DI DALAM LEMARI VATIKAN
Frếdếric Martel
KEKUASAAN
HOMOSEXUALITAS
KEMUNAFIKAN
DAFTAR ISI
CATATAN DARI PENULIS DAN PENERBIT
|
|
|
|
Bab 1. Domus Sanctae Marthae
|
|
Bab 2. Teori Gender
|
|
Bab 3. Siapakah Saya Hingga Berhak Menilai?
|
|
Bab 4. Buenos Aires
|
|
Bab 5. Sinode
|
|
Bab 6. Roma Termini
|
|
BAGIAN II - PAULUS
|
Bab 7. Kode Maritain
|
BAGIAN II
PAULUS
Bab 7
Kode Maritain
Kardinal Paul Poupard memiliki salah
satu perpustakaan terbaik di Vatikan: Saya menghitung ada 18 rak dengan
masing-masing rak terdiri atas 11 tingkat. Sebagai ukuran kasar, rak itu
melengkung, menempati seluruh ruang resepsi oval besar.
“Ada hampir 15.000 buku seluruhnya,” kata
Cardinal Poupard memberi tahu saya dengan kesederhanaan yang terasa
dibuat-buat. Dia menerima saya dengan memakai sandal, dikelilingi oleh tumpukan
folio dan naskah berhiaskan tanda tangannya, dalam salah satu kesempatan dari
banyak kunjungan saya.
Kardinal dari Perancis itu tinggal di
lantai paling atas dari sebuah istana yang terhubung dengan Tahta Suci,
menghadap ke Piazza di San Calisto, di distrik bobo Trastevere di Roma. Istana
itu luas; begitu pula apartemennya. Dua biarawati Meksiko melayani Yang Mulia
Kardinal, yang duduk dalam kemegahan seperti seorang pangeran di istananya.
Menghadap perpustakaan, kardinal
memotretnya di atas sebuah tripod. Sebuah karya besar, ditandatangani oleh
seniman Rusia, Natalia Tsarkova, yang juga pernah diduduki oleh John Paul II
dan Benedict XVI. Cardinal Poupard duduk santai dengan anggun, duduk di kursi yang
tinggi, satu tangan dengan lembut membelai dagunya, yang lain memegang
halaman-halaman pidato tulisan tangannya. Di jari manis kanannya: terselip cincin
keuskupan dihiasi dengan batu biru-hijau khas Veronese.
“Seorang seniman membuat saya berpose
monoton selama hampir dua tahun. Dia ingin gambar itu sempurna, dan agar
seluruh ‘alam semesta’ saya mengisi lukisan itu. Anda dapat melihat buku-buku,
biretta merah, itu sangat pribadi,” kata Poupard memberi tahu saya. Kemudian
dia menambahkan: "Saya nampak jauh lebih muda ..."
Di belakang Dorian Grey ini, yang
modelnya tampaknya berumur lebih tua daripada potretnya, saya perhatikan ada dua
lukisan lain, tergantung di dinding.
"Itu adalah dua karya penulis
Katolik Perancis, Jean Guitton, yang memberikannya kepada saya," kata Poupard
menjelaskan.
Saya melihat pada plaster hiasan
dinding. Cukup menarik seperti potret pada kuda-kuda, berupa gereja Guittons
biru dan terlihat seperti warna Chagall pucat.
Dengan menggunakan tangga hijau,
kardinal dapat mengambil buku-buku pilihannya dari perpustakaannya. Dia
memamerkan karya-karyanya sendiri dan cetakan artikel-artikel dari jurnal
teologis yang tak terhitung jumlahnya, yang memenuhi seluruh rak. Kami
berbicara lama tentang penulis francophone yang dia sukai: Jean Guitton, Jean
Daniélou, François Mauriac. Dan ketika saya menyebutkan nama Jacques Maritain, seorang
filsuf Katolik terkenal, Kardinal Poupard berdiri, nampak gemetar oleh
kegembiraan. Dia berjalan menuju rak untuk menunjukkan kepadaku karya lengkap dari
filsuf Perancis itu.
“Paul VI yang memperkenalkan filsuf Jacques
Maritain kepada kardinal Poupard. Hal itu terjadi pada 6 Desember 1965, saya
ingat dengan sangat jelas."
Kardinal Poupard sekarang berbicara
tentang dirinya sebagai orang ketiga. Pada awal diskusi kami, saya merasakan
kegelisahan yang samar-samar: bahwa saya mungkin lebih tertarik pada sosok Jacques
Maritain daripada karya Poupard. Dan di sini dia nampak bersemangat, tanpa
mengedipkan mata.
Kami membahas panjang lebar karya
Jacques Maritain dan hubungannya yang terkadang penuh badai dengan penulis
André Gide, Julien Green, François Mauriac dan Jean Cocteau, dan terlintas
dalam benak saya bahwa semua penulis Kristen pra-perang Perancis ini sangat
berbakat. Mereka juga homosex. Mereka semua. Homosex!
Sekarang kita kembali untuk berdiri
di depan plaster hiasan dinding Jean Guitton, yang diperhatikan kardinal Poupard
seolah mencari rahasia mereka. Dia memberi tahu saya bahwa dia telah menyimpan
hampir dua ratus surat dari Maritain: korespondensi yang tidak diterbitkan yang
mungkin saja mengandung banyak rahasia. Berdiri di depan lukisan Guitton, saya
bertanya pada kardinal Poupard tentang seksualitas mentornya itu (Maritain).
Bagaimana mungkin pria yang terpelajar dan misoginis ini, seorang anggota
Académie française, yang pada dasarnya menjalani hidupnya dalam kesucian,
dengan model Jacques Maritain, hanya di akhir hidupnya dia menikahi seorang
wanita yang jarang dia bicarakan, yang jarang dilihat siapa pun, dan wanita itu
secara prematur meninggalkannya sebagai duda, dan setelah itu dia tidak pernah
berusaha menikah lagi?
Kardinal itu meluncurkan tawa
Mephistophelian yang kontinyu, ragu-ragu, dan kemudian berkata: "Jean (Jacques
Maritain) diciptakan untuk punya istri, sama seperti saya diciptakan menjadi
tukang sepatu!" (Dia memakai sandal.)
Kemudian, tiba-tiba dia nampak serius,
dengan hati-hati menimbang kata-katanya, dia menambahkan: “Kita semua adalah lebih
rumit daripada yang kita pikirkan. Di belakang penampilan garis lurus, ada
banyak hal-hal yang lebih kompleks.”
