Seorang Penulis Katolik yang cukup
dihormati berkata:
Roma saat ini dalam
keadaan tanpa Paus – memang, Jorge Mario Bergoglio berada di sana, tetapi dia bukan Petrus
Bergoglio, yang tidak
suka menampilkan dirinya sebagai penerus pangeran para Rasul (Petrus), dan yang
telah menempatkan gelar 'Wakil Kristus' di bagian belakang Annuario Pontificio,
secara implisit memisahkan dirinya dari otoritas yang telah diberikan Tuhan kepada
Petrus dan para penerusnya.
Mon Feb 22,
2021 - 2:14 pm EST
AM113 / SHUTTERSTOCK
LifeSiteNews telah diblokir secara permanen di YouTube. Klik DI SINI untuk mendaftar untuk menerima
email saat kami menambahkan ke perpustakaan video kami.
Catatan editor: Artikel opini berikut ini ditulis oleh seorang jurnalis
Katolik Italia yang terkenal, Aldo Maria Valli. Selama lebih dari lima puluh
tahun Valli telah meliput Gereja dari perspektif Katolik. Ia dikenal karena
liputannya yang menyentuh tentang tahun-tahun dan hari-hari terakhir kepausan
Paus St. Yohanes Paulus II. Tulisan ini tidak selalu mencerminkan pandangan
LifeSiteNews.
22 Februari 2021 (Stilum Curiae) - Roma saat ini dalam keadaan tanpa Paus. Tesis yang ingin
saya dukung ini dapat diringkas dalam kata-kata berikut. Ketika saya mengatakan
Roma, saya tidak hanya mengacu pada kota di mana paus adalah uskupnya. Ketika
saya mengatakan Roma, yang saya maksud adalah dunia, maksud saya realitas saat
ini.
Paus, meski secara fisik hadir, pada kenyataannya tidak ada
di sana, karena dia tidak melakukan apa yang selayaknya dilakukan seorang paus.
Dia ada di sana, tetapi dia tidak melakukan tugasnya sebagai penerus Petrus dan
wakil Kristus. Jorge Mario Bergoglio memang ada di sana, namun Petrus tidak.
Siapakah paus itu? Definisi, tergantung pada apakah seseorang
ingin menyoroti aspek historis, teologis, atau pastoral, mungkin berbeda. Tapi,
pada dasarnya, paus adalah penerus Petrus. Dan, tugas apa yang diberikan Yesus
kepada rasul Petrus? Satu tangan, “Berilah makan domba-domba-Ku” (Yoh.
21:17); di tangan yang lain, “Apa pun yang kau ikat di bumi akan terikat juga
di surga, dan apa pun yang kau lepas di bumi akan dilepaskan juga di surga.”
(Mat. 16:19).
Inilah yang harus dilakukan seorang paus. Namun saat ini,
tidak ada orang yang melakukan tugas ini. “Dan engkau, jikalau engkau sudah
insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu seiman.” (Luk 22:32). Demikianlah kata
Yesus kepada Petrus. Tetapi hari ini Petrus tidak menggembalakan dombanya dan
dia tidak menguatkan mereka dalam iman. Mengapa? Ada seseorang yang menjawab:
Karena Bergoglio sama sekali tidak berbicara tentang Tuhan, hanya tentang
migran, ekologi, ekonomi, dan pertanyaan-pertanyaan sosial. Tapi ini tidak
benar. Sebenarnya, Bergoglio memang berbicara tentang Tuhan, tetapi yang muncul
dari keseluruhan khotbahnya adalah Tuhan
yang bukan Tuhan dalam Alkitab tetapi Tuhan yang tercemar, Tuhan yang lemah, atau lebih tepat
lagi, Tuhan yang beradaptasi.
Diadaptasikan dengan apa? Dengan manusia dan segala tuntutannya untuk
dibenarkan dalam hidup, seolah-olah dosa tidak ada lagi.
