SEORANG USKUP AGUNG ITALIA BERKATA KEPADA VIGANÒ:
KAMI INGIN ‘MENEMANI LANGKAH PASTI ANDA DI SEPANJANG JALAN KEBENARAN’
"Kami
memeluk Anda, Yang Mulia, dan sebagai para murid, kami ingin dapat menemani
langkah-langkah pasti Anda di sepanjang jalan kebenaran, keindahan, dan
kebaikan."
Tue Jun 30, 2020 - 4:36 pm EST
·
Archbishop Carlo Maria Viganò
30 Juni 2020 (LifeSiteNews) - Hari ini, Uskup Agung Italia, Luigi Negri,
menerbitkan di situs webnya dan di situs
web milik wartawan Italia, Marco Tosatti, sebuah surat terbuka kepada
Uskup Agung Carlo Maria Viganò, di mana ia memberikan dukungan penuh untuk “...pesannya
yang tampak bagi saya secara tepat mengungkapkan hati yang hidup dari
pengalaman gerejawi kita.” Berbicara tentang “..unsur-unsur degradasi, baik
dalam kehidupan Gereja maupun dalam masyarakat sipil,” Uskup Agung dari Ferrara-Comacchio
yang baru saja pensiun ini, sekarang mendukung upaya Uskup Agung Viganò dan mengatakan
ia ingin “menemani jalan kebenarannya”.
Uskup Agung Negri mengklarifikasi bahwa
pujiannya itu merujuk pada intervensi awal Mei lalu dari Viganò, bukan intervensi bulan Juni soal KV II.
Uskup Agung Viganò telah membuat, dalam
beberapa bulan terakhir, beberapa pernyataan yang menarik perhatian
internasional.
Pertama, pada akhir April, Uskup Agung Viganò menentang
seruan paus Francis untuk mematuhi pembatasan terus-menerus dari virus corona di
Italia yang melanjutkan pelarangan Misa. Uskup agung Viganò menyebut hal ini
tidak hanya “tidak patut, tetapi juga merupakan pelanggaran hati nurani dan
berbahaya bagi kesehatan jiwa-jiwa."
Pada tanggal 7 Mei, Uskup Agung Viganò,
bersama-sama dengan Kardinal Gerhard Müller, Kardinal Joseph Zen, dan Janis
Pujats, serta banyak cendekiawan dan jurnalis, mengeluarkan
peringatan tentang bahaya krisis korona yang digunakan untuk membatasi
kebebasan kita dan kebebasan Gereja Katolik.
Kemudian, pada tanggal 6 Juni, Uskup Agung
Viganò menerbitkan surat
terbuka kepada Presiden Donald Trump, di mana ia menggambarkan krisis
korona baru-baru ini dan krisis politik yang sedang berlangsung di AS sebagai
pertempuran antara ‘anak-anak terang’ dan ‘anak-anak kegelapan.’ Surat itu
kemudian di-apresiasi
oleh Presiden Trump sendiri.
Silakan lihat di
sini surat yang ditulis oleh Uskup Agung Luigi Negri, dengan tanggapan dari Uskup
Agung Carlo Maria Viganò, yang dicetak ulang di sini dengan izin yang bersangkutan.
Uskup Agung Luigi Negri menulis kepada Uskup
Agung Carlo Maria Viganò
Yang Mulia,
Karena keadaan saat ini secara terus-menerus
mengungkapkan kepada kita unsur-unsur degradasi baik dalam kehidupan Gereja
maupun dalam masyarakat sipil, saya ingin mengirimkan kepada Anda sebuah pesan
yang menghubungkan kedekatan saya dengan pesan Anda, yang bagi saya tampaknya
sudah sangat tepat mengungkapkan hati yang hidup dari pengalaman gerejawi kita.