Kardinal Poupard, yang pada dasarnya
sangat pandai mengendalikan dan menahan diri, serta menjaga emosinya, namun
kali ini dia terbuka untuk pertama kalinya. Dia menambahkan: “Menahan nafsu
bagi Maritain, bagi Guitton, adalah cara mereka sendiri untuk berdamai dengan
berbagai hal; itulah cara mereka melakukannya. Masalah pribadi, sejak dahulu
kala."
Dia tidak mengatakan lebih dari itu.
Dia menebak bahwa dirinya mungkin sudah keterlaluan dalam berbicara. Dan dengan
melakukan kepura-puraan yang terampil, dia dengan berani menambahkan kutipan
ini, yang akan sering dia ulangi selama percakapan reguler kami: "Seperti
Pascal, penulis favorit saya, akan mengatakan: itu semua adalah dari urutan
yang berbeda."
Untuk memahami Vatikan dan Gereja
Katolik, pada zaman Paulus VI atau hari ini, Jacques Maritain adalah titik
masuk yang baik. Saya secara bertahap menemukan pentingnya kode (Maritain) ini,
suatu kata sandi yang kompleks dan rahasia ini, kunci nyata untuk memahami Lemari. Itulah kode Maritain.
Jacques Maritain adalah seorang
penulis dan filsuf Perancis yang meninggal pada tahun 1973. Dia tidak dikenal
di kalangan masyarakat umum saat ini, dan karyanya tampaknya ketinggalan zaman.
Namun demikian, pengaruhnya sangat besar dalam kehidupan keagamaan Eropa abad
kedua puluh, terutama di Perancis dan Italia, dan itu adalah contoh buku teks
untuk penyelidikan saya.
Buku-buku dari orang-orang yang
bertobat menjadi Katolik ini masih sering dikutip oleh Paus Benediktus XVI dan
Francis, dan kedekatannya dengan dua paus sebelumnya, Yohanes XXIII dan Paul
VI, terbukti dengan baik, dan khususnya menarik bagi kita.
“Paul VI memandang dirinya sebagai
salah satu murid setia Jacques Maritain,” kata kardinal Poupard menegaskan
kepada saya.
Paus masa depan, Giovanni Montini, (paus
Paulus VI) seorang pembaca yang antusias dari karya-karya Maritain dari tahun
1925 dan seterusnya, bahkan menerjemahkan salah satu bukunya (Three Reformers: Luther, Descartes, Rousseau)
dan juga menulis kata pengantar untuk buku itu. Setelah menjadi Paus Paulus VI,
dia tetap berhubungan sangat dekat dengan teolog dan filsuf Prancis itu, dan
bahkan mempertimbangkan untuk mengangkat Maritain sebagai kardinal.
“Saya ingin meletakkan rumor itu ke
tempat tidur sekali dan untuk selamanya. Paul VI sangat menyukai Maritain,
tetapi tidak pernah ada pertanyaan untuk mengangkatnya menjadi kardinal," kata
kardinal Poupard, menggunakan kalimat yang sopan bagi saat itu.
Jelas bukan kardinal; tapi Maritain
masih memikat Paul VI. Bagaimana kita bisa menjelaskan pengaruh yang tidak
biasa itu? Menurut beberapa saksi yang saya wawancarai, hubungan mereka
bukanlah suatu kerja sama secara diam-diam atau pertemanan pribadi, seperti
yang terjadi antara Paul VI dan Jean Guitton: karena paham 'Maritainisme'
benar-benar melakukan ketertarikan abadi pada Gereja Italia.
Harus dikatakan bahwa pemikiran
Maritain, yang berfokus pada dosa dan berkonsentrasi pada rahmat, menggambarkan
sebuah agama Katolik yang murah hati, meskipun terkadang naif. Kesalehan
ekstrim Jacques Maritain, imannya yang tulus, kedalaman pemikiran yang
mengagumkan, memberi contoh yang mengesankan Roma. Semangat politik dari
karyanya melakukan yang selebihnya: di Italia pasca-fasis, Maritain membela
gagasan bahwa demokrasi adalah satu-satunya bentuk politik yang sah. Dengan
melakukan hal itu, dia menunjukkan jalan menuju perpecahan yang penting antara
umat Katolik dan anti-Semitisme dan ekstremisme ultra-kanan. Hal ini
berkontribusi pada rekonsiliasi orang-orang Kristen dengan demokrasi: di Italia
hal itu mengantarkan pada jalan untuk persahabatan yang panjang antara Vatikan
dan Demokrasi Kristen.
Mantan pastor Curia, Francesco Lepore,
membenarkan pengaruh Jacques Maritain pada Vatikan: “Karya Maritain cukup
penting untuk dipelajari bahkan hingga hari ini di universitas-universitas
kepausan. Masih ada ‘lingkaran Maritain’ di Italia. Dan sebuah kursi Maritain
bahkan baru-baru ini diresmikan oleh presiden Republik Italia."
Kardinal Giovanni Battista Re,
'menteri' urusan dalam negeri John Paul II, memberi tahu saya tentang kesenangannya
kepada Maritain dalam dua pertemuan saya di Vatikan, dan menyampaikan banyak pendapat
dari wali gereja yang lain yang mengalami sesuatu yang sangat mirip: “Saya
hanya punya sedikit waktu dalam hidup saya untuk membaca. Tetapi saya telah
membaca tulisan-tulisan Maritain, Daniélou, Congar, Life of Christ Mauriac.
Ketika saya masih sangat muda, saya membaca semua karya penulis itu. Bahasa Perancis
adalah bahasa kedua bagi kami. Dan Maritain adalah titik rujukan kami."
Kekaguman yang sama juga disuarakan
oleh Kardinal Jean-Louis Tauran, 'menteri' urusan luar negeri di bawah John
Paul II, yang saya wawancarai empat kali di kantornya di Roma: “Jacques
Maritain dan Jean Guitton memiliki pengaruh yang sangat besar di sini, di
Vatikan. Mereka sangat dekat dengan Paulus VI. Nama dan ide Maritain bahkan
lebih banyak dikutip di bawah Yohanes Paulus II.”
Namun, seorang diplomat asing yang
berpengaruh di Tahta Suci menempatkan daya tarik ini ke dalam pandangannya
sendiri: “Orang Katolik Italia menyukai sisi mistis Maritain, dan menghargai
kesalehannya, tetapi pada akhirnya mereka menemukan bahwa dia terlalu
berapi-api. Tahta Suci selalu takut pada orang awam yang fanatik ini!”
