah menerapkannya secara pribadi,
pencemaran di taman-taman Vatikan dan Gereja Santa Maria di Traspontina, dan
menodai Basilika Santo Petrus, serta Misa penutupan sinode dengan menempatkan
di atas altar Pengakuan, tanaman yang terkait erat dengan penyembahan berhala Pachamama.
Menurut tradisi Gereja, Gereja Santa Maria di Traspontina dan Basilika Santo
Petrus haruslah dikonsekrasikan ulang sehubungan dengan pencemaran melalui penyembahan
berhala yang telah dilakukan di dalamnya.
Pachamama mengungkapkan pelanggaran
terang-terangan dan sangat serius terhadap Perintah Pertama, serta penyimpangan
menuju penyembahan berhala di sebuah ‘Gereja berwajah Amazon.’ Ritus itu, yang
berlangsung di jantung kekristenan, dan yang dihadiri Bergoglio, memperlihatkan
penghargaan kepada sebuah ritus inisiasi agama baru. Pemujaan Pachamama adalah
buah beracun dari ‘inkulturasi’ dengan harga berapa pun, dan ungkapan fanatik
dari ‘Teologi Indian.’ Sinode menawarkan landasan peluncuran untuk sinkretistik
baru ini, gereja neo-pagan, yang didedikasikan untuk pemujaan terhadap Ibu
Pertiwi, hingga mitos naturalis tentang ‘orang biadab yang baik,’ dan terhadap
penolakan model Barat dan gaya hidup masyarakat maju.
Penyembahan berhala ini telah memeterai kemurtadan.
Itu adalah buah dari penolakan terhadap iman yang benar. Hal itu lahir dari
ketidakpercayaan kepada Tuhan dan kemudian berubah menjadi protes dan
pemberontakan. Pastor Serafino Lanzetta baru-baru ini mengatakan:
Menyembah berhala sama dengan menyembah diri
sendiri sebagai ganti Allah ... itu adalah menyembah dewa yang merayu dan
memisahkan kita dari Allah; itulah iblis, seperti yang dengan jelas dapat
dilihat dari Sabda Yesus kepada penggoda-Nya di gurun (lih. Mat 4: 8-10).
Manusia, tidak bisa tidak, harus memuja,,
tetapi dia harus memilih siapa yang akan dipujanya. Dalam mentolerir kehadiran
berhala - Pachamama dalam konteks kita saat ini – bersama dengan iman, dikatakan
bahwa agama pada dasarnya adalah apa yang memuaskan keinginan manusia. Berhala
selalu memikat karena seseorang mengagumi apa yang diinginkannya dan, di atas
segalanya, seseorang tidak harus menanggung banyak sakit kepala karena moral.
Sebaliknya, berhala sebagian besar adalah sublimasi dari semua naluri manusia. Namun,
sakit kepala yang sebenarnya terjadi ketika kebusukan moral menyebar dan
menyerang Gereja. Suatu ‘pengabaian terhadap Allah’ untuk mengejar kenajisan,
untuk menjadi pelacur bagi dewa-dewa lain dengan jalan menukar kebenaran Allah
dengan dusta, dan dengan menyembah dan melayani makhluk-makhluk sebagai ganti
Pencipta (lih. Rom 1: 24-25). Tampaknya Santo Paulus berbicara kepada kita hari
ini. Akar dari kisah sedih dan tragis ini adalah kehancuran dogmatis dan moral.
Kita tidak bisa bersikap diam dan tetap acuh
tak acuh terhadap tindakan penyembahan berhala yang telah kita saksikan dan
membuat kita tercengang. Serangan-serangan ini terhadap kekudusan Bunda Gereja
kita menuntut kita untuk melakukan perbaikan yang benar dan murah hati. Adalah
mendesak bahwa kita menemukan kembali makna doa, reparasi dan silih, puasa,
‘kurban-kurban kecil dari bunga-bunga kecil,’ dan di atas semuanya: adorasi
yang hening dan lama di hadapan Sakramen Mahakudus.
Marilah kita memohon kepada Tuhan untuk kembali
dan berbicara kepada hati Mempelai Perempuan-Nya yang Terkasih, menariknya
kembali kepada-Nya dalam rahmat dari kasihnya yang pertama dan yang tidak dapat
dibatalkan, setelah melakukan kesalahan besar dengan menyerahkan diri kepada
dunia dan pelacurannya.