Bergoglio selalu menempatkan tema-tema sosial di pusat pengajarannya
dan, dengan pengecualian yang sporadis, tampaknya dia menjadi mangsa dari obsesi
yang sama dari budaya yang didominasi oleh politik, tetapi saya percaya bahwa
ini bukanlah alasan yang mendalam mengapa Roma dalam keadaan tanpa paus. Untuk
menonjolkan tema sosial, masih dimungkinkan untuk memiliki perspektif Kristen
dan Katolik yang otentik di dalamnya . Pertanyaannya, dengan Bergoglio ini, ada
pertanyaan lain: perspektif teologisnya
menyimpang. Dan ini dilakukan untuk alasan yang sangat spesifik: karena
Tuhan yang dibicarakan Bergoglio bukanlah Sosok yang suka mengampuni, melainkan
Dia yang menghilangkan semua kesalahan. Menganggap kesalahan itu tidak ada.
Dalam Amoris Laetitia
kita membaca: “Gereja harus mendampingi
dengan perhatian dan merawat yang paling lemah dari anak-anaknya” (Bab 8,
paragraf 291). Maaf, tapi yang benar tidak seperti itu. Gereja harus mempertobatkan orang berdosa.
Sekali lagi di dalam Amoris
Laetitia, kita membaca bahwa “Gereja
tidak mengabaikan unsur-unsur yang membangun dalam situasi-situasi yang belum
atau tidak lagi sesuai dengan ajarannya tentang pernikahan” (paragraf 314).
Maaf, kata-kata itu sangat ambigu. Dalam situasi yang tidak sesuai dengan
ajarannya (ajaran Gereja), akan ada juga “elemen konstruktif” (tapi ini dalam
arti apa?); akan tetapi, misi Gereja bukanlah untuk memberikan keabsahan pada
elemen-elemen (konstruktif) tersebut, melainkan untuk mempertobatkan jiwa-jiwa
kepada Kasih Ilahi, yang dianut seseorang dengan cara mematuhi
perintah-perintah Allah.
Dalam Amoris Laetitia
kita juga membaca: “Namun hati nurani
dapat melakukan lebih dari sekadar mengenali bahwa situasi tertentu tidak
sesuai secara objektif dengan tuntutan Injil secara keseluruhan. Ia (hati
nurani) juga dapat mengenali dengan ketulusan dan kejujuran apa yang untuk saat
ini adalah tanggapan paling ramah yang dapat diberikan kepada Tuhan, dan menganggap,
dengan jaminan moral tertentu, bahwa itulah yang diminta sendiri oleh Tuhan di
tengah kompleksitas konkret dari berbagai keterbatasan seseorang, meski tidak
sepenuhnya merupakan ideal yang obyektif.”(paragraf 303).
Sekali lagi disini ada ambiguitas. Pertama: tidak ada
“tuntutan keseluruhan” dari Injil, yang kurang lebih dapat dipatuhi. Hanya ada
Injil dengan isinya yang sangat spesifik; ada perintah-perintah dengan
kejelasannya. Kedua: Tuhan tidak pernah
- saya ulangi, tidak pernah - dapat meminta seseorang untuk hidup dalam dosa.
Ketiga: tidak ada orang yang dapat mengklaim memiliki "keamanan moral
tertentu" tentang "apa yang diminta Tuhan sendiri di tengah kompleksitas
konkret dari keterbatasan seseorang." Ekspresi yang kacau ini hanya
memiliki satu arti: melegitimasi
relativisme moral dan bermain-main dengan perintah-perintah Ilahi.
Tuhan yang seperti ini berkomitmen lebih dari apa pun untuk
membebaskan manusia dari kesalahan, Tuhan seperti ini selalu mencari-cari
keadaan yang meringankan, Tuhan seperti ini akan menahan diri dari memerintah
dan lebih memilih untuk memahami, Tuhan seperti ini yang "dekat dengan
kita seperti seorang ibu menyanyikan lagu pengantar tidur," Tuhan seperti ini
adalah bukan Hakim tetapi ‘Tuhan’ yang berpedoman pada "kedekatan,"
Tuhan seperti ini akan berbicara tentang "kelemahan" manusia dan
bukan tentang dosa, Tuhan yang tunduk pada logika pendampingan pastoral dan "ini
semua adalah karikatur dan cemoohan terhadap Tuhan yang ada dalam Alkitab. Karena
Tuhan, Tuhan dalam Alkitab, sangat sabar, tetapi tidak lemah; Dia sangat mengasihi,
tapi tidak bersifat permisif; Dia adalah sangat penuh perhatian, tetapi tidak bersikap
akomodatif. Singkatnya, Dia adalah sosok Bapa dalam arti atau istilah yang
paling lengkap dan paling otentik.
