SEORANG IBU KATOLIK MELIHAT ADA YANG SALAH DALAM SURAT
PAUS KEPADA USKUP-USKUP AMERIKA SERIKAT SOAL PENCABULAN
Fri Jan 4, 2019 - 12:38 pm EST
by Dr. Maike Hickson
4 Januari 2019 (LifeSiteNews) - Kemarin, ketika duduk
di sekitar meja, sementara anak-anak saya belajar piano, saya membaca surat sepanjang
delapan halaman yang ditulis oleh Paus Francis pada tanggal 1 Januari yang ditujukan
kepada para uskup A.S. Ada hal-hal penting yang saya temukan kejanggalan dalam
dokumen baru ini, yang berurusan dengan krisis moral dan spiritual yang hebat
di dalam Gereja Katolik saat ini.
Izinkan saya mengatakan sejak
awal bahwa saya, sebagai seorang ibu (dan bersama dengan suami saya), telah
membaca surat ini dan saya menempatkan diri saya sebagai ‘calon ibu dari
seorang korban pelecehan.’ Ya, saya membaca surat ini melalui kacamata seorang
ibu yang peduli yang berharap agar tidak pernah terjadi lagi kejahatan
pelecehan seksual oleh imam-imam seperti ini menimpa anak-anak saya sendiri.
Juga tidak ada anak-anak lain dari orangtua Katolik lain yang harus
mengalaminya lagi.
Tetapi izinkan saya juga
menjelaskan bahwa saya, sebagai seorang jurnalis, telah mengenal beberapa orang
yang telah menjadi korban pelecehan seksual oleh klerus atau yang merupakan
orang tua dari para korban. Jadi, saya tahu dari dekat penderitaan mendalam yang
mereka alami, bahwa kejahatan yang dilakukan oleh para klerus itu telah
menyebabkan trauma hebat pada para korbannya. Saya ikut merasakan luka yang
mendalam dan menetap mereka, dan yang mempengaruhi kehidupan korban selama sisa
kehidupan temporal seseorang. Hal ini menyebabkan kemarahan dan keputusasaan,
dalam beberapa kasus bisa berupa penyalahgunaan narkoba atau alkohol,
kadang-kadang ketidakmampuan untuk memasuki ikatan perkawinan atau
mempertahankannya. Hal itu hampir menghancurkan kehidupan, tetapi rahmat Tuhan
dan kasih dari orang-orang lain sangat mendukung mereka.
Dalam konteks yang bahkan lebih
pribadi, saya sendiri, ketika masih seorang anak, telah menyaksikan pelecehan seksual
yang cukup dekat, meskipun tidak dalam kaitanya dengan Gereja. Karena
menghormati orang-orang yang terlibat, saya membiarkannya begitu saja, tetapi saya
mengatakan bahwa saya tahu bagaimana noda dari pelecehan itu dan kepercayaan yang
hancur seperti itu dapat tetap tertanam dalam jiwa seseorang, dan kemudian muncul
dari waktu ke waktu, meninggalkan noda jelek dalam ingatan seseorang yang tidak
bisa sembuh, dengan efek yang seringkali merusak kehidupan moral seseorang.
Pelecehan seksual adalah pelecehan yang sangat sensitif dan mempengaruhi jati
diri seseorang.
Tak perlu dikatakan lagi, topik
ini sangat dekat dengan hati saya, dari sudut pandang yang berbeda.
Dalam konteks ini, Firman Tuhan
kita yang mengatakan bahwa mereka yang mencabuli anak-anak kecil itu sangatlah layak
untuk dilempar ke laut dengan batu kilangan di leher mereka, sering kembali ke
pikiran saya. Tuhan kita, saya yakin, memiliki ingatan jahat seperti itu dalam
pikiran-Nya ketika Dia mengucapkan kata-kata itu.
Kebencian
akan dosa
Apa yang kita saksikan di sini
adalah kegelapan dosa, dampak kejahatan dosa, dan keburukannya. Dosa seperti
itu sungguh mengarah ke neraka.
Memang benar, dalam terang ini,
kita di dalam Gereja Katolik, harus mempertimbangkan cara penyembuhan dan
pemulihannya, tetapi juga harus memperhatikan dari sudut penebusan dosa dan
hukuman - sebagian untuk mencegah penyalahgunaan di masa depan.
