ABP. VIGANO: KONSILI VATIKAN II,
GEREJA PARALEL, DAN KERAJAAN ANTIKRISTUS
CRUSADER NETWORK JUNI
19, 2020
Berikut ini adalah
terjemahan bebas dari surat Uskup Agung Vigano yang dimuat di website The Remnant tanggal 10 Juni 2020 yang
lalu. Surat ini agak panjang, namun sangat penting untuk dipahami maknanya
karena Uskup Vogano dengan analisis yang singkat namun padat mengungkapkan
wajah buruk yang sesungguhnya dari KV II. Juga Uskup Vigano dengan jujur
mengakui bagaimana konsili tersebut telah menyesatkan dirinya dan banyak orang
beriman lainnya.
Mereka
yang masih mendukung KV II sebaiknya merenungkan dengan seksama surat dari
salah satu Gembala Gereja ini.
-----------------
Saya
membaca dengan penuh minat esai dari Yang Mulia Athanasius Schneider yang diterbitkan
di LifeSiteNews pada tanggal 1 Juni, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Italia oleh Chiesa e post concilio,
berjudul "Tidak ada kehendak positif ilahi atau hak kodrati untuk
keragaman agama."
Penelitian
Yang Mulia meringkas, dengan jelas dari mereka yang berbicara menurut Kristus,
keberatan terhadap dugaan legitimasi pelaksanaan kebebasan beragama yang
diteorikan oleh KV II,
yang bertentangan dengan kesaksian Kitab Suci dan suara
Tradisi, serta Magisterium Katolik yang merupakan penjaga setia dari keduanya.
Kelebihan
esai Yang Mulia pertama-tama terletak pada pemahamannya tentang hubungan sebab
akibat antara prinsip-prinsip yang disampaikan oleh KV II dan
efek konsekuensi logisnya dalam penyimpangan doktrinal, moral, liturgis, dan
disiplin yang telah muncul dan semakin berkembang sampai pada keadaannya hari
ini.
Monster
yang dihasilkan kaum modernis awalnya sekedar menyesatkan, tetapi terus tumbuh
dan menguat, sehingga hari ini ia memperlihatkan identitas sesungguhnya dalam
sifatnya yang subversif dan memberontak. Makhluk yang dikandung pada saat itu
tetaplah sama, dan akan naif untuk berpikir bahwa sifatnya yang jahat dapat
berubah.
Upaya
untuk mengoreksi ekses konsili - yang memunculkan 'hermeneutic of continuity' -
telah terbukti tidak berhasil: Naturam
expellas furca, tamen usque recurret [Usirlah alam keluar dengan garpu
rumput; dia akan segera kembali]. Deklarasi Abu Dhabi - dan, sebagaimana
diamati Uskup Schneider dengan tepat, gejala pertamanya di Pantheon (kuil berhala-berhala)
Assisi - "dikandung dalam semangat KV II" seperti yang dinyatakan oleh
Bergoglio dengan bangga.
"Semangat
Konsili" adalah legitimasi yang digunakan oleh para inovator
untuk menentang para pengkritik mereka, tanpa mereka sadari ungkapan itu justru
mengakui warisan yang menegaskan tidak hanya kekeliruan dari deklarasi saat ini, tetapi
juga matriks sesat yang mereka gunakan sebagai pembenaran.
Jika
diamati lebih dekat, tidak pernah dalam sejarah Gereja ada Konsili yang
menampilkan dirinya sebagai peristiwa bersejarah sehingga berbeda dengan
konsili lainnya: tidak pernah ada pembicaraan tentang "Semangat Konsili
Nicea" atau "Semangat Konsili Ferrara-Florence,” apalagi ”Semangat
Konsili Trente,” sama seperti kita tidak pernah memiliki era “pasca-konsili”
setelah Konsili Lateran IV atau Konsili Vatikan I.
