SOCCI - "KEGELAPAN IN ROMA: TEOLOGI
PEMBEBASAN TELAH MENANG, SEMENTARA ITU KARYA DARI YOHANES PAULUS II DAN
BENEDIKTUS XVI SEPENUHNYA DIHAPUSKAN."
Lukisan mural yang
memperlihatkan ‘perjamuan malam terakhir’ dimana Yesus digambarkan mengadakan
perjamuan bersama Marx, Lenin, Mao, Castro, serta tokoh-tokoh komunis lain, di sebuah
dinding sekolah di Caracas, Venezuela (2007)
KASUS D’ESCOTO SERTA MEREKA YANG INGIN MENGHAPUSKAN KARYA DARI YOHANES
PAULUS II DAN BENEDIKTUS XVI
Antonio Socci
Libero
September 7, 2014
Di era Bergoglio ini, Vatikan secara
praktis merehabilitasi paham Teologi Pembebasan, yang muncul pada tahun 1960-an
dan telah menyebabkan bencana yang tak terhitung jumlahnya, terutama di Amerika
Latin, dengan mendorong agar Gereja tunduk kepada pemikiran Marxis.
Selama beberapa bulan terakhir telah
terjadi beberapa peristiwa yang mengejutkan, seperti "pendaratan"
Gustavo Gutierrez ("bapak" dari Teologi Pembebasan) di Vatikan
sendiri. Setahun yang lalu, "L'Osservatore Romano" menerbitkan
kutipan besar dari salah satu bukunya yang memuji serangannya terhadap neoliberalisme.
Musim panas ini ada gerakan lain yang sangat simbolis, yang hampir tidak
diperhatikan, sehubungan dengan Miguel d'Escoto Brockmann.
MERAH
KOMUNIS
D'Escoto adalah putra dari duta besar
Nikaragua untuk Amerika Serikat. Ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1961 ia
terlibat dengan Teologi Pembebasan pada Oktober 1977, dan secara terbuka
menyatakan dukungannya bagi Front Sandinista, sebuah kelompok revolusioner
inspirasi Marxis, yang mengambil alih kekuasaan di Nikaragua pada tahun 1979.
D'Escoto adalah Menteri Luar Negeri dalam
pemerintahan Sandinista dari tahun 1979 hingga 1990. Dalam rezim pemerintahan
yang sama, imam Jesuit, Fernando Cardenal, menjadi Menteri Pendidikan, dan
saudaranya Ernest adalah Menteri Kebudayaan.
Yohanes Paulus II dengan keras mengutuk
keterlibatan ketiga imam itu dengan pemerintah Sandinista. Segera setelah
pemilihannya, Paus Wojtyla yang bersemangat melawan Teologi Pembebasan, dan
selama kunjungannya ke Meksiko pada tahun 1979 dia menyatakan: "Gagasan
tentang Kristus sebagai seorang politisi, seorang revolusioner, sebagai
subversif dari Nazareth, tidaklah sejalan dengan ajaran Gereja."
Pada tahun 1983, John Paul melakukan
kunjungan pastoral ke Nikaragua di mana dia secara terbuka menegur Pastor
Ernesto Cardenal karena keterlibatannya dengan pemerintah (komunis). Hal ini
menimbulkan kehebohan dan rezim Sandinista saat itu mengorganisir protes publik
terhadap Paus selama perayaan Misa.
Namun Paus Wojtyla bukanlah orang yang mudah
diintimidasi, dan dari atas altar dia berteriak lebih keras daripada para
demonstran, dan dia mengangkat Salib tinggi di udara, menunjukkan satu-satunya
Raja Semesta Semesta yang sejati.
Terlepas dari teguran publik ini, ketiga
pastor itu merespons secara negatif dan D'Escoto ditangguhkan imamatnya bersama
dengan yang lain-lainnya pada tahun 1984.