Wakil Dekan Kolese para Kardinal,
orang Perancis, Roger Etchegaray, yang saya temui dua kali di apartemen
besarnya di Piazza di San Calisto di Roma, membuka matanya lebar-lebar ketika
saya mengucapkan nama kode Maritain.
"Saya kenal Jacques Maritain
dengan baik."
Kardinal itu, yang sudah lama menjadi
duta besar 'terbang' bagi John Paul II, berhenti sejenak, menawari saya cokelat
dan kemudian menambahkan, ketika dia telah mendapatkan kembali ketenangannya: “Ketahuilah.
Itu adalah sesuatu yang tidak mungkin. Anda tidak bisa mengenal seseorang.
Hanya Tuhan yang benar-benar mengenal kita."
Kardinal Etchegaray mengatakan kepada
saya bahwa dia mengajak Maritain ke rumahnya di Perancis Selatan dimana dia akan
menghabiskan masa pensiunnya disana, setelah menunda selama 20 tahun. Termasuk
buku-buku karya Maritain, juga buku-buku Julien Green, François Mauriac, André
Gide, Henry de Montherlant, dan karya-karya Jean Guitton, yang juga merupakan
teman dekatnya. Dan semua penulis ini, tanpa kecuali, adalah homofilik atau
homoseksual.
Tiba-tiba kardinal Roger Etchegaray
memegang tangan saya dengan penuh perhatian seperti dari tokoh-tokoh di
Caravaggio. "Apakah kamu tahu berapa umur saya?" Kardinal bertanya
kepada saya.
"Kurasa begitu, ya ..."
"Saya sudah 94 tahun. Kamu tidak
akan percaya, kan? Umur sembilan puluh empat tahun. Di usia saya, bacaan saya,
ambisi saya, rencana saya agak terbatas."
Pengaruh abadi dari Maritain berakar
dengan pemikiran teologis dan politisnya, tetapi juga memberi makan orang
banyak melalui contoh kehidupannya. Di jantung misteri Jacques Maritain adalah
pernikahannya dengan Raïssa, istrinya, perempuan, serta perjanjian rahasia yang
menyatukan mereka. Pertemuan antara Jacques dan Raïssa awalnya dibangun pada pertobatan
ganda yang spektakuler menjadi Katolik: sebelumnya dia Protestan; dia orang
Yahudi. Bersatu oleh cinta yang penuh gairah, pernikahan mereka bukannya tanpa
cinta atau pun kenyamanan. Itu bukanlah pernikahan type borjuis, bukan
pernikahan pengganti, meskipun Maritain mungkin ingin menggunakannya untuk
menghindari kesepian, dan apa yang kadang-kadang disebut 'kesedihan pria tanpa
wanita'.
Dari sudut pandang ini, pernikahan
itu mengingatkan pada penulis seperti Paul Verlaine, Louis Aragon atau,
kemudian, Jean Guitton. Hal itu juga menggemakan pernikahan André Gide yang
terkenal, dengan sepupunya Madeleine, yang tampaknya tidak pernah
disempurnakannya: “Istri Gide menggantikan ibunya sebagai simbol dari tiang pengekang
yang harus selalu dapat ia kembalikan, dan tanpa itu tiang kegembiraan lainnya,
pembebasan, penyimpangan, akan kehilangan semua maknanya,” demikian tulis
George Painter, penulis biografi Gide. Penulis The Vatican Cellars itu juga menyeimbangkan antara kebebasan dengan
keterbatasan.
Bagi Jacques Maritain, ada dua kutub:
yaitu istrinya Raïssa, dan dunia kedua, yang bukan berupa dunia penyimpangan,
tetapi dari 'kecenderungan yang ramah.’ Bukannya menyerah kepada 'Iblis,’ karena
iblis akan menggoda dia melalui kebaikan persahabatan.
Jacques Maritain dan Raïssa (pria-wanita,
suami-istri) membentuk pasangan yang ideal - tetapi tanpa seks dalam sebagian
besar hidup mereka. Heteroseksualitas trompe-loeil
ini bukan hanya pilihan berdasarkan agama (versi mereka), seperti yang mereka
percayai dalam waktu yang lama. Pada tahun 1912, para pengikut Maritain
memutuskan untuk mengambil sumpah kesucian bersama (suami-istri; tidak
melakukan hubungan sex), yang tetap rahasia untuk waktu yang lama. Apakah
pengorbanan keinginan sexual suami-istri ini merupakan hadiah bagi Tuhan? Ongkos
bagi keselamatan kekal? Itu adalah mungkin. Para pengikut Maritain banyak berbicara
tentang 'persahabatan spiritual.' Mereka berkata bahwa mereka 'ingin saling
membantu (pasangannya) untuk bisa sampai kepada Tuhan' (tanpa melakukan
hubungan sex antara suami-istri). Di balik norma hubungan pria-wanita versi Cathar
ini, orang bisa melihat adanya pilihan sex yang populer: homosex, karena jenis
hubungan seperti itulah yang disukai oleh banyak kaum homosex. Karena rombongan
Maritain memang termasuk sejumlah besar kaum homoseksual.
Sepanjang hidupnya, Jacques Maritain
adalah seorang pria yang memiliki 'persahabatan yang penuh cinta' dengan
tokoh-tokoh homoseksual terbesar di abadnya: terbukti bahwa dia adalah teman
atau orang kepercayaan Jean Cocteau, Julien Green, Max Jacob, René Crevel dan
Maurice Sachs, juga dengan François Mauriac, seorang penulis 'tertutup' yang
kecenderungan asmara sejatinya tidak hanya diwujudkan, tetapi dilampiaskan setelah
penerbitan biografinya yang penting oleh
Jean-Luc Barré.
Di rumah mereka di Meudon, Maritain
dan Raïssa terus-menerus menerima umat Katolik selibat, intelektual
homoseksual, dan pemuda tampan dengan keramahtamahan paling efusif. Dengan
semacam hikmat yang sangat disukai rombongan banci itu, sang filsuf Maritain tidak
henti-hentinya berbicara tentang dosa homoseksual, dan berseru 'Aku
mencintaimu' kepada teman-teman mudanya, yang dia sebut sebagai 'dewi' - yang
memilih untuk tidak memiliki kehidupan seks dengan istrinya, dan karenanya
tidak memiliki anak.
