Thursday, February 25, 2021

Seorang Penulis Katolik yang cukup dihormati berkata...

 

Seorang Penulis Katolik yang cukup dihormati berkata:

Roma saat ini dalam keadaan tanpa Paus – memang, Jorge Mario Bergoglio berada di sana, tetapi dia bukan Petrus

https://www.lifesitenews.com/opinion/rome-without-a-pope-jorge-mario-bergoglio-is-there-but-not-peter 

 

Bergoglio, yang tidak suka menampilkan dirinya sebagai penerus pangeran para Rasul (Petrus), dan yang telah menempatkan gelar 'Wakil Kristus' di bagian belakang Annuario Pontificio, secara implisit memisahkan dirinya dari otoritas yang telah diberikan Tuhan kepada Petrus dan para penerusnya.

 

Mon Feb 22, 2021 - 2:14 pm EST


  

AM113 / SHUTTERSTOCK

 

By Aldo Maria Valli 

 

 

LifeSiteNews telah diblokir secara permanen di YouTube. Klik DI SINI untuk mendaftar untuk menerima email saat kami menambahkan ke perpustakaan video kami.

 

Catatan editor: Artikel opini berikut ini ditulis oleh seorang jurnalis Katolik Italia yang terkenal, Aldo Maria Valli. Selama lebih dari lima puluh tahun Valli telah meliput Gereja dari perspektif Katolik. Ia dikenal karena liputannya yang menyentuh tentang tahun-tahun dan hari-hari terakhir kepausan Paus St. Yohanes Paulus II. Tulisan ini tidak selalu mencerminkan pandangan LifeSiteNews.

 

 

22 Februari 2021 (Stilum Curiae) - Roma saat ini dalam keadaan tanpa Paus. Tesis yang ingin saya dukung ini dapat diringkas dalam kata-kata berikut. Ketika saya mengatakan Roma, saya tidak hanya mengacu pada kota di mana paus adalah uskupnya. Ketika saya mengatakan Roma, yang saya maksud adalah dunia, maksud saya realitas saat ini.

 

Paus, meski secara fisik hadir, pada kenyataannya tidak ada di sana, karena dia tidak melakukan apa yang selayaknya dilakukan seorang paus. Dia ada di sana, tetapi dia tidak melakukan tugasnya sebagai penerus Petrus dan wakil Kristus. Jorge Mario Bergoglio memang ada di sana, namun Petrus tidak.

 

Siapakah paus itu? Definisi, tergantung pada apakah seseorang ingin menyoroti aspek historis, teologis, atau pastoral, mungkin berbeda. Tapi, pada dasarnya, paus adalah penerus Petrus. Dan, tugas apa yang diberikan Yesus kepada rasul Petrus? Satu tangan, “Berilah makan domba-domba-Ku” (Yoh. 21:17); di tangan yang lain, “Apa pun yang kau ikat di bumi akan terikat juga di surga, dan apa pun yang kau lepas di bumi akan dilepaskan juga di surga.” (Mat. 16:19).

 

Inilah yang harus dilakukan seorang paus. Namun saat ini, tidak ada orang yang melakukan tugas ini. “Dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu seiman.” (Luk 22:32). Demikianlah kata Yesus kepada Petrus. Tetapi hari ini Petrus tidak menggembalakan dombanya dan dia tidak menguatkan mereka dalam iman. Mengapa? Ada seseorang yang menjawab: Karena Bergoglio sama sekali tidak berbicara tentang Tuhan, hanya tentang migran, ekologi, ekonomi, dan pertanyaan-pertanyaan sosial. Tapi ini tidak benar. Sebenarnya, Bergoglio memang berbicara tentang Tuhan, tetapi yang muncul dari keseluruhan khotbahnya adalah Tuhan yang bukan Tuhan dalam Alkitab tetapi Tuhan yang tercemar, Tuhan yang lemah, atau lebih tepat lagi, Tuhan yang beradaptasi. Diadaptasikan dengan apa? Dengan manusia dan segala tuntutannya untuk dibenarkan dalam hidup, seolah-olah dosa tidak ada lagi.

