Uskup Agung Carlo Maria Vigano:
Gereja Katolik Disusupi Oleh Kaum Globalis
Duta Besar Vatikan untuk Amerika Serikat, Carlo Maria Vigano (kiri) dan Vincenzo Paglia (kanan), mendengarkan pidato paus Francis di Independence Hall di Philadelphia, Pa., Pada 26 September 2015. (Vincenzo Pinto / AFP via Getty Images)
BY
January 8, 2021 Updated: January 9, 2021
"Ada
sekelompok konspirator yang telah bekerja dan masih bekerja di jantung gereja demi
kepentingan para elit globalis,” kata Uskup Agung Carlo Maria Vigano pada acara
War Room. Dia menyebut kelompok ini sebagai
‘deep church’ atau bisa dikatakan sebagai ‘gereja bayangan’ dan menjelaskan
bahwa tujuan mereka adalah untuk menghancurkan
lembaga
kepausan dan mengamankan kekuasaan
mereka atas gereja.
“Kebanyakan dari
mereka dapat diidentifikasi, tetapi yang paling berbahaya adalah mereka yang
tidak mengekspos diri mereka sendiri, mereka yang tidak pernah disebutkan oleh
surat kabar,” kata Vigano menjelaskan dalam sebuah wawancara (pdf) dengan Steve
Bannon, pembawa acara dari “War Room.”
Deep Church ini juga bekerja sama dengan "deep state" di Amerika dan kontak mereka difasilitasi pada
1990-an oleh mantan kardinal Amerika yang menjalankan misi politik di Cina atas
nama pemerintah AS, kata Vigano, mantan duta
besar Vatikan untuk Amerika Serikat. Deep state adalah istilah yang digunakan beberapa orang untuk
mencerminkan keyakinan bahwa ada orang-orang berpengaruh di balik layar yang
mengendalikan kebijakan pemerintah.
Vigano percaya
bahwa kesepakatan tentang pengangkatan uskup-uskup di Cina, antara Vatikan dan
rezim komunis Cina, yang dalam kata-katanya, "mencabut pertahanan Katolik Cina
yang tidak tercela yang selama ini dipertahankan oleh Kepausan atas mereka,"
dan itu adalah tindakan keterlibatan dari gereja dengan rezim komunis Cina yang
bersekutu dengan deep state global.
“Sampai kepausan
Benediktus XVI, pihak kepausan belum membuat kesepakatan dengan kediktatoran
Beijing, dan Paus Roma tetap memiliki hak eksklusif untuk mengangkat uskup dan
mengatur keuskupan,” lanjut uskup agung itu.
Vatikan dan Cina
menandatangani perjanjian yang tidak
dipublikasikan pada 2018, yang memberi rezim Cina wewenang untuk
menunjuk sendiri uskup-uskup di Cina dan memberikan Paus hak untuk memveto
pengangkatannya, menurut laporan 2019 (pdf) dari Komisi
Eksekutif Kongres AS tentang Cina. Namun kenyataannya hak veto ini tidak pernah
dilaksanakan. Perjanjian tersebut diperpanjang
pada Oktober 2020 selama dua tahun lagi.
"Kediktatoran
Partai Komunis Cina [PKC] bersekutu erat dengan deep state global di satu sisi, sehingga bersama-sama mereka dapat
mencapai tujuan yang mereka miliki bersama." Di sisi lain, rencana deep
state untuk Great Reset adalah kesempatan bagi PKC untuk
meningkatkan kekuatan ekonomi Cina di dunia, dimulai dengan invasi pasar
nasional, kata Vigano.
“Cina sedang
mengejar rencana domestiknya untuk memulihkan tirani Maois, yang menuntut pembubaran
agama (terutama agama Katolik), dan menggantinya dengan agama-negara yang jelas
memiliki banyak kesamaan dengan agama universal yang diinginkan oleh ideologi kaum
globalis,” kata Vigano melanjutkan.
“Kita saat ini
sedang dihadapkan pada pengkhianatan busuk terhadap misi gereja Kristus, yang
dilakukan oleh para pemimpin tertinggi Gereja Katolik, dengan melakukan konflik
terbuka melawan anggota hierarki Gereja Katolik bawah tanah di Cina, yang tetap
setia kepada Tuhan dan gereja-Nya,” kata Vigano.
Vigano memuji Kardinal
Joseph Zen, uskup emeritus Hong Kong, yang menentang kesepakatan Vatikan-Cina
dengan menyebut kardinal Zen sebagai "seorang pengaku dan pembela iman
yang terkemuka."