Pemerintah Sandinista jatuh pada tahun
1990, tetapi D'Escoto terus terlibat dengan politik. Pada 2008 kita bahkan mendapatinya
memimpin sidang tahunan Majelis Umum di PBB. Setelah Bergoglio terpilih,
D'Escoto, 'mencium kembali aroma udara segar' dan menulis surat kepada Paus
yang baru ini (paus Francis) memintanya untuk mengakhiri skorsingnya “a
divinis” agar dia dapat merayakan Misa lagi.
Permintaan itu segera dikabulkan.
Pada tanggal 1 Agustus 2014 Bergoglio
menandatangani pencabutan sanksi atas D’Escoto. Seperti yang dijelaskan oleh pernyataan
Kuria pada 4 Agustus 2014 “waktu dan konteks telah berubah dan yang terutama,
dia telah berubah”. D'Escoto - kata mereka – menyadari bahwa dirinya salah dan Paus
Francis mengakui ketulusan pertobatannya."
Sehari kemudian (5 Agustus 2014) silakan lihat disini
Judul laporan itu: "D'Escoto berkata: Fidel Castro dipilih oleh Tuhan". Imam
dan mantan menteri itu, yang baru saja diijinkan untuk merayakan Misa oleh
Bergoglio, menyatakan: "Vatikan
dapat membungkam semua orang, tetapi Tuhan akan membuat batu-batu berbicara,
dan mereka akan menyebarkan pesan-Nya. Namun Tuhan belum melakukan ini – Tuhan
memilih orang Amerika Latin terbesar sepanjang masa: Fidel Castro."
Menurut media "La Prensa", D'Escoto, yang merupakan direktur saat ini
untuk masalah perbatasan dan hubungan internasional untuk Pemerintah Presiden
Nikaragua, Sandinista, Daniel Ortega "(bukankah dia sudah meninggalkan dunia
politik?), juga menambahkan: "Melalui Fidel Castro, Roh Kudus mengirimkan
pesan kepada kita. Pesan Yesus ini, tentang perlunya perjuangan untuk
menegakkan, dengan tegas dan tidak dapat diubah, Kerajaan Allah di bumi ini,
yang merupakan alternatif-Nya bagi kekaisaran". Setelah pujian teologis
dari tiran Kuba ini (Fidel Castro), yang telah menindas seluruh populasi negara
itu selama beberapa dekade dengan kediktatoran komunis, D'Escoto kemudian
menyatakan kegembiraannya atas pencabutan atas penangguhan imamatnya oleh paus
Francis.
MEMUSNAHKAN
YANG BAIK
Perlakuan diskriminativ yang digunakan
Bergoglio terhadap "teman" D'Escoto yang kuat dan terkenal itu,
berbeda dengan perlakuan dengan ‘sarung tinju berbalut besi’ yang digunakan
untuk memukul seorang yang suci, religius yang rendah hati - Pastor Stefano
Manelli, putra spiritual Padre Pio, dan pendiri the Franciscans of the Immaculate. Pastor Manelli juga menulis surat kepada Paus,
tetapi suratnya bahkan tidak dipertimbangkan sama sekali.
Keluarganya yang ortodoks (Pastor Stefano
Manelli), yang saleh dalam beragama, penuh dengan semangat panggilan, telah
dimusnahkan oleh kehendak Bergoglio sendiri, ketika Pastor Manelli berusaha menerapkan
Motu Proprio dari Benediktus XVI pada
liturgi. Pastor Stefano Manelli memang terlalu ortodoks bagi paus Francis.
Pastor Manelli tidak pernah tidak taat
kepada Gereja, tidak pernah menyimpang dari doktrin yang sehat, tidak pernah
menceburkan diri ke dalam dunia politik seperti D'Escoto dan tidak pernah
memuji tiran Komunis.
Juga bukan kebetulan bahwa Kardinal Braz
de Aviz (Prefek Kongregasi untuk Lembaga Kehidupan Religius yang Ditahbiskan
dan Masyarakat Kehidupan Kerasulan) yang menandatangani adanya tindakan
hukuman. Kardinal Brasil ini (Braz de Aviz) - anehnya, berasal dari kelompok pendukung
Teologi Pembebasan sendiri dan dalam beberapa wawancara, dia sering merujuk
pada Teologi Pembebasan, mengatakan bahwa teologi itu bukan hanya
"berguna", tetapi bahkan "perlu". Dia menambahkan: “Saya
tetap yakin bahwa sesuatu yang hebat tetap terjadi di dalam Gereja dengan melalui
gerakan (pembebasan) itu.”