Alasannya
jelas: Konsili-konsili itu seluruhnya,
tanpa pandang bulu, adalah ekspresi yang sama dari Gereja yang Kudus, dan
karenanya juga suara Tuhan kita Yesus Kristus. Secara signifikan, mereka
yang mempertahankan pembaharuan dalam KV II juga mematuhi doktrin sesat yang
menempatkan Allah Perjanjian Lama bertentangan dengan Allah Perjanjian Baru,
seolah-olah ada kontradiksi antara Pribadi Ilahi dari Tritunggal
Mahakudus.
Jelas
sekali bahwa oposisi yang hampir bersifat gnostik atau kabbalistik ini
berfungsi untuk melegitimasi suatu subjek baru yang berbeda dan menentang
Gereja Katolik. Kesalahan doktrinal hampir selalu merupakan pengkhianatan bidaah
terhadap doktrin Tritunggal. Maka dengan
kembali ke proklamasi dogma Tritunggal, doktrin-doktrin yang menentangnya dapat
dikalahkan: ut in confessione veræ
sempiternæque deitatis, et in Personis proprietas, et in essentia unitas, et in
majestate adoretur æqualitas: Mengakui Keilahian yang benar dan abadi, kami
memuja apa yang pantas bagi masing-masing Pribadi, kesatuan mereka dalam
substansi, dan kesetaraan mereka dalam keagungan.
Uskup
Schneider mengutip beberapa kanon Konsili Ekumenis yang mengusulkan doktrin
yang, menurut pendapatnya, hari ini sulit diterima, seperti misalnya kewajiban
untuk membedakan orang Yahudi dengan pakaian mereka, atau larangan bagi orang
Kristen untuk melayani majikan yang beragama Muslim atau Yahudi. Di
antara contoh-contoh itu ada juga persyaratan dalam traditio instrumentorum yang dideklarasikan oleh Konsili Florence,
yang kemudian dikoreksi oleh Konstitusi Apostolik Pius XII, Sacramentum Ordinis.
Uskup
Athanasius berkomentar: “Seseorang dapat berharap dan percaya bahwa Paus atau
Konsili Ekumenis yang akan datang akan mengoreksi pernyataan-pernyataan salah
yang dibuat oleh KV
II". Bagi saya ini tampaknya merupakan argumen yang, meskipun dibuat
dengan niat baik, dapat merusak bangunan Katolik dari fondasinya.
Jika kita
mengakui bahwa mungkin ada tindakan-tindakan Magister yang, karena sensitivitas
yang berubah, rentan terhadap pencabutan, modifikasi, atau interpretasi yang
berbeda sesuai dengan perkembangan jaman, kita pasti akan jatuh di bawah
kutukan Dekrit Lamentabili, dan kita akhirnya memberikan pembenaran kepada
mereka yang, baru-baru ini, berdasarkan asumsi keliru tadi, menyatakan bahwa
hukuman mati “tidak sesuai dengan Injil,” dan dengan demikian mengubah
Katekismus Gereja Katolik. Dan, dengan prinsip yang sama, membenarkan juga
bahwa pernyataan Beato Pius IX dalam Quanta Cura dikoreksi oleh KV II,
seperti harapan Yang Mulia bisa terjadi pada Dignitatis Humanae.
Di antara
contoh-contoh yang dihadirkannya, tidak ada satupun yang merupakan kesesatan
atau pandangan bidaah: fakta bahwa Konsili Florence menyatakan traditio
instrumentorum diperlukan bagi validitas Ordo-ordo tidak mengkompromikan
pelayanan imam di Gereja, dan menuntunnya untuk menerima Ordo-ordo secara
invalid. Bagi saya juga tidak ada yang bisa menegaskan bahwa aspek ini,
betapapun pentingnya, telah menyebabkan kesalahan doktrinal dari pihak umat
beriman, sesuatu yang justru terjadi pada Konsili yang terbaru.