 

Bergoglio selalu menempatkan tema-tema sosial di pusat pengajarannya dan, dengan pengecualian yang sporadis, tampaknya dia menjadi mangsa dari obsesi yang sama dari budaya yang didominasi oleh politik, tetapi saya percaya bahwa ini bukanlah alasan yang mendalam mengapa Roma dalam keadaan tanpa paus. Untuk menonjolkan tema sosial, masih dimungkinkan untuk memiliki perspektif Kristen dan Katolik yang otentik di dalamnya . Pertanyaannya, dengan Bergoglio ini, ada pertanyaan lain: perspektif teologisnya menyimpang. Dan ini dilakukan untuk alasan yang sangat spesifik: karena Tuhan yang dibicarakan Bergoglio bukanlah Sosok yang suka mengampuni, melainkan Dia yang menghilangkan semua kesalahan. Menganggap kesalahan itu tidak ada.

 

Dalam Amoris Laetitia kita membaca: “Gereja harus mendampingi dengan perhatian dan merawat yang paling lemah dari anak-anaknya” (Bab 8, paragraf 291). Maaf, tapi yang benar tidak seperti itu. Gereja harus mempertobatkan orang berdosa.

 

Sekali lagi di dalam Amoris Laetitia, kita membaca bahwa “Gereja tidak mengabaikan unsur-unsur yang membangun dalam situasi-situasi yang belum atau tidak lagi sesuai dengan ajarannya tentang pernikahan” (paragraf 314). Maaf, kata-kata itu sangat ambigu. Dalam situasi yang tidak sesuai dengan ajarannya (ajaran Gereja), akan ada juga “elemen konstruktif” (tapi ini dalam arti apa?); akan tetapi, misi Gereja bukanlah untuk memberikan keabsahan pada elemen-elemen (konstruktif) tersebut, melainkan untuk mempertobatkan jiwa-jiwa kepada Kasih Ilahi, yang dianut seseorang dengan cara mematuhi perintah-perintah Allah.

 

Dalam Amoris Laetitia kita juga membaca: “Namun hati nurani dapat melakukan lebih dari sekadar mengenali bahwa situasi tertentu tidak sesuai secara objektif dengan tuntutan Injil secara keseluruhan. Ia (hati nurani) juga dapat mengenali dengan ketulusan dan kejujuran apa yang untuk saat ini adalah tanggapan paling ramah yang dapat diberikan kepada Tuhan, dan menganggap, dengan jaminan moral tertentu, bahwa itulah yang diminta sendiri oleh Tuhan di tengah kompleksitas konkret dari berbagai keterbatasan seseorang, meski tidak sepenuhnya merupakan ideal yang obyektif.”(paragraf 303).

 

Sekali lagi disini ada ambiguitas. Pertama: tidak ada “tuntutan keseluruhan” dari Injil, yang kurang lebih dapat dipatuhi. Hanya ada Injil dengan isinya yang sangat spesifik; ada perintah-perintah dengan kejelasannya. Kedua: Tuhan tidak pernah - saya ulangi, tidak pernah - dapat meminta seseorang untuk hidup dalam dosa. Ketiga: tidak ada orang yang dapat mengklaim memiliki "keamanan moral tertentu" tentang "apa yang diminta Tuhan sendiri di tengah kompleksitas konkret dari keterbatasan seseorang." Ekspresi yang kacau ini hanya memiliki satu arti: melegitimasi relativisme moral dan bermain-main dengan perintah-perintah Ilahi.

 

Tuhan yang seperti ini berkomitmen lebih dari apa pun untuk membebaskan manusia dari kesalahan, Tuhan seperti ini selalu mencari-cari keadaan yang meringankan, Tuhan seperti ini akan menahan diri dari memerintah dan lebih memilih untuk memahami, Tuhan seperti ini yang "dekat dengan kita seperti seorang ibu menyanyikan lagu pengantar tidur," Tuhan seperti ini adalah bukan Hakim tetapi ‘Tuhan’ yang berpedoman pada "kedekatan," Tuhan seperti ini akan berbicara tentang "kelemahan" manusia dan bukan tentang dosa, Tuhan yang tunduk pada logika pendampingan pastoral dan "ini semua adalah karikatur dan cemoohan terhadap Tuhan yang ada dalam Alkitab. Karena Tuhan, Tuhan dalam Alkitab, sangat sabar, tetapi tidak lemah; Dia sangat mengasihi, tapi tidak bersifat permisif; Dia adalah sangat penuh perhatian, tetapi tidak bersikap akomodatif. Singkatnya, Dia adalah sosok Bapa dalam arti atau istilah yang paling lengkap dan paling otentik.