Hati yang hidup dari pengalaman gerejawi ini disertai dengan kesadaran
sehari-hari bahwa waktu yang telah diberikan kepada kita cepat berlalu, dan
bahwa keberadaan kita tetap dikondisikan kuat oleh sifat sementara dari berbagai
peristiwa dan fakta.
Tampak bagi saya bahwa Gereja, sedikit demi
sedikit, sering kali dengan pas dan tepat, sedang memulihkan kesadaran akan
identitasnya sendiri dan tugas misionaris yang menjadi ciri dari kehidupan dan
sejarahnya.
Setiap hari kita semakin merasakan tekanan dari
berbagai peristiwa yang menuntut kita untuk memahaminya sesuai dengan kejelasan
Firman Tuhan dan menjalaninya dalam kepatuhan terhadap kehendak-Nya. Di tengah
semuanya ini, kami senang; kita bahagia karena kita menyerahkan diri kita
setiap hari kepada Tuhan, dengan kesadaran yang mendalam bahwa kehadiran-Nya
menopang kita setiap saat, dan bahwa keberadaan kita tidak mungkin dapat
dipisahkan dari pendampingan Tuhan Yesus Kristus. Kekuatan kita benar-benar
ditemukan dalam penyerahan hidup kita kepada kehendak-Nya dan terutama dalam
keinginan bahwa hidup kita dijalani dengan semangat misi yang besar. Kehidupan
kita memandang masa depan sebagai kenyataan untuk memanfaatkan setiap saat yang
ada, menyadari kehadiran Kristus, memohon agar kehadiran Kristus ini berjalan
bersama kita setiap hari dalam petualangan misi. Setiap pagi hidup kita terbuka
dalam hal ini dan untuk ini, dengan keinginan besar untuk mempertahankan
kehidupan Kristiani kita sendiri dan kehidupan sesama manusia; dan setiap malam
kehidupan kita ditutup dengan kesadaran telah berkontribusi secara kurang baik,
namun selalu dengan niatan yang tulus untuk pendewasaan nurani Kristiani di
dunia.
Kami merangkul Anda, Yang Mulia, dan sebagai
murid, kami ingin dapat menemani langkah-langkah Anda yang pasti di sepanjang
jalan kebenaran, keindahan, dan kebaikan. Semoga Tuhan membuat kehadiran Anda
di dalam Gereja dan di antara manusia sebagai kehadiran yang penuh kebenaran,
kemampuan untuk berkorban dan niat baik terhadap semua orang; dengan demikian
semoga kita dapat selalu bersesuaian dengan cara yang sederhana namun nyata bagi
undangan liturgi yang besar setiap saat: tidak membuang-buang waktu, tetapi
mengembalikannya setiap hari dengan seluruh kehendak kita dan dengan
keterbukaan yang besar kepada Hati Tuhan, karena dalam kehidupan sehari-hari
kita masing-masing dipanggil untuk mengalami kebesaran Tuhan dan keinginan
untuk berkontribusi dalam cara yang nyata untuk mewujudkan Kerajaan Allah di
dunia.
Semoga Tuhan memberkati kita dan menghibur kita
di jalan kita sehari-hari.
+Luigi Negri – Archbishop
Emeritus of Ferrara – Comacchio
Milan, 16 June 2020
Milan, 16 June 2020
*****
Surat balasan Uskup Agung Carlo Maria Viganò
kepada Uskup Agung Luigi Negri
Yang Mulia,
Saya membaca kata-kata Anda dengan penuh emosi;
semua itu benar-benar menyentuh bagi saya. Ini adalah sebuah penghiburan demi melihat
bahwa Yang Mulia telah memahami inti masalah dengan ketajaman dan kejernihan
yang selalu menandai penilaian Anda.