Apa yang telah ditunjukkan Sinode Amazon kepada
kita tentang sifat ‘sinodalitas?’
Gereja bukanlah sebuah demokrasi. Sinode para
Uskup, sejak Paulus VI menetapkannya dengan Motu
Proprio Apostolica Sollicitudo pada tanggal 15 September 1965, selalu
berurusan dengan masalah-masalah yang menyangkut Gereja universal, dan telah
memberikan kepada para uskup yang mewakili semua konferensi keuskupan di
seluruh dunia, hak untuk berpartisipasi. Sinode Amazon tidak menghormati
kriteria ini.
Gereja di Amazon tentu memiliki masalah besarnya
sendiri, yang karenanya perlu ditangani di tingkat lokal. Untuk
menyelesaikannya, cukup bagi para uskup Amerika Latin untuk mengikuti
rekomendasi yang dibuat oleh Paus Benediktus XVI pada kesempatan kunjungannya
ke Aparecida pada 2007. Namun mereka tidak melakukannya. Memang, selama
beberapa dekade, banyak dari mereka telah mengizinkan, bahkan mendorong, para
penganut teologi pembebasan dan ideologi yang sebagian besar berasal dari Jerman,
dengan para Jesuit berada di garis depan, untuk terus menolak untuk menyatakan bahwa
Kristus sebagai satu-satunya Juru Selamat.
“Waspadalah
terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba,
tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas.” (Mat 7:15). Situasi di bagian Gereja
di Amazon adalah sebuah kegagalan, sebagian karena nuncios apostolik di Brasil,
seperti Sekretaris Jenderal Sinode Para Uskup saat ini, yang mengusulkan
calon-calon uskup seperti yang kita lihat di sinode Amazon. Dengan mengadakan
Sinode di Roma, bukannya mereka mempertahankan
sinode lokal, tetapi justru mereka mengundang para uskup yang dipilih dari
antara orang-orang yang paling buta untuk membimbing orang-orang buta lainnya.
Ini adalah upaya untuk mengekspor dan menyebarkan penyakit kebutaan itu kepada
Gereja universal?
Paus Francis menggunakan istilah ‘sinodalitas’
dengan cara yang sangat kontradiktif dan jalan sinodal yang sangat melenceng! ‘Sinodalitas’
adalah salah satu ‘mantra’ dari kepausan saat ini, solusi ajaib untuk semua
masalah yang mempengaruhi kehidupan Gereja. ‘Pertobatan sinodal,’ yang sangat
diakui telah menggantikan pertobatan kepada Kristus. Inilah tepatnya mengapa ‘sinodalitas’
bukanlah sebagai solusi, tetapi sebagai masalah.
Selain itu, paus Francis tampaknya menganggap
sinodalitas sebagai jalan satu arah: para aktor, konten, dan hasil-hasilnya
direncanakan dan diarahkan dengan cara yang telah ditargetkan dan tidak ambigu.
Akibatnya, lembaga sinodal secara serius dilegitimasi, dan kepatuhan umat
beriman terhadapnya, dirusak.
Orang juga memiliki kesan bahwa sinodalitas ditelikung
dan digunakan sebagai instrumen untuk membebaskan diri dari Tradisi dan dari
apa yang selalu diajarkan oleh Gereja. Bagaimana mungkin sinodalitas sejati bisa
ada, jika disitu tidak ada kesetiaan absolut terhadap doktrin?
Berbicara setelah Angelus tentang pertemuan sinode
yang baru saja ditutup, Francis berkata, “Kami berjalan saling memandang dan
mendengarkan satu sama lain dengan tulus, tanpa menyembunyikan kesulitan.”
Kata-kata ini berbicara tentang sinodalitas yang dilakukan dari bawah, bukan
dari Kristus, Tuhan. atau dengan mendengarkan Kebenaran abadi. Mereka
mencerminkan sinodalitas sosiologis dan duniawi yang hanya melayani proyek-proyek
manusia dan ideologis.
Apakah Anda memiliki pemikiran tentang
bagaimana awak media Vatikan menangani sinode ini? Para kritikus mengatakan mereka
telah kehilangan semua kredibilitasnya.