Homoseksualitas adalah sebuah obsesi Jacques
Maritain. Teman dekat Paul VI ini selalu kembali kepada obsesinya, seperti
diungkapkan dalam korespondensi yang sekarang diterbitkan. Tentu saja, dia melakukannya
secara terpisah dan, kita dapat mengatakan: ‘jalan Ratzingerian'. Maritain
ingin menyelamatkan kaum gay yang ia undang ke kotanya di Meudon, untuk
melindungi mereka dari 'Kejahatan.' Kebencian terhadap diri sendiri, mungkin. Tetapi
memperhatikan orang lain juga, tulus dan jujur. Tempres Autres.
Kontra-intuitif, Katolik fanatik ini
hampir tidak tertarik pada Katolik yang lebih ortodoks, sebagai kelompok yang
lebih heteroseksual. Dia tentu saja berkorespondensi secara teratur dengan
pastor Jesuit, Henri de Lubac, seorang kardinal masa depan, dan kurang bergaul
dengan penulis Paul Claudel. Dia juga mengenal Georges Bernanos secara
profesional, tetapi persahabatannya ‘yang bergairah’ dengan orang-orang seperti
itu jarang terjadi.
Di sisi lain, Maritain tidak
melewatkan satu pun tokoh homoseksual besar pada masanya. Dia benar-benar
memiliki ‘gaydar’, seperti yang akan kita katakan saat ini. Adalah fakta bahwa
Maritain mengkhususkan diri dalam berbagai pertemanan yang bersifat homosex
dengan dalih mencoba membawa beberapa penulis 'sesat’ terbesar abad kedua puluh
agar kembali kepada iman dan kesucian. Dan untuk menjauhkan para penulis ini
dari dosa dan kemungkinan neraka - karena pada masa itu kondisi homoseksual
masih memiliki bau belerang (busuk) atas dirinya - Maritain mengatur tentang tata
cara mengawasi mereka, 'memilah-milah masalah mereka', sebagaimana dia katakan,
yang mengharuskannya untuk menghabiskan banyak waktu bersama mereka! Jadi André
Gide, Julien Green, Jean Cocteau, François Mauriac, Raymond Radiguet dan
Maurice Sachs terlibat dalam dialog dengannya, seperti hampir semua homoseksual
terkenal saat itu. Secara sepintas, dia mencoba untuk mempertobatkan mereka dan
membuat mereka menjadi suci; dan kita tahu bahwa pertobatan dan keteguhan, sebagai
upaya untuk menekan kecenderungan homosex ini, tetap merupakan sikap yang klasik
sampai akhir 1960-an.
Implikasi dari debat ini bagi subjek
kita sangatlah besar. Kita tidak dapat memahami Paus Yohanes XXIII, Paulus VI
atau Benediktus XVI, atau sebagian besar kardinal di Kuria Roma, jika kita
tidak menguraikan kode atau paham 'Maritainisme' ini sebagai ajaran intim yang
disublimasikan atau diwujudkan. Di Italia, di mana Maritain serta beberapa literatur
Katolik dan homoseksual, memiliki pengaruh yang cukup besar, dimana seluruh
hierarki Vatikan mengetahui topik tersebut dalam hati mereka.
Salah satu sejarawan paling penting
dari literatur gay di Italia, Profesor Francesco Gnerre, yang telah menerbitkan
teks-teks penting tentang beberapa penulis, termasuk Dante, Leopardi dan
Pasolini, menjelaskan keadaan yang aneh ini kepada saya selama beberapa kali diskusi
di Roma.
“Tidak seperti Perancis, yang
memiliki tokoh Rimbaud dan Verlaine, Marcel Proust, Jean Cocteau dan Jean
Genet, dan banyak lagi lainnya, literatur homoseksual hampir tidak ada di
Italia sampai tahun 1968. Pertama kali homoseksualitas muncul di halaman depan
surat kabar Italia ada pada tahun 1970-an, dengan Pasolini sebagai tokohnya. Sampai
saat itu, kaum homoseksual Italia harus puas dengan membaca publikasi dari Perancis.
Hal itu agak mirip bagi umat Katolik Italia, yang sejak lama membaca tulisan-tulisan
Katolik Perancis, yang sangat berpengaruh di sini. Tetapi yang benar-benar luar
biasa adalah bahwa mereka adalah para penulis yang persis sama: homosex!"
Mari kita masuk ke detailnya di sini.
Kita harus, karena rahasia Lemari
didasarkan pada 'kode Maritain' ini serta pertempuran yang membuat Jacques
Maritain melawan empat penulis utama Perancis: André Gide, Jean Cocteau, Julien
Green, dan Maurice Sachs.
Dengan Gide, untuk memulai,
perdebatan dianggap gagal. Korespondensi Maritain dengan the Protestan Gide, Gide's Diaries, dan sebuah pertemuan panjang
antara kedua pria itu di akhir 1923, membuktikan bahwa Maritain ingin mencegah
penulis hebat itu untuk menerbitkan bukunya, Corydon, sebuah risalah yang berani di mana Gide mengungkapkan tentang
dirinya dan menguraikan pandangan militan atas empat buah dialog tentang
homoseksualitas. Jadi Maritain pergi ke rumahnya untuk meminta kepadanya, dalam
nama Kristus, untuk tidak menerbitkan buku itu. Dia juga khawatir tentang
keselamatan jiwanya setelah penerbitan buku itu, yang merupakan pengakuan atas
homoseksualitasnya. Gide seakan melihat terbitnya buku itu datang dari kejauhan.
Dan karena aturannya mengenai kehidupan, yang merupakan jantung moralitas dari
karyanya Fruits of the Earth, adalah agar
dia berhenti melawan godaan, maka dia tidak berniat kehilangan kebebasannya
untuk menyerah pada permintaan dari pengkhotbah yang pemarah ini.
"Aku benci berbohong,"
jawab Gide kepadanya. “Mungkin di situlah Protestantisme saya berlindung. Umat
Katolik tidak menyukai kebenaran.”
Maritain melakukan banyak upaya untuk
mencegah penulis menerbitkan risalah kecilnya itu. Tetapi tidak berhasil.
Beberapa bulan setelah pertemuan mereka, André Gide, yang telah lama menerima keadaan
homoseksualitasnya secara pribadi, menerbitkan bukunya Corydon dengan nama aslinya. Dan Jacques Maritain, seperti halnya François
Mauriac, sangat ketakutan.