Waktu sekarang ini, terutama bagi mereka yang
memiliki perspektif supranatural, membawa kita kembali kepada hal-hal yang
paling mendasar dalam hidup: kepada kesederhanaan dari Kebaikan dan kengerian dari
Kejahatan, kepada kebutuhan untuk memilih di sisi mana kita berada, sementara kita
menjalani pertempuran sehari-hari, kecil mau pun besar. Ada orang-orang yang
melihat hal ini sebagai pembredelan, seolah-olah kejelasan Injil tidak lagi
mampu memberikan jawaban yang memuaskan bagi umat manusia yang kompleks dan
pandai berbicara. Namun, sementara beberapa saudara uskup kita merasa prihatin
hampir secara obsesif dengan inklusifitas
dan teologi hijau, berharap datangnya Tata Dunia Baru dan ‘Rumah Bersama’
melalui agama-agama Abraham, umat maupun para imam memiliki perasaan yang
semakin besar untuk menjauh dari pastor mereka, atau sesama pastor mereka, yang
untungnya, tidak semuanya - tepat pada saat konfrontasi zaman sekarang ini.
Memang benar: waktu menyelinap melalui tangan kita,
Yang Mulia, dan seperti halnya istana pasir dari hampir retorika inisiator menjadi
hancur, istana pasir yang dibangun oleh mereka yang ingin mendasarkan
kesuksesan mereka sendiri diatas ‘waktu yang singkat’ dan ‘kerapuhan dari kesatuan.’
Ada sesuatu yang tak dapat dihindari sedang bekerja
dalam apa yang terjadi hari ini: fatamorgana sesaat yang menggantikan kebenaran
abadi, sekarang mengungkapkan, dalam cahaya realitas yang nyata, kemelaratan
palsu dan buatan mereka, kepalsuan ontologis dan tak terhindarkan mereka. Kami
menemukan bahwa kami adalah anak-anak, menurut Sabda Tuhan kita; kita mengenali
hampir secara naluriah apa yang baik dan apa yang jahat, ganjaran dan hukuman, yang
pantas dan yang tidak pantas. Tetapi bisakah kita menganggap ketenangan seorang
anak yang bersandar pada pelukan dada ibunya, kepercayaan kuat si anak yang
memegang tangan ayahnya, menjadi dangkal?
Berapa banyak kata-kata konyol telah diucapkan
kepada kita, berapa banyak obat penenang yang tidak berguna telah disampaikan
kepada kita, dengan berpikir bahwa Firman Bapa yang Kekal tidak memadai, bahwa
perlu untuk memperbaruinya agar membuatnya lebih menggoda bagi telinga yang
tuli dari dunia saat ini! Namun itu sudah cukup untuk menjadikan Firman itu
milik kita, dan kita tidak membutuhkan apa-apa lagi. Jika sampai sekarang kita
membiarkan diri kita dibingungkan oleh hiruk-pikuk zaman ini, kita sekarang
dapat meninggalkan diri kita sendiri dengan kepercayaan seperti anak kecil dan
membiarkan diri kita dituntun, karena kita mengenali suara Gembala Ilahi, dan
kita mengikuti Dia ke mana Dia ingin memimpin kita - bahkan ketika orang lain,
yang seharusnya berbicara, namun mereka diam.
Kelemahan kita bukanlah hambatan, melainkan
bantuan dalam situasi ini: semakin kita lemah dan rendah hati, semakin banyak
keterampilan Sang Artis bersinar melalui kita, memegang kita sebagai instrumen
di tangan-tangan terampil-Nya, seperti pena dengan apa si Penulis Kitab secara bijaksana
menulis ceritanya.
Saya meminta Yang Mulia untuk berdoa agar kita
semua, yang dalam kepenuhan Imamat dipanggil oleh Tuhan, bukan sebagai hamba,
tetapi sebagai sahabat, dapat berhasil membuat diri kita menjadi alat
pendokumentasi dari Rahmat-Nya, menemukan kembali kesederhanaan ilahi dari Iman
yang telah Dia perintahkan kepada kita untuk mewartakannya kepada semua bangsa.
