FEBRUARY 4, 2021
BERADAPTASI DENGAN DUNIA BARU KITA YANG KERAS
Ini adalah zaman yang gelap bagi umat Katolik
yang setia di Amerika. Presiden yang menyatakan dirinya sebagai
seorang Katolik yang ‘taat,’ tetapi kebijakannya secara terbuka menentang
ajaran-ajaran moral Gereja Katolik. Wakil presidennya adalah seorang
anti-Katolik yang penuh semangat, yang telah menunjukkan selera otoriterisme.
Apa yang terjadi di ibu kota negara ini hanyalah cerminan yang mengkhawatirkan
dari budaya kita yang lebih menyeluruh: kita tidak lagi sebagai masyarakat dan
budaya "pasca-Kristiani" lagi; tetapi masyarakat kita sekarang sangat anti-Kristen. Big Tech, Big Pharma, Big Media, Big Education, dan
hampir semua yang serba ‘Big’ lainnya, sangat memusuhi kita. Dan nampak jelas
bahwa kita tidak memiliki dukungan dari tingkat tertinggi hirarki Gereja
Katolik sendiri. Di saat-saat seperti ini, bagaimana tanggapan umat Katolik?
Dan
berikut ini menunjukkan betapa kita tidak
boleh berkompromi. Kita tidak boleh mengkompromikan keyakinan kita yang
paling mendasar, seperti misalnya dalam hal kesucian hidup dan pernikahan,
serta perbedaan mendasar yang diberikan Tuhan dalam hal sifat yang berbeda antara
pria dan wanita. Kita juga tidak dapat berkompromi tentang esensi mutlak
Sakramen-sakramen, tidak hanya untuk keselamatan kita, tetapi juga untuk
menjalani kehidupan manusia yang otentik dan lengkap. Kita tidak dapat
berkompromi dengan perintah Tuhan untuk memberitakan Injil ke setiap penjuru
dunia, mulai dari lingkungan kita sendiri hingga pusat-pusat kekuasaan di
Washington, DC.
Maka
alternatifnya adalah: kita harus
bertarung. Tapi apa yang kita lakukan dalam situasi di mana pertempuran secara
langsung akan sia-sia belaka karena besarnya kekuatan dari musuh kita? Di Dunia
Baru yang keras ini, kita mungkin mendapati bahwa kita tidak selalu bisa
mengatasi kejahatan yang mengelilingi kita secara langsung. Kita bisa melihat
Makabe sebagai contoh yang berhasil melawan rintangan yang luar biasa, tetapi
kita harus ingat bahwa orang Yahudi memang berada di bawah para penguasa pagan
selama berabad-abad dan tidak dapat berbuat apa-apa (dan akhirnya pemerintahan
Makabe sendiri dikuasai oleh Roma yang kafir). Dalam banyak situasi yang kita
hadapi, daripada bertengkar secara
langsung, kita perlu beradaptasi.
Adaptasi bukanlah sesuatu yang unik bagi umat Katolik Amerika modern. Betapa setianya umat Kristen harus hidup di berbagai zaman dan tempat yang dikuasai oleh kejahatan yang luar biasa: kekaisaran Romawi, Inggris di abad ke-16, Uni Soviet, dan China modern. Ini hanyalah beberapa contoh. Umat Katolik biasa, pada masa itu, tidak dapat mengubah rezim yang sedang berkuasa, tetapi mereka beradaptasi sehingga mereka dapat terus menjalankan iman mereka. Dalam beberapa hari, bulan, dan tahun-tahun mendatang, umat Katolik kemungkinan besar harus semakin beradaptasi. Misalnya, setiap maskapai penerbangan mengharuskan Anda mendapatkan vaksin tertentu, yang menurut Anda tidak bermoral, karena berasal dari sel janin yang diaborsi, untuk bisa terbang. Anda bisa menuntut secara hukum, tapi jika Anda kalah, perlawanan tidak lagi menjadi pilihan yang logis. Anda bisa berkompromi dan mendapatkan vaksin. Tetapi pilihan lain adalah beradaptasi dengan mencari cara lain untuk bepergian, atau memutuskan untuk tidak bepergian sama sekali.
