UMAT KRISTIANI BERALIH KE YOGA, REIKI, KARENA MISTERI-MISTERI
SUPERNATURAL DARI IMAN MEREKA DIABAIKAN
25
Juni 2018 (The
Catholic Gentleman) - Baru-baru ini saya mengunjungi situs web perusahaan
populer yang menjual produk seperti deodoran dan pasta gigi dengan bahan-bahan
alami. Ingin tahu lebih banyak tentang bisnis ini, saya mengunjungi blog mereka
yang konon tentang tren terbaru dalam bidang kesehatan dan kebugaran.
Apa
yang menyambut saya dalam blog itu bukan seperti yang saya harapkan. Bukannya tips
tentang olahraga atau makan sehat, blog ini justru menampilkan cerita tentang kekuatan penyembuhan kristal dan manfaat
dari membaca kartu tarot. Ini sekaligus mengejutkan dan tak terduga bagi
saya, karena praktek-praktek New Age dan okultisme, dalam berbagai bentuknya, telah
mengalami kebangkitan besar, terutama di kalangan generasi millennial. Dan itu dilakukan oleh perusahaan yang
menjual pasta gigi!
Tidaklah
berlebihan untuk mengatakan bahwa, terlepas dari upaya terbaik dari kaum New Atheists (Atheist Baru), bahwa budaya kita lebih banyak dibanjiri
dengan spiritualitas daripada saat-saat sebelumnya. Seseorang hampir tidak
dapat pergi ke mana-mana hari ini tanpa melihat produk, artikel, dan guru-guru
populer yang mendorong praktek-praktek seperti yoga, meditasi, reiki - dan
sekarang, kartu tarot dan kristal – dimana hal ini dianggap sama pentingnya
dengan gaya hidup yang sehat. Dalam dunia hiburan, serial yang sangat populer
seperti Harry Potter, Star Wars, dan Game of Thrones semuanya menggunakan
tema-tema sihir dan supranatural.
Apa
yang harus kita lakukan dari semua ini?
Bidaah ... atau Kelaparan (spirituil)
Dari sudut
pandang ajaran Kristiani, banyak dari tren ini tidak diragukan lagi adalah tergolong
tersangka atau benar-benar sesat. Namun, kita harus berpikir dengan hati-hati
sebelum mengeluarkan kutukan atas mereka, karena sementara praktek-praktek itu
bisa dikatakan sebagai hal yang salah kaprah, tetapi banyak dari permainan budaya
kita dengan dunia okultisme benar-benar mengkhianati rasa lapar yang mendalam bagi
hal-hal yang supranatural.
Teolog
Alexander Schmemann pernah berkata, "Mengutuk suatu bidaah itu relatif
mudah. Yang jauh lebih sukar adalah mendeteksi pertanyaan atas
akibat-akibatnya, serta memberikan jawaban yang cukup memadai kepada pertanyaan
ini." Dia benar. Sebagai umat Katolik, kita sering terburu-buru untuk
menunjukkan apa yang salah dalam praktek-praktek neo-pagan itu hingga kita kehilangan,
atau melalaikan, pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendalam atas jati diri dan
akibat-akibat dari praktek itu. Dan yang pasti, kita akan gagal dalam memberikan
jawaban yang memuaskan.
Sejatinya
budaya kita saat ini sedang kelaparan akan hal-hal yang supranatural. Generasi
saya telah dibesarkan untuk mempercayai bahwa kita tidak lebih dari pada monyet
canggih, yang secara tidak disengaja menjadi ada, yang tinggal pada sebuah batu
luar angkasa (bumi), yang beruntung (bisa mengambang) di lautan kosong dalam
alam semesta yang tidak peduli apakah kita hidup atau mati. Ini adalah sebuah
‘keputusasaan’ yang mewujud dalam tingkatannya yang paling tinggi. Selain itu,
kita juga telah diberitahu dan dididik sejak masa bayi, bahwa ilmu pengetahuan memiliki
jawaban bagi hampir semua pertanyaan tentang keberadaan segala sesuatu, dan
jika ada yang tidak terjawab, ia akan segera terselesaikan. Bagi setiap
pertanyaan, pastilah ada jawabannya, bahkan sebelum anda menanyakannya. Maka ‘keberadaan’
demikian tidak lagi luar biasa aneh dan menakjubkan, tetapi hal itu merupakan
sesuatu yang bersifat fisik dan duniawi belaka, dan membosankan.