Semua hal lain dari kita sendiri yang akan kita tambahkan melalui rasa congkak kita,
adalah sebuah kecemerlangan murahan dan menyedihkan, yang sekarang harus kita
pelajari untuk dihilangkan jika kita tidak ingin hal itu dilakukan oleh Api
Penyucian, di mana beberapa serpihan emas kita akan dimurnikan dari kerak
mereka, untuk menjadikan kita layak bagi penglihatan kebahagiaan. Semoga kita
tidak menyia-nyiakan hari-hari berharga di mana penyakit dan usia tua saat ini memberi
kita kesempatan untuk menebus kesalahan kita dan kesalahan orang lain: itu
adalah hari-hari yang diberkati yang dapat kita serahkan demi Kemuliaan Allah, demi
kepentingan Gereja dan para utusannya.
Yang Mulia, terimalah ungkapan terima kasih
saya yang mendalam atas kata-kata Anda yang sangat mengilhami, dengan keyakinan
bahwa saya selalu mengingat Anda di dalam Kurban Suci di Altar. Dan doakanlah
saya.
Nunc dimittis servum Tuum,
Domine, secundum verbum Tuum in pace…
Domine, secundum verbum Tuum in pace…
+ Carlo Maria Viganò,
Archbishop
17 June 2020
17 June 2020
Translated by Giuseppe
Pellegrino @pellegrino2020
Seorang
imam dan ahli liturgi Prancis:
Uskup
Agung Viganò dapat membantu para wali gereja lainnya untuk berbicara tentang
'poin-poin
KV II yang cacat'
Telah ada diskusi berkelanjutan antara
Uskup Agung Carlo Maria Viganò dan Uskup Athanasius Schneider tentang KV II.
Mon Jun 22,
2020 - 3:15 pm EST
·
Archbishop Carlo Maria Viganò speaks
at the Rome Life Forum in May 2018.
22 Juni 2020 (LifeSiteNews) - Abbé Claude Barthe, seorang imam diosesan Prancis
yang tinggal di Paris dan seorang ahli liturgi, penulis, dan editor, telah
menanggapi intervensi terbaru dari Uskup Agung Carlo Maria Viganò mengenai KV II
dan beberapa masalah yang ada. Dalam sebuah intervensi
yang diterbitkan oleh kolega kami di Italia, Marco Tosatti (lihat teks lengkap
di bawah), imam Prancis itu mengatakan bahwa saat ini, contoh dan teladan
Viganò dapat mendorong para uskup lain untuk tampil di depan umum dengan sikap ketidaksetujuan
mereka sendiri pada ajaran-ajaran tertentu dari Konsili itu.
Setelah meninjau kembali argumen-argumen uskup
agung Italia itu dalam masalah ini, Abbé Barthe menyatakan bahwa “beberapa wali
gereja, terutama setelah majelis-majelis sinode terakhir, telah dituntun untuk
melacak konsekuensi dari situasi saat ini kembali kepada penyebabnya, yang
didirikan setengah abad yang lalu. Teladan dan dorongan Anda (Viganò) dapat membantu mereka mengekspresikan, dalam
hati nurani, demi kebaikan Gereja, ketidaksepakatan mereka dengan sebab-sebab
ini: pokok-pokok yang cacad dalam KV II."
Seperti yang telah kami laporkan sebelumnya,
Uskup Agung Viganò berterima kasih kepada Uskup Athanasius Schneider atas
pernyataannya 1 Juni 2020, yang menurutnya pernyataan kontroversial Abu Dhabi
yang ditandatangani oleh Paus Francis - dan yang menyatakan bahwa
"keragaman agama" adalah "dikehendaki Tuhan" – memiliki akar
di dalam anjuran KV II tentang hak alami untuk kebebasan beragama dan dengan
demikian termasuk konsep hak alami untuk percaya pada agama yang salah.