Tetapi, apa
yang kita lakukan ketika kita saat ini memiliki seorang Paus yang, dalam ajaran
moralnya, cenderung untuk berbuat dosa dan mendukung kelemahan manusia, bukannya
menanamkan dalam diri mereka kebencian yang mendalam terhadap dosa? Kita sekarang memiliki seorang Paus yang selalu
memberi tahu mereka yang berada dalam situasi "tidak teratur" bahwa
Allah kadang-kadang berharap mereka untuk tetap berada dalam hubungan mereka
yang penuh dosa, seperti misalnya, pernikahan kedua tanpa anulasi pernikahan sebelumnya.
Dia adalah seorang Paus yang - seperti tercermin
lagi dalam suratnya yang baru ini - berbicara dengan cara merendahkan soal pendekatan
"yang kaku", "mengeluarkan dekrit keras," dan sangat
menolak "kepastian palsu," "rumusan yang kaku," dan ide
yang membatasi dengan cara mengurangi katolisitas hingga menjadi sekedar "pertanyaan
tentang doktrin atau hukum." Dia memperingatkan kita terhadap "cara
berpikir yang mengerdilkan" dan "iklim kebencian dan penolakan."
Sebaliknya, paus Francis ini menyerukan
"perubahan pola pikir," untuk "dialog," dan untuk refleksi
lebih lanjut tentang "penanganan terhadap uang dan kekuasaan kita."
Dia juga mengatakan bahwa kita dipanggil kepada kesucian. “Kredibilitas,”
tambahnya, “lahir dari kepercayaan.” Di satu tempat, Paus Francis juga
berbicara tentang transparansi. Tetapi bagaimana kemudian kita dapat
mengembalikan kepercayaan yang dalam, memupuk transparansi, dan berusaha tumbuh
dalam kekudusan? Salah satu caranya adalah dengan bertumbuh kembali dalam
kebencian terhadap dosa. Semua orang kudus memilikinya. Mereka sangat mencintai
Tuhan sehingga mereka memiliki kepekaan yang kuat terhadap tindakan-tindakan
yang menentang-Nya dan menyakiti manusia.
Jika saya tahu dengan cara apa
saya telah sangat menentang Allah dan manusia, dan jika saya sadar betapa
mengerikannya pelanggaran ini, saya akan berusaha lebih keras lagi untuk
menghindarinya dan tumbuh dalam kebajikan yang pada akhirnya akan mengarah pada
tindakan yang lebih manusiawi dalam berurusan dengan orang lain. Tetapi dalam
berurusan dengan orang lain, jika saya telah melakukan dosa besar atau
kesalahan yang mempengaruhi banyak orang sampai hari ini, saya hanya dapat
membangun kembali kepercayaan dengan mengakui dosa dan kesalahan saya. Jika
kesalahan atau dosa saya sedemikian rupa sehingga hal itu telah berkontribusi
pada kehancuran kehidupan dan kebahagiaan banyak orang – termasuk, mungkin,
kehilangan Iman mereka - maka saya akan merasa terdorong untuk membuat perbaikan
diri saya secara publik.
Memulihkan
kepercayaan
Dengan demikian, untuk
memulihkan kepercayaan, para pemimpin Gereja Katolik harus "berterus
terang" dengan masa lalu mereka dan masa kini mereka sendiri. Beberapa
uskup telah memberikan contoh yang baik dalam hal ini, karena mereka dengan
tulus memeriksa semua dokumen mereka, mencari imam-imam yang melanggar hukum
dan menghukum mereka, dan membuat membuat pernyataan publik tentang kekurangan
masa lalu mereka sendiri. Ketika sesuatu seperti ini terjadi, seorang umat
Katolik akan melihat bahwa perubahan yang adil juga terjadi, perubahan yang
tulus, dan kepercayaan mereka secara perlahan mungkin terbangun kembali.
Tetapi agar hal ini terjadi
dalam skala besar, Paus Francis sendiri yang harus memberikan contoh. Mengingat
kasus McCarrick yang amat mengerikan itu – dimana dia memiliki banyak hubungan
langsung dengan Paus Francis, para pendahulunya, dan Vatikan - akan disarankan
agar Paus Francis dan Paus emeritus Benediktus XVI duduk bersama dan
merenungkan apa yang salah dalam kasus ini - dan mungkin dalam kasus-kasus lain
- selama dua dekade terakhir ini atau bahkan lebih.
