These Last Days News - May 22, 2018
PATRICK J. BUCHANAN: BISAKAH SEORANG PAUS MERUBAH KEBENARAN MORAL?
PATRICK J. BUCHANAN: BISAKAH SEORANG PAUS MERUBAH KEBENARAN MORAL?
WND.com reported on May 21, 2018:
by Patrick J. Buchanan
Ucapan bercanda ini sering kami dengar ketika
masih sebagai anak-anak, “Apakah Paus Katolik?” sekarang ini pertanyaan itu mulai
nampak sebagai pertanyaan yang serius.
Lima tahun yang lalu ketika ditanya tentang
"lobi gay" di Vatikan, Paus Francis menjawab, "Jika seseorang
adalah gay dan dia mencari Tuhan dan memiliki niat baik, siapakah saya ini
hingga berhak untuk menilai?"
Karena penilaian benar/salah dianggap menjadi
bagian dari tugas kepausan, maka umat Katolik tradisional terkejut dengan apa
yang telah dilakukan oleh paus saat ini.
Sekarang Bapa Suci rupanya telah menyempurnakan
apa yang dimaksudkannya sejak semula.
Menurut seorang korban pelecehan sexual kanak-kanak
(pedofilia) yang dilakukan oleh seorang imam pedofil di Chili, Juan Carlos Cruz
(si kurban), seorang homoseksual, kepada siapa paus meminta maaf, saat itu Paus
Francis mengatakan: “Tuhan telah menciptakan kamu seperti ini (sebagai gay) dan
Dia mencintai kamu seperti ini dan saya tidak peduli. Paus juga mencintai kamu
seperti ini. Kamu harus merasa bahagia dengan keadaan dirimu (sebagai gay).”
Dan pihak Vatikan sama sekali tidak menyangkal
apa yang diucapkan Cruz.
Apa yang membuat kejadian ini luar biasa adalah
bahwa katekismus Gereja Katolik, berdasarkan Perjanjian Lama dan Baru serta Tradisi,
selalu mengajarkan bahwa homoseksualitas adalah gangguan moral, kecenderungan
terhadap hubungan seksual yang tidak wajar dan tidak bermoral.
Gagasan bahwa Tuhan bertanggung jawab atas
orientasi homoseksual, bahwa paus dan Gereja Katolik bersikap boleh-boleh saja
dengan orang yang tertarik secara sexual kepada sesama jenisnya, dan bahwa
mereka yang berorientasi seperti itu seharusnya merasa senang dan nyaman dengan
hal itu, kini memunculkan jati dirinya: bidaah!
Hal ini menyiratkan bahwa apa yang dianggap oleh umat
Katolik selama berabad-abad ini sebagai kebenaran moral, adalah salah, atau
bahwa kebenaran moral itu telah berevolusi dan harus dibuat sedemikian rupa untuk
menyesuaikan diri dengan modernisasi. Ini adalah bentuk relativisme moral:
Kebenaran berubah seiring berjalannya waktu.
Dan jika laporan Cruz akurat, maka posisi paus Francis
adalah semakin dekat dengan Hillary Clinton.
Pada 2016, pada acara penggalangan dana di New
York, Clinton membacakan litani terkenal dari dosa-dosa umum untuk menuduh dan menyalahkan
Donald Trump.
Kata Hillary, mereka adalah "rasis, seksis,
homophobic, xenophobic, Islamophobic."
Fobia adalah sebuah "ketakutan ekstrem atau
tidak rasional atau tidak suka pada sesuatu." Dengan demikian, Clinton
mengatakan bahwa mereka yang tidak menyukai homoseksualitas, secara moral atau
mental adalah sakit.
Namun, hingga Desember 1973, homoseksualitas itu
sendiri terdaftar sebagai gangguan mental oleh American Psychiatric
Association.
Moralitas baru yang kita dengar dari paus Francis
dan Hillary ini mencerminkan perubahan historis dalam pemikiran moral Barat. Percaya
bahwa homoseksualitas adalah normal dan alami, dan tidak hanya dapat diterima,
tetapi bahkan patut dipuji, telah mewarnai hari-hari Gereja dan masyarakat saat
ini.
Legislatif dan pengadilan telah menulis
"kebenaran" ini ke dalam hukum negara. Telah diketahui oleh Mahkamah
Agung bahwa di balik Konstitusi itu, para penulisnya masih menganggap dan memperlakukan tindakan
homoseksualitas sebagai kejahatan besar.
Namun dari perubahan bersejarah ini, pertanyaan
muncul secara alami:
Mengenai isu homoseksualitas, sudahkah kita naik
ke tingkat moral yang lebih tinggi? Atau apakah Amerika telah membuang
kebenaran yang kita yakini selama ini dan menggantikannya dengan prinsip-prinsip
ideologi yang mungkin secara politis dan budaya berpengaruh, tetapi tidak
berakar pada apa-apa selain penekanan dan kebohongan yang tanpa dasar?
