BLOGSCATHOLIC CHURCH Thu May 2, 2019 - 12:09 pm EST
PETER KWASNIEWSKI, SEORANG FILSUF KATOLIK:
MENGAPA SAYA MENANDATANGANI SURAT
TERBUKA YANG MENUDUH PAUS FRANCIS SEBAGAI BIDAAH
2 Mei 2019 (LifeSiteNews) - Umat Katolik yang
telah memperhatikan perkataan dan perbuatan Paus Francis selama enam tahun
terakhir pastilah sadar akan masalah yang terus semakin meningkat dari masa kepausan
ini. Tidak perlu untuk masuk kedalam detil masalah di sini; karena mereka yang
peduli untuk mengetahui, sudah tahu atau dapat dengan mudah mengetahuinya. Surat Terbuka untuk para Uskup
Gereja Katolik yang ditandatangani oleh sejumlah cendekiawan dan pastor,
termasuk saya, memberikan bukti yang jelas tentang pernyataan sesat (bukan
hanya keliru) yang dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Paus Fransiskus yang
sah, serta bukti-buktinya — dalam bentuk tindakan yang berulang dan kelalaian dalam
pemerintahannya — dan bahwa dia sepenuhnya menyadari apa yang dia promosikan
itu.
Banyak orang
bertanya: Apa gunanya mengambil langkah seperti ini? Apakah itu tidak akan lebih
jauh mempolarisasi situasi? Apakah itu tidak menawarkan alasan kepada kelompok Bergoglio
untuk mengintensifkan kurungan dan penganiayaan mereka terhadap umat Katolik?
Apakah kemungkinan besar (surat tuduhan itu) tidak akan diabaikan? Adakah yang
bisa melakukan apa pun tentang paus yang sesat ini — tidakkah kita harus
menunggu sampai Tuhan sendiri yang menyelesaikannya untuk kita? Dan selain itu,
bukankah para penandatangannya kurang memiliki kualifikasi teologis yang
memadai?
Sebenarnya dokumen
ini adalah baik dan berharga karena tiga alasan.
Pertama, ia mendokumentasikan contoh-contoh perbuatan
bidaah yang tidak dapat disangkal, menunjukkan
bukti-bukti tekstual bersama dengan tindakan yang mendukungnya. Kebenaran-kebenaran yang
dipertaruhkan bukanlah hal yang kecil, juga tidak
kabur, atau berupa proposisi yang dapat
diperdebatkan. Kita sedang berhadapan dengan kebenaran yang diajarkan langsung
oleh Kitab Suci, yang dikonfirmasi secara tegas oleh para paus dan konsili-konsili
ekumenis.
Mengatakan semua ini mungkin
tidak juga bisa membantu menghilangkan sisik
dari mata orang-orang yang sengaja
menolak untuk melihat, tetapi sepertinya
ini adalah langkah logis berikutnya setelah tindakan Correctio filialis sebelumnya, yang berpendapat bahwa Francis mendukung atau tidak
menentang ajaran sesat. Dokumen baru ini selangkah
lebih maju: menunjukkan bahwa dia
"bersalah atas kejahatan bidaah" dan dapat dinilai
seperti itu oleh mereka yang kompeten untuk memerintah Gereja Allah, yaitu,
para uskup, yang bukan merupakan para wakil Paus, tetapi penguasa yang benar dan pantas dari peranan
mereka sendiri sebagai
kawanan Tuhan, sehubungan
dengan (seperti yang diajarkan Vatikan
II) tanggung jawabnya atas kesejahteraan seluruh
Gereja.
Kedua, ini adalah langkah yang kita ambil untuk catatan sejarah, demi
anak cucu. Akan terlihat dengan jelas bahwa umat Katolik di zaman kita bersedia
untuk menyebut sebagai dosa terhadap perbuatan pelecehan sexual para klerus,
tetapi juga dosa-dosa bidaah, yang lebih buruk dari jenisnya, karena ia lebih
langsung menentang Allah sendiri. Dosa terburuk, demikian ajaran St Thomas
Aquinas, adalah perselingkuhan atau kurangnya iman; dan kurangnya iman ini
dimanifestasikan dalam bentuk penolakan atas kebenaran Iman Katolik.
