Ibu dan anak
Menanggung beban kesedihan
sepenuh-penuhnya
March 7, 2019
Saat
Prapaskah sedang berlangsung sekarang, umat Katolik yang setia memiliki satu
tugas: berdoa dan berpuasa bagi Bunda Gereja Kudus.
Gereja
sedang mengalami sebuah kesengsaraan yang belum pernah Ia alami dalam sejarah sakralnya,
dan itu benar-benar mau mengatakan sesuatu. Berabad-abad penganiayaan di tangan
para Kaisar, perbuatan bidaah dari para uskup, perpecahan oleh sekelompok besar
orang-orang beriman, kemurtadan oleh seluruh bangsa-bangsa.
Tetapi
berbagai luka itu terjadi, kadang-kadang dan sebagian besar, saling terpisah
satu sama lain, setidaknya pada skala universal. Namun yang terjadi saat ini,
masing-masing pukulan dan siksaan ini dilakukan pada tubuh mistik Tuhan kita
pada saat yang bersamaan, secara terorganisir.
Dan inilah saat bagi Yudas, karena kesengsaraan
saat sekarang ini telah dibawa langsung oleh tangan-tangan penerus para Rasul.
Ketika
Tuhan kita secara ajaib mengubah air menjadi anggur di Kana, atas permohonan
Bunda Kudus-Nya, Dia bisa saja secara ajaib mengisi wadah-wadah anggur itu dengan
air anggur segera - Dia tidak memerlukan air untuk berada di sana terlebih
dahulu.
Namun,
Dia ingin agar air pertama-tama dibawa masuk. Itu adalah upaya manusia yang Dia inginkan. Dan itu akan menjadi pekerjaan
yang sulit karena tanpa adanya pipa ledeng saat itu, para pelayan saat itu harus
pergi ke sumur di Kana hingga bolak balik beberapa kali dan mengisi dan
membawanya kembali ke tempat pesta pernikahan dilangsungkan. Itu amat melelahkan.
Disini peranan manusia memang dituntut.
Hanya
setelah itu, setelah manusia melakukan semua yang bisa kita lakukan, Tuhan kita
kemudian memahkotai kerja dan upaya manusia itu dengan mukjizat-Nya. Tuhan
ingin agar kita berusaha dalam diri kita dalam persiapan untuk menerima campur
tangan ilahi-Nya. Kita musti bekerja, kita musti berusaha keras, kita musti berjuang
dan kemudian kita menyerahkannya kepada Juru Selamat Ilahi kita agar Dia berkenan
melimpahkan rahmat-Nya.
Ketika
Bunda Terberkati berdiri di kaki Salib, dia juga mengalami kesengsaraan yang
tidak akan pernah dialami orang lain dalam sejarah, atau bahkan orang lain
tidak akan mampu menanggung hal itu.
Rasa
nyeri bukanlah sesuatu yang objektif. Tingkat keparahannya sepenuhnya
tergantung pada yang menanggungnya. Ketika dia berdiri dan menyaksikan dampak
dari dosa, konsekuensi dari semua kegagalan moral kita dan sifat buruk serta
kejahatan kita, dia, Bunda Maria, menanggung semua itu di dalam Jiwanya Yang Tak
Bernoda sebagai penderitaan yang paling berat.
Sungguh,
perkataan Simeon digenapi: "Dan sebuah pedang akan menusuk hatimu."
Justru karena dia tidak berdosa dan menjadi contoh dari segala kemurnian -
justru karena inilah maka keburukan dan kegelapan dosa baginya akan sangat menghancurkan.
Dia
yang tidak terbiasa dengan kengerian dosa, sekarang harus menanggung beban
penuh di dalam jiwanya sendiri, demi melihat Putranya dihancurkan di bawah
beratnya dosa.
