HUKUM
CANON
DAN PENGAKUAN DOSA:
KONFLIK BERIKUTNYA DENGAN AMORIS LAETITIA
Seperti yang telah diduga, kasus pertama kini
muncul di mana ada imam-imam dihukum karena tidak sejalan dengan ‘semangat baru’
Amoris Laetitia. Artinya, karena imam-imam
itu tidak bersedia memberikan Sakramen-sakramen (terutama Sakramen Tobat dan
Ekaristi) kepada umat yang bercerai dan menikah lagi dimana umat itu tidak berniat untuk mengubah cara hidupnya
(yang berdosa itu), namun dia ingin menerima Sakramen-sakramen.
Sekarang kita memiliki sebuah kasus di
Kolombia, kasus yang dialami oleh Pastor
Luis Alberto Uribe Medina, yang "ditegur dan ditangguhkan tugas
imamatnya oleh Uskupnya karena dia mengkritik secara terbuka ‘doktrin baru’ yang
diciptakan [sic] oleh Paus Francis tentang Perkawinan dan penerimaan Sakramen
Mahakudus, demikian menurut media Katolik Rorate
Caeli.
Kasus ini telah disebarkan secara internasional,
oleh Marco
Tosatti dan Profesor
Roberto de Mattei di Italia dan Giuseppe
Nardi di Jerman, di antara sumber-sumber yang lain. Penulis Jerman, Mathias
von Gersdorff, bulan April 2016, telah mengangkat isu kemungkinan terjadinya
tekanan terhadap imam-imam agar mematuhi aturan-aturan baru yang bersumber dari
Amoris Laetitia. Dalam pembicaraan
pribadi, dia telah melaporkan kepada kami bahwa artikelnya yang terbit
sebelumnya telah memperoleh banyak perhatian, dalam konteks kasus Don Uribe
ini.
Judul dari postingan von Gersdorff sebelumnya
adalah: "Akankah Wali Gereja [Jerman] akan memaksa imam-imam Jerman untuk melakukan
sakrilegi." Disitu Von Gersdorff mengangkat isu ‘apakah orang-orang
Katolik konservatif yang masih berpendapat bahwa Amoris Laetitia tidak merubah doktrin, mereka akhirnya akan menolak
ketika mereka, sebagaimana imam-imam, secara pribadi diminta untuk melakukan
suatu pelanggaran (sakrilegi), dengan cara mengijinkan mereka yang bercerai dan
menikah lagi untuk menerima Komuni Kudus dan Sakramen Tobat. Von Gersdorff
menyimpulkan: "Dengan demikian mereka akan dihadapkan kepada alternatif:
melakukan suatu penistaan (sakrilegi) atau secara terbuka menolak uskup mereka
sendiri"
Von Gersdorff, dengan cara yang tajam,
menunjukkan bahwa para imam-imam di Jerman ini yang secara potensial akan
ditekan untuk memberikan Komuni Kudus kepada beberapa (atau bahkan banyak) orang
yang bercerai dan menikah lagi, agar mereka bisa mendapatkan dukungan dari
Roma:
Mereka (para imam yang setia kepada
Kristus), tentu saja akan menoleh kepada Roma, tetapi tidak ada indikasi yang
menunjukkan bahwa dari Roma mereka akan menerima bantuan. Karena Paus telah
menyatakan setelah publikasi (Amoris Laetitia) bahwa dia tidak akan membuat
pernyataan lebih lanjut tentang masalah ini. Dalam sebuah wawancara, dia (PF) mengatakan
bahwa Kardinal (Christoph) Schönborn telah menafsirkan Amoris Laetitia dengan cara yang benar. Namun, kardinal dari Wina
ini adalah anggota dari kelompok yang sama dengan PF yang mempromosikan pemberian
Komuni Kudus kepada orang yang bercerai dan menikah lagi.
Imam-imam
yang percaya bahwa adalah sebuah pelanggaran (sakrilegi) untuk memberikan
Komuni Kudus kepada umat yang bercerai dan menikah lagi tidak akan didukung oleh
kenyataan bahwa banyak teolog telah menulis dalam berbagai pernyataan pada minggu-minggu
terakhir ini yang mengatakan seolah ada perubahan
dalam ajaran Gereja. Dengan demikian mereka (imam-imam itu) seakan berdiri
di depan alternatif untuk melakukan suatu pelanggaran sakrilegi (terhadap perintah
Tuhan) atau menolak secara terbuka perintah dari uskup mereka sendiri.