Dan
ketika dalam perjalanan sejarah berbagai aliran sesat muncul, Gereja selalu
turun tangan segera untuk mengutuk mereka, seperti yang terjadi pada masa
Sinode Pistoia pada tahun 1786, yang dengan cara tertentu merupakan pendahuluan
dari KV
II, terutama di mana ia menghapus Komuni di luar Misa, memperkenalkan
penggunaan bahasa lokal, dan menghapuskan doa-doa dari Kanon yang diucapkan
dengan suara lirih; bahkan juga berteori tentang kolegialitas para uskup,
mengurangi primat Paus menjadi hanya berfungsi semacam menteri. Membaca kembali
tindakan-tindakan Sinode itu membuat kita kagum pada perumusan harfiah dari
kesalahan yang sama yang kita temukan kemudian, dalam bentuknya yang meningkat,
pada Konsili yang dipimpin oleh Yohanes XXIII dan Paulus VI. Di sisi lain, sama
seperti Kebenaran berasal dari Tuhan, demikian pula kesesatan berasal
Musuh-Nya, yang membenci Gereja Kristus dan jantungnya: Misa Kudus dan Ekaristi
Mahakudus.
Ada
saatnya dalam hidup kita ketika, melalui disposisi Penyelamatan, kita
dihadapkan dengan pilihan yang menentukan untuk masa depan Gereja dan untuk
keselamatan kekal kita. Saya berbicara tentang pilihan antara memahami kesalahan
di mana praktis kita semua telah jatuh, hampir selalu tanpa niat jahat, dan
ingin terus melihat ke arah lain atau membenarkan diri kita sendiri.
Kita juga
telah melakukan kesalahan, antara lain, dengan menganggap orang beriman lain
sebagai orang yang, terlepas dari perbedaan ide dan keyakinan mereka, masih
termotivasi oleh niat baik dan mau memperbaiki kesalahan jika mereka bisa
membuka diri pada iman kita. Bersama dengan banyak Bapa Konsili, kita
menganggap ekumenisme sebagai suatu proses, sebuah undangan yang memanggil para
pembangkang ke dalam satu Gereja Kristus, kaum pagan kepada satu Tuhan yang
Sejati, dan orang-orang Yahudi kepada Mesias yang dijanjikan. Tetapi sejak itu
diteorikan dalam komisi konsili, ekumenisme dikonfigurasikan sedemikian rupa
sehingga bertentangan dengan doktrin yang sebelumnya dinyatakan oleh
Magisterium.
Kita
telah berpikir bahwa ekses-ekses tertentu hanyalah antusiasme berlebihan dari
mereka yang terbawa semangat pembaharuan; kita dengan tulus percaya bahwa
melihat Yohanes Paulus II dikelilingi oleh para penyembuh-penyembuh, para tokoh kepercayaan lain, dan
para bidat lainnya,
adalah bukti kemampuan Gereja memanggil orang-orang untuk bersama-sama memohon
perdamaian kepada Tuhan, sementara contoh otoritatif ini telah memprakarsai
berbagai penyimpangan Pantheon serupa, bahkan hingga para Uskup membawa berhala
pachamama yang najis di pundak mereka, yang diperhalus dengan dalih sebagai
lambang dari keibuan yang sakral.
Jika
gambar-gambar dari roh neraka dapat masuk ke dalam (Basilika) Santo Petrus, ini
adalah buah yang sudah diramalkan pihak lain sejak awal. Banyak orang Katolik
yang taat, dan mungkin juga mayoritas klerus Katolik, saat ini diyakinkan bahwa
Iman Katolik tidak lagi diperlukan bagi keselamatan kekal. Mereka
percaya bahwa Allah Tritunggal yang diwahyukan kepada nenek moyang kita adalah
sama dengan tuhannya orang-orang
lain. Sudah dua puluh tahun yang lalu kita mendengar ini
dikotbahkan dari mimbar-mimbar dan oleh para uskup, tetapi akhir-akhir ini kita
mendengarnya dengan tegas dari Tahta tertinggi.