Perspektif yang diasumsikan oleh Bergoglio justru tampaknya serba
duniawi, yang seringkali tidak menolak sepenuhnya gagasan tentang Tuhan, tetapi
menolak karakteristik Tuhan yang tidak selaras dengan sikap permisif yang
merajalela di dunia saat ini. Dunia tidak menginginkan seorang ayah sejati,
yang mencintai dalam ukuran yang juga dia nilai, tetapi lebih menginginkan
seorang teman; atau lebih baik lagi, sesama pengelana yang membiarkan segala
sesuatunya berlalu dan berkata, “Who am I to judge?” ("Siapakah saya ini hingga berhak untuk menilai?")
Pada kesempatan lain saya telah menulis bahwa dengan
Bergoglio ini ada sebuah visi kemenangan yang menjungkirbalikkan kemenangan yang
otentik: visi yang mengatakan bahwa
Tuhan tidak memiliki hak, hanya kewajiban. Jadi, menurut Bergoglio, Tuhan tidak
memiliki hak untuk menerima penyembahan yang layak bagi-Nya, atau untuk tidak
diejek, tetapi Dia memiliki kewajiban untuk mengampuni. Menurut pandangan ini,
yang berlaku bagi manusia: manusia tidak
memiliki kewajiban, tetapi hanya memiliki hak. Manusia memiliki hak untuk
diampuni tetapi tidak memiliki kewajiban untuk bertobat. Seolah-olah ada kewajiban Tuhan untuk mengampuni dan hak manusia untuk
diampuni.
Inilah mengapa Bergoglio, yang digambarkan sebagai paus yang
berbelas kasih, menurut saya adalah paus
yang paling tidak berbelas kasih yang bisa dibayangkan. Faktanya, Bergoglio
mengabaikan bentuk pertama dan fundamental dari belas kasihan yang menjadi
milik-Nya dan hanya milik-Nya sendiri: Tuhan mengajarkan Hukum Ilahi dan,
dengan melakukan hal itu, Dia menunjukkan kepada makhluk manusia, dari
ketinggian otoritas tertinggi-Nya, jalan yang mengarah kepada keselamatan dan kehidupan
kekal.
Jika Bergoglio telah menemukan "tuhan" semacam ini
- yang dengan sengaja saya tunjukkan dengan huruf "t" kecil karena
bukan Allah Tritunggal yang kita sembah - itu karena bagi Bergoglio tidak ada
kesalahan apa pun hingga manusia harus meminta maaf, baik pribadi maupun
kolektif, baik dosa asal maupun dosa aktual. Tetapi jika tidak ada kesalahan
manusia, maka tidak perlu ada Penebusan juga; dan jika tidak membutuhkan
Penebusan, maka peristiwa Inkarnasi adalah tidak masuk akal, apalagi karya penyelamatan
dari satu Tabut Keselamatan, yaitu Gereja Kudus. Orang bertanya-tanya apakah
"tuhan" itu (tuhannya Bergoglio) bukan simia Dei - tiruan Tuhan –
yaitu Setan, yang mendorong kita menuju kutukan pada saat yang tepat ketika Bergoglio
menyangkal bahwa dosa dan kejahatan, dengan apa setan menggodai kita, dapat
membunuh jiwa kita dan menghukum kita sampai musnah selamanya dari Kebaikan
Tertinggi.
Karena itu, Roma memang tanpa paus. Tapi sementara dalam
novel distopia Guido Morselli berjudul Roma
senza papa secara fisik memang demikian, sejak paus fiksi tinggal di
Zagarolo, hari ini Roma adalah tanpa paus dalam cara yang jauh lebih mendalam
dan radikal.
Saya dapat mendengar jika ada yang keberatan: Tetapi
bagaimana Anda dapat mengatakan bahwa Roma tanpa paus ketika Fransiskus ada di
mana-mana? Dia ada di TV dan di surat kabar. Dia telah menjadi sampul majalah
Time, Newsweek, Rolling Stone, dan bahkan Forbes dan Vanity Fair. Dia ada di
situs web dan di banyak buku. Dia telah diwawancarai oleh semua orang, bahkan
oleh Gazzetta dello sport [catatan penerjemah: surat kabar harian olahraga
Italia yang merupakan surat kabar yang paling banyak dibaca dari semua jenisnya
di Italia]. Mungkin belum pernah sebelumnya seorang paus begitu banyak hadir
dan begitu populer. Saya dapat menjawab: itu
semua benar, tetapi dia adalah Bergoglio; dia bukan Petrus.