Ketiga, ini adalah langkah yang kita ambil di hadapan Allah,
sebagai kesaksian hati nurani kita. Mungkin ada orang-orang lain yang bisa
tidur seperti bayi tanpa menyampaikan suara protes apa pun terhadap penghancuran
iman secara otomatis dan penyesatan jiwa yang tak terhitung jumlahnya ini; mungkin
juga ada orang-orang yang melihat apa yang dikatakan dan dilakukan oleh paus
Francis, tetapi yang hanya mengangkat bahu dan berpikir bahwa hal itu tidak
akan berpengaruh banyak dan lama. Saya bukanlah orang semacam itu, dan saya
pikir hal yang sama berlaku untuk semua penandatangan lainnya dari Surat
Terbuka itu.
Mereka yang telah menolak dokumen ini (dan dokumen-dokumen
lain yang seperti ini, seperti misalnya Correctio filialis) telah menunjukkan kurangnya keseriusan mereka untuk terlibat dalam berbagai masalah serius yang telah
diajukan para penulis Surat Terbuka,
dan mereka lebih memilih untuk berlindung dalam
perasaan nyaman dari kesetiaan kepausan dan generalisasi boilerplate yang didaur ulang dari manual skolastik. Dengan cara ini, meskipun
mereka percaya diri akan bisa memadamkan api dan menenangkan ketakutan
irasional, Namun mereka, pada kenyataannya, telah membuka jalan lebar bagi kemenangan kaum lalim modernis-narsisis yang saat ini
mendominasi jabatan gerejawi tingkat tinggi. Pada akhirnya, mereka yang melapangkan jalan bagi kemajuan para
lalim itu
tidak akan kurang dalam tanggung jawabnya pada saat penghakiman nanti. Pertempuran dimenangkan bukan hanya oleh para jenderal,
atau oleh para tentara saja, tetapi juga oleh
kepengecutan, kelalaian, dan keterlibatan lawan-lawan mereka.
Para penandatangan
telah diejek sebagai “orang yang kurang memadai dalam kualifikasi teologis.”
Ini adalah salah, karena beberapa penandatangan adalah ahli teologi yang sangat
terlatih dengan reputasi baik mereka. Tetapi alasan ini juga agak tidak
relevan. Seseorang tidak harus menjadi dokter untuk bisa mengenali adanya patah
tulang, atau adanya vena jugularis yang pecah dan berdarah; maka dengan cara
yang sama, seseorang tidak harus menjadi seorang teolog profesional untuk
mengetahui kapan kebenaran dasar Iman sedang ditentang dan dilanggar secara
langsung. Orang bodoh yang mengatakan "tidak ada Tuhan" adalah memang
orang bodoh dan dia memang layak diidentifikasi seperti itu. Demikian pula, seseorang,
tidak peduli siapa dia, yang mengatakan bahwa mereka yang sudah menikah tetapi
hidup bersama dengan orang lain, dan dirinya merasa masih dapat menerima Komuni
Kudus tanpa mengaku dosa dan bertekad untuk tidak berbuat dosa itu lagi, maka
dia menyangkal kebenaran dari hukum kodrat, hukum ilahi, dan hukum gerejawi,
yang ditetapkan dalam Kitab Suci. dan Tradisi. Orang seperti itu jelas
menyimpang dari kebenaran Iman.