Kita tahu
betul bahwa, dengan mengutip perkataan Kitab Suci 'Littera enim occidit,
spiritus autem vivificat' [Hukum tertulis itu mati, tetapi roh memberi
kehidupan] (2 Kor 3: 6)], kaum progresif dan modernis tahu bagaimana
menyembunyikan ekspresi samar-samar pada teks-teks konsili, yang pada saat itu
tampak tidak berbahaya bagi kebanyakan orang, tetapi hari ini diungkapkan dalam makna
subversifnya. Itulah metode yang dipakai dalam penggunaan frase 'subsistit in':
mengatakan setengah-
kebenaran tidak hanya agar tidak menyinggung golongan kristen lain (dengan asumsi bahwa adalah sah untuk
membungkam kebenaran dari Tuhan demi menghormati makhluk-Nya), tetapi
dengan niat untuk dapat menggunakan setengah-kesalahan yang akan langsung lenyap jika
seluruh kebenaran diproklamirkan. Dengan demikian “Ecclesia Christi subsistit
in Ecclesia Catholica” [Gereja Kristus ada di dalam Gereja Katolik] tidak
menegaskan identitas keduanya, tetapi subsistensi satu di dalam yang lain dan, demi
konsistensi, juga di gereja-gereja lain: ini adalah awal dari ibadah bersama
antar agama, doa ekumenis, dan akhir yang tak terhindarkan dari perlunya Gereja
demi keselamatan, persatuan dengannya, dan sifat misionernya.
Beberapa
orang mungkin ingat bahwa pertemuan ekumenis pertama diadakan dengan para
skismatik Timur, dan dengan sangat hati-hati dengan sekte Protestan lainnya.
Selain dari Jerman, Belanda, dan Swiss, pada awalnya negara-negara bertradisi
Katolik tidak menyetujui ibadah bersama antara imam Katolik dengan pendeta
Protestan. Saya ingat bahwa pada saat itu ada pembicaraan untuk menghapus
doksologi sebelum 'Veni Creator' agar tidak menyinggung kaum Ortodoks,
yang tidak menerima Filioque. Hari ini kita mendengar Alquran dibacakan dari
mimbar gereja-gereja kita, kita melihat berhala kayu yang dipuja oleh para
suster dan bruder, kita mendengar para Uskup mengingkari apa yang sampai
kemarin menjadi alasan paling masuk akal dari begitu banyak ekstremisme.
Apa yang
diinginkan dunia, atas dorongan Masonry dan tangan-tangan nerakanya, adalah
menciptakan sebuah agama universal yang bersifat humanis dan ekumenis, yang
darinya Allah pencemburu yang kita puja harus
disingkirkan. Dan jika ini yang diinginkan dunia, setiap langkah ke arah
yang sama oleh Gereja adalah pilihan yang tidak menguntungkan yang akan
berbalik melawan mereka yang percaya bahwa mereka dapat mencemooh Tuhan.
Harapan akan Menara Babel tidak dapat dihidupkan kembali oleh rencana kaum
globalis yang bertujuan untuk meruntuhkan Gereja Katolik, dan menggantinya
dengan konfederasi penyembah berhala dan bidat yang disatukan oleh semangat
persaudaraan universal. Tidak ada persaudaraan kecuali di dalam Kristus, dan
hanya di dalam Kristus: qui non est mecum, contra me est [Siapa tidak bersama
Aku, ia menentang Aku].
Sangat
membingungkan bahwa hanya sedikit orang yang sadar terhadap perjalanan menuju
jurang ini, dan hanya sedikit yang menyadari tanggung jawab dari hirarki
tertinggi Gereja dengan mendukung ideologi anti-Kristen ini, seolah-olah para
pemimpin Gereja ingin memastikan bahwa mereka memiliki tempat dan peran pada
rombongan pemikiran yang selaras. Dan
sungguh mengejutkan bahwa orang-orang tetap tidak ingin menyelidiki akar
penyebab krisis saat ini, membatasi diri mereka untuk menyesali ekses-ekses
saat ini seolah-olah itu bukan konsekuensi logis dan tak terhindarkan dari
sebuah rencana yang dirancang beberapa dekade lalu.
