Volume
2 : Misteri Kerahiman Allah
Bab 56
Berbagai manfaat
Perintah-perintah yang
terpuji
St.Magdalen de Pazzi
dan Sr.Benedicta
Pastor Paul Haffee
Pastor de la
Colombiere Venerabilis
Pastor Louis
Corbinelli
St.Magdalen de Pazzi didalam sebuah penampakan dari jiwa yang meninggal,
menerima sebuah perintah yang amat baik sekali dalam hal keutamaan kaum
religius. Didalam biara itu ada seorang Suster yang bernama Mary Benedicta,
yang terkenal karena kesalehannya, kepatuhannya dan segala keutamaan lainnya
yang menjadi perhiasan dari jiwa-jiwa yang suci. Dia sangat rendah hati,
demikian kata Pastor Cepari, dan selalu mempersalahkan dirinya sendiri sehingga
jika tanpa bimbingan dari atasannya, dia akan bertindak sampai kepada hal yang
ekstrim, dengan tujuan yang utama agar dia dikenal sebagai orang yang tidak
berhati-hati dan sebagai orang yang tanpa pemikiran yang matang. Dia berkata
bahwa dia tak bisa merasa iri kepada St.Alexis, yang menemukan cara-cara untuk
menjalani kehidupan yang tersembunyi, tidak benar menurut pandangan duniawi
ini. Dia amat penurut dan patuh sekali, sehingga dia bertindak seperti anak
kecil saja terhadap perintah-perintah dari atasannya. Dan Suster Kepala ini
merasa berkewajiban untuk menggunakan kehati-hatian yang besar didalam segala
perintahnya kepadanya. Sebab jika tidak, dia akan bertindak berlebihan.
Kenyataannya dia bisa mengedalikan segala tingkah lakunya dan selera-seleranya,
sehingga sulit sekali untuk membayangkan ada tindakan matiraga yang lebih besar
dari yang dilakukannya.
Suster yang baik ini meninggal secara mendadak karena sakit selama beberapa
jam saja. Pagi berikutnya, hari Sabtu, selama Misa Kudus yang diadakan, ketika
para religius sedang menyanyikan Sanctus, Magdalen mengalami ekstase. Tuhan
menunjukkan kepadanya jiwa dari Benedicta dalam wujud jasmani didalam kemuliaan
Surga. Dia dihiasi oleh sebuah bintang dari emas, yang dia terima sebagai
balasan dari kemurahan hatinya yang besar. Semua jari-jarinya dihiasi oleh
cincin yang mahal, karena kesetiaannya terhadap semua tata tertib dan aturan
didalam biara, serta perhatian yang dia curahkan untuk menyucikan seluruh
tindakannya. Diatas kepalanya dia mengenakan mahkota yang mahal, karena dia
selalu mencintai kepatuhan dan penderitaan demi Yesus Kristus. Kenyataannya, dia
telah melebihi kemuliaan banyak para perawan yang agung, dan dia selalu
merenungkan Mempelainya, Yesus Kristus, dengan rasa keakraban yang amat besar,
karena dia sangat mengasihi kerendahan hati, sesuai dengan Sabda Yesus Kristus,
Juru Selamat kita : Dia yang merendahkan
dirinya akan ditinggikan. Itulah pelajaran utama yang diterima oleh orang
kudus itu sebagai ganjaran atas kemurahan hatinya terhadap orang yang
meninggal.
Pikiran tentang Api Penyucian telah mendorong kita untuk berusaha keras dan
penuh semangat, serta menghindari kesalahan sekecil apapun, agar kita bisa
menghindarkan diri dari penebusan dosa yang amat menyakitkan di dunia sana.
Pastor Paul Hoffee, yang meninggal secara suci di Angolstadt pada tahun 1608,
memanfaatkan pengetahuan ini demi kebaikan dirinya dan orang lain. Dia tak
pernah melupakan Api Penyucian, ataupun berhenti meringankan penderitaan
jiwa-jiwa malang itu yang sering nampak kepadanya untuk meminta bantuan
permohonannya. Ketika dia menjadi Kepala didalam komunitas religiusnya, dia
sering mendorong para anggotanya, pertama-tama adalah dengan menyucikan diri
mereka sendiri, agar nantinya bisa menyucikan orang lain, dan tak pernah
melupakan aturan-aturan yang terkecil sekalipun dari tata tertib mereka.
Kemudian dia menambahkan : “Jika tidak begitu, aku takut kalau-kalau kalian
akan seperti halnya orang-orang lain, meminta doa-doaku, agar kalian dibebaskan
dari Api Penyucian”. Pada saat-saat terakhirnya, dia dipenuhi oleh komunikasi
yang amat penuh kasih dengan Tuhan, dengan IbuNya Yang Terberkati, dan dengan
para kudus. Dia dihibur oleh sebuah kunjungan dari jiwa yang amat suci, yang
telah mendahuluinya memasuki Surga 2 atau 3 hari sebelumnya, dan yang kini
mengundangnya untuk masuk kesana dan menikmati kasih yang kekal dari Allah.
Jika kita mengatakan bahwa pikiran akan Api Penyucian membat kita
menggunakan segala cara untuk menghindarinya, nyatalah bahwa kita memiliki
alasan untuk takut jika kita sampai masuk kesana. Kini berdasarkan apakah kita
menjadi takut ? Jika kita merenungkan sebentar tentang kesucian yang dituntut
untuk bisa memasuki Surga, serta kelemahan dari sifat manusia, yang menjadi
sumber dari begitu banyak kesalahan, maka dengan mudah kita akan mengerti bahwa
rasa takut ini memang cukup beralasan. Lebih lagi, bukankah contoh-contoh yang
telah kita baca diatas menunjukkan kepada kita dengan jelas bahwa seringkali,
bahkan jiwa-jiwa yang paling suci, bisa menjalani penebusan dosa disana.