Selama Sinode kita menyaksikan manajemen
komunikasi gaya Soviet, dengan cara menerapkan ‘versi resmi’ yang hampir tidak
pernah sesuai dengan kenyataan. Ketika bukti kebohongan atau ambiguitas
terungkap oleh begitu banyak jurnalis yang berani, mereka menyangkalnya atau bahkan
mengecam dan menuduh adanya konspirasi.
Pakaian-pakaian pribumi Amazon yang disewakan,
sampai muncul pengaduan resmi kepada panitia, atas dewi Pachamama yang kemudian
dilemparkan ke sungai Tiber! Kemudian muncul pula julukan: Katolik konservatif
dan fanatik, ‘bersikap mundur’ yang tidak percaya pada dialog, orang-orang yang
mengabaikan sejarah Gereja, menurut editorial yang diterbitkan di Vatikan News, lengkap dengan kutipan
dari St John-Henry Cardinal Newman, dan semua itu justru untuk mendukung patung-patung
berhala itu. Namun kutipan Newman, yang menurutnya unsur-unsur berhala disucikan
oleh adopsi mereka ke dalam Gereja, tidak hanya bersaksi atas itikad buruk dari
orang yang menggunakannya tetapi juga menjadi bumerang terhadapnya.
Kutipan Newman sebenarnya menyoroti perbedaan
besar antara praktik bijaksana Gereja Kristus dengan metode kemurtadan
modernis. Memang, Gereja Roma, yang menghancurkan tirani berhala-berhala iblis
(bayangkan penghancuran kuil-kuil Apollo oleh St. Benediktus atau pohon ek suci
oleh St. Bonifasius) dan mendirikan kerajaan Kristus, mengadopsi bentuk-bentuk
agama berhala kuno dan kemudian membaptis mereka kedalam agama Katolik. Di lain
pihak, kaum modernis baru, yang percaya bahwa Tuhan secara positif menghendaki keberagaman agama, dengan senang
hati menyerahkan diri mereka kepada sinkretisme dan penyembahan berhala.
Apa yang secara spesifik dari Gereja dan
Imannya yang sangat berisiko atau terancam oleh Sinode Amazon ini?
Sinode Amazon adalah bagian dari sebuah proses
yang bertujuan untuk merubah Gereja. Kepausan Francis dipenuhi dengan tindakan
sensasional yang bertujuan untuk merusak doktrin, praktik dan struktur yang
hingga kini telah dianggap konsisten dengan Gereja Katolik. Francis sendiri mendefinisikan
proses ini sebagai ‘perubahan paradigma,’ yaitu: pemutusan yang jelas dengan
Gereja yang mendahuluinya.
Dengan Sinode Amazon, utopia gereja-pribumi dan
ekologi baru telah muncul di cakrawala. Ini adalah proyek lama dari
progresivisme Amerika Latin yang sudah ditentang oleh John Paul II dan Kardinal
Ratzinger, tetapi tidak pernah benar-benar diberantas - dan sekarang hal itu sedang
dipromosikan oleh puncak hierarki Katolik. Tujuan dari Sinode ini adalah untuk
bergerak menuju konsekrasi definitif atas teologi pembebasan dalam versi ‘hijau’
(lingkungan) dan ‘suku pribumi.’
Dengan Sinode ini, seperti pada kesempatan
lain, Gereja Katolik tampaknya selaras dengan strategi yang mendominasi kancah kaum
globalisi dan didukung oleh kekuatan dan keuangan yang kuat. Strategi-strategi
ini secara radikal adalah anti-manusiawi dan secara intrinsik anti-Kristen.
Agenda itu bahkan mencakup promosi aborsi, ideologi gender, dan homoseksual,
dan ia membuat teori pemanasan global antropogenik menjadi dogma.
Bagi kita semua, umat
Katolik, pemandangan atas Gereja Kudus menjadi semakin gelap dari hari ke hari.