Jika
pachamama dapat dipuja di sebuah gereja, itu karena Dignitatis Humanae. Jika
kita memiliki liturgi yang diprotestankan dan kadang juga bersifat pagan, itu
karena Mgr. Annibale Bugnini dan gerakan reformasi paska-konsili. Jika
Deklarasi Abu Dhabi ditandatangani, itu karena Nostra Aetate. Jika kita sampai
pada titik mendelegasikan keputusan pada Konferensi Uskup - bahkan termasuk dalam
pelanggaran berat terhadap Concordat, seperti yang terjadi di Italia - itu
karena kolegialitas, dan dalam versi terbarunya, sinodalitas.
Berkat
sinodalitas, Amoris Laetitia menyebabkan kita harus mencari cara untuk mencegah
apa yang begitu jelas sudah muncul sejak awal: bahwa dokumen ini, yang
disiapkan oleh mesin organisasi yang canggih, dimaksudkan untuk melegitimasi Komuni bagi orang yang bercerai dan hidup bersama (kumpul kebo), seperti
halnya Querida Amazonia yang akan digunakan untuk melegitimasi imam
wanita (seperti dalam kasus baru-baru ini "vikaris episkopal" di
Freiburg) dan penghapusan selibat bagi imamat. Para prelatus yang mengirim surat Dubia kepada
Fransiskus, menurut pendapat saya, menunjukkan kesalehan yang tulus: berpikir
bahwa Bergoglio, ketika dihadapkan dengan kontestasi kesalahan yang
diperdebatkan secara masuk akal, akan memahami, memperbaiki poin-poin
heterodoks, dan meminta maaf.
Konsili
telah digunakan untuk melegitimasi penyimpangan doktrinal yang paling buruk,
inovasi liturgi yang paling berani, dan pelanggaran yang paling tidak bermoral,
semuanya terjadi,
sementara pihak Otoritas
tetap bersikap diam.
Konsili ini sangat ditinggikan sehingga diposisikan sebagai satu-satunya
rujukan yang sah untuk umat Katolik, klerus, dan uskup, mengaburkan dan
memandang dengan rasa jijik terhadap doktrin yang selalu diajarkan Gereja, dan
melarang liturgi abadi yang selama berabad-abad telah menumbuhkan iman generasi
tak terputus dari umat beriman, martir, dan orang-orang kudus. Antara lain,
Konsili ini telah terbukti menjadi satu-satunya yang telah menyebabkan begitu
banyak masalah interpretatif dan banyak kontradiksi sehubungan dengan
Magisterium sebelumnya, sementara tidak ada satu konsili lain - dari Konsili
Yerusalem hingga Vatikan I - yang tidak selaras dengan seluruh Magisterium atau
yang membutuhkan banyak interpretasi.
Saya
mengakuinya dengan tenang dan tanpa kontroversi: Saya adalah salah satu dari
banyak orang yang, meskipun dengan banyak kebingungan dan ketakutan yang hari
ini terbukti, mempercayai otoritas Hierarki dengan kepatuhan tanpa syarat. Pada kenyataannya, saya berpikir bahwa
banyak orang, termasuk saya, pada awalnya tidak mempertimbangkan kemungkinan
bahwa ada konflik antara kepatuhan terhadap Hierarki dan kesetiaan kepada
Gereja. Apa yang membuat nyata ketidakwajaran ini yang bahkan saya sebut
sebagai kesesatan, pemisahan antara Hierarki dan Gereja, antara kepatuhan dan
kesetiaan, tentu saja Kepausan ini.
Di Kamar
Air Mata yang bersebelahan dengan Kapel Sistina, sementara Msgr. Guido Marini
menyiapkan rocchetto putih, mozzetta, dan stola untuk penampilan pertama Paus
yang "baru terpilih", Bergoglio berseru: “Sono finite le carnevalate!