Uskup Schneider menanggapi analisis atas pernyataan
Abu Dhabi sebagaimana yang disampaikan oleh Cardinal Gerhard Müller. Beberapa
pernyataannya disajikan di
sini. Kardinal Jerman itu menggambarkan cara penafsiran dokumen
kepausan ini yang bisa jadi kurang kontroversial. Antara lain, ia telah
menekankan tugas penting "otoritas agama atau sipil" untuk menerima
"hak asasi manusia supranasional yang fundamental, untuk kebebasan
beragama," sementara pada saat yang sama menegaskan bahwa ini tidak
berarti relativisme sehubungan dengan kebenaran yang diungkapkan. Baginya,
pernyataan kontroversial paus Francis mengenai keragaman agama seperti yang
dikehendaki Tuhan “dapat” dibaca secara relativistik, tetapi “tidak boleh”
dilakukan dengan cara ini. Orang harus, dia menjelaskan, "menafsirkan"
teks dan hermeneutik dan terminologi "dengan pandangan pada niat baik
penulis mereka daripada dengan melihat pada presisi akademik dalam
ekspresi."
Sebagai tanggapan, Uskup Schneider melakukan
dua intervensi, satu pada tanggal 1 Juni 2020, yang lain pada tanggal 8 Juni.
Itu adalah intervensi pertama yang mendorong Uskup Agung Viganò untuk membuat
pernyataannya sendiri mengenai KV II.
Uskup Schneider menyatakan
pada 1 Juni bahwa dokumen Abu Dhabi salah dalam menyatakan bahwa Tuhan secara
positif menghendaki keberagaman agama. Dalam pernyataan itu, Schneider membahas
beberapa masalah mengenai ajaran KV II tentang kebebasan beragama yang mungkin
perlu dikoreksi di masa depan, seperti halnya di masa lalu dimana pernyataan
konsili abad sebelumnya telah dikoreksi.
"Tidak ada kehendak positif ilahi atau hak
alami untuk keragaman agama," katanya bersikeras. Dalam artikel
keduanya, prelatus Kazakhstan asal Jerman itu juga tidak setuju dengan
klaim bahwa umat Katolik dan Muslim percaya pada Tuhan yang sama, sebuah klaim
yang merupakan asumsi mendasar dari dokumen Abu Dhabi. Menurut Uskup Schneider,
umat Katolik dan Muslim tidak memiliki kepercayaan yang sama kepada Tuhan, juga
tidak memiliki pemujaan yang sama terhadap Tuhan, terutama karena umat Islam
menolak Inkarnasi dan Tritunggal Kudus.
Ini adalah kritik eksplisit terhadap pernyataan
KV II - dukungan kebebasan beragama - yang memaksa Uskup Agung Viganò untuk
menerbitkan pernyataan
10 Juni yang mengkritik KV II.
“Jika kita tidak mengenali,” dia kemudian
menulis, “bahwa akar dari penyimpangan ini ditemukan dalam prinsip-prinsip yang
ditetapkan oleh Konsili, tidak mungkin untuk menemukan penyembuhan: jika
diagnosis kita dipertahankan, melawan semua bukti, dengan mengesampingkan patologi
awal, kita tidak akan bisa meresepkan terapi yang cocok."
Pada 15 Juni, prelatus Italia itu
menindaklanjuti intervensi pertamanya, muncul lebih kuat lagi dengan menyatakan
bahwa “proposisi sesat atau yang mendukung bidaah” dari KV II (1962-1965)
“harus dikutuk, dan kita hanya bisa berharap ini akan terjadi sesegera mungkin."
Dia menambahkan bahwa Konsili itu semuanya harus "dibatalkan" dan
"dilupakan."
Dia mengutip sendiri kata-kata berikut dari
Profesor Hukum Italia, Paolo Pasqualucci: “Jika Konsili telah menyimpang dari
Iman, maka Paus memiliki kekuatan untuk membatalkannya. Memang, itu adalah
tugas paus."