Atau
katakanlah, bahwa pekerjaan Anda mengharuskan Anda untuk hadir, dan
menandatangani dukungan untuk menjalani sebuah pelatihan ‘kepekaan’ terhadap
orang-orang LGBTQABCDEFG — pelatihan yang secara langsung bertentangan dengan
ajaran Katolik. Anda adalah karyawan tingkat rendah; Anda tidak memiliki
kekuatan untuk menghentikan pelatihan semacam itu. Anda bisa berkompromi dan
menandatangani dokumen tersebut. Atau Anda dapat beradaptasi dan mencari
pekerjaan lain, meskipun itu berarti penurunan pendapatan Anda atau Anda harus pindah
ke kota lain. Cara-cara adaptasi ini memungkinkan Anda untuk menghindari
kejahatan yang tidak dapat Anda lawan, tanpa mengorbankan prinsip Iman Anda.
Untuk
lebih jelasnya: beradaptasi bukanlah
kekalahan! Saat ada kesempatan untuk bertarung, kita harus terlibat. Dan kita tidak boleh berkompromi dalam hal
KEBENARAN. Tapi kita harus memahami apa yang kita, sebagai individu dan
bahkan komunitas, bisa dan tidak bisa kendalikan. Kita harus menghadapi
kenyataan pahit bahwa kita telah kalah jauh lebih banyak dalam pertempuran
budaya dan politik dalam beberapa tahun terakhir, daripada yang kita menangkan.
Mereka yang berkuasa menentang keyakinan dan nilai-nilai fundamental kita — itu
sudah lama terjadi— dan mereka sekarang cukup nyaman menggunakan kekuatan
mereka untuk menindas keyakinan dan nilai-nilai yang Anda miliki.
Hal ini tidak berarti kita harus melepaskan
diri sepenuhnya dari proses politik, tetapi itu berarti kita harus lebih fokus
pada tempat-tempat dimana kita dapat memiliki pengaruh yang lebih langsung,
seperti di negara-negara bagian dan terutama di tingkat lokal. Melawan segala pembatasan
terkait COVID-19 yang cukup mengganggu di daerah Anda, misalnya, Anda memiliki
lebih banyak peluang untuk berhasil daripada apa pun yang dapat Anda lakukan
untuk mempengaruhi Washington. Tetapi ke depan, semakin banyak kita akan
menghadapi situasi di mana kita bahkan tidak diberi kesempatan untuk bertarung.
Dalam kasus seperti ini, kita perlu beradaptasi. Bagaimana?
Pertama-tama kita harus menertibkan rumah
spiritual kita. Dan yang saya maksud disini bukanlah rumah
Gereja (meskipun itu akan menyenangkan), tetapi rumah Anda, rumah saya. Urutan
pertama bisnis kita harus mengarah kepada Tuhan dalam doa. Kita perlu
menghadiri Misa sesering mungkin (yang sekarang membuat setan senang karena semakin
sedikit tersedia Misa Kudus dan Hosti Kudus yang dilaksanakan secara benar pada
saat dimana kita semakin membutuhkannya). Kita perlu berdoa Rosario setiap
hari. Dan kita perlu pergi mengaku dosa secara teratur (setidaknya sebulan
sekali).
Hanya
dengan menjadi siap secara rohani, kita dapat menjadi siap secara mental dan
fisik untuk apa pun yang mungkin datang kepada kita. Dan persiapan spirituil ini
akan memberi kita pemahaman untuk mengetahui kapan harus bertarung dan kapan
harus beradaptasi.