[Karnaval sudah berakhir!],” Dengan sinis dia menolak lencana yang oleh semua
Paus sampai saat itu dengan rendah hati diterima sebagai pakaian pembeda
Vikaris Kristus. Tetapi kata-kata itu mengandung kebenaran, bahkan jika itu
diucapkan tanpa sadar: pada 13 Maret 2013, topeng itu jatuh dari para
konspirator, yang akhirnya terbebas dari kehadiran Benediktus XVI yang tidak
nyaman dan dengan bangga akhirnya berhasil mempromosikan seorang Kardinal yang
akan mewujudkan cita-cita mereka, untuk merevolusionerkan Gereja, membuat
doktrin yang lunak, moral yang bisa diadaptasi, liturgi yang dapat diselewengkan,
dan disiplin yang dapat dicampakkan. Dan semua ini dianggap, oleh pelaku utama
konspirasi itu sendiri, konsekuensi logis dan penerapan KV II yang
jelas, yang menurut mereka telah dilemahkan oleh kritik yang diungkapkan oleh
Benediktus XVI. Penghinaan terbesar dari Kepausan itu adalah mengizinkan
perayaan Liturgi Tridentine yang terhormat secara bebas, suatu legitimasi yang
akhirnya diakui dan menyangkal lima puluh tahun pengucilannya yang tidak sah.
Bukan kebetulan bahwa pendukung Bergoglio adalah orang yang sama yang melihat
Konsili sebagai momen pertama dari gereja baru, sedangkan yang sebelumnya
adalah agama lama dengan liturgi lama.
Bukan
kebetulan: apa yang ditegaskan
oleh orang-orang
ini dengan impunitas, mempermalukan kaum moderat, adalah apa yang juga diyakini
oleh umat Katolik, yaitu: bahwa terlepas dari segala upaya 'hermeneutic of
continuity' yang karam secara menyedihkan pada konfrontasi pertama dengan
kenyataan krisis saat ini, tidak dapat dipungkiri bahwa sejak KV II dan
seterusnya sebuah gereja paralel
dibangun, tumpang-tindih dan secara diametris menentang Gereja Kristus yang
sejati.
Gereja
paralel ini semakin mengaburkan institusi ilahi yang didirikan oleh Tuhan kita
untuk menggantikannya dengan entitas palsu, yang sejalan dengan agama universal
yang awalnya diteorikan oleh Masonry. Ungkapan-ungkapan seperti humanisme baru,
persaudaraan universal, martabat manusia, adalah semboyan dari humanitarian
philantropik yang menyangkal Tuhan yang sejati, dari solidaritas horizontal
inspirasi spiritualis yang samar-samar, dan irenisme ekumenis yang secara tegas
dikutuk oleh Gereja. “Nam et loquela tua manifestum te facit [Dari bicaramu
kamu dikenal]” (Mat.26:73): ungkapan yang sangat sering, bahkan obsesif pada kosakata
yang sama dari musuh, menunjukkan kepatuhan terhadap ideologi yang diilhaminya;
sementara di sisi lain penolakan sistematis terhadap bahasa Gereja yang jelas
dan tegas menunjukkan keinginan untuk melepaskan diri tidak hanya dari bentuk
Katolik tetapi juga dari substansinya.