Sikap diam mereka saat ini dan
dalam kasus ini, tidak memberikan contoh yang baik bagi para pemimpin Gereja
lainnya.
Mengapa tidak ada pernyataan
bersama, di mana mereka berdua memberi tahu kami, umat Katolik yang setia, apa
yang mereka yakini, dengan melihat ke belakang (dan dalam kasus Francis,
melihat hari ini), apakah mereka telah melakukan kesalahan. Haruskah Paus
Benediktus mengambil langkah yang lebih tepat waktu dan lebih keras lagi terhadap
McCarrick? Haruskah dia berhenti ketika dia (McCarrick) mengabaikan sanksi yang
dijatuhkan padanya? Tidakkah seharusnya dia melaporkan tentang aktivitas
homoseksual McCarrick dengan para seminaris bawahannya sudah cukup menjadi
alasan untuk memindahkannya dari jabatan imam? Apakah aktivitas homoseksual di
pihak imam itu sendiri tidak lagi menjadi dosa terhadap Perintah Keenam yang
mengarah pada penangguhan jabatannya dan lebih banyak lagi?
Tetapi serangkaian pertanyaan
ini terutama mengarah kepada Paus Francis.
Paus Francis,
untuk membangun kembali suatu tingkat kepercayaan, juga harus menjawab pertanyaan
apakah dia tahu perilaku tak bermoral dari McCarrick dan apakah dia memilih
untuk mengabaikannya dan bekerja sama dengannya secara dekat dalam banyak hal,
seperti di Cina, Iran, dan di Kuba. (Silakan lihat disini: https://www.lifesitenews.com/blogs/mccarricks-online-footprint-suggests-he-was-deeply-involved-in-doing-popes).
Tetapi ada juga kasus
meringankan hukuman terhadap para imam yang berperilaku tak bermoral. Seorang
teolog Jerman, Dr. Benjamin Leven, baru-baru ini mengungkapkan, (silakan lihat
disini: https://www.lifesitenews.com/blogs/influential-vatican-cardinal-close-to-francis-promoted-leniency-toward-abus)
antara lain, bahwa Kardinal Francesco Coccopalmerio, orang kepercayaan paus dan
pembela getol Amoris Laetitia,
sebagai anggota komisi peninjauan di Kongregasi untuk Iman (CDF) yang didirikan
oleh Paus Francis, selalu berargumen untuk memberikan keringanan hukuman dalam
berurusan dengan penjatuhan hukuman terhadap para imam yang melakukan tindakan
pencabulan. (The Wall Street Journal baru saja
melaporkan bahwa sebenarnya sepertiga dari semua kasus yang datang sebelum
panel ini menerima hukuman yang tidak terlalu berat.) Tentu saja, sudah diketahui
juga oleh banyak orang bahwa Paus Francis sendiri memutuskan untuk kembali mempromosikan
dan menaruh kembali pada jabatannya imam pelaku pencabulan, Don Maurizio
Inzoli, dimana hal ini bertentangan dengan saran dari Kardinal Müller saat itu. (Lihat disini: https://www.lifesitenews.com/blogs/vatican-source-pope-dismissed-cdl-mueller-and-others-for-following-church-r)
Dan kemudian kita juga mengetahui adanya kasus di mana Paus Francis secara
tidak adil ikut campur tangan dan menutup kasus itu. Hal ini semakin
memperbesar rasa tidak percaya umat terhadap
dirinya.
Tidak ada petunjuk bagi kita untuk melihat bahwa Paus
Francis telah menyadari bahwa pendekatannya yang lunak terhadap kasus pelecehan seksual ini adalah sebuah kesalahan besar.
Marilah kita kembali kepada topik dosa. Kardinal Gerhard Müller
mengatakan baru-baru ini dalam sebuah wawancara dengan EWTN, Raymond Arroyo, (Lihat disini: https://www.lifesitenews.com/news/cardinal-mueller-root-of-abuse-crisis-is-laxity-in-60s-and-70s), bahwa adalah kelemahan dan ketidakjelasan moral tahun 1960-an dan 1970-an yang banyak berkontribusi terhadap krisis pelecehan
seksual di Gereja saat ini.
Kardinal Müller baru-baru ini juga mengatakan
kepada LifeSiteNews bahwa Kode Hukum Canon tahun 1983 yang baru
tentang penghilangan hukuman yang jelas dan wajib ditimpakan pada imam pelanggar hukum - serta kelalaian untuk
menyebutkan tindakan homoseksual secara eksplisit sebagai pelanggaran imamat
terhadap Perintah Keenam - adalah sebuah "bencana" kesesatan."