Mereka tidak akan pernah memaafkan
Gide karena 'melangkah keluar'.
Pertempuran kedua terjadi melawan
Jean Cocteau, dengan topik yang sama. Maritain sudah lama berteman dengan Jean Cocteau,
dan cengkeramannya lebih ketat kepada penulis muda yang bertobat daripada terhadap
penulis besar Protestan itu. Selain itu, di Meudon, Jean Cocteau masih tampak
berperilaku baik dan sebagai seorang Katolik yang teliti. Tetapi ketika dia
jauh dari Maritain, dia memiliki banyak kekasih (homosex), termasuk Raymond
Radiguet muda, yang akhirnya dia kenalkan kepada Maritain. Anehnya, pria dari Meudon
itu, bukannya menolak hubungan homoseksual yang sangat tidak wajar ini, tetapi
dia juga mencoba menjinakkan kekasih muda Jean Cocteau. Radiguet, seorang ahli
sastra yang telah menulis novelnya The
Devil in the Flesh pada usia 20, dan kemudian mati tak lama setelah menderita
demam tifoid, mengatakan tentang masa ini, dalam ungkapan yang indah: “Ketika
kamu tidak menikah, kamu akan dipertobatkan.”
Tapi Maritain gagal lagi. Jean
Cocteau mengambil langkah besar dalam penerbitan bukunya, White Book, pertama secara anonim dan kemudian dengan nama aslinya,
di mana dia mengakui homoseksualitasnya.
"Rencana ini adalah jahat,"
Maritain menulis kepadanya. “Ini adalah pertama kalinya Anda secara terbuka menyatakan
kepatuhan Anda pada kejahatan. Ingat Wilde dan kemerosotan yang berlangsung
sampai kematiannya. Jean, ini adalah keselamatanmu yang dipertaruhkan, itu adalah
jiwamu yang harus aku pertahankan. Antara iblis dan aku, pilih siapa yang kau
cintai. Jika Anda mencintaiku, Anda tidak akan menerbitkan buku ini dan Anda
akan membiarkan saya menyimpan naskahnya.”
"Aku butuh cinta, dan untuk
bercinta dengan jiwa-jiwa," adalah jawaban berani dari Jean Cocteau.
Buku The White Book memang akan diterbitkan. Pertentangan antara kedua
pria itu akan semakin dalam, dan hubungan mereka yang berupa 'persahabatan yang
penuh kasih,' yang telah dihentikan untuk sementara waktu, kini diteruskan
terlepas dari segala sesuatu yang terjadi, seperti yang ditunjukkan oleh
korespondensi mereka. Selama kunjungan baru-baru ini ke biara Dominikan di
Toulouse, tempat Jacques Maritain menghabiskan tahun-tahun terakhir hidupnya,
Bruder Jean-Miguel Garrigues membenarkan kepada saya bahwa Jean Cocteau terus
mengunjungi Maritain sampai kematiannya, dan bahwa dia sering datang untuk
menemuinya di Toulouse.
Pertempuran ketiga berjalan lebih
baik untuk Maritain, meskipun hal itu juga berakhir dengan kekalahannya oleh
Julien Green. Selama hampir empat puluh lima tahun kedua lelaki itu terlibat
dalam korespondensi reguler. Mistis dan sangat religius, dialog mereka
dimainkan di ketinggian yang luhur. Tetapi di sini sekali lagi dinamikanya
didasarkan pada sebuah 'luka': yaitu homoseksualitas. Julien Green dihantui
oleh hasrat prianya, yang telah ia alami sejak masa mudanya sebagai bahaya yang
sulit untuk didamaikan dengan kasih Allah. Maritain menebak rahasia Julien Green
meskipun dia tidak pernah secara eksplisit menyebutkannya selama beberapa
dekade pertama korespondensi mereka. Tak satu pun dari mereka yang menyebut
tentang 'kecenderungan homosex,' yang menggerogoti mereka, terutama ketika
mereka berusaha menyembunyikan hal itu.
Jacques Maritain, juga seorang yang
baru bertobat, mengagumi Julien Green atas pertobatannya pada tahun 1939, yang
merupakan hasil dari 'kampanye' seorang Dominikan yang percaya bahwa imamat
adalah solusi bagi masalah homoseksualitas (sejak itu kami menemukan bahwa
pastor Dominikan ini adalah juga seorang gay). Maritain mengagumi penulis itu
atas ketekunannya, yang jauh lebih mengagumkan karena ia menggunakan iman untuk
melawan kecenderungan homoseksualnya.
Namun, selama bertahun-tahun, Julien
Green telah berubah, dan pada akhirnya ia mengambil langkah penting: ia mulai
dengan mengungkapkan jati dirinya dalam pekerjaannya, untuk menjadi homoseksual
secara terbuka (saya juga berpikir tentang South,
bukunya), dan juga mulai merenungkan kehidupan romansanya di siang bolong,
seperti yang dibuktikan oleh buku Diaries-nya,
dan oleh akun yang diberikan oleh kekasihnya yang terkenal. (Korespondensi
Julien Green yang lengkap dan tanpa sensor masih akan dipublikasikan. Menurut
informasi yang saya terima, kesaksian itu bukan hanya mengenai homoseksualitas
aktif Julien Green, tetapi juga obsesi nyata dengan gay-sex.)
Pertempuran keempat, yang dia juga
kalah - dan sungguh kalah! – Dia bertengkar dengan teman sejatinya, penulis bayangan
dari tahun-tahun antar-perang, Maurice Sachs. Sebagai orang Yahudi yang pindah ke
agama Katolik, Maurice Sachs dekat dengan Jacques Maritain, yang ia panggil
sebagai ‘Jacques tersayang'. Tapi dia juga seorang homoseksual muda yang
antusias. Dia rajin berdoa, tetapi dia tidak dapat menjadi seminaris yang
memalukan karena persahabatannya yang beracun. Dalam novelnya Le Sabbat, narator, yang memberi tahu
teman-temannya bahwa ia telah pergi ke 'Seminari', ditanya apakah ini klub gay
baru! Kritikus sastra Angelo Rinaldi menulis tentang diri Maurice Sachs: “Seorang kepala biara pada gilirannya
mengenakan jubah dan pakaian dalam merah muda ... berlindung di kabin sauna di
mana ia menghabiskan hari-hari bahagia sebagai bayi yang rakus.” Maurice
Sachs akan segera ditarik ke dalam setiap jenis moral busuk dari neraka yang
tersedia. Setelah 1940 anak didik Jacques Maritain ini akan menjadi kolaborator
dan pétainiste, dan, meskipun ia
seorang Yahudi, ia akan berakhir sebagai informan Nazi sebelum meninggal, dibunuh
di ujung parit dengan peluru di belakang leher, oleh seorang pria anggota SS
pada tahun 1944 – sebuah cara hidup yang tidak terpikirkan, semuanya.