Apa yang
selama bertahun-tahun kita dengar diucapkan, secara samar-samar dan tanpa
konotasi yang jelas, dari Tahta tertinggi, kita temukan diuraikan dengan benar
dan tepat dalam manifesto para pendukung Kepausan sekarang: demokratisasi
Gereja, tidak lagi melalui kolegialitas yang diciptakan oleh KV II
tetapi melalui jalur sinodal yang diresmikan oleh Sinode tentang Keluarga;
pembongkaran pelayanan imamat dengan melamahkannya melalui pengecualian selibat
imamat dan pelibatan perempuan dalam tugas yang mirip imamat; jalur senyap dari
ekumenisme yang diarahkan kepada saudara-saudara yang terpisah kepada suatu
bentuk pan-ekumenisme yang mereduksi Kebenaran dari Allah Tritunggal menjadi
tingkat penyembahan berhala dan takhyul yang menyesatkan; penerimaan dialog
antaragama yang mengandaikan relativisme agama dan mengecualikan penginjilan;
demitologisasi Kepausan yang dituju oleh Bergoglio sebagai tema kepausannya;
legitimasi progresif dari semua yang benar secara politis: teori gender,
sodomi, perkawinan homoseksual, doktrin Malthusian, ekologisme,
imigrasionisme... Jika kita tidak mengakui bahwa akar penyimpangan ini
ditemukan dalam prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh KV II, tidak
mungkin kita menemukan penyembuhan: jika diagnosis kita bersikeras, melawan
semua bukti, untuk mengecualikan patologi awal, kita tidak bisa meresepkan
terapi yang sesuai.
Operasi
kejujuran intelektual ini membutuhkan kerendahan hati yang besar, pertama-tama
dalam mengakui bahwa selama beberapa dekade kita telah digiring ke dalam
kesalahan, dengan maksud baik, oleh otoritas hirarki yang tidak memahami
bagaimana mengawasi dan menjaga kawanan domba Kristus: sebagian demi hidup yang
tenang, sebagian karena memiliki terlalu banyak komitmen, sebagian karena
kenyamanan, dan akhirnya sebagian dengan itikad buruk atau bahkan niat jahat.
Orang-orang terakhir ini yang telah mengkhianati Gereja harus diidentifikasi,
dipinggirkan, dipanggil untuk bertobat dan, jika mereka tidak bertobat, mereka
harus dikeluarkan dari kawanan yang suci. Beginilah cara Gembala sejati
bertindak, yang menjaga kawanan domba dan yang memberikan nyawa-Nya bagi
mereka. Kita
telah dan masih memiliki terlalu banyak gembala upahan, yang bagi mereka
persetujuan dari musuh-musuh Kristus lebih penting daripada kesetiaan terhadap
Sang Mempelai Kristus.
Sama
seperti saya dengan jujur dan sungguh-sungguh mematuhi perintah-perintah yang
diragukan enam puluh tahun yang lalu, karena percaya hal itu
mewakili suara penuh kasih dari Gereja, begitu pula hari ini dengan ketenangan
dan kejujuran yang sama saya menyadari
bahwa saya telah ditipu. Menjadi koheren hari ini bahwa dengan bertahan
dalam kesalahan akan mewakili pilihan yang buruk dan akan membuat saya terlibat
dalam penipuan ini. Mengaku kejelasan penilaian sejak awal tidak akan jujur:
kita semua tahu bahwa KV II lebih atau kurang adalah revolusi, tetapi
kita tidak bisa membayangkan bahwa hal itu akan terbukti sangat menghancurkan,
bahkan untuk tugas
mereka yang seharusnya mencegahnya. Dan jika sampai
Benediktus XVI kita masih bisa membayangkan bahwa kudeta KV II
(yang disebut Kardinal Suenens sebagai "revolusi 1789 bagi Gereja")
telah mengalami pelambatan, dalam beberapa tahun terakhir ini bahkan yang
paling cerdik di antara kita telah mengerti bahwa sikap diam karena takut
menyebabkan perpecahan, upaya untuk memperbaiki dokumen kepausan dalam makna
Katolik untuk memperbaiki ambiguitasnya yang disengaja, permohonan dan dubia para klerus kepada
Fransiskus,
yang tetap tidak dijawab dengan jelas, semuanya merupakan penegasan dari
situasi kemurtadan yang paling serius pada tingkat tertinggi Hierarki,
sementara itu umat
beriman kristiani dan para imam merasa ditinggalkan tanpa
harapan dan bahwa mereka ditanggapi oleh para uskup dengan sikap jengkel.