Akibatnya,
kaum dewasa muda saat ini banyak yang putus asa dalam menghadapi misteri yang otentik.
Hal-hal seperti astrologi dan kristal sungguh menarik bagi mereka karena hal
itu aneh dan menentang paradigma ilmiah-materialis. Tentu saja ada penjelasan bagi
cara kerjanya, tetapi mereka membutuhkan tingkat kepercayaan tertentu. Dan
terlepas dari apa yang dinyatakan oleh orang-orang atheis yang sombong, kita
ingin memiliki keyakinan pada sesuatu yang tidak dapat kita jelaskan
sepenuhnya. Pada dasarnya kita adalah makhluk religius, dan secara naluriah
kita tahu bahwa ada lebih banyak lagi hal di dunia daripada yang kelihatan.
Kita ini lapar akan keajaiban dan misteri, dan kita akan menerima hal pertama
yang datang kepada kita, apakah itu benar atau salah, asalkan ia bisa menawarkan
keajaiban dan misteri itu.
Kegagalan
Kristianitas
Sekarang, anda mungkin membaca tulisan ini dan
berpikir bahwa kristianitas, khususnya Katolik, percaya dan menyatakan keberadaan
realitas supranatural, jadi mengapa kita meninggalkannya untuk mengejar praktek-praktek
neo-pagan? Bukankah rasa lapar mereka akan hal-hal yang supernatural akan bisa terpuaskan
di paroki-paroki lokal mereka? Ya dan tidak.
Ya, karena misteri supranatural yang diajarkan oleh Gereja memang ada. Tidak,
karena dalam prakteknya kita sering menyangkalnya.
Kita
mengaku percaya pada malaikat dan malaikat agung dan sejumlah orang-orang kudus
yang bergabung bersama kita di dalam doa. Namun, kita telah melucuti peranan gereja
kita dan menjadikannya sebagai pusat bisnis dengan karpet berwarna krem, bukan sebagai
bait-bait yang suci.
Kami
mengaku percaya bahwa pada setiap Misa Kudus ada mukjizat yang menghadirkan Tuhan
secara jasmani untuk tinggal di antara kita. Namun kita menjadikan liturgi kita
sebagai sebuah urusan kenyamanan, menghilangkan segala sesuatu yang sulit
dimengerti atau dilakukan, yang membingungkan, yang menakjubkan, kuno, atau
misterius. Kita menyanyikan lagu-lagu pop, bergandengan tangan, dan membagikan
misteri terbesar, Ekaristi Kudus, seperti camilan di kafetaria, tanpa rasa
hormat yang selayaknya.
Kita mengklaim
para imam memiliki kekuatan supernatural untuk menguduskan, memberkati, dan
berkhotbah. Namun kita mempermudah atau mengubah formula-formula suci mereka,
menghilangkan ritual mereka, dan mendistribusikan tugas mereka kepada umat awam
(asisten imam) sesering mungkin.
Kita mengaku percaya kepada Yang Maha Kuasa,
Pencipta segala sesuatu, dimana dihadapan-Nya roh-roh yang terbakar menutupi
wajah-wajah mereka, namun kita bersikeras menyeret-Nya kepada tingkatan yang
setara dengan kita untuk mengakomodasi kebutuhan dan dosa-dosa kita. Kita mengatakan
bahwa kita percaya akan misteri supernatural, tetapi kita berusaha, dengan
segenap kekuatan kita, untuk menghancurkannya di setiap perbuatan kita.
Jika lex orandi, lex credendi (aturan doa menjadi
aturan iman) adalah benar, maka kita tidak percaya pada apa yang kita
katakan ‘kita percaya.’
Kristiani
sekuler
Sejujurnya,
kita telah gagal untuk menawarkan perjumpaan dengan misteri dalam beberapa
waktu sekarang ini. Pengabaian iman secara besar-besaran oleh kaum muda
bukanlah tanda dari kefasikan mereka, tetapi ini adalah sebagai dakwaan atas ketidakpercayaan
praktis dari kita sendiri.
Sebagai
umat Katolik, sejak dahulu kita telah merubah iman menjadi sebuah permainan
intelektual tanpa unsur mistisisme, kita lebih mengutamakan pada filosofi yang
jelas dan kerangka teologis yang diartikulasikan dengan baik. Tetapi kitab-kitab
filosofi ini tak memiliki roh atau semangat, teologi filosofis tanpa perjumpaan
mistik, berarti membunuh. Itu adalah kepala tanpa hati, dan ia tak bisa memberi
kehidupan.