Von Gersdorff juga menyampaikan pertanyaan apakah
seorang imam yang memberikan pengampunan (secara sakrilegi) bagi pasangan yang bercerai
dan menikah lagi dan hidup bersama sebagai suami-istri, dimana mereka tidak
memiliki niat untuk mengubah (memperbaiki) hidup mereka yang penuh dosa itu,
tidak menempatkan profesi imamat mereka dalam resiko?.
Memang, sebenarnya ada ayat dalam Hukum Canon
yang melarang seorang imam mendorong, dengan cara apapun, seorang peniten di
dalam ruang pengakuan dosa untuk melanggar Perintah Keenam. Imam seperti ini akan
dihukum dengan pemberhentian tugas imamatnya atau bahkan yang lebih buruk lagi.
Misalnya, Canon 1387 Hukum Canon Gereja Katolik mengatakan:
1387. Imam, yang dalam melayani atau
dalam kesempatan melayani maupun dalam berpura-pura melayani sakramen
pengakuan, mengajak peniten untuk berdosa melawan perintah keenam dari Dekalog,
hendaknya dihukum menurut beratnya tindak pidana dengan suspensi, larangan,
pencabutan, dan dalam kasus-kasus yang lebih berat hendaknya dikeluarkan dari
status klerikal.
Dengan demikian, terlepas dari tekanan yang
terjadi saat ini yang mungkin sekarang atau segera diterapkan kepada imam-imam di
seluruh dunia (tidak hanya di Jerman saja) untuk bertindak sejalan dengan kelemahan baru ‘pastoral care’ (pendampingan atau
nasihat pastoral) yang dihasilkan oleh Amoris Laetitia, tetapi Hukum Canon
sendiri masih tetap berlaku dengan ancaman hukuman berat kepada imam-imam yang mengumbar
pengampunan dan memberi kelonggaran untuk ‘menikah lagi’ bagi umat yang ingin
menerima Absolution – meski dia masih berada dalam keadaan berdosa berat – dan imam
itu akan mendapatkan hukuman berat bahkan sampai pemecatan dari profesinya sebagai
imam. Artinya: Tidak ada imam di bumi ini yang diperbolehkan untuk memberikan
absolusi kepada orang yang terus-menerus dan terbiasa melanggar Perintah Keenam
tanpa ada niatan yang tulus untuk mengubah dan memperbaiki hidupnya.
Sebaliknya, seorang imam seperti ini akan menerima risiko kehilangan profesinya
imamatnya. Demikian menurut Hukum Kanon.
Pengetahuan dan penerapan ayat ini (1387) dari
Hukum Canon bisa sangat membantu para imam yang ‘tertindas’ yang kini bisa
mengutipnya untuk bertahan menolak memberikan absolusi bagi para pelanggar Perintah
Keenam dari Allah.
Dalam konteks ini, ada lagi fakta serius lainnya,
yaitu bahwa jika seorang imam yang setia (kepada Kristus) saat ini menolak memberikan absolusi di dalam Sakramen
Tobat - karena keengganan si peniten untuk mengubah perilakunya yang berdosa, karena
peniten itu bercerai dan menikah lagi – jika imam itu kemudian digugat oleh si peniten,
atau bahkan sampai dibawa di hadapan pengadilan gerejawi! Selain itu, dalam
kasus seperti itu seorang imam yang setia bahkan tidak bisa membela diri,
lantaran dia masih terikat oleh Meterai Pengakuan Dosa (keharusan untuk merahasiakan
dosa peniten). Dengan demikian, hal itu menunjukkan adanya bahaya intrinsik
yang bisa mengancam keutuhan Meterai Pengakuan Dosa jika imam itu kemudian memilih
untuk menggunakan alasan ‘pastoral care’ yang masih kacau penafsirannya itu di dalam
Forum Internal.
Begitulah, banyak sekali yang dipertaruhkan disini, terutama dalam hal keselamatan jiwa-jiwa dan kesucian profesi imam Katolik. Semoga kita semua berusaha bersama demi kebaikan yang lebih besar – termasuk upaya kita untuk membela dan mempertahankan kebijaksanaan dan
keindahan dari ajaran Bunda Gereja
Yang Kudus mengenai perkawinan.
No comments:
Post a Comment