Deklarasi
Abu Dhabi adalah manifesto ideologis dari ide perdamaian dan kerja sama antar
agama yang dapat dimengerti jika berasal dari orang-orang yang tidak memiliki
cahaya Iman dan api Cinta Kasih. Tetapi siapa pun yang memiliki rahmat sebagai
Anak Allah berkat Pembaptisan Kudus, harus merasa ngeri pada gagasan untuk
membangun Menara Babel versi modern yang menghujat, yang berusaha untuk
mempersatukan satu Gereja Kristus yang sejati, pewaris janji-janji yang dibuat
untuk Bangsa Terpilih, dengan mereka yang menyangkal Mesias dan dengan mereka
yang menganggap gagasan tentang Allah Tritunggal sebagai penghujatan. Kasih
Tuhan adalah tanpa
batas dan tidak mentolerir kompromi. Jika bukan demikian maka itu bukan Kasih,
yang tanpanya tidak mungkin untuk tetap berada di dalam Dia: qui manet in caritate, in Deo manet, et Deus
in eo [..barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam
Allah dan Allah di dalam dia.] (1 Yoh 4:16).
Tidak
masalah apakah itu deklarasi atau dokumen Magister: kita tahu betul bahwa
pemikiran subversif dari para inovator bermain-main dengan dalih ini untuk
menyebarkan kesesatan. Dan kita tahu betul bahwa tujuan dari inisiatif ekumenis
antaragama ini bukan untuk mempertobatkan mereka yang terpisah dari satu Gereja
Kristus, tetapi untuk menyimpangkan dan
merusak mereka yang masih memegang iman Katolik, membuat mereka percaya bahwa
adalah perlu untuk memiliki agama universal yang menyatukan tiga agama besar
Abraham “dalam satu rumah”: ini adalah kemenangan rencana Masonik untuk
mempersiapkan kerajaan Antikristus!
Apakah
ini terwujud melalui Bula dogmatis, deklarasi, atau wawancara dengan si atheist, Scalfari, di La Repubblica, tidak
penting, karena para pendukung Bergoglio menunggu kata-katanya sebagai sinyal
di mana mereka akan
segera merespons dengan serangkaian inisiatif yang telah
disiapkan dan diorganisir selama beberapa waktu. Dan jika Bergoglio tidak
mengikuti arahan yang diterimanya, jajaran teolog dan klerus siap untuk
meratapi "kesendirian Paus Fransiskus" sebagai premis untuk
pengunduran dirinya (saya memikirkan contoh Massimo Faggioli dalam salah satu
esainya baru-baru ini) . Di sisi lain, itu bukan pertama kalinya mereka
memanfaatkan Paus ketika dia mengikuti rencana mereka dan menyingkirkannya atau
menyerangnya segera setelah dia membangkang.
Hari
Minggu lalu, Gereja merayakan hari raya Tritunggal Mahakudus, dan dalam Brevir
ditawarkan kepada
kita pembacaan Symbolum Athanasianum, yang sekarang dilarang oleh liturgi
konsili dan telah dikurangi menjadi hanya dua kali dalam reformasi liturgi
tahun 1962. Kata-kata pertama dari Simbolum yang kini menghilang tetap ditulis
dengan emas: “Quicumque vult salvus esse,
ante omnia opus est ut teneat Catholicam fidem; quam nisi quisque integram
inviolatamque servaverit, absque dubio di aeternum peribit - Siapa pun yang
ingin diselamatkan, diatas segalanya ia harus memegang iman Katolik; Karena
kecuali seseorang menjaga iman ini dengan utuh dan tidak tercela, tanpa
keraguan,
ia akan binasa selamanya."
+ Carlo
Maria Viganò
Terima
kasih banyak atas perhatian anda..
Viva
Christo Rey...
*****
ayo tes keberuntungan kamu di agen365*com :D
ReplyDeleteWA : +85587781483