Sebelum
perpanjangan perjanjian Vatikan-Cina, Cardinal Zen pergi
ke Vatikan dengan rencana untuk bertemu dengan Paus untuk mengabarkan kepadanya
tentang situasi di Hong Kong dan Gereja Katolik
di Cina. Namun, cardinal Zen tidak diizinkan untuk bertemu dengan paus Francis.
"Ide untuk
mencapai kesepakatan dengan Beijing itu gila," kata cardinal Zen kepada Daily Compass tentang kesepakatan
Vatikan-Cina. "Ini seperti mencoba membuat perjanjian dengan iblis."
(Pejabat Vatikan
yang ditugaskan untuk membuat kesepakatan dengan Cina dipimpin
oleh cardinal Theodore
Edgar McCarrick, si predator sexual anak, yang terkenal itu.)
Globalisme Versus Nasionalisme
Vigano mengkritik Uni Eropa karena
kesepakatan investasi
bisnisnya baru-baru ini dengan rezim komunis Cina, yang dikenal karena
pelanggaran sistematis atas hak asasi manusia dan penindasan yang kejam
terhadap perbedaan pendapat. Sebagai bagian dari kesepakatan yang disepakati
pada akhir Desember, rezim Cina membuat komitmen untuk meningkatkan akses pasar
bagi investor UE di Cina.
Presiden China Xi Jinping (kanan) berjabat tangan dengan Pendiri dan Ketua Eksekutif World Economic Forum, Klaus Schwab (Kiri) sebelum menyampaikan pidato pada hari pertama Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, pada 17 Januari 2017. (Fabrice Coffrini /AFP via Getty Images)
Pada Januari 2017 di Forum Ekonomi
Dunia yang diadakan di Davos, Swiss, Sekretaris Jenderal Partai Komunis Cina,
Xi Jinping, memberikan pidato yang dipuji
oleh semua hadirin, kata Steve Bannon, mantan Kepala Strategi Gedung Putih dan
pembawa acara "War Room" mengatakan
kepada The Epoch Times.
Pertemuan di Davos adalah
"pertemuan paling elitis dari bisnis keuangan dunia serta komunitas
politik dan budaya yang ada," kata Steve Bannon.
Dalam pidatonya, Xi memuji proyek
globalisasi dan peran Cina sebagai pemimpinnya, dan melihat negara–negara lain
sebagai "semua jenis negara bagian" dan memberi tahu peserta yang lain
bahwa proyek tersebut akan memungkinkan mereka "menghasilkan lebih banyak
uang daripada sebelumnya," kata Bannon.
Namun Xi meramalkan satu masalah yang
dapat menghambat proyek-proyek itu: nasionalisme populis, lapor Bannon.
"Semua massa yang belum ‘dicuci’ yang tidak terlatih atau bukan elit
seperti tamu undangan yang hadir disana saat itu, yang ingin ikut
bersuara," kata Bannon menjelaskan alasan Xi.
Presiden AS Donald Trump mengambil sumpah jabatan sementara istrinya, Melania Trump, memegang Kitab Suci dan putranya, Barron Trump, menyaksikan, di West Front gedung Capitol AS di Washington pada 20 Januari 2017. (Chip Somodevilla / Getty Images)
Tiga hari kemudian Presiden Donald
Trump memberikan pidato
pembantaian Amerika yang terkenal pada upacara pelantikannya. Pidatonya
pada intinya adalah konsep negara-bangsa yang berdaulat, "pertahanan
negara-bangsa, negara-bangsa sebagai satu kesatuan, bahwa manusia dapat
memperoleh kebebasan paling banyak di dunia yang sangat tidak sempurna,
[manusia] dapat memiliki kebebasan yang paling mungkin,” kata Bannon
menggambarkan visi Trump yang disajikan dalam pidatonya sebagai proyek
nasionalis.
Padahal setiap orang yang
berpartisipasi dalam pertemuan tahunan WEF di Davos mengetahui semua tentang
kamp konsentrasi untuk orang Uyghur, penganiayaan di rumah orang-orang kristiani,
pengambilan organ secara paksa, penindasan terhadap gereja Katolik bawah tanah,
penindasan dan penyiksaan terhadap pengikut Falun Gong, dan gerakan demokrasi,
dan situasi di Hong Kong saat ini — mereka memiliki informasi yang sempurna
tentang segala hal namun mereka tidak peduli, katanya.