Hukuman dan
pewartaan
Karena itu, dalam menghadapi penderitaan yang sangat besar dari begitu
banyak jiwa-jiwa Katolik yang hidupnya telah
dilumpuhkan oleh para imam pelaku pencabulan, bukankah
akan menjadi kesimpulan logis untuk memasukkan kembali hukuman yang keras kedalam hukum kanon terhadap para imam pelaku pencabulan? Tidakkah Gereja kemudian menyadari
bahwa dirinya perlu kembali kepada pengajaran yang lebih “kaku” tentang
dosa dan keburukannya? Hal itu, tentu
saja, juga termasuk bahwa ia harus mulai
berkhotbah lagi dengan lebih lantang tentang
Empat Hal Yang Terakhir: Kematian, Penghakiman Pribadi, Surga atau Neraka.
Untuk beberapa alasan,
pengajaran "kuno" dan
"kaku" ini telah menghasilkan buah yang baik, dan yang paling
penting, menghasilkan banyak orang-orang kudus - sedangkan sikap lunak terhadap
pelanggaran atas kepolosan anak-anak Allah telah
menuntun mereka kepada
penghancuran lebih jauh lagi.
Yang menuntun kita, terakhir
tapi tak kalah pentingnya, kepada
pertimbangan aspek homoseksualitas sehubungan dengan krisis pencabulan dalam Gereja. Sekali lagi, kami mengutip
Kardinal Müller yang telah mengatakan sangat
jelas bahwa - dalam banyak kasus dia sendiri harus berurusan, sebagai
Prefek Kongregasi untuk Doktrin Kepercayaan – dimana setidaknya 80% dari korban pelecehan
seksual klerus adalah laki-laki (dengan
sebagian besar dari mereka adalah remaja, bukan anak-anak). Dengan kata lain,
ada hubungan yang kuat antara homoseksualitas dan pelecehan di dalam Gereja. Itulah sebabnya Kardinal Jerman itu sekarang mengatakan:
"Dalam hukum Gereja, seseorang juga harus, sekali lagi, menyajikan
dan memberi sanksi terhadap tindakan homoseksual oleh para imam sebagai
pelanggaran berat terhadap etos imam."
Ketika saya berbicara dengan beberapa imam di Eropa, serta di A.S., tentang
masalah ini, mereka semua menegaskan kepada saya situasi moral yang sangat lemah di seminari-seminari pencetak para imam, dan hal ini telah menjadi kasus selama beberapa dekade terakhir. Pada banyak seminari, selama puluhan tahun
telah ada budaya dan jaringan homoseksual secara terbuka.
Namun, topik ini sama sekali tidak disebutkan oleh Paus Francis dalam
suratnya yang baru, 1 Januari
2019, kepada para uskup A.S. Dia
hanya memilih untuk menyebutkan pelecehan seksual sebagai topik sampingan, di tempat ketiga, apalagi mau membicarakannya secara khusus. Dia berbicara dua kali tentang
pelecehan seksual, dan setiap kali dia menyebutkan hal itu sebagai "penyalahgunaan
kekuasaan dan hati nurani dan pelecehan seksual."
Pendekatan semacam ini, tentu saja, adalah persis sama menyebalkan seperti yang dikatakan oleh direktur editorial baru untuk media Vatikan, Andrea Tornielli, ketika dia berani mengklaim
bahwa pelecehan oleh McCarrick
bukanlah soal homoseksualitas, melainkan tentang penyalahgunaan kekuasaan. McCarrick
"tidak memiliki hubungan homoseksual," katanya.
Jika kita melihat ke Jerman
untuk mendapatkan beberapa petunjuk tentang bagaimana Vatikan di bawah Paus
Francis sekarang telah mencoba
untuk mengatasi masalah pelecehan seks para klerus, kita kemudian melihat bahwa para uskup di Jerman, juga sebagian besar, sama sekali
mengabaikan hubungan antara homoseksualitas dan krisis pencabulan. Sebaliknya, vikaris umum
Kardinal Marx sendiri di Munich baru-baru ini mengklaim
bahwa membangun hubungan seperti itu adalah salah (“Saya secara eksplisit menolaknya,” katanya), dan dia secara
terbuka mengatakan
bahwa keuskupannya sendiri memiliki para imam homoseksual yang melakukan banyak
pekerjaan bagus.