 

Perspektif yang diasumsikan oleh Bergoglio justru tampaknya serba duniawi, yang seringkali tidak menolak sepenuhnya gagasan tentang Tuhan, tetapi menolak karakteristik Tuhan yang tidak selaras dengan sikap permisif yang merajalela di dunia saat ini. Dunia tidak menginginkan seorang ayah sejati, yang mencintai dalam ukuran yang juga dia nilai, tetapi lebih menginginkan seorang teman; atau lebih baik lagi, sesama pengelana yang membiarkan segala sesuatunya berlalu dan berkata, “Who am I to judge?” ("Siapakah saya ini hingga berhak untuk menilai?")

 

Pada kesempatan lain saya telah menulis bahwa dengan Bergoglio ini ada sebuah visi kemenangan yang menjungkirbalikkan kemenangan yang otentik: visi yang mengatakan bahwa Tuhan tidak memiliki hak, hanya kewajiban. Jadi, menurut Bergoglio, Tuhan tidak memiliki hak untuk menerima penyembahan yang layak bagi-Nya, atau untuk tidak diejek, tetapi Dia memiliki kewajiban untuk mengampuni. Menurut pandangan ini, yang berlaku bagi manusia: manusia tidak memiliki kewajiban, tetapi hanya memiliki hak. Manusia memiliki hak untuk diampuni tetapi tidak memiliki kewajiban untuk bertobat. Seolah-olah ada kewajiban Tuhan untuk mengampuni dan hak manusia untuk diampuni.

 

Inilah mengapa Bergoglio, yang digambarkan sebagai paus yang berbelas kasih, menurut saya adalah paus yang paling tidak berbelas kasih yang bisa dibayangkan. Faktanya, Bergoglio mengabaikan bentuk pertama dan fundamental dari belas kasihan yang menjadi milik-Nya dan hanya milik-Nya sendiri: Tuhan mengajarkan Hukum Ilahi dan, dengan melakukan hal itu, Dia menunjukkan kepada makhluk manusia, dari ketinggian otoritas tertinggi-Nya, jalan yang mengarah kepada keselamatan dan kehidupan kekal.

 

Jika Bergoglio telah menemukan "tuhan" semacam ini - yang dengan sengaja saya tunjukkan dengan huruf "t" kecil karena bukan Allah Tritunggal yang kita sembah - itu karena bagi Bergoglio tidak ada kesalahan apa pun hingga manusia harus meminta maaf, baik pribadi maupun kolektif, baik dosa asal maupun dosa aktual. Tetapi jika tidak ada kesalahan manusia, maka tidak perlu ada Penebusan juga; dan jika tidak membutuhkan Penebusan, maka peristiwa Inkarnasi adalah tidak masuk akal, apalagi karya penyelamatan dari satu Tabut Keselamatan, yaitu Gereja Kudus. Orang bertanya-tanya apakah "tuhan" itu (tuhannya Bergoglio) bukan simia Dei - tiruan Tuhan – yaitu Setan, yang mendorong kita menuju kutukan pada saat yang tepat ketika Bergoglio menyangkal bahwa dosa dan kejahatan, dengan apa setan menggodai kita, dapat membunuh jiwa kita dan menghukum kita sampai musnah selamanya dari Kebaikan Tertinggi.

 

Karena itu, Roma memang tanpa paus. Tapi sementara dalam novel distopia Guido Morselli berjudul Roma senza papa secara fisik memang demikian, sejak paus fiksi tinggal di Zagarolo, hari ini Roma adalah tanpa paus dalam cara yang jauh lebih mendalam dan radikal.

 

Saya dapat mendengar jika ada yang keberatan: Tetapi bagaimana Anda dapat mengatakan bahwa Roma tanpa paus ketika Fransiskus ada di mana-mana? Dia ada di TV dan di surat kabar. Dia telah menjadi sampul majalah Time, Newsweek, Rolling Stone, dan bahkan Forbes dan Vanity Fair. Dia ada di situs web dan di banyak buku. Dia telah diwawancarai oleh semua orang, bahkan oleh Gazzetta dello sport [catatan penerjemah: surat kabar harian olahraga Italia yang merupakan surat kabar yang paling banyak dibaca dari semua jenisnya di Italia]. Mungkin belum pernah sebelumnya seorang paus begitu banyak hadir dan begitu populer. Saya dapat menjawab: itu semua benar, tetapi dia adalah Bergoglio; dia bukan Petrus.