Keempat pertempuran yang kalah dari Jacques
Maritain mengungkapkan, di antara fakta-fakta lain, obsesi seorang filsuf
dengan homoseksualitas. Hubungan Maritain dengan pertanyaan soal gay, menurut
saya, lebih dari sekadar sebuah pengakuan belaka.
Di sini saya menggunakan kata 'gay'
dengan sebuah tujuan, sebagai anakronisme yang disengaja. Jika kita lebih suka dengan
kata-kata yang spesifik dengan zamannya sendiri - dan untuk alasan itu saya
menggunakan konsep 'persahabatan yang penuh cinta', 'homofilia' atau
'kecenderungan' bila perlu - kita juga kadang-kadang harus memanggil sesuatu
dengan nama mereka. Sudah terlalu lama tertulis di buku pelajaran sekolah bahwa
Rimbaud dan Verlaine adalah 'teman' atau 'pendamping', dan bahkan hari ini saya
membaca di museum-museum Vatikan yang menggambarkan Antinous sebagai 'teman favorit'
Kaisar Hadrian, padahal sebenarnya dia adalah kekasihnya. Di sini penggunaan
anakronistis kata 'gay' berbuah secara politis.
Selain terhadap Kristus atau Santo
Thomas Aquinas, keasyikan besar lainnya dalam kehidupan Jacques Maritain adalah
terhadap masalah gay. Jika dia tidak mempraktikkan homoseksualitas, atau hanya melakukannya
sangat sedikit, dia mengalaminya dengan kecemasan yang sama paniknya dengan
iman Katoliknya. Dan itu adalah rahasia Jacques Maritain, dan salah satu
rahasia imamat Katolik yang paling tersembunyi: pilihan selibat dan kesucian adalah
produk dari sublimasi atau penindasan diri.
Karena bagaimana mungkin Maritain bisa
berteman dengan semua penulis gay di masanya, 'para ratu nasional yang luhur'
dari sastra (mengutip ungkapan lain Angelo Rinaldi), ketika Maritain juga
sangat membenci homoseksualitas? Apakah dia homofob? (anti homosex) Apakah dia
seorang voyeur? Apakah dia terpesona oleh lawannya, seperti yang telah diperkirakan?
Saya tidak percaya bahwa hipotesis ini benar-benar meyakinkan. Kebenaran adalah
jauh lebih nyata dari kepekaannya yang sebenarnya.
Pengakuan Jacques Maritain ditemukan
dalam sepucuk surat kepada Julien Green tahun 1927. Di sini istilah dan
pengertian dialog tampaknya terbalik: sementara Julien Green masih tersiksa
oleh dosa homoseksualitasnya, tetapi Jacques Maritain yang, dalam korespondensi
mereka, tampaknya telah menemukan solusi untuk apa yang ia sebut 'kejahatan
misterius ini.'
Dan apa yang dia sarankan untuk Julien
Green? Kesucian. Dihadapkan dengan 'cinta yang steril' dari homoseksualitas,
'yang akan selalu bersifat buruk, sebuah bentuk penolakan yang mendalam
terhadap salib,' Jacques Maritain mempertahankan 'satu-satunya solusi' di
matanya: 'cinta kepada Tuhan di atas segalanya,' yaitu: berpantang. Obat yang
ia tawarkan kepada Julien Green, yang sudah diresepkan juga untuk Gide, Cocteau
dan Maurice Sachs, yang ternyata menolaknya, adalah yang ia dan Raïssa pilih:
substitusi tindakan seksual dengan iman dan kesucian.
“Injil tidak memberi tahu kita untuk
memutilasi hati kita, tetapi ia menasihati kita untuk menjadikan diri kita
sendiri sebagai sida-sida (orang yang dikebiri) demi kerajaan Allah. Begitulah
pertanyaan itu muncul di mata saya,” tulis Jacques Maritain kepada Julien
Green.
Menyelesaikan masalah homoseksualitas
melalui kesucian, sebuah bentuk pengebirian, untuk memberikan kesenangan kepada
Tuhan: Ini adalah ide Maritain, dengan sedikit warna masokisme, dan ini adalah
ide yang kuat. Ini akan diterima di antara mayoritas kardinal dan uskup pasca
perang. “Raja yang tersisa dari kesedihan seseorang,” kata Louis Aragon,
penulis brilian lain yang dengan berisik bernyanyi di depan umum tentang 'mata'
istrinya, Elsa, sehingga ia kemudian dapat, secara pribadi, mengejar anak
laki-laki untuk menjadi pasangannya.
Dalam sepucuk surat kepada Cocteau,
Jacques Maritain membuat pengakuan lain yang jelas: cinta kepada Tuhan adalah
satu-satunya yang dapat membuat kita melupakan cinta duniawi yang telah dia
kenal dan, “walaupun sulit bagi saya untuk mengatakan hal ini, tetapi saya tahu
hal itu selain melalui buku-buku.”
“Kalau tidak melalui buku?” Kami
menduga bahwa pertanyaan tentang homoseksualitas adalah pertanyaan yang membara
di masa muda Jacques Maritain, seorang pria yang dalam hal apapun bersifat banci
dan peka, berbakti kepada ibunya seperti sebuah karikatur, dan bahwa ia lebih
suka menghancurkan buku catatan pribadinya untuk memastikan bahwa penulis
biografinya 'tidak berani bicara terlalu jauh' atau sampai bisa menemukan
'perselingkuhan pribadi lama' (dalam kata-kata penulis biografinya, Jean-Luc
Barré).
“Saya tidak ingin menyebutkan kata
itu dengan label ‘homoseksualitas,’ dalam biografi saya tentang Maritain,
karena semua orang pasti akan mencela buku saya," kata Jean-Luc Barré
memberi tahu saya saat makan siang di Paris. “Tapi seharusnya hal itu saya lakukan.