Ya, kenyataannya – ini adalah sebuah bencana
besar. Beberapa “sahabat” dalam kardinal merah komunis saat ini memegang posisi
teratas di Vatikan dan menghukum orang-orang yang selalu setia kepada Gereja.
Kardinal Braz de Aviz dengan gegabah
mencela kecaman tak terlupakan terhadap paham Teologi Pembebasan yang dibuat
oleh Joseph Ratzinger (dan John Paul II) melalui tulisannya "Libertatis Nuntius" (1984)
dan "Libertatis Conscientia"
(1986).
Tetapi
mereka mengira bahwa mereka telah menang sekarang: Wojtyla sudah mati dan
mereka percaya Ratzinger telah kalah.
DUA
ORANG YANG HEBAT
Baru-baru ini, Benediktus XVI sendiri, dengan
mengingat Yohanes Paulus II, dia menulis:
“Tantangan besar pertama yang kami hadapi
adalah Teologi Pembebasan yang menyebar luas di Amerika Latin. Baik di Eropa
maupun Amerika Utara, sudah menjadi pendapat umum bahwa itu semua adalah
tentang mempertahankan orang miskin dan karena itu ia menjadi alasan yang harus
disetujui tanpa pertanyaan lagi. Tetapi ini salah. Iman Kristiani digunakan
sebagai kekuatan politik (...). Pemalsuan Iman Kristiani seperti ini perlu
ditentang secara khusus, karena ia berkedok demi kasih kepada orang miskin dan demi
pelayanan yang harus diberikan kepada mereka.”
Pada 2013 salah satu pendiri Liberation
Theology, Clodoveo Boff (saudara Boff yang lain), dan salah satu dari sedikit orang
yang benar-benar mempelajari pelajarannya (tidak seperti D'Escoto), mengatakan bahwa
Ratzinger benar dalam apa yang telah dilakukannya tiga puluh tahun yang lalu (
atas nama Paus Wojtyla):
“Dia membela rencana esensial Teologi
Pembebasan: komitmen kepada orang miskin untuk tujuan iman. Pada saat yang
sama, dia mengkritik pengaruh Marxis. Gereja - Clodoveo Boff mencatat - tidak
dapat memulai negosiasi mengenai esensi Iman: tidak seperti masyarakat sipil di
mana orang dapat mengatakan apa yang mereka inginkan. Kita terikat pada Iman
dan jika seseorang menganut keyakinan yang berbeda, mereka secara otomatis
dikeluarkan dari Gereja. Sejak awal dia telah melihat dengan jelas pentingnya
menempatkan Kristus sebagai dasar dari semua teologi (...). Dalam soal Teologi
Pembebasan, saya menjadi sadar bahwa iman kepada Kristus hanya muncul di latar
belakang saja. Istilah "Kristen anonim" oleh Karl Rahner, adalah
alasan besar untuk mengabaikan Kristus,
doa, sakramen-sakramen dan misi, sementara paham Teologi Pembebasan itu berkonsentrasi
pada transformasi struktur sosial."
Hari ini, di era Bergoglio ini, kita akan
kembali kepada pemikiran Rahner, kepada filosofi yang telah membuat kerusakan
tak terhingga bagi para Yesuit dan Gereja. Dalam kekosongan yang luar biasa
ini, umat Katolik kembali dilemparkan ke sana-sini “oleh setiap angin doktrin”, agar tunduk kepada setiap ideologi dan
terkontaminasi oleh setiap dan semua bidaah.
Sebuah kegelapan besar menyelimuti Roma.
* * * * *
Silakan
lihat disini:
http://veritas-vincit-international.org/2015/08/09/former-soviet-spy-we-created-liberation-theology/
No comments:
Post a Comment