PENENTANGAN TERUS MENINGKAT TERHADAP INTERKOMUNI
(Interkomuni: pemberian Komuni Kudus kepada orang non-Katolik)
SEORANG AHLI HUKUM CANON MENGATAKAN BAHWA PAUS TELAH
MENCIPTAKAN SEBUAH “KEKACAUAN TOTAL”
Pernyataan kepausan 21 Juni 2018 tentang selebaran dan pedoman
dari uskup-uskup Jerman yang memungkinkan beberapa pasangan Protestan-Katolik
untuk menerima Komuni Kudus telah menimbulkan reaksi keras dari beberapa pihak,
termasuk seorang ahli kanonik Jerman ( Profesor Thomas Schüller), seorang
profesor hukum
kanon di Universitas Münster, yang mengatakan bahwa Paus dan para
dikasterinya telah menciptakan "tambal sulam pastoral" dan "suasana
berantakan secara lengkap."
Seperti yang kami laporkan
pada awal bulan ini, Paus Fransiskus, dalam penerbangannya kembali dari Jenewa
ke Roma, mengklaim bahwa selebaran dari uskup-uskup Jerman bermasalah, bukan
karena isinya, tetapi karena hal itu tidak
sesuai dengan hukum kanon saat ini (canon 844). Hukum ini tidak mengizinkan
konferensi waligereja untuk mengatur hal-hal seperti misalnya pertanyaan
tentang apa yang merupakan “situasi darurat” yang diindikasikan oleh hukum kanon
ini sehingga memungkinkan seorang Protestan yang menikah dengan seorang Katolik,
untuk menerima Komuni Kudus. (Di sini, kami mengingatkan
para pembaca bahwa Kardinal Walter Brandmüller dan yang lain-lainnya telah
menunjukkan bahwa Paus telah salah dalam pernyataannya ini.) Paus Fransiskus
juga mengatakan bahwa sesuatu yang dihasilkan dalam sebuah konferensi
waligereja akan dengan cepat tersebar secara universal". Dan Paus Francis
tetap memuji dokumen dari uskup-uskup Jerman itu sebagai hal yang "dilakukan
dengan baik.”
Sebagaimana surat kabar Jerman Frankfurter Rundschau melaporkan
pada 22 Juni 2018, bahwa Profesor Schüller saat ini “sangat terkejut dengan
pesan-pesan penerbangan Paus.” Menurut Schüller, yang mengatakan bahwa ucapan paus
bersifat “ambigu dan sebagian samar-samar.” Dia juga mengatakan kepada surat
kabar itu bahwa klaim dari paus bahwa setiap keputusan konferensi uskup-uskup akan
“tersebar secara universal" tidak hanya salah, menurut hukum kanon, tetapi
ia juga bertentangan dengan niat Paus sendiri untuk mendelegasikan kompetensi
ke tingkat nasional (gereja lokal). Profesor Schüller berkomentar sebagai
berikut:
... Jelas sekali bahwa Francis ingin menenangkan konflik para
uskup Jerman dengan membiarkan semua orang melakukan apa yang diinginkannya. Bagi
kaum progresif, tentang siapa Paus mengatakan bahwa mereka telah
"melakukan" tugas mereka "dengan baik," masih banyak ruang
lingkup bermasalah yang berkaitan dengan isinya.
Profesor Schüller tampaknya memiliki keberatan yang besar
tentang kelalaian paus ini sehubungan dengan pemberian Komuni Kudus kepada pasangan
Protestan. Dia mengatakan bahwa, jika hal itu menjadi solusi dalam kasus-kasus
individu yang berbeda dari satu keuskupan dengan keuskupan lain, maka di Jerman
akan terciptalah sebuah "tambal sulam pastoral” - yang merupakan sebuah situasi
yang tidak masuk akal, karena situasi ekumenis dalam perkawinan campur adalah
hampir sama di mana-mana.” Profesor Jerman itu hanya bisa menggeleng-gelengkan
kepalanya, karena dengan membuat keputusan seperti itu, Paus dan para
dikasterinya telah menciptakan semacam “kekacauan total” di dalam gereja Katolik.
Profesor Schüller bukanlah satu-satunya orang yang menentang penafsiran
liberal atas hukum canon 844 CIC serta pendekatan yang lebih longgar pada pemberian
Komuni bagi umat non-Katolik, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para uskup
Jerman saat ini.