Jika saya menulisnya hari ini, saya akan mengatakan hal-hal yang lebih jelas
tentang ini. Sehubungan dengan Jacques Maritain, orang mungkin dapat berbicara
tentang homoseksualitas yang laten, bahkan cukup nyata."
Cinta luar biasa dari masa muda
Jacques Maritain diceritakan oleh Ernest Psichari. Kedua pemuda itu masih
remaja ketika mereka bertemu di Lycée Henri IV di Paris pada tahun 1899
(Jacques Maritain berusia 16). Cinta homo pada pandangan pertama. 'Persahabatan
yang penuh kasih' dari kekuatan yang tak terbayangkan, berkembang di antara
mereka. Unik dan tidak bisa dihancurkan, ikatan mereka adalah suatu 'keajaiban
besar', seperti yang dikatakan Jacques Maritain kepada ibunya. Kepada ayahnya,
Ernest Psichari mengaku: "Saya tidak bisa lagi membayangkan kehidupan
tanpa persahabatan dengan Jacques Maritain; itu adalah cara untuk memahami saya
tanpa diri saya sendiri terlibat. Namun “Gairah ini fatal,” kata Jacques
Maritain menulis dalam surat yang lain.
Hubungan mereka yang bergairah sudah
cukup dikenal saat ini. Baru-baru ini diterbitkan, korespondensi antara dua
anak laki-laki itu – ada 175 surat cinta mereka.
- bahkan menciptakan sebuah rasa seperti
vertigo: “Saya merasa bahwa dua organ milik kita yang tidak kita ketahui,
saling menembus dengan lembut, dengan rasa takut-takut, perlahan-lahan,” tulis
Maritain. “Ernest, kamu adalah temanku. Hanya kamu saja”; “Matamu laksana sinar
yang luar biasa. Rambutmu bagaikan hutan perawan, penuh dengan bisikan dan
ciuman”; "Aku mencintaimu, aku hidup, aku selalu memikirkanmu";
"Hanya di dalam kamu, hanya di dalam kamu saja aku hidup"; “Kamu
adalah Apollo. (...) Maukah kamu pergi denganku ke Timur, jauh ke India sana? Kita
akan berada sendirian di padang gurun”; "Aku mencintaimu, aku
menciummu"; “Surat-suratmu, permataku, memberiku kesenangan yang luar
biasa dan aku selalu membacanya berulang-ulang tanpa henti. Aku jatuh cinta kepada
semua suratmu, huruf a, huruf d, huruf n, dan huruf r.” Dan seperti Rimbaud dan
Verlaine, kedua kekasih ini menandatangani puisi mereka dengan menyatukan nama inisial
mereka.
Apakah penyatuan total dengan orang
yang dicintai ini sempurna, atau apakah itu tetap suci? Kami tidak tahu. Yves
Floucat, seorang filsuf dan spesialis Thomist dalam karya Jacques Maritain dan
Julien Green dan salah satu pendiri Centre
Jacques Maritain, yang saya wawancarai di rumahnya di Toulouse, berpikir
itu mungkin 'persahabatan yang bergairah tetapi murni'. Dia menambahkan,
meskipun tentu saja dia tidak memiliki bukti apakah mereka memiliki hubungan
fisik atau tidak, bahwa itu adalah 'cinta sejati antara orang-orang yang
berjenis kelamin sama.'
Bruder Jean-Miguel Garrigues dari
biara Dominikan tempat Jacques Maritain mengakhiri hari-harinya, dan yang juga
saya wawancarai di Toulouse, menjelaskan: “Hubungan antara Jacques Maritain dan
Ernest Psichari lebih dalam daripada persahabatan biasa. Saya bisa mengatakan
bahwa relasi mereka itu lebih bersifat ‘mengasihi’ daripada ‘menyukai,’ dalam
arti bahwa relasi itu dituntun lebih oleh keinginan hati untuk membantu orang
lain berbahagia daripada oleh keinginan emosional atau duniawi. Bagi Jacques
Maritain, relasi itu lebih merupakan urutan ‘persahabatan yang penuh kasih’
daripada homofilia, jika kita melihatnya sebagai keinginan libido yang
disublimasikan. Sedangkan bagi Ernest Psichari, di sisi lain, dia memiliki
kehidupan homoseksual yang aktif selama bertahun-tahun."
Hari ini, pada kenyataannya, tidak
ada lagi keraguan tentang praktek homoseksualitas Ernest Psichari. Hal itu
dikonfirmasi oleh biografinya baru-baru ini, oleh publikasi 'buku harian
perjalanannya' dan oleh munculnya pernyataan dari saksi baru.
Homoseksualitasnya bahkan sangat aktif: dia memiliki banyak ‘teman intim’ yang
tak terhitung jumlahnya di Afrika - à la Gide - dan dia menggunakan para pelacur
pria hingga saat kematiannya.
Dalam sebuah korespondensi yang tetap
tidak dipublikasikan untuk waktu yang lama, antara Jacques Maritain dan penulis
Katolik Henri Massis, dua teman terbaik Ernest Psichari secara eksplisit
mengakui homoseksualitasnya. Henri Massis bahkan khawatir bahwa 'kebenaran yang
mengerikan akan terungkap suatu hari nanti'. Kita harus mengatakan bahwa André
Gide tidak ragu-ragu mempermainkan Ernest Psichari dalam sebuah artikel di Nouvelle Revue Française pada bulan
September 1932. Penulis Katolik Paul Claudel, yang sangat sedih dengan kenyataan
ini, mengusulkan serangan balik yang ia lakukan sudah digunakannya dalam kaitan
dengan Arthur Rimbaud: jika Ernest Psichari bertobat ketika dia masih menjadi homoseksual,
itu adalah kemenangan yang luar biasa bagi Tuhan. Dan penulis Paul Claudel
meringkaskan argumennya: “Karya Tuhan lebih dikagumi dalam jiwa semacam itu.”