Di sinilah intervensi Abbé Barthe masuk. Bagi
imam Prancis ini, pernyataan 15 Juni oleh Uskup Agung Viganò yang terakhir ini
“sangat menarik bagi Gereja.” Dia kemudian merangkum analisis prelatus itu
tentang KV II, yang harus dilakukan sehubungan dengan “doktrin Gereja sebelumnya”.
Di sini, terutama teks konsili Dignitatis Humanae (kebebasan beragama) dan
Nostra Aetate (hubungan baru dengan agama-agama non-Kristen) muncul dalam
pikiran.
Abbé Barthe juga membahas pernyataan Uskup Agung
Viganò bahwa KV II, karena penyimpangan dan ambiguitasnya, harus dibatalkan
sama sekali. Agar hal ini dapat dilakukan, jelas imam itu, orang perlu
memastikan bahwa KV II bersifat pastoral, bukan doktrinal. Di sini, ia dapat
menunjukkan bahwa “organ-organ Konsili itu sendiri (Dz 4351) dan semua
interpretasinya berturut-turut menyatakan bahwa Konsili ini hanya bersifat
'pastoral', dan bukan dogmatis.”
Baginya, itu akan menjadi jalan keluar dari
krisis kita saat ini dengan bersikeras kembali pada ajaran dogmatis, jauh dari
yang bersifat pastoral. Dia menyatakan: “Faktanya, jalan keluar yang luar biasa
dari krisis magisterial saat ini adalah muncul dari apa yang disebut 'pastoral'
dan masuk sekali lagi ke dalam dogmatik: bahwa Paus sendiri atau paus dan para
uskup bersatu padu menyatakan diri mereka sendiri secara magisterial dan bukan
lagi 'pastoral.' ”Pendekatan pastoral, seperti yang dapat kita tambahkan, telah
terbukti jauh lebih rentan terhadap heterodoksi doktrinal, seperti yang
ditunjukkan pada Amoris Laetitia
kepada kita dengan jelas.
Di sinilah Abbé Barthe menggemakan seruan Uskup
Agung Viganò untuk para uskup lainnya agar bergabung
dengan Uskup Schneider dan dia, dalam sebuah debat yang jujur tentang
masalah-masalah KV II, demi Gereja dan demi keselamatan jiwa-jiwa.
“Karena itu, kewajiban hati nurani membebani para
uskup Gereja yang mengetahui situasi ini,” tulis imam Prancis itu, yang
menyimpulkan pendapat Viganò dan menambahkan bahwa kata-katanya dapat menjadi
dorongan bagi orang-orang lain. Seperti yang baru-baru ini Viganò katakan
kepada Dr. Robert Moynihan, “Saya mencoba melangkah lebih jauh untuk memahami
mengapa kita telah mencapai situasi seperti saat ini ... Saya hanya mencoba
mengikuti hati nurani saya.”
Ketika Moynihan mempresentasikan posisi Viganò,
dia menjelaskan tentang KV II bahwa “terkadang interpretasi itu tidak sejalan
dengan tradisi abadi Gereja. Dengan alasan ini, Viganò setuju dengan karya
uskup lain, Athanasius Schneider dari Kazakhstan, yang telah mempresentasikan
tesis ini pada sejumlah kesempatan dalam beberapa tahun terakhir. ”
Dan kemudian muncullah pernyataan penting dari
Uskup Agung Viganò: “Umat Schneider telah menyadari hal ini sebelum saya. Saya
setuju dengannya.”
Diharapkan bahwa prelatus dan imam lainnya
sekarang akan bergabung dalam debat ini, dan kami berterima kasih kepada Abbé
Barthe atas intervensinya.
*****
Silakan lihat di sini pernyataan lengkap Abbé
Barthe. Kami berterima kasih kepada Marco Tosatti atas izin untuk mencetak
ulang.
Izinkan saya untuk menanggapi tulisan Yang
Mulia “Excursus on
Vatican II and Its Consequences” (Chiesa e post concilio, 9 June 2020), untuk menekankan, dengan segala kerendahan
hati, semangatnya yang besar terhadap Gereja.