Dan
karena adanya persatuan dan persekutuan yang sama-sama dirasakan oleh Yesus dan
Bunda Maria - Adam Baru dan Hawa Baru, tulang dari tulang yang sama dan daging
dari daging yang sama – maka tidaklah mungkin ada orang lain yang bisa bertahan
dengan apa yang dirasakan Bunda Maria saat berdiri di kaki salib.
Dan
di sana, di tengah-tengah segala penderitaan, kesengsaraan Tuhan, Bunda Maria menyerahkan
korbannya yang tertinggi kepada Surga, karena tidak ada lagi yang dapat dia persembahkan
yang bisa melampaui penyerahannya atas Putra kepada Bapa! Pada saat itu, dia
tidak lagi hanya menjadi ibu Yesus, tetapi dia menjadi ibu dari Gereja.
Inilah
sebabnya Tuhan kita, dari atas Salib-Nya, memanggil "Wanita" menurut Injil
Yohanes, dan menyebut ‘Ibu” bagi St.
Yohanes.
Dia
adalah ‘wanita’ dari Kitab Kejadian yang perannya dalam sejarah keselamatan,
yang ditahbiskan oleh Allah Bapa dari segala keabadian, adalah pertama-tama
melahirkan tubuh fisik Kristus dan kemudian melahirkan Tubuh Mistik-Nya - yang
diwakili oleh St.Yohanes.
St.
Yohanes, sebagai wakil dari Tubuh Mistik, tidak membutuhkan seorang ibu
duniawi. Karena Ibu ‘mistik’nya telah berdiri tepat di sampingnya di Kalvari,
seperti yang dikisahkan oleh Injil.
Tetapi
Yohanes memang membutuhkan seorang Ibu surgawi, dan ketika dia berdiri di sana
mewakili Gereja, berbagi dalam kesengsaraan, dia diberi seorang Ibu surgawi.
Tuhan kita memutuskan dari atas Salib bahwa Maria akan dipelihara di dunia oleh
murid-Nya yang terkasih, dan Dia juga memutuskan bahwa Gereja akan dipelihara di
dunia oleh kasih keibuannya.
Inilah
sebabnya Dia memanggilnya dengan dua referensi berbeda, "Wanita" dan
"Ibu," tetapi Yohanes sama-sama bagi kedua referensi itu sebagai ‘anak.’
Penyerahan hak perawatan ini, yaitu mempercayakan Gereja ke tangan ibu-Nya yang
kudus, telah memberi teladan bagi kita.
Maria
diberi posisi yang mulia untuk merawat jiwa-jiwa justru karena penderitaan dan
pengorbanannya. Semakin besar rasa sakitnya, semakin besar pula manfaatnya.
Masa
Prapaskah ini, dimana Gereja tidak hanya berada dalam kesengsaraan, tetapi juga
penderitaan total, maka marilah kita semua menjadi seperti para pelayan yang
mengisi guci-guci anggur – yang melelahkan diri kita sendiri. Marilah kita bersedia
terluka dan berkorban sejauh yang kita bisa, seperti yang dilakukan Bunda kita di
Kalvari dan mempersembahkan penderitaan kita kepada Surga.
Minggu
Paskah akan datang. Dan ketika St. Yohanes yang pertama mencapai makam, marilah
kita juga aktif dalam mempersiapkan dan menyongsong Kristus yang bangkit.Kita -
Gereja - harus menanggung penderitaan saat ini. Tidak ada jalan lain, kita akan
menang atas penderitaan atau kalah oleh penderitaan.
Kita
harus berdiri tegak dan menanggungnya, menderita; tetapi penderitaan itu tidaklah
sia-sia.Penderitaan itu ditanggung demi kasih akan jiwa-jiwa, demi penyatuan dengan
Kristus di Kayu Salib, dipimpin dan dihibur oleh pengetahuan bahwa Ibu kita
melewati jalan ini juga.
Kita
adalah anak-anaknya. Dia adalah Ibu kita. Kesengsaraan kita bersama adalah
jalan menuju Kebangkitan.
No comments:
Post a Comment