Namun, Ernest Psichari meninggal
dalam pertempuran pada usia 31, terbunuh oleh peluru Jerman pada keningnya,
pada 22 Agustus 1914. Jacques Maritain mengetahui berita itu beberapa minggu
kemudian. Menurut penulis biografinya, berita kematian Ernest Psichari
membuatnya shock, pingsan, dan sedih. Jacques Maritain tidak pernah melupakan
kematian orang yang dicintainya itu, dan dia tidak pernah berhasil melupakan
cinta besar masa mudanya – lebih besar dari cintanya kepada Kristus dan kepada Raïssa
(istrinya). Bertahun-tahun kemudian dia berangkat dalam perjalanannya ke
Afrika, mengikuti jejak kekasihnya; dia pergi menemui saudara perempuan Ernest Psichari
dan selama Perang Dunia Kedua dia ingin berperang juga agar dia bisa mati
seperti Ernest Psichari. Sepanjang hidupnya, Jacques Maritain terus-menerus
menyebutkan cintanya dan, setelah kehilangan Eurydice-nya, ia berbicara tentang
'gurun kehidupan' setelah kematian Ernest Psichari. Sebuah kesedihan yang sangat
ia rasakan, dengan sebenarnya, 'selain melalui buku-buku.'
Untuk memahami sosiologi Katolik yang
sangat khusus, dan khususnya tentang Vatikan tentang masalah yang saya amati
ini, kita harus bergantung pada apa yang saya pilih di sini yang disebut sebagai
'kode Maritain'. Disublimasikan, jika tidak disebut sebagai ‘ditekan,’
homoseksualitas sering diterjemahkan ke dalam pilihan hidup ‘selibat dan
kesucian,’ dan bahkan lebih sering, ke dalam homofobia internal. Namun
kebanyakan paus, kardinal, dan uskup yang berusia di atas 60 saat ini, tumbuh
di dalam atmosfer dan cara berpikir dari 'kode Maritain' ini.
Jika Vatikan adalah sebuah sistem teokrasi,
hal itu juga adalah gerontokrasi. Seseorang tidak akan mampu memahami Gereja
dari Paulus VI sampai Benediktus XVI, bahkan Fransiskus, beserta para kardinal
mereka, moral mereka atau intrik mereka dalam hal gaya hidup gay kontemporer. Untuk
memahami kompleksitasnya, kita harus kembali ke pola lama, bahkan jika pola tersebut
bagi kita seusia dengan zaman yang lain. Sebuah zaman di mana seseorang bukan
homoseksual tetapi 'homofilik;’ di mana identitas homoseksual dibedakan dari
praktik-praktik yang dapat memunculkannya; sebuah masa ketika biseksualitas
adalah hal yang biasa; dunia rahasia di mana perkawinan yang mencari kenyamanan
adalah menjadi aturan dan pasangan gay adalah sebuah pengecualian. Suatu masa
ketika pantang sexual dan selibat heteroseksual (tidak berhubungan sex dengan
lawan jenis) dari para imam dipeluk dengan gembira oleh para homoseksual muda
dari Vatikan.
Sudah pasti bahwa profesi imamat
adalah pilihan alami bagi pria yang membayangkan mereka memiliki moral yang
tidak wajar. Tetapi karier dan gaya hidup sangat bervariasi antara kesucian
mistik, krisis spiritual, kehidupan ganda, kadang-kadang sublimasi, fanatisme,
atau pun penyimpangan. Dalam semua kasus, perasaan umum tentang rasa tidak aman
tetap ada, digambarkan dengan baik oleh para penulis Katolik Perancis yang
homoseksual dan 'keseimbangan abadi mereka antara anak-anak lelaki yang
kecantikannya merusak mereka, dan Tuhan yang kebaikan-Nya membebaskan mereka.’
(ini adalah ungkapan lain dari Angelo Rinaldi).
Itulah sebabnya konteksnya, walaupun
mungkin memiliki pesona perdebatan teologis dan sastra dari zaman lain, sangat
penting bagi subjek saya saat ini. Seorang imam yang tak mempedulikan urusan
sex pada 1930-an dapat dengan mudah menjadi homofilik pada 1950-an dan aktif
mempraktikkan homoseksualitas pada 1970-an. Beberapa kardinal yang saat ini
bekerja telah melewati tahap-tahap itu, mengalami internalisasi hasrat sexual
mereka, perjuangan melawan diri mereka sendiri, homofilia, dan kemudian,
segera, mereka berhenti 'menyublimasikan' atau bahkan 'mengatasi'
homoseksualitas mereka, dan mereka mulai menjalaninya dengan ‘bijaksana,’
dengan penuh keberanian dan kadang-kadang bahkan dalam keadaan mabuk.
Tentu saja, para kardinal yang sama
ini, yang sekarang telah mencapai usia kanonik, hampir tidak 'berlatih' pada
usia 75 atau 80, tetapi mereka pada dasarnya ditandai, dicap selamanya, oleh
identitas yang kompleks itu. Yang paling penting, mereka selalu melakukan
perjalanan satu arah, bertentangan dengan teori-teori yang telah dibangun
sebelumnya: sikap itu berubah dari penolakan kepada pembangkangan, atau untuk
menempatkannya dalam istilah yang digunakan oleh Proust di buku Sodom and Gomora, penolakan terhadap 'kutukan
ras' demi kepentingan 'orang pilihan.' Dan ini adalah aturan lain dari Lemari, yang kesembilan: Homofil di Vatikan
umumnya bergerak dari kesucian menuju kepada homoseksualitas; kaum homoseksual
tidak pernah mundur dan menjadi homofilik.
Seperti yang diamati oleh
teolog-psikoanalisis Eugen Drewermann, bahwa 'ada semacam keterlibatan rahasia
antara Gereja Katolik dengan homoseksualitas.' Saya sering menemukan dikotomi
ini di Vatikan, dan kita bahkan dapat mengatakan bahwa itu adalah salah satu
rahasianya: penolakan keras terhadap homoseksualitas di luar Gereja; namun dukungan
yang luar biasa dalam Tahta Suci. Karenanya semacam ‘freemasonry gay' yang
sangat banyak hadir di Vatikan, tetapi misterius jika dilihat dari luar.
Dalam penyelidikan saya, banyak
kardinal, uskup agung, monsignori, dan para imam lainnya yang tak terhitung
jumlahnya, bersikeras untuk memberi tahu saya tentang pengabdian religius mereka
pada karya-karya François Mauriac, André Gide atau Julien Green, padahal
orang-orang ini adalah terkenal homosex. Dengan hati-hati, dan karena sangat hemat
dengan kata-kata, mereka memberi saya kunci perjuangan mereka yang menyayat
hati: dari 'kode Maritain.' Saya kira itu adalah cara mereka, dengan
kelemahlembutan tak terbatas dan kecemasan introvert tertentu, untuk
mengungkapkan salah satu rahasia yang selalu menghantui mereka.
No comments:
Post a Comment