Pastor Claude de la Colombiere Venerabilis, meninggal didalam kesucian di
Paray, 15 Februari 1682, seperti yang dinubuatkan oleh Margaret Mary
Terberkati. Segera setelah dia meninggal, ada seorang gadis yang polos yang
datang untuk menceritakan kematian itu kepada Sr.Margaret. Religius yang suci
itu, tanpa merasa terkejut ataupun menyesal, berkata kepadanya :”Pergilah dan
berdoalah kepada Tuhan baginya, dan anjurkanlah doa dimana-mana demi istirahat
bagi jiwanya”. Pastor itu meninggal pada jam lima pagi. Malam itu Sr.Margaret
menulis surat kepada gadis itu :”Jangan bersedih. Serukanlah namanya. Janganlah
takut. Dia lebih kuat didalam menolong kita dari pada sebelumnya”. Kalimat ini
membuat kita mengerti bahwa Sr.Margaret menerima pencerahan adikodrati mengenai
kematian pria yang suci itu, serta keadaan dari jiwanya di dunia sana.
Kedamaian dan ketenangan dari Sr.Margaret atas kematian seorang Kepala yang
telah berjasa kepadanya adalah juga merupakan keajaiban. Suster yang terberkati
itu tidak mengasihi apapun juga kecuali Allah dan semuanya adalah bagi Allah.
Allah memiliki tempat istimewa didalam hatinya, dan segala keinginan yang lain
ditelan oleh api kasihNya. Kepala biara merasa heran dengan ketenangannya itu
atas kematian dari misionaris yang suci itu dan lebih terkejut lagi karena
Margaret tidak meminta untuk melakukan tindakan penebusan yang besar demi
istirahat jiwa itu, seperti yang biasa dilakukannya jika ada kematian
sahabatnya. Suster Kepala bertanya kepada hamba Allah itu alasan dari sikapnya
itu. Dia menjawab :”Dia tidak membutuhkan hal itu. Dia dalam keadaan siap
berdoa bagi kita, karena dia dimuliakan di Surga oleh Hati Kudus dari Tuhan
kita. Dia hanya diharuskan untuk menebus kesalahan yang kecil saja didalam
menjalankan tindakan Kasih Ilahi, dan jiwanya tak memiliki penglihatan akan
Allah hanya dari sejak saat ia meninggalkan tubuhnya sampai saat ketika
sisa-sisa tubuhnya dimasukkan kedalam kubur”. Betapa sebentar saja waktu ini !
Marilah kita menambahkan contoh lainnya lagi, dari Pastor Corbinelli. Orang
suci ini tidaklah dikecualikan dari Api Penyucian. Memang benar bahwa dia tidak
ditahan disana, namun dia harus melewati nyala api itu sebelum diijinkan
memasuki kehadiran Allah. Louis Corbinelli dari the Company of Jesus, meninggal
secara suci di Roma pada tahun 1591, hampir bersamaan dengan St.Aloysius
Gonzaga. Kematian yang tragis dari Henry II, raja Perancis, memberinya sebuah
rasa jijik kepada dunia dan dia lalu memutuskan untuk mempersembahkan diri
sepenuhnya guna melayani Allah. Pada tahun 1559, perkawinan Princess Elizabeth
dirayakan secara besar-besaran di kota Paris. Diantara hiburan-hiburan yang
ada, diadakan juga sebuah turnamen, yang menggambarkan semangat kebangsawanan
dari ksatria. Raja sendiri ikut hadir ditengah kerumunan para pejabatnya.
Diantara para penonton disitu, yang berasal dari berbagaia negara, adalah
seorang muda yang bernama Louis Corbinelli, yang berasal dari kota
kelahirannya, Florence, untuk ikut serta didalam festival itu. Corbinelli
sangat kagum atas kebesaran dari monarchi Perancis, yang kini berada pada
puncak dari kekagumannya, ketika tiba-tiba dia melihat sendiri kebesaran itu
terjatuh, terpukul oleh sebuah tenda yang ambruk. Tombak yang dipegang oleh
Montgomery menembus tubuh si raja yang langsung meninggal dengan berlinangan
darah.
Dalam sekejap saja maka seluruh kemuliaan raja itu musnah dan kebesaran
kerajaan segera tertutup oleh kain kafan. Peristiwa ini memberi kesan yang amat
mendalam didalam diri Corbinelli. Demi melihat kesia-siaaan dari kebesaran
manusia yang begitu jelas itu, dia lalu menolak dunia ini dan dia memeluk
kehidupan rohani didalam the Society of Jesus. Hidupnya menjadi seperti orang
kudus dan kematiannya dipenuhi dengan sukacita pada mereka yang melihatnya. Hal
itu terjadi beberapa hari sebelum kematian St.Aloysius, yang saat itu sedang
sakit di Roman College. Orang kudus muda itu mewartakan kepada Cardinal
Bellarmine bahwa jiwa dari Pastor Corbinelli telah memasuki kemuliaan kekal.
Dan ketika Cardinal menanyakan kepadanya apakah ia tidak melewati Api Penyucian,
dia menjawab :”Ia melewatinya, tetapi tidak tinggal disitu”.
No comments:
Post a Comment