Izinkan saya untuk meringkasnya dalam lima
poin:
1) KV II memuat
teks-teks “yang jelas bertentangan dengan doktrin yang dinyatakan dalam
Tradisi.”
Serangan Anda pada KV II ditujukan untuk yang
berikut:
- Bahwa yang bertentangan langsung dengan
doktrin sebelumnya, seperti kebebasan beragama dari deklarasi Dignitatis
Humanae dan dasar-dasar hubungan baru dengan agama-agama non-Kristen dari
deklarasi Nostra Aetate (kita juga bisa menambahkan dekrit tentang ekumenisme,
Unitatis Redintegratio) , n.3, yang memperkenalkan gagasan inovasi “persekutuan
yang tidak sempurna,” dimana dikatakan bahwa orang-orang yang terpisah dari
Kristus dan dari Gereja dikatakan memiliki “persekutuan yang tidak sempurna”dengan
Kristus dan Gereja);
- Ambiguitas, dimana ia dapat digunakan dalam
arti kebenaran atau kesalahan, seperti istilah “subsistit” dalam n. 8
Konstitusi Lumen Gentium: “Gereja Kristus tetap ada di dalam Gereja Katolik”
dan bukannya “Gereja Kristus adalah Gereja Katolik.”
2) Distorsi
doktrinal ini adalah asal mula dari banyak kesalahan yang mengikutinya - bukti
dari “semangat Konsili.”
Anda menjelaskan bahwa penyimpangan atau unsur
yang paling berbahaya bagi iman orang-orang Kristen yang menandai periode
pasca-konsili (Anda mengutip Deklarasi Abu Dhabi, tetapi juga Hari di Assisi,
reformasi liturgi, penggunaan kolegialitas) berawal pada distorsi ini.
Lebih lanjut, dari teks ini jelas muncul bahwa
konsep "semangat Konsili" menegaskan kekhususan inovatif majelis ini,
karena "tidak pernah ada pembicaraan tentang “semangat Konsili Nicea" atau "semangat
Konsili Ferrara-Florence,” apalagi ”semangat Konsili Trent,” seperti halnya
kita tidak pernah memiliki era “pasca-konsili” setelah Konsili Lateran IV atau setelah
Konsili Vatikan I.”
3) Distorsi ini
tidak dapat diperbaiki.
Upaya untuk mengoreksi ekses Konsili, Anda
katakan, adalah sia-sia:
1. Salah satu opsi tersebut adalah mengambil jalur
yang tidak memadai dari "hermeneutika kontinuitas." Namun jauh lebih
sedikit manfaatya, apakah ini mungkin terjadi karena hermeneutika ini bukan
kembali kepada magisterium sebelumnya, tetapi merupakan pencarian cara ketiga
antara inovasi dan tradisi. Benediktus XVI, dalam pidato kepada Kuria Roma 22
Desember 2005, mengatakan tentang "hermeneutika pembaruan dalam
kontinuitas" berlawanan dengan "hermeneutika diskontinuitas dan perpecahan";
tetapi dengan pernyataan terakhir ini ia memfokuskan baik pada
"tradisionalis" maupun "progresif," yang sama-sama
berpendapat bahwa KV II menyebabkan kerusakan tertentu.
2. Atau, seseorang meminta Magisterium untuk
"memperbaiki" kesalahan-kesalahan KV II. Anda dengan tepat
menunjukkan bahwa proyek ini, "bahkan dengan niat terbaik sekalipun,
mengancam fondasi bangunan Katolik." Pada kenyataannya, menentang magisterium
hari esok yang dilakukan pada hari ini, yang pada gilirannya bertentangan
dengan magisterium kemarin, dan pada akhirnya akan berarti bahwa tidak ada
tindakan magisterial yang pasti.