Pastilah tidak dilarang bagi wakil Kristus untuk menyibukkan
diri dengan hal-hal duniawi. Justru sebaliknya. Iman Kristen adalah iman yang
berinkarnasi, dan Tuhan orang Kristen adalah Tuhan yang menjadi manusia, yang
menjadi tokoh sejarah. Dengan demikian, Kekristenan menghindari ekses
spiritualisme. Tetapi berada di dunia
adalah satu hal, dan menjadi seperti dunia, itu adalah hal lain. Dengan
berbicara seperti dunia berbicara dan bernalar seperti dunia bernalar, Bergoglio telah membuat Petrus menguap dan Bergoglio
menempatkan dirinya di latar depan.
Saya ulangi: dunia, dunia kita yang lahir dari revolusi tahun
'68, tidak menginginkan seorang ayah sejati. Dunia lebih menyukai seorang
pendamping. Ajaran seorang ayah, jika dia adalah seorang ayah sejati, amat
melelahkan dan membosankan, karena ia menunjukkan jalan kebebasan yang bertanggung
jawab. Jauh lebih nyaman untuk memiliki seseorang di samping Anda, yang hanya
menemani Anda, tanpa mengajarkan dan menunjukkan apa pun. Dan inilah yang
dilakukan Bergoglio: dia menunjukkan "tuhan" yang bukan seorang ayah
tetapi seorang pendamping. Bukan kebetulan bahwa "gereja yang bersikap
terbuka" versi Bergoglio menyukai kata kerja "menemani atau
mendampingi" - seperti semua tindakan dari paham modernisme. Tetapi ini
adalah gereja yang sekedar menjadi rekan di jalan, yang membenarkan segalanya
(melalui konsep pemahaman yang terdistorsi) dan, pada akhirnya, merelatifkan
segalanya, termasuk dosa adalah relatif.
Yesus sendiri
cukup tegas dalam hal ini. “Celakalah
kamu, jika semua orang memuji kamu” (Luk. 6:26). “Berbahagialah kamu,
jika karena Anak Manusia orang membenci kamu, dan jika mereka mengucilkan kamu,
dan mencela kamu serta menolak namamu sebagai sesuatu yang jahat.” (Luk. 6:22).
Sesekali muncul rumor yang mengatakan bahwa Bergoglio juga
berpikir untuk mengundurkan diri, seperti halnya Benediktus XVI. Saya yakin dia
tidak memikirkan hal seperti ini, tetapi masalahnya bukan itu. Masalahnya
adalah bahwa Bergoglio secara de facto
menjadi protagonis atau tokoh dari proses
melepaskan diri dari tugas Petrus.
Saya telah menulis di tempat lain bahwa Bergoglio sekarang
telah menjadi kapelan PBB, dan saya percaya bahwa pilihan ini sangat berat.
Namun, yang lebih serius daripada ketaatannya pada agenda PBB dan apa yang
benar secara politis adalah bahwa dia tidak
berbicara kepada kita tentang Tuhan yang ada dalam Alkitab dan bahwa Tuhan
yang menjadi pusat khotbahnya adalah Tuhan yang menutup mata dan membersihkan
orang-orang berdosa dari kesalahan mereka, bukan Tuhan yang suka mengampuni.
Krisis dari figur ayah dan krisis kepausan ini berjalan
seiring. Sama seperti Bapa, yang ditolak dan dibongkar, diubah menjadi sekedar pendamping
tanpa memiliki hak untuk menunjukkan jalan-Nya, dengan cara yang sama paus ini
juga berhenti menjadi pembawa dan penafsir Hukum Ilahi yang obyektif dan lebih
suka menjadi sekedar pendamping.
Dengan cara ini, Petrus menghilang tepat ketika kita sangat
membutuhkannya untuk menunjukkan kepada kita Allah sebagai Bapa yang serba
bisa: Bapa yang penuh kasih: bukan karena Dia bersikap netral, tetapi karena Dia
menghakimi; Bapa yang penyayang: bukan karena dia permisif, tetapi karena Dia
berkomitmen untuk menunjukkan Jalan menuju kebaikan sejati; Bapa yang berbelas
kasih: bukan karena Dia seorang relativis, tetapi karena Dia ingin menunjukkan
Jalan menuju keselamatan.