Seorang imam dan ahli hukum Canon lainnya, Profesor Christoph Ohly
dari Trier, mengatakan dalam sebuah wawancara
21 Mei 2018 lalu dengan surat kabar Katolik Jerman Die Tagespost, bahwa Paus memiliki otoritas terbatas dalam masalah ini
karena otoritasnya "harus tunduk kepada Hukum Ilahi." Paus tidak
bisa, kata Prof. Ohly menambahkan, melampaui atau mengubahnya (hukum Canon). Menurut
Prof. Ohly, “Keyakinan bahwa kesatuan eklesial dan kesatuan sakramental adalah saling
memiliki” membuat “perubahan seperti ini adalah mustahil.” Hanya dalam situasi
darurat yang gawat atau dalam bahaya langsung kematian, interkomuni itu bisa diberikan.
Hukum Canon 844 §4, memungkinkan seorang Kristen Protestan
menerima Komuni Kudus. Tetapi “Iman, Hukum Gereja, dan pendampingan pastoral
tidak dapat dipisahkan,” demikian kata Prof. Ohly dalam wawancara sebelumnya.
Dia juga menegaskan bahwa pertanyaan mengenai pemberian Komuni kepada pasangan
Protestan ini berada di tangan Gereja Universal dan bukan di tangan konferensi
waligereja lokal manapun.
(Canon 844 §4. Jika
ada bahaya mati atau menurut penilaian Uskup diosesan atau Konferensi
para Uskup ada keperluan berat lain yang mendesak, pelayan-pelayan
katolik menerimakan secara licit sakramen-sakramen tersebut juga kepada
orang-orang kristen lain yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja
katolik, dan tidak dapat menghadap pelayan jemaatnya sendiri serta secara
sukarela memintanya, asalkan mengenai sakramen-sakramen itu mereka
memperlihatkan iman katolik dan berdisposisi baik.)
Marianne Schlosser, Profesor Teologi di Universitas Wina, Austria,
dan anggota dari Komisi Teologi Internasional Vatikan, memperingatkan terhadap
bahaya "relativisme" ini, sehubungan dengan debat mengenai sakramental
saat ini. Dalam sebuah wawancara dengan Domradio.de,
stasiun radio Diocese of Cologne, Prof.Schlosser menunjukkan bahaya dari adanya
tekanan yang meningkat untuk melakukan interkomuni, jika sekali saja ada pasangan
Protestan-Katolik secara resmi diizinkan untuk menerima Komuni Kudus. “Akankah
tekanan moral tidak dilakukan untuk melakukan upacara ‘perjamuan terakhir’ pada
ibadah Protestan?,” dia bertanya, dengan mengacu pada ajakan yang sudah lama
ada, untuk mengadakan ‘perjamuan terakhir’ versi umat Katolik, sebagaimana yang
pernah dinyatakan secara terbuka oleh umat Protestan. Selain itu, Schlosser
juga bertanya-tanya mengapa orang-orang Protestan yang ingin menerima Komuni
Kudus tidak juga memiliki “keinginan yang mendesak untuk menerima Sakramen
Tobat dan Sakramen Perminyakan.”
Prof. Schlosser juga menekankan bahwa pernyataan "situasi
darurat" seperti yang disebutkan di dalam Canon 844 mengacu pada situasi
yang disebabkan oleh "keadaan eksternal," seperti misalnya ketidakmungkinan
untuk menemui pendetanya sendiri. “Karena itu hubungan prinsip antara
keanggotaan Gereja dan keikutsertaan resmi dalam Sakramen-sakramen tidaklah bisa
dihapuskan,” dia menjelaskan. Prof.
Schlosser adalah anggota kedua dari Komisi Teologi Internasional yang
mengajukan keberatan terhadap selebaran pastoral dari uskup-uskup Jerman
tentang Komuni untuk pasangan Protestan, sebuah selebaran berisi pedoman yang
baru-baru ini dipuji-puji oleh Paus Fransiskus. Anggota pertama yang menyampaikan
keberatannya adalah Profesor Karl-Heinz Menke. Menke telah menyebut
selebaran ini "cacat secara teologis" dan "tidak
bijaksana," dan dia bahkan mengklaim bahwa persetujuan dua-pertiga dari
dokumen ini oleh para uskup Jerman adalah "tidak sah."
Dengan demikian, kedua anggota ini telah bertindak sejalan dengan
tugas Komisi Teologi Internasional, yaitu “membantu Tahta Suci dan terutama
Kongregasi untuk Ajaran Iman dalam memeriksa pertanyaan-pertanyaan doktrinal
yang sangat penting.”
Akan lebih baik jika Paus sendiri dengan penuh perhatian
untuk memperhatikan nasihat ini.