Karena itu, dalam pernyataan lebih lanjut yang
dibuat pada 15 Juni (Chiesa e post concilio), Anda berpendapat bahwa seorang
paus di masa depan "dapat membatalkan seluruh konsili."
Jika saya diizinkan untuk memperkuat analisis
Anda, saya akan mengatakan bahwa satu-satunya solusi untuk bertentangan dengan
tindakan sebelumnya dengan sebuah tindakan magisterial adalah dengan mencatat
bahwa tindakan tersebut tidak sepenuhnya bersifat magisterial. Sebagai contoh, Pastor Aeternus dari KV I pada tahun
1870, membatalkan dekrit Frequens dari Konsili Constance pada tahun 1417, yang
dimaksudkan untuk melembagakan superioritas Konsili atas paus.
Pembatalan ini dimungkinkan karena Takhta Suci
tidak pernah mengakui nilai dogmatis dari Frequens. Dengan cara yang sama, dengan Vatikan II kita
menemukan diri kita dalam situasi yang sama dengan Frequens, karena organ-organ
Konsili itu sendiri (Dz 4351) dan semua interpretasi berturut-turut menyatakan
bahwa Konsili ini hanya bersifat "pastoral", yaitu tidak dogmatis. Faktanya, jalan keluar
yang luar biasa dari krisis magisterial saat ini adalah menyimpang dari apa
yang disebut "pastoral" dan untuk masuk sekali lagi ke dalam ranah dogmatik:
dimana Paus sendiri atau paus dan para uskup yang bersatu dengan paus, mengekspresikan
diri mereka sebagai magisterial dan bukan lagi "pastoral."
4) - Kepausan
saat ini jelas paradoks.
Anda menulis: "Apa yang selama bertahun-tahun
kita dengar diucapkan secara samar-samar dan tanpa konotasi yang jelas dari
Tahta tertinggi, namun kemudian kita menemukan berbagai hal diterapkan dalam
manifesto yang jelas dan tegas oleh para pendukung Kepausan ini."
Inilah yang membuat banyak orang telah mencoba
memberikan sebuah interpretasi saleh terhadap teks-teks yang dirasakan kontroversial
dalam KV II: mereka mengakui bahwa ini tidak mungkin karena aplikasi yang agak
otentik yang sedang dilakukan hari ini. Teks-teks kepausan ini adalah puncak
dari poin-poin kontroversial dari Konsili, seperti misalnya pengakuan keliru
atas hak-hak nurani dalam nasihat Amoris
Laetitia, yang dalam n. 301 dimana ia menegaskan bahwa dalam keadaan tertentu perselingkuhan bukanlah dosa.
5) Karena itu,
kewajiban hati nurani membebani para uskup Gereja yang sadar akan situasi ini.
Berbicara tentang diri Anda sendiri, Anda
berkata: “Sama seperti saya dengan jujur dan sungguh-sungguh mematuhi perintah
yang dipertanyakan enam puluh tahun yang lalu, percaya bahwa mereka mewakili
suara penuh kasih dari Gereja, maka hari ini dengan ketenangan dan kejujuran
yang sama, saya menyadari bahwa saya
telah ditipu. Saat ini, dengan bersikap mendukung dan mempertahankan kesalahan
akan menjadi pilihan yang buruk dan akan membuat saya menjadi kaki tangan dalam
penipuan ini."
Beberapa wali gereja, terutama setelah
pertemuan-pertemuan sinode terakhir, telah dituntun untuk melacak konsekuensi
dari situasi saat ini kembali kepada penyebabnya, yang didirikan setengah abad
yang lalu. Teladan dan dorongan Anda dapat membantu mereka untuk mengungkapkan,
dalam hati nurani, demi kebaikan Gereja, ketidaksepakatan mereka dengan
sebab-sebab ini: pokok-pokok dalam KV II yang cacat.
Translated by Giuseppe
Pellegrino @pellegrino2020
*****
No comments:
Post a Comment