Model bisnis Cina didasarkan pada kerja
paksa rakyat Cina, yang dibayar rendah dan dipaksa bekerja dengan jam kerja
yang luar biasa panjang di pabrik-pabrik, kata Bannon.
“Pekerja budak Cina tersebar ke seluruh
dunia sebagai komoditi ekspor dan mengizinkan para pekerja itu, apakah mereka
berada di India, atau Eropa Barat atau Amerika Serikat, untuk tidak pernah
mendapatkan kenaikan gaji. Maka, adalah keajaiban Donald Trump untuk mendapatkan
pekerja kerah biru dengan memberi kenaikan gaji,” kata Bannon.
Kedua pidato ini mewakili “dua cara
yang berlawanan secara diametral bahwa dunia harus diatur. Yang pertama
didasarkan pada kebebasan ratusan tahun yang tidak sesempurna sebelumnya,
benar, versus sistem totaliter," kata Bannon.
Presiden dan Pendiri Forum Ekonomi Dunia, Klaus Schwab, saat wawancara dengan The Associated Press di Davos, Swiss, pada 15 Januari 2017. (Michel Euler / AP Photo)
The Great Reset
The Great Reset adalah konsep untuk
beralih dari "kapitalisme pemegang saham" kepada "kapitalisme
pemangku kepentingan," dengan menggunakan pajak kekayaan, regulasi, dan
kebijakan fiskal yang diarahkan bagi kesetaraan dan keberlanjutan,
mempromosikan hasil yang lebih adil, dan menggunakan Revolusi
Industri Keempat untuk menangani tantangan di bidang kesehatan dan
sosial, Klaus Schwab,
pendiri dan Ketua Eksekutif World Economic Forum (WEF) menjelaskan di situs
web organisasi.
“Sekaranglah waktunya untuk Reset Besar
ini,” Schwab, seorang Profesor Kebijakan Bisnis di Universitas Jenewa dan salah
satu penulis buku “The Great Reset,” diumumkan di situs
web WEF pada Juni 2020.
“Perubahan-perubahan yang telah kita
lihat sebagai tanggapan terhadap COVID-19 membuktikan bahwa pengaturan ulang atas
fondasi ekonomi dan sosial kita adalah mungkin,” kata Schwab.
Revolusi Industri Keempat akan
menggabungkan perangkat seluler, dengan kekuatan pemrosesan data, kapasitas
penyimpanan, dan akses kepada pengetahuan yang belum pernah terjadi sebelumnya
untuk memberi kepada pemerintah-pemerintah “kekuatan
teknologi baru untuk meningkatkan kendali mereka atas populasi, berdasarkan
sistem pengawasan yang meluas dan kemampuan untuk mengontrol infrastruktur
digital,” Schwab menulis.
Namun hal ini juga akan menimbulkan
tantangan bagi privasi orang, karena pelacakan dan berbagi informasi tentang
orang-orang adalah bagian penting dari konektivitas baru ini, tulis Schwab.
“Revolusi yang terjadi dalam bioteknologi dan Artificial Intelligence (AI)…
akan memaksa kita untuk mendefinisikan kembali batasan moral dan etika kita,”
tambah Schwab.
Para arsitek Great Reset menggunakan
media arus utama sebagai sekutu yang sangat diperlukan untuk membuat orang-orang
menjadi percaya "bahwa perubahan radikal yang ingin mereka terapkan telah
menjadi perlu karena pandemi, oleh perubahan iklim, dan kemajuan
teknologi," kata Vigano.
Schwab menulis, “Kita harus membangun fondasi yang sama sekali baru untuk sistem ekonomi dan sosial kita,” untuk mengatasi krisis yang disebabkan oleh pandemi, perubahan iklim, dan krisis sosial.
“Kita semua harus menyadari betapa para pendukung New World Order dan Great Reset membenci nilai-nilai yang tidak dapat dicabut dari peradaban Yunani-Kristen kita, seperti norma agama, keluarga, penghormatan terhadap kehidupan dan hak-hak pribadi manusia, dan kedaulatan nasional, yang tidak dapat diganggu gugat,” kata uskup agung itu.
Joshua
Phillip dan Alexander Zhang berkontribusi untuk laporan ini.
*****
Great
Reset: Kaum Globalis ‘Deep State’ Menguasai Dunia Dan Anda
Viganò:
Francis Menjadi Sarana Untuk Membangun Kerajaan Antikristus
Giselle
Cardia, 29 Desember 2020, 1 & 3 Januari 2021
Christina
Gallagher – 31 Desember 2020