Karena itu,
alih-alih membahas kaitan yang jelas, banyak uskup dan teolog Jerman sekarang
ingin membahas moralitas seksual Gereja yang “cacat” dan ingin meliberalisasi
ajaran Gereja tentang homoseksualitas. Baru-baru ini, Vatikan memilih
kembali sebagai
rektor sekolah pascasarjana Jesuit, seorang imam - Pastor Ansgar Wucherpfennig
- yang dirinya sendiri telah memberkati perkawinan pasangan homoseksual dan yang mengklaim
bahwa Alkitab tidak mengenal homoseksual seperti yang kita kenal sekarang.
Bahwa Paus Francis sendiri juga cenderung
membahas masalah-masalah moral ini dengan cara yang lebih liberali, lebih dengan cara modern, dimana ini telah dikonfirmasikan oleh
Kardinal Reinhard Marx, anggota Dewan Sembilan Kardinal bentukan Paus Francis (sekarang
dikurangi jumlahnya). Tepat sebelum Natal, Marx menyatakan bahwa dia telah
berbicara beberapa kali dengan Paus tentang masalah moralitas seksual dalam Gereja, dengan menambahkan: "Saya
melihat bahwa dia tidak terlalu terpaku di sini [dalam membahas moralitas
seksual Gereja]." Krisis
pelecehan seksual, di mata Marx, bukanlah homoseksualitas, tetapi
penyalahgunaan kekuasaan. Sebagaimana dijelaskan Marx, Gereja sejauh ini hanya
berbicara tentang seksualitas dengan cara yang “aneh dan sensitif [“
verschroben ”]”, dan sekarang dia perlu “berbicara tentang seksualitas dengan
cara yang berbeda, juga tentang homoseksualitas.
"Seperti yang Anda tahu, hal ini sangat kontroversial," Marx
mengakui, "juga secara teologis dan dogmatis."
Singkatnya, setelah saya membaca
surat Paus Francis kepada para uskup A.S., saya masih penasaran dan prihatin seperti sebelumnya. Saya tidak melihat bahwa paus Francis bahkan berniat mengatasi masalah mendasar yang
sebenarnya - bahkan menempatkan kejahatan pelecehan seksual hanya di tempat ketiga -
dan saya masih melihat adanya nada
merendahkan yang sama terhadap undang-undang dan peraturan yang telah membantu
melindungi anak-anak dan menumbuhkan anak-anak Allah dan melahirkan banyak orang-orang kudus selama berabad-abad sebelumnya. Kelemahan moral tidak akan membantu
mengatasi masalah yang dipupuk oleh kelemahan moral dan kelemahan provokatif
pada era 1960-an dan 1970-an.
Kita perlu mempertimbangkan apa yang dikatakan
Uskup Jerman Rudolf Voderholzer tentang proposal reformasi Jerman dalam
menanggapi krisis pencabulan di Jerman. Dia
mengatakan kepada situs
berita Austria Kath.net bahwa “beberapa kalangan - juga di dalam Gereja – mengabaikan kasus-kasus pencabulan seksual untuk sekali lagi menawarkan resep mereka, yang sudah terbukti tidak dapat membantu di masa lalu, dan untuk memelintir tindak kejahatan ke dalam suatu kesempatan untuk
menciptakan 'Gereja yang berbeda' versi mereka sendiri. Inilah yang saya sebut sebagai pelecehan
terhadap pelecehan. "Dalam wawancara
lain yang diberikan kepada CNA Deutsch, dia menjelaskan bahwa" bukan moralitas seksual Katolik yang mengarah
pada kejahatan menyedihkan [pelecehan seksual], tetapi fakta bahwa ada orang-orang terkenal yang justru mendukungnya."
+++++++++++++++++++
Dr. Maike Hickson lahir dan besar di Jerman. Dia meraih gelar PhD dari Universitas Hannover, Jerman,
setelah menulis disertasi doktoralnya di Swiss tentang sejarah intelektual Swiss sebelum dan selama Perang
Dunia II. Dia sekarang tinggal di AS dan menikah dengan Dr. Robert Hickson, dan
mereka telah dikaruniai dua anak yang cantik. Dia adalah seorang ibu rumah
tangga yang bahagia yang suka menulis artikel saat waktu mengizinkannya.
No comments:
Post a Comment