Saya mengamati bahwa protagonisme di mana ego Bergoglian
memanjakan dirinya, bukanlah hal yang baru, tetapi sebagian besar kembali kepada
formulasi antroposentris konsilier baru, dan dimulai dengan hal itu maka para
paus, uskup, dan klerus menempatkan diri mereka lebih tinggi dari fungsi pelayanan
sakral mereka, keinginan mereka sendiri di depan keinginan Gereja, pendapat
mereka sendiri di atas ortodoksi Katolik, dan kemewahan liturgi mereka sendiri di
depan sakralitas ritus Gereja.
Personalisasi kepausan ini menjadi eksplisit karena Wakil
Kristus ingin menampilkan dirinya sebagai "satu seperti kita," menolak berperan sebagai plural humilitatis yang dengannya dia
menunjukkan bahwa dia berbicara bukan dalam kapasitas pribadi tetapi
bersama-sama dengan semua pendahulunya dan Roh Kudus yang sama. Mari kita
pikirkan: bahwa kata "Kami" yang sakral yang membuat Pius IX gemetar
dalam memproklamirkan dogma Yang Dikandung
Tanpa Noda serta sikap Santo Pius X dalam mengutuk paham modernisme, dan
kata “Kami” yang sakral itu tidak pernah dapat digunakan untuk mendukung
pemujaan berhala Pachamama, atau untuk merumuskan ambiguitas Amoris Laetitia atau sikap ketidakpedulian
dalam Fratelli Tutti.
Mengenai proses personalisasi dari kepausan ini (dimana
kemunculan dan perkembangan media massa memberikan kontribusi penting), kita
harus ingat bahwa ada suatu masa di mana, setidaknya sampai dan termasuk Pius
XII, tidak terlalu menjadi masalah bagi umat beriman tentang siapa yang menjadi
paus, karena bagaimanapun, mereka tahu dan sadar bahwa siapa pun dia, dia akan
selalu mengajarkan doktrin yang sama dan mengutuk kesalahan yang sama. Dalam menyambut
dan memuji paus, umat beriman bertepuk tangan bukan bagi orang yang berada di
tahta suci pada saat itu, tetapi lebih kepada kepausan, jabatan raja yang suci
Wakil Kristus, suara dari Pastor Tertinggi, Yesus Kristus.
Bergoglio, yang tidak suka menampilkan dirinya sebagai
penerus pangeran para Rasul, Petrus, dan yang telah menempatkan gelar
"Wakil Kristus" di bagian belakang Annuario Pontificio, secara implisit memisahkan dirinya dari
otoritas yang telah diberikan Tuhan kepada Petrus dan penerusnya. Dan ini bukan
pertanyaan kanonik belaka. Ini adalah kenyataan yang konsekuensinya sangat
serius bagi kepausan.
Kapankah Petrus akan kembali? Berapa lama Roma akan bertahan
tanpa seorang paus? Tidak ada gunanya bertanya. Rancangan Tuhan itu misterius.
Kita hanya bisa berdoa kepada Bapa Surgawi, dengan berkata: “Jadilah Kehendak-Mu,
bukan kehendakku. Dan kasihanilah kami para pendosa."
Pertama kali diterbitkan pada 20 Februari 2021, di radioromalibera.org
*****
“Seseorang yang tidak terpilih secara kanonik, akan diangkat
kepada jabatan paus… karena pada hari-hari itu, Yesus Kristus akan mengirim
kepada mereka bukan seorang pastor yang benar, tetapi seorang perusak.” St. Fransiskus dari Assisi Meninggal: October 3, 1226
MDM, Kamis, 12 April 2012 jam
11.27
Paus berikutnya nanti akan dipilih oleh para anggota didalam
Gereja Katolik namun dia adalah Nabi Palsu itu.
MDM, Minggu, 17 Februari 2013,
jam 19.00
Kini nabi palsu itu akan mengambil alih Tahta di Roma.
13 Maret 2013 – Bergoglio menjadi
paus.
*****
Giselle
Cardia 3, 6, 9, 13, 16 Februari 2021
Giselle
Cardia, 20 & 23 Februari 2021