Ketika
dunia berjalan menjauh - bosan dengan jawaban buku-buku teks dan haus akan
Misteri Transenden - kita menjadi semakin bersifat duniawi. Kita menerima modernitas,
modernitas sekuler, yang melucuti iman kita dari segala sesuatu yang bersifat supernatural,
hingga kita kehilangan kredibilitas yang kita miliki.
Realita
yang ada, adalah bahwa kebanyakan dari kita hidup seperti orang sekuler yang komplit
pada sebagian besar waktu kita. Kita mengklaim percaya pada realitas
supranatural, tetapi kita membagi-baginya menjadi satu jam saja, satu hari per
minggu (dalam ibadah Misa) - dan bahkan mungkin tidak melakukan hal itu sama
sekali. Surga selalu berada di suatu tempat yang jauh di luar sana, dan ia tidak
pernah benar-benar mengganggu eksistensi harian kita. Kita tidak menganggap serius
para pria dan wanita modern yang haus akan hal-hal yang gaib karena kita tidak
percaya pada hal-hal gaib, terlepas dari apa yang kita katakan bahwa kita
percaya hal itu.
Jawabannya
Saya memang
bersikap kritis terhadap poin ini karena cukup membuat saya marah jika melihat
banyak umat Katolik yang secara praktis menyangkal realitas supranatural dari
iman kita dengan melakukan liturgi-liturgi yang tidak hormat atau bahkan
meremehkan hal-hal yang paling suci dari agama kita, dan kemudian kita melihat
umat Katolik yang sama itu juga mengkritik kesalahan-kesalahan kaum muda
neo-pagan. Kecuali kita mau menerima dan melaksanakan iman kita sendiri dengan
serius, maka tidak ada orang lain yang akan melakukannya.
Tetapi
saya tidak hanya ingin mengkritik, saya juga ingin menawarkan solusi.
Jawabannya tidak sulit untuk dipahami. Sederhananya begini: Ajarkanlah realitas
supernatural iman kita di setiap kesempatan, pulihkanlah tradisi-tradisi yang
melestarikan dan menghormati kenyataan ini, dan dengan demikian kita menawarkan
suatu perjumpaan dengan apa yang disebut seorang teolog sebagai mysterium tremendum et fascinans – Misteri
Agung dan Menakjubkan - yaitu Tuhan Mahakuasa.
Karena
di mana saja Ekaristi Kudus diperlakukan dengan penghormatan yang besar dan sepenuh
hati, di mana saja gedung-gedung masih tampak dan diperlakukan sebagai bait pemujaan
dan penyembahan, di mana saja orang-orang kudus masih dihormati dan para
malaikat dipanggil, di mana saja para imam dihormati sebagai mediator yang memiliki
berkat karunia supernatural, di mana saja mukjizat-mukjizat masih dipercayai
dan terjadi, maka iman akan bertumbuh. Dan hampir selalu orang-orang muda akan berduyun-duyun
datang ke tempat-tempat seperti itu.
Jika
kita ingin menjadi alternatif yang layak untuk menggantikan praktek neo-paganisme,
maka kita perlu merangkul sekali lagi tradisi supranatural dari iman kita, bahasa-bahasa
suci dalam ibadat kita, ritus-ritus dan formula-formula kita yang lama dan yang
kita hormati, praktek-praktek mistik Katolik kita, siimbol-simbol kita yang
kuno, tradisi mistik dari doa-doa kita. Kita tidak hanya membutuhkan lebih
banyak lagi katekese, seolah hanya ide-ide saja yang dapat menyelamatkan kita.
Kita membutuhkan lebih banyak lagi misteri, lebih banyak lagi transendensi,
lebih banyak ritual, lebih banyak hal-hal ajaib, dan tidak lagi ada kata yang
lebih baik dari ini.
Setiap
umat Katolik harus menjadi seorang mistikus, dalam arti bahwa kita harus
menghidupkan suasana supranatural bagi jiwa kita, sama seperti kita menghirup udara
bagi kehidupan tubuh kita, karena memang demikianlah yang harus dilakukan. Setelah
itu, dan hanya setelah itu, kita akan dapat berbicara secara otentik kepada
dunia yang haus akan sesuatu yang ilahi.
Published with permission from The Catholic Gentleman.
Silakan melihat artikel lainnya
disini : http://devosi-maria.blogspot.co.id/
No comments:
Post a Comment