Renungkanlah pandangan Kardinal Gerhard Muller,
yang belakangan dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Kongregasi untuk Ajaran
Iman, apa yang sebenarnya ada di balik dorongan untuk memiliki sikap “homofobia”
(takut dengan homosex) yang dianggap sebagai gangguan mental.
“Homofobia adalah penemuan dan instrumen dominasi
totaliter atas pikiran orang lain. Gerakan homo kurang memiliki argumen ilmiah,
karena itu ia menciptakan ideologi yang ingin mendominasi dengan cara menciptakan
realitasnya sendiri.”
Singkatnya, kaum Marxis kultural dan sekutu
progresif mereka telah menetapkan pernyataan ideologis: homoseksualitas adalah
normal, alami dan bermoral, tanpa landasan historis, biologis atau ilmiah, dan
menegaskannya sebagai kebenaran, menetapkannya sebagai hukum, dan menuntut agar
kita menerima dan mendukung ‘kebenaran’ ini, atau kita harus menghadapi murka dari
rezim yang berkuasa.
Kard. Muller berkata: “Ini adalah pola atau cara Marxis
yang menurutnya realitas tidaklah menciptakan pemikiran, tetapi pemikiran menciptakan
realitasnya sendiri. Dia yang tidak menerima kenyataan yang diciptakannya ini,
haruslah dianggap sakit.”
“Hal itu seolah seseorang dapat menyembuhkan suatu
penyakit dengan bantuan polisi atau dengan bantuan pengadilan. Di Uni Soviet, banyak
orang Kristen dimasukkan ke dalam klinik psikiatri. Ini adalah metode dari sebuah
rezim totaliter, dari Sosialisme dan Komunisme.”
Seperti yang ditulis oleh Russell Kirk, ideologi
adalah agama politik. Dan dogma-dogma agama politik yang semakin menguasai kita
saat ini telah mengesampingkan ajaran-ajaran Kristiani dan tradisi.
Sejak terjadinya ‘Kerusukan Stonewall’ tahun 1969, hubungan homoseksual telah
berubah dari yang semula dianggap sebagai tidak senonoh dan tidak bermoral, kemudian
menjadi hubungan yang bisa ditoleransi, bisa diterima, dan berada di tataran yang
sama dengan pernikahan tradisional, dan ‘perkawinan’ homosex menjadi hak
konstitusional setiap orang.
Dan jika anda tidak mau menerima moralitas baru
itu, anda adalah orang yang sangat menyedihkan. Dan jika anda bertindak atas
ketidakpercayaan anda dalam kesetaraan homosex, maka anda akan dikucilkan dan
dihukum.
Kebenaran yang disingkirkan guna membangun
peradaban terbesar yang dikenal oleh manusia (meski peradaban itu ‘tidak
beradab’). Akankah kebenaran-kebenaran yang diciptakan oleh egalitarianisme
baru ini mampu bertahan menghadapi kedatangan orang-orang barbar yang baru? Nampaknya
tidak.
_____________________________________
Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga
akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di sorga. Tetapi
barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di
depan Bapa-Ku yang di sorga."
"Apakah kamu begitu buta hingga
kamu tidak mengenali semakin cepatnya dosa dilakukan di antara kamu? Pembunuhan melimpah,
pencurian, segala macam pembantaian, penghancuran jiwa-jiwa kaum muda, aborsi,
homoseksualitas, sudah dikutuk sejak awal zaman oleh Bapa Yang Kekal. Namun
dosa telah menjadi sebuah jalan hidup. Dosa telah dimaafkan saat ini, bahkan oleh
para hakim tertinggi di negerimu dan negara-negara di seluruh dunia. Apa yang kau
tabur, itulah yang akan kau tuai. Dosa
adalah kematian, bukan hanya pada roh, tetapi juga pada tubuh. Perang adalah
hukuman atas dosa manusia, keserakahannya, dan ketamakannya." - Our Lady of the Roses, 14 Agustus 1981
"Aku melihat bahwa para imam dari
jajaran tinggi di Rumah Tuhan telah menjadi lunak dalam cara hidup mereka.
Mereka melayani tubuh mereka dan tidak ingin berkorban dan melakukan penebusan
dosa. Tidak ada jalan yang mudah menuju Kerajaan. Mereka akan terpaksa bertekuk
lutut, dan mereka akan kelaparan di dalam tubuh jasmani mereka sampai saatnya mereka
membuang semua setan yang ada dalam diri mereka.
"Kecuali kamu mau mendengarkan
peringatanku saat ini, maka kamu akan jatuh ke dalam perangkap yang sedang dipasang
bagimu. Musuh telah berada di dalam Rumah Allah. Dia berusaha untuk menyingkirkan
Wakilmu dari antara kamu, dan ketika dia melakukannya dia akan menempatkan
seorang pria dari rahasia-rahasia gelap di atas Tahta Petrus! " - St.
Thomas Aquinas, 21 Agustus 1972
Silakan melihat artikel lainnya
disini : http://devosi-maria.blogspot.co.id/
No comments:
Post a Comment