Tindakan ofensif progresif yang sedang berlangsung menandakan sebuah revolusi
nyata, tidak hanya dalam cara Gereja dipahami, tetapi juga dalam gambaran
apokaliptik yang diberikannya kepada seluruh tatanan dunia. Dengan kesedihan yang mendalam, kita melihat kepausan saat ini yang
ditandai oleh fakta-fakta yang tidak biasa, perilaku dan pernyataan yang
membingungkan yang bertentangan dengan doktrin tradisional, dan yang menabur
keraguan menyeluruh di dalam jiwa-jiwa tentang apa Gereja Katolik itu dan apa
prinsip-prinsipnya yang sejati dan tidak dapat dirubah. Rasanya seolah-olah
kita berada dalam cengkeraman sebuah kekacauan religius dalam proporsi yang
sangat dahsyat. Jika rencana setan ini berhasil, umat Katolik yang menganutnya
akan merubah agama, dan kawanan besar milik Tuhan kita Yesus Kristus akan
berkurang menjadi sebuah kelompok minoritas. Minoritas ini akan banyak menderita. Tetapi ia akan didukung oleh janji
Tuhan kita bahwa gerbang neraka tidak akan menang melawan Gereja, dan bersama Dia
gereja minoritas itu akan menang melalui Kemenangan Hati Maria Yang Tak Bernoda
yang dijanjikan oleh Bunda Maria di Fatima.
Menurut Anda, apa yang telah dicapai oleh para
penyelenggara sinode dari sudut pandang mereka? Kemajuan apa yang telah mereka
buat dalam agenda mereka?
Penyelenggara dan protagonis Sinode tentu saja
telah mencapai salah satu tujuan mereka: untuk menjadikan Gereja lebih Amazon dan Amazon kurang Katolik. Paradigma
Amazon karenanya, bukanlah akhir dari proses transformasi di mana ‘revolusi
pastoral’ yang dipromosikan oleh magisterium kepausan saat ini bertujuan. Ini
berfungsi sebagai catwalk untuk mengangkut apa yang tersisa dari bangunan
Katolik menuju Agama Universal yang tidak jelas.
Paradigma Amazon, dengan pemujaan panteistiknya
atas Bumi Pertiwi dan interkoneksi utopis antara semua elemen alam, haruslah bisa
(menurut spekulasi teologis yang dikembangkan di wilayah Jerman) mengatasi
agama Katolik tradisional melalui ‘Pantheon’ global dan tanpa batas-batas
negara. Sinode ini telah berhasil, dalam arti, menciptakan sebuah gereja Amazon
yang dibentuk oleh seperangkat kepercayaan, ibadah, praktik pagan-sakramental,
liturgi yang diinkulturasi dalam persekutuan dengan Alam, dengan banyak klerus Indian
yang menikah, disertai pandangan atau cita-cita untuk menahbiskan wanita. Ini
adalah langkah yang menyimpang dan benar-benar signifikan dalam agenda ‘Gereja
yang sedang berjalan keluar’ yang sibuk dalam proses Substitusi Besar Agama
Katolik dengan Agama Lain, yang memuliakan Manusia sebagai pengganti Tuhan.
Anda adalah mantan nuncio apostolik untuk Amerika
Serikat. Apa yang Anda pikirkan tentang kaum awam yang membanjiri Vatikan dan
Apostolik Nunciatures dengan surat-surat protes mereka?
”Kerajaan Sorga
diserong dan orang yang menyerongnya mencoba menguasainya.” (Mat. 11:12). Seperti yang dikatakan oleh
Profesor Roberto De Mattei kepada kita: “Kita harus melakukan militerisasi hati
kita dan mengubahnya menjadi Acies
Ordinata. Gereja tidak takut dengan musuh-musuhnya dan selalu menang ketika
orang-orang Kristen bertempur. Musuh kita dipersatukan oleh kebencian mereka
terhadap hal-hal yang baik, kita harus bersatu di dalam kasih demi kebaikan dan
kebenaran. Ini bukanlah pertempuran biasa, tetapi sebuah perang! Sangat
mendesak bahwa ada perlawanan umat Katolik yang bersatu dan terlihat dalam
menghadapi proses pembongkaran diri Gereja yang sedang berlangsung, juga dengan
mengatasi ‘banyak kesalahpahaman yang sering memecah belah medan kebaikan dan
mencari di antara kekuatan-kekuatan ini satu kesatuan tujuan dan tindakan,
sambil mempertahankan identitas sah mereka yang berbeda-beda ”(De Mattei).
Di saat-saat yang paling
mengerikan ini, umat awam, tentu saja, merupakan ujung tombak perlawanan.
Dengan keberanian mereka, mereka harus meminta kita (para gembala) dan
mendorong kita untuk maju, dengan lebih banyak keberanian dan tekad, untuk
membela Mempelai Kristus.