 

Pastilah tidak dilarang bagi wakil Kristus untuk menyibukkan diri dengan hal-hal duniawi. Justru sebaliknya. Iman Kristen adalah iman yang berinkarnasi, dan Tuhan orang Kristen adalah Tuhan yang menjadi manusia, yang menjadi tokoh sejarah. Dengan demikian, Kekristenan menghindari ekses spiritualisme. Tetapi berada di dunia adalah satu hal, dan menjadi seperti dunia, itu adalah hal lain. Dengan berbicara seperti dunia berbicara dan bernalar seperti dunia bernalar, Bergoglio telah membuat Petrus menguap dan Bergoglio menempatkan dirinya di latar depan.

 

Saya ulangi: dunia, dunia kita yang lahir dari revolusi tahun '68, tidak menginginkan seorang ayah sejati. Dunia lebih menyukai seorang pendamping. Ajaran seorang ayah, jika dia adalah seorang ayah sejati, amat melelahkan dan membosankan, karena ia menunjukkan jalan kebebasan yang bertanggung jawab. Jauh lebih nyaman untuk memiliki seseorang di samping Anda, yang hanya menemani Anda, tanpa mengajarkan dan menunjukkan apa pun. Dan inilah yang dilakukan Bergoglio: dia menunjukkan "tuhan" yang bukan seorang ayah tetapi seorang pendamping. Bukan kebetulan bahwa "gereja yang bersikap terbuka" versi Bergoglio menyukai kata kerja "menemani atau mendampingi" - seperti semua tindakan dari paham modernisme. Tetapi ini adalah gereja yang sekedar menjadi rekan di jalan, yang membenarkan segalanya (melalui konsep pemahaman yang terdistorsi) dan, pada akhirnya, merelatifkan segalanya, termasuk dosa adalah relatif.

 

Yesus sendiri cukup tegas dalam hal ini. “Celakalah kamu, jika semua orang memuji kamu” (Luk. 6:26). Berbahagialah kamu, jika karena Anak Manusia orang membenci kamu, dan jika mereka mengucilkan kamu, dan mencela kamu serta menolak namamu sebagai sesuatu yang jahat. (Luk. 6:22).

 

Sesekali muncul rumor yang mengatakan bahwa Bergoglio juga berpikir untuk mengundurkan diri, seperti halnya Benediktus XVI. Saya yakin dia tidak memikirkan hal seperti ini, tetapi masalahnya bukan itu. Masalahnya adalah bahwa Bergoglio secara de facto menjadi protagonis atau tokoh dari proses melepaskan diri dari tugas Petrus.

 

Saya telah menulis di tempat lain bahwa Bergoglio sekarang telah menjadi kapelan PBB, dan saya percaya bahwa pilihan ini sangat berat. Namun, yang lebih serius daripada ketaatannya pada agenda PBB dan apa yang benar secara politis adalah bahwa dia tidak berbicara kepada kita tentang Tuhan yang ada dalam Alkitab dan bahwa Tuhan yang menjadi pusat khotbahnya adalah Tuhan yang menutup mata dan membersihkan orang-orang berdosa dari kesalahan mereka, bukan Tuhan yang suka mengampuni.

 

Krisis dari figur ayah dan krisis kepausan ini berjalan seiring. Sama seperti Bapa, yang ditolak dan dibongkar, diubah menjadi sekedar pendamping tanpa memiliki hak untuk menunjukkan jalan-Nya, dengan cara yang sama paus ini juga berhenti menjadi pembawa dan penafsir Hukum Ilahi yang obyektif dan lebih suka menjadi sekedar pendamping.

 

Dengan cara ini, Petrus menghilang tepat ketika kita sangat membutuhkannya untuk menunjukkan kepada kita Allah sebagai Bapa yang serba bisa: Bapa yang penuh kasih: bukan karena Dia bersikap netral, tetapi karena Dia menghakimi; Bapa yang penyayang: bukan karena dia permisif, tetapi karena Dia berkomitmen untuk menunjukkan Jalan menuju kebaikan sejati; Bapa yang berbelas kasih: bukan karena Dia seorang relativis, tetapi karena Dia ingin menunjukkan Jalan menuju keselamatan.