Sebagaimana
dijelaskan dalam tiga halaman terakhir dari Surat Terbuka itu - dan saya sangat
merekomendasikan pada mereka yang belum membaca Surat itu sampai akhir, silakan
membaca halaman-halaman terakhirnya tanpa menundanya – karena disitu berisi sebuah
konsensus luas dari para penulis Katolik yang menyatakan adanya kemungkinan bahwa
paus Francis dihadapkan kepada sesama uskup lainnya dan kemudian, jika dia tetap
bertahan dalam bidaahnya, maka dia akan dinyatakan turun dari jabatannya di
hadapan Allah dan umat beriman, dengan fakta bahwa dia telah jatuh ke dalam
bidaah. Seperti yang diajarkan dalam hukum kanon, seorang paus bidaah
digulingkan melalui fakta sederhana yang diakui sebagai bidaah formal publik
oleh mereka yang kompeten ex officio
untuk mengidentifikasi dan melarang bidaah. Posisi ini telah disepakati tanpa
keberatan oleh Eklesiologist yang baru dan dihormati, Cardinal Charles Journet:
Tindakan Gereja
[terhadap paus yang menyimpang] hanyalah deklaratif; Gereja hanya perlu menyatakan
bahwa ada dosa bidaah yang tidak dapat diperbaiki: maka tindakan otoritatif
Allah bisa dijatuhkan untuk memutuskan kepausan dari seseorang yang tetap
bertahan dalam bidaahnya setelah diperingatkan, dimana orang ini, menurut Hukum
Ilahi, menjadi tidak layak lagi memegang jabatan. Jadi berdasarkan Kitab Suci,
Gereja menunjukkan fakta dan Allah yang memecatnya. (L'Eglise du Verbe incarné. Essai de Théologie spéculative, 2: 266)
Akhirnya, komentar yang putus asa dan sinis: "Apa
gunanya?" perlu mendapat tanggapan.
Fakta bahwa Tuhan
pada akhirnya bertanggung jawab atas segala sesuatu, tidak pernah dapat dianggap
sebagai alasan untuk tidak melakukan apa pun. Apakah dunia Romawi akan
dipertobatkan menjadi Kristiani jika tidak ada orang yang pernah berkhotbah
disana? Apakah dunia berhala, secara luas, akan mengenal Kristus tanpa adanya
para misionaris yang melakukan perjalanan ke ujung-ujung bumi? Para pendiam yang
ada di antara kita tampaknya berpikir bahwa cukuplah bagi mereka untuk
“menyerahkannya kepada Tuhan”; biarkan Dia saja yang berkhotbah jika Dia menghendaki
dunia ini, biarkan Dia saja yang melakukan perjalanan ke sudut-sudut terpencil.
Jelas pendapat ini tidak masuk akal. Kitalah yang harus melakukan semua yang
kita bisa demi Kristus dan Gereja, pada posisi apa pun kita berada, karena kita
tahu bahwa Allah akan memberkati dengan hasil usaha apa pun yang berasal dari inspirasi-Nya,
sesuai dengan kehendak-Nya, dan untuk mempromosikan kemuliaan-Nya.
Pertanyaan
"Apa gunanya?" terdengar menakutkan seperti "Apakah kebenaran?"
Orang Kristiani sejati tidak pernah bersikap proporsionalis atau konsekuensialis.
Moto mereka adalah ucapan terkenal Bunda Teresa: “Tuhan tidak meminta kita
untuk berhasil; Dia meminta kita untuk setia.” Meski begitu, kita menemukan
kesuksesan supranatural hanya di antara orang-orang yang setia. David tidak
memandangi Goliath dan berkata, “Lupakan saja; kalah beberapa hasta tidak
apa-apa.” Tetapi David mengeluarkan ketapel kecilnya, mengambil lima batu
halus, dan membiarkannya terbang ke dahi orang Filistin itu. Raksasa itu
akhirnya musnah dengan pedangnya sendiri, untuk menunjukkan bahwa kejahatan akan
menghabisi dirinya sendiri — tetapi hanya ketika keberanian manusia sudah dilaksanakan.
Dari mereka yang banyak diberi, banyak
pula yang diharap. Jika kita diberi
kemampuan untuk bisa melihat serigala berbulu gembala, maka kita juga diharapkan untuk melakukan sesuatu atas hal
itu. Kami akan berteriak
keras "Serigala!" kearah domba-domba
yang rentan, dan berdoa dengan sungguh-sungguh agar gembala-gembala sejati lainnya datang untuk menyelamatkannya, dengan cara-cara yang tidak bisa kami lakukan. Jika mereka gagal
melakukannya, itu bukan masalah kita, tetapi merekalah yang harus bertanggung-jawab.
No comments:
Post a Comment