Paus Fransiskus juga akan bertindak bijaksana jika dia mau mendengarkan
suara-suara dari jajaran yang lebih tinggi yang menentang selebaran interkomuni
dari Jerman ini. Bukan hanya Kardinal
Willem Eijk yang merasa keberatan, tetapi juga Kardinal
Walter Brandmüller dan Kardinal Gerhard Müller, Kardinal Paul Josef Cordes,
Uskup Agung Charles Chaput, dan Uskup
Athanasius Schneider, ini hanya contoh dari beberapa nama saja. Kardinal
Cordes mengatakan pada bulan April
2018, misalnya, bahwa selebaran interkomuni dari uskup-uskup Jerman “tidak sah secara
teologis.”
Kardinal Müller, dalam sebuah pernyataan baru yang ditulis
untuk edisi
Juli jurnal Jerman Herder
Korrespondenz, juga menentang inovasi pastoral dari Jerman yang berkaitan
dengan pasangan Protestan dan Komuni Kudus. Dia menyesalkan tumbuh suburnya "iklim
anti-dogmatik" di dalam Gereja Katolik saat ini serta ramainya "perang
kata-kata sesat" mengenai selebaran pastoral Jerman. Dia juga menyebut
saran awal dari Paus, yaitu bahwa para uskup Jerman, entah bagaimana caranya, harus
mencapai "keputusan bulat," sebuah "intervensi yang
menyebar." Kardinal Müller mengingatkan kita bahwa "Paus bukanlah mediator
dalam perjuangan antar partai," tetapi, lebih tepatnya, dia adalah “seorang
saksi atas kebenaran yang menyatukan Gereja di dalam Kristus.”
Selain itu, Kardinal Jerman dan mantan kepala ‘Kongregasi bagi
Doktrin’ memperingatkan bahwa "apa yang secara dogmatis adalah salah, akan
menjadi destruktif bagi keselamatan jiwa ketika hal itu dilaksanakan dalam pendampingan
pastoral yang diatur oleh prinsip-prinsip yang bertentangan dengan iman.” Kardinal
itu mengtatakan bahwa eseorang tidak boleh dengan sengaja “membiarkan ajaran tidak
tersentuh secara eksternal” (yaitu, tidak mengubah kata-katanya), ”tetapi, pada
saat yang sama dia justru memberinya “makna yang sama sekali berbeda atau
bahkan bertentangan”.
Kardinal Müller juga mengutip beberapa teks dari sejarah awal
Gereja - seperti dari tulisan-tulisan St. Justin dan St. Ignatius dari
Antiokhia - yang menjelaskan bahwa penerimaan
Sakramen Tobat dan penerimaan sepenuhnya atas ajaran Gereja, serta kehidupan
menurut hukum-hukum Kristus, adalah menjadi prasyarat bagi penerimaan Komuni
Kudus. Hubungan antara Ekaristi Kudus dan penerimaan otoritas uskup Katolik
juga ditekankan. Dengan demikian, kata kardinal Müller, Ekaristi Kudus adalah "sarana bagi kehidupan yang kekal" dan
bukan "obat untuk melawan tekanan psikologis dan kesulitan dalam kehidupan
pasangan yang sudah menikah."
Karena itu Ekaristi Kudus “tidak dapat memulihkan kesatuan gerejawi
yang hilang” secara fisik, jika tidak ada “kesatuan supranatural yang dilakukan
lebih dahulu dengan bantuan sebuah Kredo, Tujuh Sakramen, dan persekutuan yang nyata
dengan Paus dan para uskup." Untuk mengajak umat non-Katolik menerima Komuni
Kudus nampaknya hanya sebagai bentuk "kemurahan hati yang kelihatan dari luar"
dan tindakan semacam itu dalam kenyataannya adalah "mengungkapkan penghinaan terhadap Iman yang diwahyukan, yang hanya
dipercayakan kepada Gereja Katolik saja.”
Bahkan Uskup Agung Luis Ladaria, yang akan diangkat menjadi Kardinal,
penerus Kardinal Müller pada Kongregasi untuk Ajaran Iman, mengatakan
hari ini pada konferensi pers di Roma bahwa, bagi para uskup Jerman untuk
membuat keputusan sendiri tentang suatu masalah yang sangat penting bagi Iman “akan
dapat menciptakan kebingungan.” “Hal ini mengkhawatirkan Gereja Universal,”
tambahnya. Sebuah solusi haruslah ditemukan “bagi seluruh Gereja.”
Sungguh sangat diharapkan bahwa
Paus Fransiskus sendiri yang akan memperhatikan Prefeknya sendiri, para
penasihat teologisnya sendiri, para kardinalnya, serta suara hati nurani yang terbentuk dengan baik.
Silakan melihat artikel lainnya
disini : http://devosi-maria.blogspot.co.id/
No comments:
Post a Comment