Kita
juga perlu mengambil langkah praktis untuk bersiap beradaptasi dengan tantangan
yang menanti kita. Mulailah dengan komunitas Anda. Apakah Anda memiliki
keluarga, teman, tetangga, sesama umat kristiani yang dapat Anda andalkan jika
keadaan menjadi sulit? Jika, misalnya, Anda kehilangan pekerjaan karena Anda berpegang
pada ‘pendapat yang salah’ (menurut penguasa), apakah Anda memiliki sarana pendukung
untuk digunakan? Demikian juga, bisakah orang-orang mendukung Anda? Jika Misa Kudus
tidak lagi diperbolehkan di daerah Anda, adakah seorang imam yang mau menolong Anda
dengan memberikan Misa di rumah Anda? Ini adalah kebenaran Iman yang fundamental
bahwa kita dibangun untuk komunitas. Maka mulailah membangunnya sekarang jika
Anda belum melakukannya.
Langkah
praktis lainnya adalah melihat tingkat ketergantungan Anda. Ini bukan masalah
mencoba hidup mandiri sepenuhnya — lagipula, saya baru saja menulis bahwa kita
diciptakan untuk membentuk komunitas — ini adalah entitas pada siapa Anda
bergantung. Dapatkah Anda mengandalkan atasan Anda saat ini untuk mendukung Anda
jika Anda secara terbuka menentang arus masyarakat kita saat ini? Atau, akankah
perusahaan Anda segera mengorbankan Anda demi dewa-dewa kecerdasan? Artinya,
atasan Anda rela memecat Anda untuk menggunakan sarana atau alat modern untuk menggantikan
pekerjaan Anda. Bagaimana dengan paroki anda? Apakah pastor anda lebih
bersemangat untuk melayani negara selama masa penguncian wilayah sekarang ini, dan
melaksanakan mandat covid-19 baru-baru ini, daripada melayani kebutuhan
spiritual umat di parokinya? Jika
demikian, mungkin inilah waktunya untuk mencari paroki lain.
Proses
adaptasi mungkin berarti perubahan besar dalam hidup Anda: pekerjaan baru,
sekolah baru untuk anak-anak, paroki baru, bahkan mungkin tempat tinggal baru.
Semua hal ini sulit untuk diubah, tetapi tidak ada yang sepenting tetap setia kepada
iman. Jika pilihannya adalah antara mengkompromikan keyakinan dan iman seseorang,
atau beradaptasi dengan membuat satu atau lebih perubahan ini, maka jalan ke
depan harus jelas.
Dalam
suatu pertarungan, terkadang melindungi sisi lemah seseorang sama pentingnya
dengan melakukan langkah dan perubahan besar. Kita semua ingin percaya bahwa
segalanya akan berbalik. Saya tahu saya telah berbuat. Tetapi kita harus
melihat krisis kita saat ini dalam terang sejarah. Zaman kita sekarang ini
memiliki banyak kesamaan dengan masa-masa krisis lainnya, seperti Revolusi
Prancis atau Bolshevik. Umat Kristen pada masa itu dikelilingi oleh
kegelapan, jadi mereka tahu bahwa mereka harus beradaptasi untuk mempertahankan
iman mereka. Kita juga seperti itu. Untungnya, kita memeluk iman yang tidak
takut pada kegelapan, karena kita memiliki Tuhan yang mampu mengatasinya. Selama
kita percaya kepada Tuhan, kita akan berhasil.
[Photo Credit: Shutterstock]
By Eric Sammons
Eric Sammons is the editor-in-chief of Crisis
Magazine. He is the author, most recently, of The Old
Evangelization: How to Spread the Faith Like Jesus Did (Catholic
Answers, 2017).
*****
Menlu
Antony Blinken Memerintahkan Bendera LGBT Dikibarkan Di Kantor-Kantor Kedubes
AS
Giselle
Cardia 19, 20, 21, 26, 30 Januari 2021
Kardinal
Müller Mencela Great Reset
Devosi
Kepada Hati Maria Yang Tak Bernoda Akan Menyelamatkan Dunia