Peringatan dari Santa Catherine dari
Siena yang ditujukan kepada kita, para gembala: “Bukalah matamu dan lihatlah
kesesatan dari kematian yang telah datang ke dunia, dan khusus ke dalam Tubuh
Gereja Kudus. Semoga hati dan jiwamu meledak melihat begitu banyak yang
menentang Tuhan! Sayang, cukup banyak yang bersikap diam! Teriaklah dengan
seratus ribu bahasa. Melalui keheningan, saya melihat itu: dunia sudah mati.
Mempelai Wanita Kristus pucat pasi."
Adakah yang ingin Anda tambahkan?
Marilah kita kutipkan perkataan terakhir dari Allah
Bapa kepada St Bridget dari Swedia, pelindung Eropa:
Allah Bapa berbicara, sementara seluruh pasukan
surgawi mendengarkan, dan Dia berkata:
"Di hadapanmu Aku menyatakan keluhan-Ku
bahwa Aku memberikan putri-Ku kepada seorang pria yang akan menyiksanya dengan keras
dan mengikat kakinya ke tiang kayu hingga semua sumsumnya terlepas dari
kakinya." Sang Putra menjawab, "Bapa, Aku menebusnya dengan Darah-Ku
dan mempertunangkan dia dengan diri-Ku sendiri, tetapi sekarang dia telah
ditangkap dengan paksa." Dan Bapa berseru, “Putra-Ku, Aku berbagi rasa dengan
ratapan-Mu, perkataan-Mu adalah milik-Ku, karya-Mu adalah karya-Ku. Kamu di
dalam Aku dan Aku di dalam Kamu. Semoga kehendak-Mu tergenapi."
Kemudian Sang Bunda berkata, “Engkau adalah
Tuhan dan Allahku. Tubuhku mengandung anggota tubuh Putra-Mu yang terberkati,
yang adalah Putra-Mu yang sejati dan Putraku yang sejati. Aku tidak menolak apa pun di dunia demi
Dia. Demi doa-doaku, kasihanilah putrimu, Gereja!"
Bapa menjawab, “Karena kamu tidak menolak apa
pun di dunia, maka Aku juga tidak ingin menolak apa pun di surga. Semoga
kehendakmu terjadi."
Setelah ini, para malaikat berkata: "Engkau
adalah Tuhan kami. Di dalam Engkau kami memiliki segala hal yang baik, dan kami
tidak membutuhkan apa pun selain Engkau. Ketika Engkau memilih Mempelai Wanita
ini, kami semua bersukacita; kini kami memiliki alasan untuk bersedih, karena
dia telah diserahkan ke tangan orang-orang terburuk yang menentang dia dengan
segala macam penghinaan dan pelecehan. Maka kasihanilah dia sesuai dengan
rahmat-Mu yang agung, dan tidak ada yang menghibur dan membebaskannya kecuali Engkau,
Tuhan, Allah Yang Mahakuasa.”
Kemudian Dia berkata kepada para malaikat:
“Kamu adalah para sahabat-Ku dan nyala kasihmu membakar hati-Ku. Aku akan
mengasihani putri-Ku, Gereja-Ku, demi kasih kepada doa-doamu.” (Revelations,
Book I, Chapter 24).
Sekali lagi, marilah kita mengizinkan St.
Bridget untuk berbicara:
“Ketahuilah bahwa
jika ada paus yang memberi izin kepada imam untuk melakukan kontrak perkawinan
duniawi, dia akan dikutuk secara spiritual oleh Tuhan ... Allah akan sepenuhnya
menghentikan paus itu dari penglihatan dan pendengaran spiritual serta
kata-kata dan perbuatan spiritual. Semua kebijaksanaan spiritualnya akan
menjadi beku sama sekali. Kemudian, setelah kematiannya, jiwanya akan
dilemparkan ke dalam neraka untuk disiksa selamanya, di sana dia menjadi
makanan iblis untuk selamanya dan tanpa akhir. Ya, bahkan jika Paus St.
Gregorius sendiri telah menetapkan hal ini, dia (paus yang memberi izin kepada
imam untuk melakukan kontrak perkawinan duniawi) tidak akan pernah memperoleh
pengampunan dari hukuman itu, kecuali dia dengan rendah hati mencabut
keputusannya sebelum mati.” (Revelations,
Book VII, 10).
Tuhan,
kasihanilah Gereja-Mu, demi kasih
akan doa-doa dan kesengsaraan kami!
No comments:
Post a Comment