 

Saya mengamati bahwa protagonisme di mana ego Bergoglian memanjakan dirinya, bukanlah hal yang baru, tetapi sebagian besar kembali kepada formulasi antroposentris konsilier baru, dan dimulai dengan hal itu maka para paus, uskup, dan klerus menempatkan diri mereka lebih tinggi dari fungsi pelayanan sakral mereka, keinginan mereka sendiri di depan keinginan Gereja, pendapat mereka sendiri di atas ortodoksi Katolik, dan kemewahan liturgi mereka sendiri di depan sakralitas ritus Gereja.

 

Personalisasi kepausan ini menjadi eksplisit karena Wakil Kristus ingin menampilkan dirinya sebagai "satu seperti kita," menolak berperan sebagai plural humilitatis yang dengannya dia menunjukkan bahwa dia berbicara bukan dalam kapasitas pribadi tetapi bersama-sama dengan semua pendahulunya dan Roh Kudus yang sama. Mari kita pikirkan: bahwa kata "Kami" yang sakral yang membuat Pius IX gemetar dalam memproklamirkan dogma Yang Dikandung Tanpa Noda serta sikap Santo Pius X dalam mengutuk paham modernisme, dan kata “Kami” yang sakral itu tidak pernah dapat digunakan untuk mendukung pemujaan berhala Pachamama, atau untuk merumuskan ambiguitas Amoris Laetitia atau sikap ketidakpedulian dalam Fratelli Tutti.

 

Mengenai proses personalisasi dari kepausan ini (dimana kemunculan dan perkembangan media massa memberikan kontribusi penting), kita harus ingat bahwa ada suatu masa di mana, setidaknya sampai dan termasuk Pius XII, tidak terlalu menjadi masalah bagi umat beriman tentang siapa yang menjadi paus, karena bagaimanapun, mereka tahu dan sadar bahwa siapa pun dia, dia akan selalu mengajarkan doktrin yang sama dan mengutuk kesalahan yang sama. Dalam menyambut dan memuji paus, umat beriman bertepuk tangan bukan bagi orang yang berada di tahta suci pada saat itu, tetapi lebih kepada kepausan, jabatan raja yang suci Wakil Kristus, suara dari Pastor Tertinggi, Yesus Kristus.

 

Bergoglio, yang tidak suka menampilkan dirinya sebagai penerus pangeran para Rasul, Petrus, dan yang telah menempatkan gelar "Wakil Kristus" di bagian belakang Annuario Pontificio, secara implisit memisahkan dirinya dari otoritas yang telah diberikan Tuhan kepada Petrus dan penerusnya. Dan ini bukan pertanyaan kanonik belaka. Ini adalah kenyataan yang konsekuensinya sangat serius bagi kepausan.

 

Kapankah Petrus akan kembali? Berapa lama Roma akan bertahan tanpa seorang paus? Tidak ada gunanya bertanya. Rancangan Tuhan itu misterius. Kita hanya bisa berdoa kepada Bapa Surgawi, dengan berkata: “Jadilah Kehendak-Mu, bukan kehendakku. Dan kasihanilah kami para pendosa."

 

 

Pertama kali diterbitkan pada 20 Februari 2021, di radioromalibera.org 

 

*****

 

“Seseorang yang tidak terpilih secara kanonik, akan diangkat kepada jabatan paus… karena pada hari-hari itu, Yesus Kristus akan mengirim kepada mereka bukan seorang pastor yang benar, tetapi seorang perusak.” St. Fransiskus dari Assisi  Meninggal: October 3, 1226

 

MDM, Kamis, 12 April 2012 jam 11.27

Paus berikutnya nanti akan dipilih oleh para anggota didalam Gereja Katolik namun dia adalah Nabi Palsu itu.

 

MDM, Minggu, 17 Februari 2013, jam 19.00

Kini nabi palsu itu akan mengambil alih Tahta di Roma.

 

13 Maret 2013 – Bergoglio menjadi paus.

 

*****

 

LDM, 16 Februari 2021

Enoch, 14 Februari 2021

Giselle Cardia 3, 6, 9, 13, 16 Februari 2021

Enoch, 16 Februari 2021

Giselle Cardia, 20 & 23 Februari 2021

LDM, 22 Februari 2021

Kristus Dan Komunisme